Hari Natal merupakan hari yang paling spesial selama satu tahun. Semua orang berlomba-lomba menghias gedungnya dengan meriah menandakan turut merayakan hari Natal. Namun uniknya, perayaan seperti ini tidak pernah dirayakan bahkan sampai 300 tahun setelah Tuhan Yesus lahir. Perayaan Natal pertama kali dicetuskan oleh Konstantin Agung sekitar tahun 336 ketika dia mulai mematenkan agama Kristen sebagai agama nasional dari kekaisaran Romawi. Memang sebenarnya banyak kandidat tanggal lain, tetapi mereka memutuskan untuk menjadikan tanggal 25 Desember sebagai hari peringatan Tuhan Yesus lahir. Alasannya masih simpang siur. Argumentasi penyebab yang paling kuat adalah merespons agama Mithraism yang terbesar saat itu. Pada tanggal yang sama mereka merayakan ulang tahun God of the Sun mereka. Dengan demikian, mereka membuat acara yang bertolak belakang untuk menandakan kepercayaan mereka yang sudah berbeda.
Mulai saat itu, perayaan hari Natal menjadi budaya yang terus dilakukan abad demi abad hingga sekarang. Berbagai macam bentuk kreativitas manusia seluruh dunia dipakai untuk memeriahkan perayaan kelahiran Tuhan dengan budaya setempat. Kita pun sekarang menghidupi budaya yang membuat fenomena Natal memiliki signature-nya tersendiri. Dengan kata lain, kita sudah feeling so Christmas ketika memasuki awal bulan Desember oleh karena tradisi budaya yang kita hidupi.
“Percaya atau tidak, tipe budaya perayaan Natal yang kita jalankan sekarang ini sudah memiliki bibit komersial dan menjadi sasaran empuk bagi industri kapitalis yang gila dengan konsumerisme dalam pasar ekonomi”, menurut Whiteley.[1] Fenomena seperti kartu ucapan Natal, charity, hadiah, bermacam-macam kartun fairies, berbagai bentuk makanan, dan mistletoe adalah adopsi kebudayaan pada masa pemerintah Ratu Victoria di Inggris. Zaman pemerintahan Victoria (1837-1901) merupakan masa kuat dari kerajaan Inggris, sehingga mendapat julukan negara superpower dan berhasil menaklukkan hampir seperlima daerah dari seluruh dunia. Oleh karena budayanya yang begitu kuat membuat negara-negara lain juga ikut-ikutan mengadopsinya. Budaya ini pun semakin menggulung sampai sekarang sehingga toko-toko berlomba-lomba untuk menjual instrumen-instrumen Natal dan masyarakat pun rela untuk mengeluarkan uang membeli barang-barang tersebut.
Fenomena budaya tersebut pada mulanya merupakan kebiasaan bangsa Inggris pada abad yang lalu. Akan tetapi, aktivitas ini mulai di-blow up oleh seorang penulis novel yang terkenal, Washington Irvings, karena melihat keringnya perayaan Natal pada saat itu. Dalam tulisannya dia menggarisbawahi berbagai aktivitas seperti makan bersama sambil menyanyikan lagu, memasang mistletoe di mana para pasangan saling berciuman di bawahnya, dan bermain di atas salju. Perjuangan tradisi ini pun juga turun kepada penulis Charles Dickens dalam bukunya berjudul A Christmas Carol. Bukunya ini menceritakan apa saja yang dilakukan pada malam yang kita kenal dengan ornamen-ornamen seperti rusa di tengah salju, pohon Natal, mistletoe, hadiah, maupun sinterklas, bahkan sampai budaya makan bersama dengan keluarga yang terkasih.
Tidak hanya ornamen secara fisik, tetapi juga menyerap sampai dunia hiburan seperti musik. Berbagai macam lagu diciptakan untuk menyatakan kebahagiaan Natal. Baik yang memiliki kata-kata atau hanya instrumentasi saja, yang bersifat sakral atau sekuler, yang mengikuti narasi Alkitab atau sebuah ekspresi kegiatan masyarakat.
Mari kita ambil beberapa contoh seperti yang sudah ditampilkan dalam konser bulan lalu di Aula Simfonia Jakarta. Penggubah musik terkenal dari Inggris pada abad ke-17, G. F. Handel, yang mengambil ayat Alkitab sebagai sumber karyanya, yaitu “Messiah”. Dalam lagunya, dia dengan kreatif membuat variasi antara instrumen yang dimainkan secara full maupun tidak (basso continuo). Ada yang dimainkan bersama dengan solo vokal, atau orkestra itu sendiri saja dalam sebuah simfonia. Ada juga gabungan dari berbagai suara yang disebut sebagai paduan suara. Handel dengan begitu indah dan teknik yang tinggi mengapresiasi ayat-ayat Alkitab dalam sebuah oratorio. Dia menyatakan narasi Alkitab secara gamblang mengenai kelahiran Tuhan Yesus sampai kenaikan-Nya.
Contoh lain, ada juga lagu yang memberikan narasi Alkitab meskipun tidak memakai ayat secara eksplisit. Ada yang menggambarkan bagaimana ketika Tuhan Yesus lahir sebagai bayi sama seperti manusia, seperti Away in A Manger, The First Noel, dan What Child is This. Bahkan ada juga yang membayangkan suasana tengah malam pada saat di mana Tuhan Yesus lahir seperti Silent Night, O Holy Night, dan O Little Town of Bethlehem. Sungguh menarik ketika orang-orang menyoroti mengenai keadaan malam ini. Hal ini menyatakan bahwa keajaiban tersebut bukan terjadi di siang bolong di mana dunia sedang sibuk beraktitivitas, tetapi ketika dunia sedang gelap dan orang-orang sedang tertidur. Juga ada lagu yang bersifat respons dari orang percaya yang menyambut kedatangan Juruselamat ini seperti Joy to the World, Hark the Herald, O Come All Ye Faithful, dan Good Christian Men Rejoice.
Namun yang menarik, tidak hanya kata-kata yang mendukung tetapi elemen-elemen konteks budaya di satu tempat juga dibawa untuk mendukung narasi Alkitab tersebut, seperti Ding Dong Merrily on High yang membawa elemen lonceng. Nutcracker Suite karya Tchaikovsky tidak merujuk kepada narasi Alkitab, tetapi elemen-elemen seperti lonceng yang dimainkan dalam Glockenspiel membuat adanya sensasi Natal. Begitu juga dalam konteks budaya Barat seperti salju, rusa, dan kacang ada di dalam lagu seperti Sleigh Ride dan Christmas Song. Hal ini sangatlah baik ketika melihat bagaimana orang berespons dengan kebudayaan setempat untuk merayakan Natal.
Akan tetapi masyarakat zaman ini mulai bergeser. Elemen-elemen ini yang sebenarnya hanya dipakai sebagai signature Natal, pelan-pelan telah menggantikan cerita yang asli dengan cerita yang palsu. Tuhan Yesus yang seharusnya menjadi Aktor utama dari perayaan Natal, diganti dengan St. Claus. Esensi Natal yang seharusnya membicarakan mengenai Imanuel, yang artinya “Allah beserta dengan kita”, sekarang diganti dengan “diskon bersama dengan kami”.
Inti perjuangan para penulis seperti Irvings maupun Dickens sebenarnya hanya satu yaitu bagaimana perayaan Natal membutuhkan sebuah cerita.[2] Mereka mencoba untuk mengapresiasi Natal dengan konteks budaya mereka. Kita pun juga harus bergumul bagaimana menyatakan sukacita Kristus tersebut dengan budaya kita.
Melihat hiruk pikuknya perayaan Natal saat ini, kita juga harus selektif dalam memilih bentuk perayaan kita. Bentuk perayaan mana yang sesuai dengan narasi sebenarnya atau tidak. Pertanyaan untuk kita semua adalah cerita Natal macam apa yang sebenarnya sedang kita hidupi dan nyatakan?
Sarah Charista
Pemudi FIRES
Endnotes:
[1] It was commercial from the very start. Part of what was being celebrated was the achievements of industrial capitalism – conspicuous consumption in a market economy. Pg. 20.
[2] http://www.nytimes.com/2005/12/25/opinion/nyregionopinions/how-christmas-became-merry.html.