Dalam beberapa tahun terakhir ini kita dibanjiri dengan berbagai isu kontroversial. Salah satu isu global yang masih diperdebatkan dengan panas hingga saat ini adalah mengenai isu LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender). Walaupun beberapa negara di Eropa, seperti Belanda, sudah lama melegalkan pernikahan sejenis, tetapi isu ini bergejolak besar ketika Amerika melegalkannya sekitar bulan Juli 2015. Semenjak saat itu beberapa negara mengikuti langkah Amerika dengan melegalkan pernikahan sejenis. Negara terakhir yang melakukannya adalah Taiwan. Bagi sebagian orang hal ini adalah sebuah kemajuan di dalam penghargaan terhadap hak asasi manusia (HAM). Tetapi bagi kelompok yang lain, hal ini dinilai sebagai sebuah kemunduran karena pada dasarnya LGBT adalah sebuah kerusakan moral dan dosa. Isu lain adalah berkaitan dengan hak atau kebebasan untuk berpendapat. Salah satu isu yang sangat marak dalam beberapa bulan ini adalah kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok (Ir. Basuki Tjahaja Purnama). Kelompok-kelompok yang menuntut Ahok, ingin agar dia diadili karena dianggap sudah menghina dan merendahkan kitab suci agama mereka. Hal ini dianggap sebagai pelecehan terhadap HAM karena menghina suatu ajaran agama. Tetapi saat Ahok divonis hukum dua tahun penjara, berbagai kalangan di dunia justru menganggap peradilan ini cacat karena hukum ini dianggap tidak menghargai kebebasan berpendapat. Selain kedua isu ini masih banyak isu lain seperti feminisme, kebebasan berpendapat di sosial media, dan sebagainya. Semua kontroversi dalam isu-isu ini mengusung satu tema yang sama, yaitu HAM.
Isu mengenai HAM bukanlah isu yang baru muncul pada zaman ini. Isu ini sudah ada di sepanjang sejarah manusia. Tetapi bagi kekristenan, pengertian mengenai HAM bibitnya sudah ada di dalam Alkitab dan diperkembangkan saat zaman Reformasi. Salah satu kontribusi dari para Reformator bagi kekristenan adalah pemikiran mereka mengenai manusia dicipta menurut gambar dan rupa Allah. Penghargaan terhadap manusia adalah salah satu pengajaran yang Alkitab nyatakan. Di dalam Kejadian 9:6 dinyatakan, “Siapa yang menumpahkan darah manusia, darahnya akan tertumpah oleh manusia, sebab Allah membuat manusia itu menurut gambar-Nya sendiri.” Dari bagian ini jelas bahwa Allah sangat menghargai manusia karena manusia diciptakan menurut gambar-Nya. Hal ini tidak berarti setiap gerakan atau pembelaan atas nama HAM adalah hal yang pasti didukung oleh kekristenan. Karena banyak sekali gerakan yang mengatasnamakan perjuangan bagi HAM tetapi bermotivasikan kebusukan dosa di dalamnya. Mereka menyatakan bahwa perjuangan mereka adalah sebuah toleransi tetapi sebenarnya itu hanyalah sebuah rasionalisasi dosa. Oleh karena itu, pada artikel ini kita akan menelusuri apa yang menjadi sudut pandang Alkitab mengenai keterkaitan HAM, martabat seorang manusia, dan dosa.
Image of God as Foundation of Christian View of Human Rights
Di antara seluruh ciptaan di atas bumi, hanya manusia yang diciptakan seturut gambar Allah. Ini adalah sebuah privilege yang Allah anugerahkan kepada manusia. Sebagai gambar Allah, manusia diberikan sebuah mandat untuk memerintah segala sesuatu yang Tuhan percayakan di bawahnya, yaitu alam. Tetapi di sisi lain kekuasaan manusia ini tidaklah mutlak melainkan bergantung dan bertanggung jawab kepada Allah. Maka secara posisi, alam berada di bawah manusia dan manusia berada di bawah Allah. Kekuasaan absolut berada di tangan Allah. Dari ordo ini kita bisa melihat bahwa manusia memiliki nilai yang berbeda dengan segala sesuatu di dalam level ciptaan. Manusia tidak bisa dibandingkan dengan emas, berlian, atau permata lainnya, seberapa banyak pun jumlahnya. Inilah nilai, martabat, dan keistimewaan seorang manusia.
Di dalam Theologi Reformed, kita mengenal tiga fungsi yang harus dijalankan oleh seorang manusia yaitu sebagai nabi, imam, dan raja. Di dalam fungsinya sebagai raja, manusia bertanggung jawab untuk mengatur alam ini dengan keadilan. Sebagai nabi, manusia berfungsi sebagai wadah yang menerima dan menyatakan kebenaran Allah. Dan sebagai imam, manusia harus membawa segala sesuatu yang sudah ia kerjakan dan terima, untuk dikembalikan bagi kemuliaan Allah. Berdasarkan tiga fungsi ini, kita seharusnya menyadari betapa krusialnya manusia sebagai bagian dalam menjalankan pekerjaan Allah di dunia ini.
Sebagai gambar Allah, manusia memiliki tanggung jawab yang penting sekaligus martabat yang agung. Dasar inilah yang seharusnya menjadi fondasi dalam kita mengerti HAM, yaitu karena manusia adalah gambar Allah maka kita harus menghargai martabat seorang manusia. Tetapi pengertian HAM ini harus dilengkapi dengan sisi tanggung jawab. Di dalam bukunya “Iman, Penderitaan, dan Hak Asasi Manusia”, Pdt. Stephen Tong mengatakan demikian:
“Karena itu, semua yang dimandatkan oleh Tuhan, semua yang dikaruniakan kepada kita, menjadikan kita sebagai orang yang harus bertanggung jawab. Jika seseorang banyak berbicara tentang hak asasi manusia, tetapi tidak mengerti statusnya sebagai yang dicipta dan diberi mandat yang harus ia pertanggungjawabkan di hadapan Tuhan, maka ia justru akan mendatangkan celaka pada dirinya sendiri.”
Bahkan lebih lanjut Pdt. Stephen Tong menyatakan bahwa perebutan akan hak tanpa mengerti seluruh struktur pembentukan Allah, hanya akan menjadi pertarungan manusia yang lebih kejam daripada binatang. Maka penekanan terhadap aspek tanggung jawab manusia adalah bagian yang tidak mungkin dipisahkan saat membicarakan HAM. Inilah cara pandang kekristenan mengenai HAM.
Sin and Human Rights
Fakta kejatuhan manusia ke dalam dosa tidak boleh kita abaikan ketika membicarakan HAM. Alkitab menyatakan bahwa manusia yang sudah jatuh ke dalam dosa, adalah manusia yang self-centered. Manusia selalu berusaha untuk menghisap dan memanipulasi segala sesuatu yang ada di sekitarnya demi kepentingan diri. Segala anugerah yang Tuhan berikan, manusia putar balik demi kepuasan diri bukan untuk kemuliaan Allah. Ini adalah natur dari dosa yang menjadikan manusia egois. Sehingga HAM yang sesungguhnya adalah apresiasi terhadap martabat manusia, malah dipakai sebagai alat untuk merasionalisasi segala tindakan berdosa manusia. Hal ini jelas sekali terlihat pada zaman kita, saat kelompok LGBT maupun feminis yang berteriak dengan kencang mengenai penegakan HAM bagi mereka, sementara motivasinya adalah sebuah usaha untuk melegalkan perbuatan dosa atau sebuah rasionalisasi dosa, sehingga dosa yang mereka lakukan dapat dianggap sebagai sebuah kewajaran dan perbuatan yang normal. Padahal perjuangan yang mereka lakukan adalah sebuah usaha perusakan terhadap martabat dan diri mereka sebagai manusia. Inilah natur dari dosa.
Sinful Nature
Alkitab menggunakan berbagai istilah untuk mendefinisikan dosa, seperti ketidakadilan, tidak tepat sasaran, ketidaktaatan, ketidaksetiaan, serakah, hawa nafsu, dan masih banyak istilah lainnya. Setidaknya ada dua atribut umum pada natur dosa yaitu: ketiadaan hukum (lawless) dan ketiadaan kasih (unloving)[1]:
Lawless
Natur seorang berdosa cenderung untuk melanggar hukum yang ada. Kejatuhan Adam dan Hawa sangat jelas memperlihatkan pemberontakan terhadap hukum Allah. Sehingga setiap dosa yang ada selalu mencerminkan pelanggaran terhadap hukum. Ayat 1 Yohanes 3:4 berbunyi demikian, “Setiap orang yang berbuat dosa, melanggar juga hukum Allah, sebab dosa ialah pelanggaran hukum Allah.” Keterkaitan antara natur dosa dan pelanggaran hukum bisa kita lihat berdasarkan perjanjian (kovenan) antara Allah dan manusia. Perjanjian ini adalah suatu pernyataan kebaikan Allah bagi manusia. Hukum menjadi sarana bagi Allah untuk menguji kesetiaan manusia kepada kebaikan Allah melalui perjanjian tersebut. Setiap tindakan manusia akhirnya hanya berimplikasi di antara dua hal saja: manusia bisa tetap setia pada perjanjian dengan Allah (covenant keeper) atau melanggar perjanjian tersebut (covenant breaker). Ketika manusia melanggar perjanjian tersebut, maka itulah yang disebut sebagai tindakan berdosa.
Konsep perjanjian Allah juga membantu kita untuk mengerti bahwa keberadaan hukum bukan hanya sekadar mengatur hal-hal yang boleh atau tidak boleh dilakukan. Hukum dipakai Allah sebagai alat untuk menyatakan standar hidup manusia yang seharusnya sebagai gambar Allah. Selain itu, karakter Allah juga dinyatakan di dalam bentuk hukum. Maka dari itu, hukum justru menjadi pedoman bagi manusia untuk mengerti karakter sempurna dari Allah dan menghidupinya di dunia. Sehingga ketika manusia gagal menjalankan apa yang menjadi standar Allah, maka dosa manusia dapat dideskripsikan sebagai pelanggaran terhadap hukum Allah.
Unloving
Selain ketiadaan hukum, sifat dosa yang berikutnya adalah ketiadaan kasih. Peristiwa kejatuhan Adam dan Hawa menunjukkan suatu sikap yang sulit untuk mengasihi Allah. Ketika Allah mau menghampiri Adam dan Hawa yang telah memakan buah terlarang, justru mereka bersembunyi dan merasa ketakutan. Hal ini seperti yang Tuhan Yesus katakan kepada murid-murid-Nya bahwa siapa yang mengasihi Allah, akan menuruti segala kehendak-Nya (Yoh. 14:15). Sehingga ketika manusia melawan kehendak Allah, maka saat itu juga manusia tidak lagi menyatakan kasih kepada Allah. Perkataan Tuhan Yesus di Yohanes 14:15 mengindikasikan bahwa mengasihi Allah tidak bisa dilepaskan dari menaati perintah-Nya. Hal ini berbeda dengan perintah mengasihi sesama manusia yang diekspresikan dengan taat pada perintah manusia lainnya. Hanya kepada Allah saja perintah mengasihi ditandai dengan ketaatan kepada Allah. Seperti yang tertulis pada 1 Yohanes 5:3, “Sebab inilah kasih kepada Allah, yaitu, bahwa kita menuruti perintah-perintah-Nya.” Ketika kita mengasihi Allah yang Mahakudus dan mengenal kebenaran-Nya, tentu kita harusnya berusaha maksimal tidak melanggar sifat keilahian-Nya. Sehingga ketika kita melakukan hal-hal yang melanggar kekudusan-Nya, maka kita tidak sungguh-sungguh mengasihi Allah. Itulah sifat dosa yang menandakan ketiadaan kasih kepada Allah.
Dosa tidak hanya sekadar meniadakan kasih kepada Allah, tapi juga berdampak pada hilangnya kasih di antara sesama manusia. Jika Adam sungguh mengasihi Hawa, maka tidak seharusnya ia membiarkan Hawa digoda oleh ular. Begitu juga dengan Hawa yang mengajak Adam untuk ikut makan buah terlarang tersebut. Seolah-olah Hawa tidak puas dengan gambar Allah yang ada pada diri Adam sehingga harus menerima tawaran si ular. Begitu juga dengan kita yang gagal melihat manusia lainnya sebagai gambar dan rupa Allah. Manusia tidak mengasihi sesama sebagaimana Allah kehendaki untuk dilakukan. Manusia melakukan segala sesuatu dengan caranya sendiri tanpa sangkut pautnya dengan Allah. Inilah yang dinamakan dosa yaitu tidak ada kasih kepada Allah maupun sesama manusia.
Berdasarkan kedua atribut ini, kita dapat mengerti bahwa manusia yang berdosa mengalami kerusakan relasi dengan memberontak kepada Allah dan tidak lagi menyatakan kasih yang murni baik kepada Allah dan manusia. Kasih dari seorang manusia berdosa adalah kasih yang memiliki motivasi egois dan bersifat merusak. Bermula dari kerusakan relasi antara manusia dan Allah serta manusia dan sesamanya, dosa memberikan akibat-akibat lainnya yang merusak.
The Effect of Sin
Akibat dari keberadaan dosa adalah adanya pencemaran dan kerusakan pada manusia. Kerusakan ini mencakup seluruh aspek hidup manusia. Theologi Reformed menyebut hal ini sebagai kerusakan total (Total Depravity). Bapa Gereja Agustinus sangat baik di dalam memakai istilah kondisi manusia sebelum dan sesudah kejatuhan. Sebelum kejatuhan manusia berada pada kondisi memiliki kemampuan untuk tidak berdosa (posse non peccare). Setelah kejatuhan, manusia kehilangan kemampuan tersebut dan berada pada kondisi ketidakmampuan untuk tidak berdosa (non posse non peccare). Pemakaian istilah ini memudahkan kita untuk memahami bahwa dosa tidak hanya berkait dengan pelanggaran kepada Allah saja, tapi juga mencemari natur dari manusia.
Kerusakan total. Kata “kerusakan total” di sini berarti tidak ada satu pun bagian dari diri manusia yang tidak tercemar oleh dosa. Aspek pikiran dan emosi pun juga telah dipengaruhi oleh dosa. Ketiga aspek yang tercemar ini bisa kita temukan dari sejak permulaan munculnya dosa asal.
Penolakan terhadap kebenaran merupakan salah satu cara bagaimana dosa mencemari pikiran. Seperti yang dilakukan oleh Adam dan Hawa yang meragukan kebenaran dari Allah dan lebih memercayai apa yang dikatakan oleh si ular. Padahal perintah Allah sudah sangat jelas bahwa pohon tersebut tidak boleh dimakan dan konsekuensinya adalah mati. Jadi, tidak ada alasan bagi Adam dan Hawa untuk tidak mengerti kebenaran tersebut. Sehingga pencemaran dosa terhadap pikiran bukan soal ketidakmengertian terhadap kebenaran, tapi manusia yang berdosa cenderung untuk memercayai kebenaran yang salah. Kebenaran yang berasal dari Allah yang sejati ditolak. Seperti yang disampaikan oleh Paulus di surat Efesus 4:17-18.
Setelah pikiran, maka pencemaran dosa yang paling nyata adalah tindakan manusia. Seperti pada peristiwa kejatuhan, tindakan Adam dan Hawa memakan buah terlarang jelas menunjukkan perlawanan kepada Allah. Hingga ke abad ke-21 ini yang katanya telah memasuki zaman modern dan penuh kecanggihan teknologi, tapi tetap tidak dapat meniadakan tindakan keberdosaan manusia. Perang masih berkecamuk di Timur Tengah, perselisihan antara negara, hingga kejahatan kriminal masih terus terjadi di jalanan. Hal ini seperti yang Paulus katakan di Surat Roma 1:28b-32.
Terakhir, pencemaran dosa yang cukup jelas juga terjadi pada aspek emosi manusia. Ketika Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa, ada tiga hal di mana dosa memutarbalikkan aspek emosi manusia.[2] Pertama, emosi dipakai sebagai dosa itu sendiri. Kejadian 3:6 menceritakan bagaimana Hawa sangat menginginkan kebajikan dari buah terlarang tersebut. Kedua, efek yang ditimbulkan setelah kejatuhan juga menampakkan emosi manusia, yaitu rasa malu akan ketelanjangan (Kej. 3:7-10). Emosi pada akhirnya menjadi suatu kutukan bagi manusia. Emosi yang berdosa sanggup menarik kita ke dalam pikiran dan tindakan yang berdosa (Yak. 1:14-15).
Human Rights as Rationalization of Man’s Sinful Desire
Dosa membuat manusia merusak diri dan juga sesamanya, sehingga dunia di mana kita hidup adalah dunia yang semakin lama semakin merusak martabat diri manusia. Tetapi di sisi lain, sebagai gambar Allah manusia menginginkan dirinya diakui dan diperlakukan sebagai manusia. Kedua sisi ini menjadikan manusia hidup di dalam dilema dan kekacauan. Di satu sisi natur berdosa terus merongrong untuk melakukan perbuatan dosa dan semakin merusak diri, tetapi di sisi lain ada sebuah peringatan dan kehausan untuk pengakuan akan martabat diri sebagai manusia. Dilema inilah yang mendorong perjuangan atas HAM pada satu sisi tetapi di sisi lain terdapat keterikatan terhadap dosa yang tidak bisa dilepas. Sehingga HAM dijadikan sebagai alat untuk rasionalisasi hasrat manusia berdosa.
Perjuangan HAM yang merupakan rasionalisasi hasrat berdosa selalu diikuti dengan kelalaian dari orang-orang tersebut dalam menjalankan tanggung jawabnya sebagai manusia. Manusia yang berdosa adalah manusia yang dengan jelas menyatakan pemberontakannya terhadap Allah sehingga sudah pasti mereka tidak mungkin menjalankan tanggung jawabnya dengan baik. Sehingga perjuangan HAM bukanlah perjuangan yang ingin mengembalikan manusia sebagai manusia tetapi sebuah perjuangan dehumanisasi, menjadikan manusia semakin jauh dari hidup yang bermartabat sebagai manusia sejati.
Kesimpulan
Zaman ini adalah zaman yang sering berteriak mengenai HAM tetapi justru zaman ini adalah zaman yang sangat melecehkan HAM. Memang kita harus mengakui di satu sisi perjuangan untuk HAM pada zaman ini menjadikan manusia dapat memiliki standar hidup yang lebih baik, tetapi di sisi lain juga ada perjuangan HAM yang berlebihan. Sebagai orang Kristen harus memiliki kepekaan dalam membedakan antara perjuangan HAM yang memang ingin mengembalikan martabat hidup manusia dan perjuangan HAM yang hanyalah sebuah rasionalisasi dosa. Sikap kompromi terhadap dosa dengan dalih untuk menghargai HAM adalah kelalaian dari orang-orang Kristen yang tidak lagi mengerti martabat seorang manusia. Justru saat kekristenan dengan lantang menyatakan keberdosaan manusia dan juga dengan gigih memperjuangkan Injil, di saat yang sama juga kita sedang memperjuangkan HAM. Ketika kekristenan dengan setia menjalankan tugasnya untuk menjadi hati nurani dari masyarakat yang dengan tegas menyatakan dosa, itu bukanlah sebuah pelecehan terhadap martabat manusia, tetapi justru sebuah perjuangan untuk mengembalikan martabat manusia sebagai gambar Allah. Ketika kita dengan gigih terus berjuang untuk memberitakan Injil, itu bukanlah sebuah usaha untuk mengganggu HAM seseorang dalam memiliki kepercayaan, tetapi sebuah kerinduan untuk melihat manusia dapat kembali hidup bermartabat dengan memuliakan Allah. Oleh karena itu, saat kita diperhadapkan dengan zaman yang semakin berani menggunakan HAM demi nafsu berdosa, maka kita sebagai orang Kristen tidak boleh kompromi, tetapi semakin giat mengerjakan panggilan kita, demi kemuliaan Allah. Itulah perjuangan HAM yang sesungguhnya di dalam cinta kasih sejati kepada Allah dan kepada sesama manusia.
Trisfianto Prasetio
Pemuda FIRES
Reinhold Niebuhr said, the Christian doctrine of sin is the least popular of all doctrines, and yet the one for which we have the most overwhelming empirical evidence everywhere.
– Dr. Peter Kuzmič[3]
Endnotes:
[1] Third Millenium Ministries. “What is Man? The Curse of Sin”. Hal. 9.
[2] Ibid. Hal. 19.
[3] Ibid. Hal. 18.