Pernahkah kita melihat gereja sebagai rumah kita? Sebagian orang biasa melihat gereja sebagai tempat: “Saya mau pergi ke gereja.” Frasa “ke gereja” mengindikasikan bahwa mereka melihat gereja sebagai sebuah tempat atau gedung. Sebagian lain melihat gereja sebagai acara atau aktivitas: “Gereja belum selesai nih.” Pemakaian kata “belum” dan “selesai” mengindikasikan bahwa mereka melihat gereja sebagai suatu acara yang kita hadiri. Ada juga yang melihat gereja sebagai suatu organisasi: “Apa tujuan tahunan gereja kamu?” Istilah “tujuan tahunan” mengindikasikan bahwa mereka melihat gereja sebagai suatu organisasi yang memiliki visi, misi, dan tujuan internal untuk dicapai bersama-sama. Ada juga yang melihat gereja sebagai sebuah institusi: “Siapa pemimpin gereja kamu?” Kepemimpinan biasanya lebih dikaitkan dengan ide institusi (atau lembaga).
Tulisan ini ingin mengajak kita mengeksplorasi gambaran gereja sebagai rumah. Ketika membicarakan rumah, saya ingin kita memperhatikan distingsi yang tidak ada di dalam bahasa Indonesia, tetapi ada di dalam bahasa Inggris: house dan home. House merujuk hanya kepada bangunan fisik tempat tinggal, sedangkan home merujuk kepada tempat di mana “keluarga” kita berada. Namun, konsep keluarga tidak harus berarti keluarga secara biologis, tetapi dapat merujuk juga kepada orang-orang yang memiliki relasi yang baik dan dekat dengan kita. Saya mungkin tinggal di rumah paman saya, tetapi rumah (house) tersebut belum tentu menjadi home bagi saya karena saya tidak memiliki hubungan yang baik dengan keluarga paman saya. Sebaliknya, kantor mungkin menjadi home saya karena saya memiliki relasi yang baik dan dekat dengan rekan sekerja saya, bahkan hingga menganggap mereka sebagai “keluarga”. Ketika saya membicarakan gereja sebagai “rumah” dalam tulisan ini, saya membicarakan gereja sebagai home, bukan house.
Saya pertama kali menyadari gereja adalah rumah ketika saya membaca buku “GenerationS: Volume 1” baru-baru ini. Buku tersebut ditulis oleh pendiri Heart of God Church (HOGC), sebuah gereja Karismatik yang berpusat pada Kristus dan berbasiskan Alkitab di Singapura.[1] Dalam buku tersebut, pendirinya, Pastor How dan Pastor Lia, menceritakan bagaimana kiat-kiat sukses mendirikan gereja orang muda (youth church). Gereja ini bukanlah gereja tradisional karena anggotanya kebanyakan adalah orang muda dengan rata-rata usia jemaat 22 tahun.[2] Gereja ini mengalami pertumbuhan yang pesat. HOGC bertumbuh dari sebuah kelompok kecil berjumlah 5 orang pada tahun 1999 menjadi 5,000 orang pada tahun 2019.[3] Untuk tempat beribadah, HOGC berhasil menyewa gedung seharga 50 juta SGD selama 25 tahun.[4] Jika dihitung secara rata-rata, maka setiap jemaat perlu menyumbang 400 SGD per tahun selama 25 tahun. Hal ini mencengangkan karena jemaat di sana bukanlah orang-orang dewasa yang sudah mapan, tetapi orang-orang muda yang kebanyakan masih bersekolah dan belum memiliki penghasilan tetap. Namun, orang-orang muda di HOGC bersemangat dan berkomitmen untuk mendukung gereja mereka. Ketika Singapura harus lockdown COVID-19 dan kebaktian fisik tidak memungkinkan, banyak dari mereka yang menyatakan kerinduan untuk hadir di gereja secara fisik. Biasanya, orang muda merindukan teman-temannya. Namun, mereka merindukan gereja mereka.[5] Ini bukanlah hal yang umum terjadi. Di gereja tersebut juga ada sekelompok orang yang rela menempuh perjalanan 2,5 jam dari Malaysia ke Singapura setiap minggu hanya untuk beribadah di HOGC.[6]
Mengapa hal ini bisa terjadi? Apa yang menarik dari HOGC sehingga banyak orang muda rela berkorban demi gereja mereka?
Pastor How dan Pastor Lia menjelaskan bahwa salah satu alasannya adalah karena mereka melihat gereja sebagai rumah mereka. Dalam pengajarannya, HOGC menekankan bahwa gereja bukanlah “tempat”, tetapi “siapa”.[7] HOGC memberikan penekanan pada manusia dan relasinya. Jadi, jemaat HOGC rela berkorban karena mereka memiliki relasi yang kuat antara satu sama lain. Mereka tidak melihat HOGC terutama sebagai suatu institusi untuk didukung atau suatu organisasi untuk ditunjang. Namun, ketika mereka mendengar kata “HOGC”, mereka mengingat teman-teman yang mereka kasihi.
Ketika lockdown COVID-19 diberlakukan di Singapura, HOGC berhenti beribadah. Namun, setelah ibadah terhenti tiga bulan, mereka melihat anomali pada keuangan gereja. Jumlah penyumbang perpuluhan menurun sedikit, tetapi pemasukan justru bertambah signifikan. Ternyata, sebagian jemaat memutuskan untuk memberikan persembahan lebih. Mereka beralasan gereja memerlukan uang untuk membayar biaya sewa gedung dan gaji staf yang adalah teman-teman mereka sendiri. Pada tahun pertama COVID-19, mereka melakukan persembahan diakonia kepada ratusan jemaat serta memberikan beasiswa sekolah kepada yang membutuhkan.[8] Sekali lagi, hal ini tidak lazim terjadi pada pelayanan orang muda (youth ministry) yang tidak memiliki uang banyak.
Atmosfer HOGC adalah atmosfer relasi yang erat yang disertai perasaan memiliki (sense of belonging).[9] Hal ini berlawanan dengan atmosfer “kalau kamu berkelakuan baik, kamu adalah bagian dari kami”.[10] HOGC menekankan, kamu tidak perlu percaya dulu untuk menjadi bagian dari kami. Sebaliknya, filosofi mereka adalah “kamu berbagian, kamu percaya dan kamu berubah”.[11] HOGC menekankan bahwa “gereja” bukan hanya tentang dua jam kebaktian pada hari Minggu, melainkan juga sebelum dan sesudahnya.[12] Banyak dari mereka yang masih bersekolah belajar bersama di gedung gereja HOGC pada hari biasa, terutama pada hari Jumat. Pada hari Sabtu dan Minggu mereka menghabiskan waktu seharian di gereja untuk belajar Alkitab, rehearsal, nongkrong, dan sebagainya. Akibatnya, pertemanan baru terjalin dan pertemanan yang sudah ada menjadi makin erat. Pastor How dan Pastor Lia menekankan kepada jemaatnya bahwa tidak cukup bagi mereka untuk hanya bersikap ramah. Tidak cukup bagi mereka untuk hanya menjadi penyambut (usher), mereka juga perlu menjalin persahabatan.[13] Persahabatan ini dijalin melalui makan bersama, bermain bersama, dan menghabiskan waktu bersama. Gedung gereja sengaja diubah menjadi tempat nongkrong besar di luar jam kebaktian. Mereka juga memiliki puluhan ruangan khusus untuk rapat, belajar, bermain, dan lainnya.[14] Jadi, gereja bukan hanya mendorong penjalinan persahabatan, tetapi juga memberikan fasilitas supaya relasi dapat terbentuk.
HOGC menekankan gereja adalah rumah karena mereka sadar bahwa keluarga-keluarga di Singapura cenderung tidak utuh (broken home). Orang muda membutuhkan kasih dan stabilitas, tetapi mereka tidak mendapatkannya di rumah. Banyak dari mereka yang mengalami penganiayaan, pelecehan, perceraian orang tua, dan berbagai trauma lainnya.[15] Untuk menolong mereka, HOGC menjadi rumah dan keluarga besar yang stabil untuk mereka. Bukan hanya itu, HOGC juga membantu mereka memiliki rumah (house) sendiri. Gereja mengumpulkan beberapa orang dari keluarga tidak utuh dan menyubsidi penyewaan rumah sehingga mereka dapat tinggal di sebuah rumah (home) yang damai.[16]
Pastor How dan Pastor Lia tidak hanya berkhotbah mengenai gereja sebagai rumah, tetapi mereka menjalankan apa yang mereka khotbahkan. Suatu saat ada seorang pebisnis datang ke HOGC dan memberikan cek sebesar 5.000 SGD kepada mereka. Namun, mereka menolak cek tersebut, bukan karena mereka tidak ingin menerima kebaikannya, melainkan karena mereka ingin supaya pebisnis tersebut menetap terlebih dahulu di HOGC dan menjadikan HOGC rumahnya.[17] Mereka peka dan menekankan bahwa di HOGC, yang terutama adalah relasi dan orangnya. Mereka tidak menempatkan diri jauh dari jemaat mereka. Mereka sengaja menyisihkan 31% waktu dalam setahun untuk menjalin relasi pribadi dengan jemaatnya.[18] Dalam setahun, Pastor How dan Pastor Lia bertemu secara pribadi dengan lebih dari 1.000 jemaat.[19]
Pastor How menutup kisah HOGC dengan sebuah kutipan: “Disneyland may be the happiest place on earth, but nobody lives there. Disneyland is not a home. When the show is over, everyone goes home. Heart of God Church is not a show. It is a home.”[20] (Disneyland mungkin adalah tempat paling bahagia di seluruh bumi, tetapi tidak ada seorang pun yang tinggal di sana. Disneyland bukanlah rumah. Ketika pertunjukkan selesai, semua orang pulang ke rumah. Heart of God Church bukanlah pertunjukan, melainkan rumah.)
Gereja sering kali dilihat hanya sebagai acara atau pertunjukan. Orang berbondong-bondong datang ke gereja menghadiri acara atau aktivitas yang ditetapkan, seperti kebaktian, pendalaman Alkitab, persekutuan doa, dan sebagainya. Mereka datang, mereka dengar, mereka pulang. Sedikit sekali relasi yang terbangun. Akibatnya, ketika pandemi melanda dan gereja harus tutup, sebagian jemaat “jajan” acara gereja lain. Setelah pandemi berakhir, sebagian dari mereka tidak kembali ke gereja semula. Sebab, mereka melihat acara gereja sebelah lebih baik dari acara di gereja mereka. Mereka hanya melihat gereja sebagai acara sehingga mereka merasa tidak perlu kembali ke gereja asal.
Apakah konsep “gereja sebagai rumah (home)” HOGC sesuai dengan ajaran Alkitab? Apakah gereja perlu menjadi rumah? Bagaimana gereja dapat menjadi rumah?
Para penulis Alkitab tidak menyebut gereja sebagai rumah (home). Sebab, konsep home adalah konsep modern. Konsep kuno yang mirip dengan konsep home adalah konsep “keluarga”.
Alkitab menggambarkan gereja sebagai keluarga Allah.[21] Paulus menyatakan kepada gereja di Efesus bahwa mereka adalah anggota-anggota keluarga Allah (Ef. 2:20). Dalam Galatia 6:10 (AYT), Paulus menyebut gereja sebagai “keluarga dalam iman”. Selain itu, kata “saudara-saudara” (adelphoi) dipakai setidaknya 100 kali di dalam Perjanjian Baru untuk menyebut sesama orang percaya. Istilah “saudara” jelas merupakan sebuah istilah kekeluargaan. Yesus memberi pengajaran yang cukup mencengangkan mengenai “saudara” di Markus 3:31-35. Dalam perikop ini, Yesus mengajar bahwa ibu dan saudaranya bukanlah ibu dan saudara kandungnya. Namun, saudara laki-laki, saudara perempuan, dan ibu-Nya adalah mereka yang melakukan kehendak Allah. Jika kita melakukan kehendak Allah, artinya kita adalah anggota keluarga Yesus. Implikasinya, setiap orang yang melakukan kehendak Allah adalah ibu, saudara laki-laki, dan saudara perempuan kita.
Orang-orang percaya adalah satu keluarga di dalam Yesus Kristus. Yesus Kristus menebus orang percaya dari perbudakan hukum Taurat dan mengangkat mereka menjadi anak-anak-Nya (Gal. 4:4). Pengangkatan orang percaya sebagai anak-anak Allah adalah alasan mengapa gereja disebut rumah. Ada dua hal yang berubah ketika kita menjadi anak-anak Allah. Pertama, kita memanggil dan melihat Allah sebagai Bapa kita (Mat. 6:9, 7:11). Artinya, hubungan kita dengan Allah bukan lagi hubungan terdakwa dan pendakwa. Di dalam Kristus kita memiliki akses langsung kepada Bapa yang mengasihi kita. Hal ini terkonfirmasi di dalam pengalaman kita ketika kita menerima Roh Anak yang membuat kita memanggil Allah sebagai Bapa kita (Gal. 4:6). Kedua, relasi kita dengan sesama orang percaya berubah. Sebelum pertobatan kita, kita terasing dari sesama kita. Namun, di dalam Kristus, semua orang percaya adalah sederajat sebagai anak-anak Allah. Anak mengindikasikan keluarga. Oleh sebab itu, setiap orang percaya adalah bapak, ibu, atau saudara-saudari kita. Yesus sendiri menegaskan hal ini ketika Ia menyatakan bahwa murid-murid-Nya adalah saudara bagi satu sama lain (Mat. 23:8).
Anak-anak Allah dan sesama anggota keluarga Yesus adalah sebuah realitas. Alkitab tidak pernah menggambarkan pengangkatan kita sebagai anak hanya sekadar sebagai status. Justru, karena Roh yang ditaruh-Nya di dalam hati kita, kita menyadari secara nyata bahwa kita adalah anak-anak Allah (Rm. 8:16). Seluruh orang percaya adalah anak-anak Allah di dalam Yesus Kristus. Realitas anak-anak Allah lebih nyata daripada matahari, bulan, mobil, dan tubuh kita sendiri. Sebab, semua ini fana dan akan lenyap pada waktunya, tetapi realitas kita sebagai anak-anak Allah akan terus berlanjut sampai kekekalan.
Keluarga Yesus adalah prioritas pertama di dalam hidup orang percaya. Matius 10:34-37 menyatakan bahwa Yesus datang untuk membawa perpecahan di dalam keluarga kandung. Kesetiaan pada Yesus akan memisahkan seorang anak dari bapak dan ibunya. Musuhnya adalah “orang-orang seisi rumahnya.” Hal ini tidak terelakkan. Sebab, Yesus adalah Tuhan dan Raja. Ia pantas mendapatkan seluruh hidup kita, tanpa terkecuali. Ketika kita menjalankan kehendak-Nya, kita pasti akan terpisah dari mereka yang tidak menjalankan kehendak-Nya, termasuk orang tua dan saudara kita. Namun, mereka yang setia pada Yesus akan mendapatkan ganjaran yang jauh lebih besar. Menurut Matius, mereka akan menerima berkat seratus kali lipat serta kehidupan kekal (Mat. 19:29). Namun, Markus menyebutkan secara detail berkat-berkat seratus kali lipat tersebut: “rumah, saudara laki-laki, saudara perempuan, ibu, anak dan ladang” pada masa kini dan hidup kekal pada zaman yang akan datang (Mrk. 10:30). Kita tahu dari bagian Alkitab lain bahwa keluarga baru yang dijanjikan Yesus adalah gereja.
Bagaimanakah gereja dapat hidup sebagai keluarga Allah?[22] Beberapa saran diberikan di bawah ini:
Pertama, gereja adalah keluarga Allah yang mendengar firman Allah. Tanpa firman Allah, gereja berhenti menjadi keluarga Allah dan menjadi sekadar klub sosial atau keluarga besar. Gereja adalah keluarga Allah yang dibangun di atas batu penjuru Yesus Kristus dan fondasi pengajaran para rasul dan para nabi (Ef. 2:20). Oleh sebab itu, gereja perlu terus-menerus mendengarkan pemberitaan mengenai Yesus Kristus yang sejati.
Kedua, gereja perlu berdoa bersama secara korporat. Gereja-gereja di Afrika dan Asia umumnya tidak melakukan doa korporat (corporate prayer), tetapi melakukan doa serentak (simultaneous prayer).[23] Praktik doa korporat adalah praktik doa yang dicontohkan di dalam Alkitab: satu orang menaikkan doa, umat Allah bersama-sama memperhatikan dan mendengar doanya, dan kemudian mengatakan “amin” (1Kor. 14:16; Kis. 4:24, bdk. 2Taw. 6:12). Sebaliknya, dalam praktik doa serentak, pemimpin doa memberikan sebuah topik doa dan setiap orang kemudian berdoa sendiri-sendiri dan mengatakan amin sendiri-sendiri tanpa memperhatikan doa jemaat lain. Praktik doa serentak tidak mutlak salah, tetapi kurang sesuai dengan narasi kesatuan keluarga Allah. Sebaliknya, doa korporat menunjukkan kesatuan keluarga Allah. Dalam doa korporat, gereja sebagai satu keluarga Allah menaikkan satu permohonan yang sama kepada Allah.
Ketiga, setiap jemaat dapat berfokus melayani jemaat lain dengan berinvestasi di dalam kehidupan mereka. Dalam acara NREC 2022, Pdt. Michael Densmoor memberikan sebuah contoh praktis berinvestasi di dalam kehidupan jemaat lain. Orang tua dapat berinvestasi di dalam kehidupan para remaja di gereja dengan menjadi bapak dan ibu rohani. Beliau mengatakan bahwa kebutuhan remaja yang terutama bukanlah doktrin, tetapi figur orang tua. Alasannya, sering kali orang tua tidak hadir di rumah apalagi di dalam hidup para remaja. Oleh sebab itu, orang tua-orang tua yang saleh di gereja dapat membuka rumah mereka dan mengundang para remaja main ke rumah untuk makan. Mengapa makan? Sebab, menurut beliau, remaja suka sekali makan. Di dalam makan-makan itu, para orang tua dapat mencoba mengenal mereka lebih dalam. Pelan-pelan para orang tua dapat mengajak mereka bercerita, berdoa bersama, dan membaca Alkitab bersama. Sebagian remaja akan mengapresiasi figur orang tua saleh yang mereka rindukan.
Keempat, jemaat perlu berelasi secara personal dan organik dengan sesama saudara seiman. Relasi personal artinya adalah relasi yang bukan hanya tahu, tetapi juga mengenal jemaat lain. Relasi organik artinya adalah relasi yang dibangun atas dasar inisiatif pribadi dan bukan karena keharusan program gereja. Para rasul tidak pernah membuat program atau sistem di dalam gereja yang mereka layani, tetapi mereka mendorong jemaat untuk berelasi secara personal dan organik: mencuci kaki satu sama lain (Yoh. 13:14), mengasihi satu sama lain dengan kasih persaudaraan (Rm. 12:10a), memberi hormat kepada satu sama lain (Rm. 12:10b), menerima satu sama lain ke dalam rumah (showing hospitality) (Rm. 12:13), hidup dalam harmoni dengan satu sama lain (Rm. 12:16), mendorong satu sama lain (encourage one another) (Ibr. 10:25), melayani satu sama lain (1Ptr. 4:10).
Kelima, jika memungkinkan, gereja perlu membuat gedung dengan arsitektur yang menunjang terciptanya relasi. Seorang arsitektur ternama, Denise Scott Brown, pernah mengatakan, “[A]rchitecture can’t force people to connect, it can only plan the crossing points, remove barriers, and make the meeting places useful and attractive.”[24] (“Arsitektur tidak dapat memaksa orang untuk berelasi. Arsitektur hanya dapat merencanakan titik persilangan, menyingkirkan halangan, dan membuat tempat pertemuan menjadi berguna dan menarik.”) Arsitektur gereja dapat menghambat atau menunjang terciptanya relasi. Oleh sebab itu, gereja yang memiliki gedung perlu peka terhadap arsitekturnya.
Keenam, jemaat membutuhkan waktu untuk bersosialisasi. Jadwal hari Minggu (atau hari lain) perlu diatur supaya jemaat memiliki waktu untuk bercengkerama, mendoakan satu sama lain, curhat, membaca Alkitab bersama, dan sebagainya. Seperti tanaman yang membutuhkan waktu untuk bertumbuh, demikian juga relasi butuh waktu untuk bertumbuh. Jadwal pelayanan yang padat dapat menghambat terciptanya relasi antar jemaat. Oleh sebab itu, sejauh memungkinkan, gereja perlu mendorong (encourage) dan memungkinkan (enable) waktu pada hari Minggu sebagai waktu jemaat hidup bersama sebagai satu keluarga Allah.
Kiranya tulisan ini membantu gereja bersama-sama menghidupi realitasnya sebagai keluarga Allah di dalam Kristus dan kita menjadikan gereja sebagai rumah pertama kita.
Betapa besar anugerah Allah kepada kita yang percaya kepada Yesus Kristus! Sebab, kita hanyalah budak-budak dosa yang malang. Allah mengasihi kita dengan kasih-Nya yang besar sehingga Ia mengorbankan Anak-Nya sendiri supaya kita diangkat menjadi anak-anak Allah dan dijadikan satu keluarga Allah. Puji dan hormat kepada Allah Bapa dan Anak-Nya, Yesus Kristus, dan Roh Kudus, dari sejak permulaan, sekarang, dan sampai selama-lamanya, dunia tanpa akhir. Amin.
P.S. Tulisan ini dipersembahkan untuk GRII Kelapa Gading, rumah saya. Bersyukur atas jemaat GRII Kelapa Gading yang membantu penulisan artikel ini.
Hans Tunggajaya
Mahasiswa STT Reformed Injili Internasional
[1] “About,” Heart of God Church (HOGC), diakses 22 Januari 2023, https://heartofgodchurch.org/about.
[2] Pastor How and Pastor Lia, Generations Volume 1: How to Grow Your Church Younger and Stronger: The Story of the Kids Who Built a World-Class Church, Generations 1 (Grove City: Heart of God Church, 2021), 68.
[3] Ibid., 30, 280.
[4] Ibid., 46.
[5] Ibid., 173.
[6] Ibid., 175.
[7] Ibid., 174.
[8] Ibid., 194–195.
[9] Ibid., 176.
[10] Ibid., 178.
[11] Ibid.
[12] Ibid., 179.
[13] Ibid., 180.
[14] Ibid., 200.
[15] Ibid., 184.
[16] Ibid., 182.
[17] Ibid., 163.
[18] Ibid., 279.
[19] Ibid., 280.
[20] Ibid., 202.
[21] Paul Sevier Minear, Images of the Church in the New Testament, New Testament library (Louisville, Ky: Westminster John Knox Press, 2004), 217–227; Billy Kristanto, Ecclesiology in Reformed Perspective, The Rutherford Centre for Reformed Theology Ecclesiology series (Eugene, Oregon: Pickwick Publications, 2022), 29–31.
[22] Pertanyaan ini dibahas mendalam di dalam buku Mark Dever, The Compelling Community: Where God’s Power Makes a Church Attractive, 9Marks books (Wheaton: Crossway, 2015), chaps. 5–12; Lihat juga Megan Hill, A Place to Belong: Learning to Love the Local Church (Wheaton, Illinois: Crossway, 2020), 105–110.
[23] Scott D. Macdonald, “Does Acts 4:23–31 Support the Practice of Simultaneous Prayer?” 47, no. 1 (April 2022): 62.
[24] “Interview: Robert Venturi & Denise Scott Brown, by Andrea Tamas | ArchDaily,” diakses 25 Januari 2023, https://www.archdaily.com/130389/interview-robert-venturi-denise-scott-brown-by-andrea-tamas.