Hening dan Bening

Edisi Pillar bulan September 2011 ini mengambil tema: Puasa, tetapi saya tidak akan membahas tema Puasa secara langsung karena artikel-artikel lainnya sudah membahas dengan sangat baik dan lengkap di edisi kali ini. Bulan September 2011 ini juga bertepatan dengan bulan Ramadhan bagi orang muslim tetapi saya percaya alasan pemilihan tema ini lebih berkait kepada rangkaian tema spiritual discipline yang sudah dibahas oleh Pillar beberapa bulan ini yaitu Saat Teduh dan Berdoa. Selain itu, ketiga spiritual discipline ini menjadi pengantar yang baik bagi kita semua pembaca Pillar untuk mempersiapkan KKR Jakarta 2011, tanggal 8-11 Desember 2011. Seperti yang pernah dibahas oleh Pdt. Dr. Stephen Tong dalam transkrip “What is Revival?” (Baca Pillar edisi 33 – 35), doa merupakan awal terjadinya kebangunan rohani dan Rally Doa yang diadakan minggu lalu (13 Agustus 2011) di Jakarta dan di-relay ke berbagai tempat telah menghasilkan buah sulung yaitu mereka yang dipanggil menjadi penginjil-penginjil untuk dipersembahkan kepada Tuhan. Hal ini merupakan suatu pekerjaan yang mulia dengan tantangan yang sangat sulit dan diilustrasikan oleh Paulus seperti perempuan yang sakit bersalin.

Ngomong-ngomong soal sakit bersalin, memang Tuhan telah menubuatkan sakit melahirkan anak sejak Adam berdosa dan anything can happen dari proses yang sangat rawan ini. Minggu lalu, hanya berselang beberapa hari, tiga pasangan muda yang semuanya sangat aktif melayani Tuhan dari tiga kota yang berbeda baru saja mengalami hal yang berbeda-beda dengan kandungannya. Pasangan yang pertama mengalami keguguran, yang kedua melahirkan normal tetapi ibu tersebut mengalami pendarahan selama berhari-hari, dan yang ketiga melahirkan dengan normal, lancar, cepat, dan sehat dalam waktu 1.5 jam saja. Sangat sulit bagi saya untuk bisa benar-benar menjiwai Roma 12:15,
“Bersukacitalah dengan orang yang bersukacita, dan menangislah dengan orang yang menangis!”

Jika kita merasa tradisi orang-orang kuno yang mengadakan pesta kawin tujuh hari tujuh malam atau peringatan perkabungan pada hari yang ke-40 itu terasa sangat lama, maka kita di zaman sekarang mana informasi, iklan dan media yang mencari kita[1] mendapatkan informasi seperti di atas hanya dalam perbedaan beberapa hari atau bahkan jam. Hati, pikiran, emosi, dan perasaan kita diayun-ayun seperti naik rollercoaster.

Hal tersebut membuat saya berpikir bahwa hidup di era informasi dan globalisasi ini memang gampang-gampang susah (Baca artikel Gerombolan Siberat Aja di Pillar edisi 76). Sangat sulit untuk hidup secara holistik dengan berbagai kompleksitas dan arus informasi yang masuk ke dalam hidup kita secara cepat tanpa henti. Sebenarnya ada solusi yang instan dan praktis seperti ignorance is a bliss dan mematikan handphone, komputer, atau menutup mata terhadap segala sumber informasi yang berusaha merebut perhatian pikiran dan hati kita. Jika segala informasi itu salah dan menggantikan posisi firman Tuhan maka jalan keluar di atas adalah bagus sekali. Kita cukup melakukan puasa informasi maka segala urusan menjadi beres.

Tetapi jika informasi tersebut mengenai teman saya, tiga pasangan muda yang baik tadi, maka jawaban untuk problema ini menjadi lain. Saya tidak bisa lari dan menutup mata dari realitas tetapi justru kita harus berusaha untuk belajar bagaimana bersikap dalam hidup ini. Kita bersyukur karena Paulus di dalam Roma 12:15 tersebut juga memberikan prinsip yang baik dan menjawab: (1) Let love be genuine (Rm. 12:9a)[2]; (2) If possible, so far as it depends on you, live peaceably with all (Rm. 12:18)[3]. Dari prinsip yang pertama kita dapat belajar bahwa dengan kasih yang tidak pura-pura kita menunjukkan ketulusan kita kepada teman kita. Dari prinsip yang kedua, (bukan berarti sekarang saya tidak hidup berdamai atau sedang memiliki konflik dengan teman-teman saya tersebut), Paulus mengajarkan agar kita memberikan yang terbaik, mengusahakan yang terbaik, dengan istilah ‘if possible’ atau ‘sedapat-dapatnya’. Selain dari dua prinsip tersebut, di sisi lain kita juga belajar dari bagian Roma yang lain bahwa emosi kita tidak selalu kudus dan sering kali apa yang kita lakukan termasuk apa yang muncul dalam hati dan pikiran kita itu bukan apa yang kita inginkan (Roma 7).

Lalu bagaimana? Bersyukur rekan-rekan pembaca Pillar dapat membaca mengenai Spiritual Discipline: Saat Teduh, Berdoa, dan Berpuasa dari Pillar edisi Juli-September 2011 ini, bagaimana hidup kita boleh bersih di hadapan TUHAN dan murni hati kita saat masuk ke bait-Nya. Bagaimana pentingnya suasana hening di hadapan Tuhan dan bening air hidup itu memberikan kepuasan kepada mereka yang dahaga. Itu semua hanya mengingatkan dan menyadarkan kita sekali lagi bahwa hidup yang kenal Tuhan dan dikenal Tuhan adalah yang paling penting dalam hidup ini. Dan sesudah hati kita bersih dan beres di hadapan TUHAN, ada contoh yang baik dari kehidupan Tuhan Yesus sendiri ketika Ia mengalami konflik perasaan (mixed feeling) dan pengertiannya akan theology of time (atau waktu Tuhan).

Yesus mengalami konflik perasaan ketika Dia memberitakan kematian-Nya di Yohanes 12.
“Telah tiba saatnya Anak Manusia dimuliakan. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah. Barangsiapa mencintai nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, tetapi barangsiapa tidak mencintai nyawanya di dunia ini, ia akan memeliharanya untuk hidup yang kekal. Barangsiapa melayani Aku, ia harus mengikut Aku dan di mana Aku berada, di situpun pelayan-Ku akan berada. Barangsiapa melayani Aku, ia akan dihormati Bapa. Sekarang jiwa-Ku terharu dan apakah yang akan Kukatakan? Bapa, selamatkanlah Aku dari saat ini? Tidak, sebab untuk itulah Aku datang ke dalam saat ini. Bapa, muliakanlah nama-Mu!” (Yoh. 12:23b-28a)

Yesus mengalami konflik antara bersusah hati karena akan menghadapi kematian dan terpisah dari Bapa, dan juga luapan pengharapan yang menyebabkan-Nya terharu karena kemuliaan Bapa akan dinyatakan. Tetapi Yesus yang bersih dan lurus hati-Nya, jelas melihat kemuliaan Bapa sesuai dengan nats: “Berbahagialah mereka yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah.” Dengan hati yang bersih, dengan jelas Ia berjalan dalam kehendak Allah dan tahu persis waktu Tuhan. Bahkan ketika murid-murid-Nya tidak berpuasa, Yesus pun tahu bahwa sukacita mereka, Terang Besar, Mempelai Laki-laki itu sedang ada bersama-sama dengan mereka. Akan datang waktunya di mana sukacita mereka diambil dari mereka dan mereka akan berpuasa (meskipun dalam percakapan privat Yesus dengan murid-murid-Nya di Yohanes 13-16 Yesus mengatakan bahwa dukacita mereka akan menjadi sukacita dan tidak ada yang dapat merampas sukacita mereka serta Yesus mengatakan hal itu lebih baik dengan kepergian-Nya?). Jadi, kita yang hidup dalam masa sesudah Yesus pergi, apakah kita hidup dalam sukacita atau dukacita atau konflik perasaan (mixed feeling)? Bagaimana kita menjalani hidup ini hari lepas hari di kota di mana kita hidup? Untuk mengerti lebih lengkapnya mengenai murid-murid Yesus yang tidak berpuasa karena sedang bersukacita ini, silakan membaca artikel-artikel lainnya di Pillar edisi September 2011 ini.

Lukas Yuan Utomo
Redaksi Bahasa PILLAR

Endnotes:
[1] Di Baliho berbagai sudut jalan dan wall Facebook dan notification Blackberry Messenger atau What’s App
[2] Hendaklah kasih itu jangan pura-pura!
[3] Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang!