HIStory Defines Ours: A Brief Reflection on History

Tetapi jawab Yesus:
“Pada petang hari karena langit merah, kamu berkata: Hari akan cerah,
dan pada pagi hari, karena langit merah dan redup, kamu berkata: Hari buruk.
Rupa langit kamu tahu membedakannya tetapi tanda-tanda zaman tidak.”
Matius 16:2-3

Ada banyak penyesalan yang mungkin muncul di dalam hidup manusia. Dan kata penyesalan selalu menempel – kalau bukan identik – dengan kata terlambat; Waktu tak dapat diputar, kesempatan tak dapat dikembalikan. Penyesalan apa sajakah, Saudara-saudari seiman, yang engkau miliki? Hal-hal apa sajakah yang menjadi bagian hidupmu di masa lalu, yang engkau rasa begitu merugikanmu di masa kini?

Saya, penulis refleksi sederhana ini, mempunyai satu penyesalan besar yang mungkin tak semua orang rasakan, atau malahan tak pernah terpikirkan oleh sebagian besar orang. Penyesalan atas apa? Atas kesalahan besar saya di masa lalu: Saya membenci pelajaran sejarah.

Well, apa salahnya? Begitu banyak orang tidak menyukai pelajaran itu di bangku sekolahnya, pelajaran di mana kita ‘dipaksa’ menghapal-mati tanggal-bulan-tahun, dengan segala kejadian rumit yang terjadi di dalam ribuan tanggal tersebut, tak ketinggalan dengan nama-nama orang asing dan juga tempat-tempat di mana semua peristiwa yang katanya bersejarah itu berlangsung.

Oh, sudahlah! Seluruh pekerjaan sia-sia itu hanya menyiksa otak! Semua itu tidak berguna, tidak ada hubungannya dengan hidup saya! Tunggu… Benarkah itu?

Sepintas terlihat demikian, jikalau kita memandang sejarah hanya sebagai sekumpulan data tertulis mengenai masa lampau, sekumpulan data yang tua, kering, mati, dan tidak bermakna. Tetapi orang yang memandang sejarah dengan cara pandang itu pasti adalah orang yang belum sungguh-sungguh mengenal siapa Allah. Saudara-saudari seiman, mari bertanya pada diri kita, apakah kita mengenal Dia yang kita sebut sebagai Allah?

Tuhan Atas Sejarah, Tuhan Dalam Sejarah
Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia:
Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!
Roma 11:36

Pernahkah terbersit di dalam benak kita sebuah pertanyaan mengenai mengapa Allah menciptakan ruang dan waktu, dengan seluruh alam semesta, termasuk manusia, di dalamnya? Sekadar keisengan-Nya kah? Apakah Allah kurang kerjaan lalu menciptakan sejenis mainan bagi diri-Nya? Atau apakah Allah membutuhkan ciptaan untuk mempertahankan eksistensi-Nya sebagai Allah? Jawaban untuk seluruh pertanyaan itu adalah tidak. Allah yang berpribadi dan berdaulat telah menciptakan ruang dan waktu, juga segala ciptaan yang Ia tempatkan di dalamnya, untuk sebuah tujuan terbesar yang pernah ada; bagi diri-Nya dan kemuliaan-Nya sendiri. Mungkin di saat pertama kita membacanya, kalimat tersebut terkesan janggal, tetapi mari kita dengan jujur merenungkan, sesungguhnya adakah tujuan yang mungkin lebih besar daripada ‘bagi diri-Nya dan kemuliaan-Nya’?

“Thou hast made us for Thyself, O Lord,
 and our heart is restless until it finds its rest in Thee.”
– Augustine

Tidak ada tujuan lain yang baginya segala sesuatu diciptakan, selain diri Allah sendiri. Allah menghendaki seluruh ciptaan-Nya untuk memancarkan kemuliaan-Nya yang besar; Allah yang berkehendak juga adalah Allah yang setia dan berkuasa menggenapkan kehendak-Nya.

Demikianlah segala sesuatu sejak awal diciptakan, demikian pula segala sesuatu akan berjalan, dan pada kegenapan tujuan itulah segala sesuatu akan berakhir. Allah adalah Allah yang menciptakan dan menentukan sejarah, Allah yang menopang, mengarahkan, dan memimpin jalannya sejarah, Allah yang akan menggenapkan kehendak-Nya sampai pada akhirnya. Ia adalah Alfa dan Omega, Tuhan atas sejarah. Tetapi tidak berhenti di sana. Dalam seluruh catatan Alkitab, kita melihat bahwa Ia bukan hanya Tuhan atas sejarah, Ia juga adalah Tuhan yang berintervensi dan hadir di dalam sejarah. Puncak kehadiran Allah di dalam sejarah dinyatakan di dalam diri Yesus Kristus, Anak Allah, yang datang ke dalam dunia menjadi manusia.

Maka jelas bagi kita, seluruh ruang dan waktu diciptakan Allah untuk menjadi platform (wadah) di mana Ia menggenapkan kehendak-Nya, menegakkan Kerajaan-Nya, menyatakan kemuliaan-Nya. Tidak pernah ada dan tidak mungkin ada peristiwa sekecil apa pun di dalam sejarah yang terjadi di luar kendali Allah; seluruh drama kosmik yang terjadi di dalam dunia sesungguhnya sedang dipakai Allah demi penggenapan kehendak-Nya. Masihkah kita memandang sejarah dengan cara yang sama?

History: HIS Grand STORY
Jadi apa itu sejarah? Pada umumnya orang berpikir sejarah merupakan catatan mengenai apa yang manusia lakukan dari zaman ke zaman. Tidak salah tentunya, namun jikalau kita mau melihat lebih jauh, sejarah sebenarnya mencatat apa yang manusia lakukan dengan hidup dan waktu yang Allah berikan bagi mereka. Dari sisi yang lebih dalam lagi, sesungguhnya sejarah mencatat apa yang Allah kerjakan dengan manusia ciptaan-Nya sejak permulaan mereka diciptakan. Sejarah sungguh-sungguh adalah His story, dan untuk dapat mengerti hal ini, kita harus mempelajari sejarah dari perspektif Allah; bagaimana Allah memandang keseluruhan sejarah yang Ia ciptakan. Allah telah mewahyukan kepada kita di dalam firman-Nya: bagaimana seluruh sejarah dimulai, berjalan, dan akan berakhir. Alkitab telah menyatakan sudut pandang-Nya.

Dunia berdosa ini tentunya mencoba menyatakan sudut pandang yang lain. Jikalau kita memerhatikan buku-buku sejarah dunia yang beredar di pasaran, begitu banyak buku yang mengisi halaman pertamanya dengan cerita mengenai evolusi. Betapa menyedihkan! Mengapa yang mempelajari sejarah dalam-dalam dan yang menjadi orang-orang yang dianggap otoritatif untuk menuliskan sejarah justru adalah orang-orang yang melawan Allah? Sesungguhnya adakah manusia yang boleh menginterpretasikan seluruh sejarah berdasarkan pemikirannya sendiri? Tidak. Tetapi di manakah umat Allah, di manakah orang-orang kepunyaan-Nya yang katanya mengenal Dia, sang Tuhan atas sejarah? Mari kita belajar mengembalikan segala sesuatu kepada sang Empunya, termasuk seluruh isi dan makna dari sejarah.

Berbicara mengenai dimulainya sejarah, Alkitab adalah satu-satunya catatan yang dapat dipercaya, karena Alkitab berasal dari Allah sendiri, dan Ia yang menciptakan alam semesta. Alkitab menyatakan kepada kita bahwa sejarah dunia dimulai dengan peristiwa penciptaan yang Allah kerjakan. Yang teristimewa dari seluruh ciptaan tersebut adalah manusia.

Manusia begitu istimewa di mata Allah karena hanya manusia yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah sendiri. Manusia dapat berpikir dan berbahasa, karena ia diciptakan oleh Allah yang adalah Firman. Manusia mempunyai konsep mengenai yang baik dan yang jahat, karena ia diciptakan oleh Allah yang adalah Kebenaran. Manusia punya daya kreativitas, karena ia diciptakan oleh Allah yang adalah sang Kreator. Tidak ada hewan atau tumbuhan yang diberikan karakteristik seperti manusia yang adalah gambar dan rupa-Nya. Inilah manusia, yang ditempatkan Allah sebagai wakil dari diri-Nya sendiri, untuk memerintah seluruh ciptaan dan mempermuliakan nama-Nya di dalam seluruh sejarah yang Ia bentangkan. Betapa indahnya!

Tetapi seperti juga kita ketahui, manusia pertama, Adam dan Hawa, akhirnya memberontak kepada Allah. Manusia jatuh di dalam dosa dan natur dosa ada di dalam dirinya. Karena itulah akhirnya lembaran-lembaran sejarah mencatat begitu banyak kejahatan yang manusia lakukan. Peperangan, penganiayaan, kriminalitas, kelaparan, perebutan kekuasaan, semua itu, adalah tanda dan konsekuensi dari kejatuhan manusia di dalam dosa. Tetapi toh di dalam pemberontakannya terhadap Allah, manusia hanya berhasil membuktikan bahwa dirinya sukses menghancurkan dirinya sendiri. Demikianlah, sebuah buku mengatakan, history is a story of progress as well as of decline.

Sekali lagi Alkitab bukan hanya mencatat bagaimana sejarah berawal; Alkitab juga menyatakan central event di dalam sejarah dan juga bagaimana sejarah akan berakhir. Apakah yang menjadi central event di dalam sejarah? Yesus Kristus. Peristiwa kelahiran, hidup, kematian, kebangkitan, dan kenaikan-Nya adalah titik fokus sekaligus poros sejarah. Dunia, yang membenci Kristus sekalipun, tidak dapat menyangkali hal ini. Pencatatan dan penghitungan sejarah di seluruh dunia telah memakai diri Kristus sebagai titik pembagi antara dua rentang waktu yang besar di dalam sejarah; Masa-masa Sebelum Masehi (BC: Before Christ), dan Masehi (AD: Anno Domine – The Year of Our Lord). Sejarah dimulai dengan Allah yang mencipta, sejarah menemui klimaksnya dalam diri Allah yang menebus, dan Alkitab pun mencatat, sejarah akan menemui akhirnya dalam diri Allah yang datang menghakimi dunia berdosa.

Puji Tuhan! Karena di dalam firman-Nya Allah telah membukakan awal, klimaks, dan akhir dari sejarah, maka kita dapat mengerti sejarah dengan benar! Kita dapat mengerti sejarah, bukan sekadar sebagai data yang berisi jawaban atas pertanyaan apa, kapan, dan di mana. Kita, umat Allah, dapat mempelajari dan mengerti lebih dari itu; kita dapat mengerti mengapa.

History: Our Identity
“We learn from history that we do not learn from history.”
– Georg Friedrich Hegel

Sejarah adalah platform di mana Allah menyatakan diri-Nya dan kehendak-Nya. Sejarah adalah wadah di mana Allah menegakkan Kerajaan-Nya. Berbagiankah kita di dalam Kerajaan Allah? Jikalau ya, maka kita tidak dapat meneruskan ‘sejarah’ itu: Tidak belajar dari sejarah. Jikalau kita berkata kita adalah umat Allah dan kita rindu untuk hidup seturut kehendak Allah, maka kita harus mengerti bagaimana Allah menyatakan kehendak-Nya di dalam firman dan di dalam sejarah di mana Ia berkarya. Ada frase yang mengatakan ‘they who lose history lose themselves’, apakah kita termasuk di dalamnya?

Gereja, Sang Mempelai, Pusat Perhatian Allah
Baiklah, saya harus belajar sejarah mulai sekarang. Setuju, Tuhan kita adalah Tuhan atas sejarah dan Tuhan dalam sejarah. Saya ingin mengerti kehendak-Nya. Tetapi sejarah sudah begitu panjang, banyak sekali yang pernah terjadi sejak Adam sampai sekarang, lalu di bagian mana saya harus mencari dan menemukan identitas saya?

Gembala yang ditempatkan Tuhan di tengah-tengah kita pernah beberapa kali mengatakan kalimat yang harus kita ingat dan pikirkan:

“Pusat perhatian Allah di dalam seluruh alam semesta adalah bumi.
Pusat perhatian Allah di dalam bumi adalah manusia.
Pusat perhatian Allah di antara seluruh manusia adalah Gereja, umat pilihan-Nya…”
– Pdt. Dr. Stephen Tong

Pertama mendengar kalimat ini, mungkin kita mengernyitkan dahi. Apa maksudnya? Pusat perhatian Allah adalah umat-Nya? Tidakkah pernyataan itu terlalu sombong dan belum teruji? Tetapi jikalau kita mempelajari sejarah, maka sesungguhnya kita tidak dapat menyangkali fakta yang indah sekaligus menggentarkan ini.

Mari kita berjalan-jalan, sebentar saja, ke masa lalu…
Adalah tempat yang disebut Fertile Crescent (Sabit Subur), Mesopotamia kuno. Disebut demikian karena bentuknya dan kesuburannya, tempat itu diapit oleh dua sungai yang menjadi jantung kehidupan manusia saat itu, Efrat dan Tigris. Di sinilah awalnya manusia-manusia pertama membentuk kebudayaan. Salah satu bangsa di wilayah itu yang paling maju dan dihormati adalah bangsa Sumeria, dengan tiga kota terbesar yang termasuk di dalamnya: Eridu, Uruk, dan Ur. Abraham, bapa orang beriman itu, berasal dari Ur. Ya, ternyata Abraham bukan sejenis manusia goa seperti tokoh kartun Flinstone. Kita hari ini pun berhutang banyak hal kepada bangsanya Abraham, misalnya sistem irigasi dan kanal, roda, kebudayaan menulis, sistem bangunan, tangga, jam, matematika, administrasi, utang piutang, dan lain sebagainya.

Sumeria saat itu adalah bangsa yang paling kaya, bangsa yang agung, membangun kebudayaannya begitu tinggi, sampai temuan-temuannya masih kita gunakan hari ini setelah beribu-ribu tahun terlewati. Sumeria kala itu begitu berjaya, dan dari konteks kejayaan inilah Tuhan memanggil Abram keluar, ke negeri – yang Abram tak tahu di mana – yang dijanjikan kepadanya. Sebuah proyek ketaatan yang tidak main-main! Dan Alkitab mencatat, ia taat; Abram keluar dari Ur, pergi dari bangsanya, meninggalkan segala kekayaan dan kemapanan hidup keluarganya. Penghitungan sejarah memperkirakan hal ini terjadi sekitar tahun 2000 SM. Perhatikan di sini, catatan sejarah juga mencatat, sekitar tahun 2000 SM, bangsa Sumeria, dengan seluruh kejayaannya, jatuh. Di manakah sekarang bangsa yang besar itu? Tidak seorang pun dapat menemukannya. Berbagai sumber mencoba menjelaskan bagaimana bangsa yang pernah menjadi superpower ini jatuh, tetapi tidak ada yang pernah benar-benar mengerti.

Selanjutnya mari kita pergi sebentar ke Mesir. Peradaban Mesir Kuno adalah peradaban yang besar. Firaun-firaun yang berkuasa memerintah, piramida-piramida yang agung dibangun. Sampai hari ini piramida Mesir Kuno itu masih termasuk keajaiban dunia yang teknologinya tidak dapat dipecahkan. Betapa agungnya Mesir di kala itu! Peradaban Mesir Kuno yang kita kenal dibagi di dalam tiga periode: Old Kingdom, Middle Kingdom, dan New Kingdom. Yusuf, yang dicatat di dalam Alkitab, diperkirakan menjadi tangan kanan Firaun sekitar tahun 1850 SM. Saat itu Mesir Kuno berada di dalam periode Middle Kingdom (2000-1580 SM).

Yusuf, kita tahu, pada saat itu akhirnya membawa seluruh saudara-saudaranya untuk tinggal di tanah Gosyen, di Mesir. Bangsa Israel hidup dan menetap di sana. Kemudian kitab Keluaran mencatat demikian, “Kemudian bangkitlah seorang raja baru memerintah tanah Mesir, yang tidak mengenal Yusuf” (Kel. 1:8). Hal ini terjadi pada tahun 1580 SM, yang menjadi tahun berdirinya periode New Kingdom. Hal ini terjadi karena kursi Kerajaan Mesir dimenangkan oleh bangsa asing, yaitu bangsa Hyksos. Karena tidak mengenal Yusuf dan merasa terancam posisinya, Firaun asing ini akhirnya memperbudak bangsa Israel supaya mereka tidak bertambah kuat dan akhirnya memberontak.

Singkat cerita, di dalam konteks inilah Allah menghadirkan Musa. Allah membentuk Musa sedemikian rupa selama 40 tahun di dalam didikan bangsa Mesir, 40 tahun selanjutnya Musa berada dalam persembunyian setelah ia membunuh seorang Mesir karena menganiaya orang Israel. Dan tibalah waktu itu, ketika Allah, melalui kepemimpinan Musa, membawa bangsa Israel keluar dari Mesir, melepaskan Israel dari perbudakan Mesir. Peristiwa exodus diperkirakan terjadi pada tahun 1400 SM, dan sejarah mencatat di dalam masa New Kingdom, kebudayaan Mesir tidak lagi menghasilkan sesuatu yang istimewa atau berpengaruh, yang dicatat kemudian hanya kejatuhannya pada tahun 1100 SM, dan sejak itu, menghilanglah seluruh pengaruh Mesir terhadap bangsa-bangsa yang lain, karena Mesir akhirnya hanya menjadi bangsa yang ditaklukkan oleh Alexander the Great dan akhirnya oleh bangsa Romawi.

Masa pemerintahan Kekaisaran Romawi adalah masa di mana Yesus Kristus datang ke dalam dunia. Kekaisaran Romawi saat itu begitu berkuasa, mungkin hampir separuh bagian dunia berada di bawah pemerintahan sang Kaisar. Augustus Caesar adalah kaisar yang sedang memerintah ketika Yesus Kristus lahir di Bethlehem. Setelah kematian, kebangkitan, dan kenaikan Yesus ke sorga, kita mengetahui, penganiayaan datang atas orang-orang Kristen oleh kaisar-kaisar Romawi yang menjadi penerus Augustus. Tak kurang 10 periode penganiayaan terjadi pada Gereja Mula-mula dalam rentang waktu sekitar 300 tahun. Manusia-manusia dibakar hidup-hidup dan dijadikan lampu penerang jalan pada malam hari. Keluarga-keluarga dijadikan santapan binatang buas, anak-anak kecil dirobek dan dicabik oleh singa di depan mata orang tuanya. Semua karena mereka mengaku percaya kepada Yesus Kristus. Pada masa itu, pengakuan iman berarti kesiapan untuk mati, tidak seperti masa ini di mana pengakuan iman dapat menjadi begitu murah.

Tetapi Gereja Tuhan bergumul bukan hanya dengan penganiayaan fisik, melainkan juga begitu banyak penganiayaan berupa bidat-bidat yang muncul dari dalam dan dari luar tubuh Gereja. Pada masa yang sulit ini Bapa-bapa Gereja bergumul dengan segala pertanyaan mengenai Allah Tritunggal dan mengenai ketuhanan Kristus. Ratusan tahun dijalani Gereja dalam keadaan demikian. Penganiayaan fisik berhenti ketika seorang Kaisar Romawi bernama Konstantin menjadi orang Kristen dan menjadikan kekristenan sebagai agama resmi Kekaisaran Romawi.

Namun tidak demikian dengan bidat-bidat yang ada. Sampai Allah menghadirkan Agustinus, yang meneruskan pergumulan theologi dari para pendahulunya, dan akhirnya membentuk kerangka pemahaman theologi yang Alkitabiah mengenai Allah Tritunggal dan dwinatur Kristus. Agustinus akhirnya meninggal pada tahun 430, dan tanpa memerlukan waktu yang lama, yakni tahun 476, Kekaisaran Romawi hancur oleh bangsa barbar dan akhirnya kehilangan kekuasaannya. Sama seperti Sumeria dan Mesir, Romawi pun kemudian menjadi kekuasaan superpower yang tidak pernah kembali lagi sampai hari ini.

Apakah yang kita pikirkan ketika membaca sejarah singkat mengenai Sumeria, Mesir, dan Romawi di atas? Ketiganya pernah mempunyai kekuasaan yang begitu besar, siapa yang tidak mengenal mereka? Ketiganya mempunyai sumbangsih yang besar bagi peradaban dunia, siapa yang tidak mengagumi mereka? Tetapi jikalau kita melihat lebih dekat, kita akan melihat bahwa bangsa yang besar itu dibangkitkan Allah hanya sebagai konteks, sebagai ruang di mana Allah sesungguhnya sedang mendidik umat-Nya.

Sumeria yang berkebudayaan tinggi adalah tempat Allah mempersiapkan Abraham – leluhur bangsa Israel dan Bapa semua orang beriman. Mesir yang penuh keajaiban adalah tempat Tuhan mendidik bangsa Israel, umat pilihan-Nya. Kekaisaran Romawi yang berkuasa adalah ruang kelas bagi Gereja Mula-mula untuk belajar dan menghidupi iman mereka serta bertumbuh seperti jamur di musim hujan. Setelah itu? Apa yang terjadi setelah Allah selesai memakai bangsa-bangsa itu untuk membentuk dan mendidik umat-Nya? Bangsa-bangsa itu tidak perlu lagi ada. Allah mempermalukan semua kemuliaan yang dimiliki oleh bangsa-bangsa yang tidak mengenal Dia. Semuanya jatuh, hilang, dan kekuasaannya tidak berbekas sampai hari ini.

Masihkah kita meragukan Allah? Masihkah kita tidak percaya dan tidak mau mengerti bahwa Ia adalah Tuhan yang akan menggenapkan kehendak-Nya di dalam sejarah? Allah menciptakan, menebus, dan memimpin umat-Nya, Gereja-Nya, di dalam sejarah. Hai umat Tuhan, hai Gereja Tuhan, mari kita sadar. Kiranya kita tidak terus menjadi orang yang menutup mata terhadap apa yang sedang Allah kerjakan sepanjang zaman.

Tentunya pergumulan Gereja tidak berhenti di sana, karena sejarah masih terus berlanjut. Selanjutnya ada pergumulan Gereja di dalam Dark Ages, di dalam Reformasi, di dalam Kaum Puritan, ada theolog-theolog yang berjuang mempertahankan iman dan kebenaran berdasarkan firman Tuhan. Dan Allah sesungguhnya sudah menyatakan diri-Nya sebagai Allah yang setia, baik di dalam firman-Nya maupun di dalam sejarah. Allah senantiasa memelihara kebenaran-Nya, Allah senantiasa memelihara orang-orang yang setia, untuk terus melanjutkan tongkat estafet penggenapan kehendak Allah di dalam Kerajaan-Nya.

Pertanyaannya bagi kita ialah, jikalau hari ini kita hidup, itu berarti Allah menempatkan kita di tengah-tengah zaman ini. Kalau di dalam setiap zaman Allah mendidik umat-Nya untuk mengerti dan menggenapkan kehendak-Nya di dalam zaman itu, berarti Allah juga sedang mau mendidik kita, Gereja-Nya di dalam zaman ini, untuk mengerti dan menggenapkan kehendak-Nya, bukan? Lalu apa yang menjadi kehendak Allah di dalam zaman ini? Apa yang menjadi panggilan kita di dalam meneruskan tongkat estafet pekerjaan Tuhan sepanjang sejarah?

The Call: Di Manakah Kita?
Melihat kembali kalimat Pdt. Dr. Stephen Tong yang sempat dikutip di bagian sebelumnya, sesungguhnya kalimat itu belum selesai. Kalimat beliau tidak berhenti di sana.

“Pusat perhatian Allah di dalam seluruh alam semesta adalah bumi.
Pusat perhatian Allah di dalam bumi adalah manusia.
Pusat perhatian Allah di antara seluruh manusia adalah Gereja, umat pilihan-Nya…
Pusat perhatian Allah bagi Gereja di dalam zaman ini
adalah Gerakan Reformed Injili.”
– Pdt. Dr. Stephen Tong

Pusat perhatian Allah? Gerakan Reformed Injili? Sempit sekali! Ya, memang sempit jikalau kita mengartikan Gerakan Reformed Injili hanya sebagai sekelompok orang yang kita lihat setiap minggunya di dalam gereja ini, mungkin hanya puluhan, seratus, seribu, atau dua ribu orang. Tetapi tentunya Gerakan Reformed Injili bukan sekadar apa yang kelihatan oleh mata kita. Puluhan tahun sudah gerakan ini didirikan, dan pimpinan dan anugerah Tuhan memang begitu jelas sejak awal. Gembala kita sering menyerukan, “Regain the mainstream!”. Mainstream apa? Yaitu bahwa seharusnya kebenaran yang berdasarkan firmanlah yang menjadi arus yang memimpin seluruh Gereja Tuhan. Seharusnya berita Injil Yesus Kristus yang sejatilah yang membuat jutaan orang kembali kepada Tuhan! Kebenaran itulah, Injil yang murni itulah, yang Tuhan pelihara dan yang diperjuangkan oleh umat Allah yang sejati di dalam sepanjang sejarah sebelum kita.

Inilah tantangan zaman ini, zaman di mana firman sudah begitu banyak diselewengkan bahkan oleh orang-orang yang berjubah pendeta. Zaman di mana interpretasi firman Tuhan sudah porak-poranda oleh keberdosaan manusia yang tidak bertanggung jawab. Zaman di mana ketika kita berbicara tentang Tuhan Yesus, kita akan ditertawakan dan dianggap aneh. Zaman di mana orang mencari Tuhan hanya untuk keuntungan dirinya sendiri. Zaman di mana orang-orang yang menyebut dirinya Kristen sudah menaruh iman dan firman di dalam sebuah kotak kardus yang disingkirkan dan hanya dibuka kembali pada hari Minggu untuk selanjutnya disingkirkan kembali!

Inilah zaman postmodern, setiap orang bisa hidup sekenanya, memanfaatkan segala sesuatu – termasuk Tuhan – untuk kesenangannya sendiri, tak terkecuali engkau dan saya. Sadarkah kita? Lalu apa yang harus kita perbuat sebagai Gereja Tuhan? Sekali lagi, regain the mainstream! Tak ada cara lain selain membuat sebuah arus yang baru yang melanjutkan arus utama yang sebelumnya, arus yang peka akan pimpinan dan panggilan Tuhan di dalam sejarah dan di dalam zaman ini. Arus ini harus melawan seluruh semangat zaman yang terus mendorong manusia semakin jauh dari kehendak Tuhan. Jikalau pada masa Kekaisaran Romawi penganiayaan itu begitu kasar dan terlihat, zaman ini, penganiayaan yang sama namun dalam bentuk yang lain, telah menjadi sahabat kita tanpa kita sadari. Penganiayaan yang jauh lebih halus, namun terus membuat Gereja Tuhan tertidur dan akhirnya melupakan Dia, Allah yang memanggil Gereja-Nya untuk menggenapkan kehendak-Nya di dalam sejarah. Tidak, bukan Allah yang rugi jikalau kita tidur. Firman Tuhan mengatakan Ia akan memanggil bahkan batu-batu di jalanan jikalau kita tidak bekerja bagi Dia. Tetapi ingatlah, keberadaan kita sama sekali percuma jikalau bukan untuk tujuan yang terbesar itu, yaitu bagi Dia dan kemuliaan-Nya. Apakah kita berbagian di dalam sejarah penggenapan kehendak Allah? Apakah kita berbagian di dalam Gereja yang sejati sepanjang sejarah, yang dipakai Allah untuk berjuang membangun Kerajaan-Nya?

Maka apakah yang menjadi fokus dan concern terbesar di dalam hidup kita? Bagi siapakah kita sebenarnya hidup? Siapakah yang menjadi pendefinisi setiap langkah hidup kita? Kiranya kita, yang sudah dimenangkan oleh darah Kristus, menjadi orang-orang yang dengan rendah hati meletakkan seluruh hidup kita di dalam tangan-Nya yang empunya hidup; dengan penuh ketaatan mengarahkan pandangan kita kepada diri-Nya dan Kerajaan-Nya; demi tujuan yang sejak semula diberikan bagi keberadaan kita: Bagi Allah dan kemuliaan-Nya!

Kiranya bersama-sama dengan segenap umat Allah di sepanjang sejarah, kita dapat menyanyikan lagu yang sederhana namun begitu indah:
I love Thy Kingdom, Lord! The house of Thine abode,
The Church our blest Redeemer saved with His own precious blood.

I love Thy church, O God; Her walls before Thee stand,
Dear as the apple of Thine eye, and graven on Thy hand.

For her my tears shall fall; For her my prayers ascend;
To her my cares and toils be giv’n,till toils and cares shall end.

Sure as Thy truth shall last, to Zion shall be giv’n
The brightest glories earth can yield, and brighter bliss of Heav’n!

“Akhirnya, hendaklah kamu kuat di dalam Tuhan, di dalam kekuatan kuasa-Nya. Kenakanlah seluruh perlengkapan senjata Allah, supaya kamu dapat bertahan melawan tipu muslihat Iblis…
Berdoalah setiap waktu di dalam Roh dan berjaga-jagalah di dalam doamu itu dengan permohonan yang tak putus-putusnya untuk segala orang Kudus.”
Efesus 6:10-11, 18

Lydiawati Shu
Pemudi FIRES