I LOVE MonEy

“Manusia akan mencintai dirinya sendiri dan menjadi hamba uang.” – 2 Timotius 3:2a 

Uang—kata ini sangatlah akrab dengan kehidupan kita sehari-hari. Setiap hari kita pasti memikirkan, menggunakan, atau membicarakan tentang uang. Coba kita membaca surat kabar hari ini, saya yakin pasti ada berita-berita yang berkaitan dengan uang, entah itu tentang naiknya harga-harga, nilai tukar Rupiah, tingkat suku bunga, korupsi, penipuan, atau perampokan.

Sejak manusia mengenal uang, kehidupan manusia tidak pernah terlepas dari uang. Bahkan sepertinya terkesan bahwa uang adalah pusat dan hidup kita berputar di sekelilingnya. Lihat saja kenyataan di sekeliling kita, sejak lahir saja kita sudah memerlukan uang untuk membeli susu, popok bayi, dan sebagainya. Lalu sekitar umur 4 tahun kita mulai masuk sekolah, dan supaya masa depan hidup kita terjamin orang tua biasanya menyekolahkan kita (semampu mereka) di sekolah yang top dan tentunya mahal. Setelah lulus universitas, kita mencari pekerjaan. Untuk apa? Untuk mencari uang. Mahasiswa zaman sekarang cenderung memilih jurusan studi yang sedang ‘nge-trend’, yaitu jurusan yang setelah lulus dapat secepatnya mendapatkan pekerjaan yang memberikan penghasilan yang besar. Kira-kira berapa banyak mahasiswa yang benar-benar memikirkan, “Apakah panggilan Tuhan dalam hidup saya? Apa yang Tuhan ingin saya pelajari?” Saya yakin sangat sedikit sekali.

Sebagai karyawan, kita pasti ingin memperoleh pekerjaan yang mudah, kalau bisa yang tidak perlu mikir, namun tetap mendapatkan gaji yang besar. Kita selalu merasa tidak puas akan gaji yang kita terima, padahal belum tentu kita sudah bekerja dengan semaksimal mungkin atau sepadan dengan gaji yang kita terima. Seringkali kita tidak bekerja dengan sungguh-sungguh, bahkan ‘menipu’ perusahaan tempat kita bekerja, misalnya kerja dengan bermalas-malasan dan hanya kelihatan rajin apabila bos kita ada di kantor atau sedang memperhatikan kita. Kita tidak ingat bahwa sebenarnya kita tidak hanya bertanggung jawab terhadap bos kita itu, tetapi terhadap ‘Bos’ kita yang ada di Surga.

Saya juga sering memperhatikan pembicaraan di antara orang-orang yang ingin mempunyai bisnis sendiri. Mereka sangat profit-oriented. Dalam mencari kesempatan membuka suatu bisnis, mereka hanya memikirkan bisnis apa yang tidak perlu dikerjakan dengan susah payah, tapi dapat menghasilkan banyak uang dalam waktu yang singkat. Bahkan tidak sedikit pengusaha yang tega mencelakakan orang lain asalkan mereka mendapatkan profit yang besar.

Saat mencari pasangan hidup pun kita pasti akan mempertimbangkan tentang keadaan ekonomi pasangan kita. Kita mau mencari keamanan di dalam materi agar hidup kita terjamin. Banyak orang yang menikah karena uang, padahal tidak seiman. Kebanyakan orang tua juga sangat ‘mendorong’ anaknya untuk mencari pasangan hidup yang kaya dan mapan; yang penting kaya walaupun iman, prinsip hidup, dan karakter calon menantunya itu tidak jelas.

Gambaran-gambaran di atas hanya merupakan sedikit contoh dari kenyataan yang terjadi dalam kehidupan manusia di dunia saat ini. Namun, kita patut bersyukur pada Tuhan kalau kenyataan itu bukanlah suatu kebenaran. Kenyataan di dalam dunia itu bersifat begitu superficial, sedangkan kebenaran Tuhan jauh menusuk dan mengorek hati manusia yang terdalam.

Mari kita sama-sama merenungkan beberapa akibat dari ‘cinta uang’ yang terjadi di tengah-tengah kita saat ini.

1.      Hubungan antar manusia

Kita selalu dipenuhi dengan rasa takut akan kehilangan kekayaan materi yang kita miliki. Kita takut orang lain mengambil atau mencuri uang kita. Kita juga memiliki sifat yang selalu ingin bersaing dengan orang lain, terutama dalam segi ekonomi atau materi. Dalam kehidupan sehari-hari, terlebih dalam budaya Chinese, kita sering merasa gengsi dengan orang lain. Demi memuaskan ‘gengsi’ ini kita banyak mengeluarkan uang untuk hal-hal yang sebenarnya tidak terlalu perlu, misalnya makan di restoran yang sekali makan saja bisa menghabiskan beratus-ratus ribu bahkan juta-juta Rupiah. Apakah memang sangat perlu bagi kita untuk makan di restoran yang mahal seperti itu? Is it very crucial for our life? Tentu saja tidak! Kita bisa saja makan di restoran yang lebih murah tetapi tetap menyajikan makanan yang sehat dan baik.

Ego manusia menjadi sangat besar dan kita berlomba-lomba untuk menunjukkan siapa yang lebih pintar, lebih sukses, atau lebih kaya. Akibatnya kita selalu memiliki rasa kecurigaan terhadap orang lain dan rasa percaya atau trust antar manusia semakin lama semakin memudar. Akhirnya lambat laun kita menjadi semakin tertutup, membangun tembok di sekeliling kita, menjadi orang yang munafik karena kita tidak mau orang tahu bagaimana diri kita sebenarnya; di depan orang lain kita bersikap A, tetapi di belakangnya kita bicara B. Kalau ada orang yang berbuat baik untuk kita, kita pasti akan mempertanyakan motivasinya, apa yang dia inginkan dari kita, atau apa yang harus kita lakukan untuk membalas perbuatan baik itu. Kita tidak lagi bisa bersyukur karena Tuhan telah memberikan kebaikan dan berkat-Nya bagi kita melalui orang tersebut, sebab kita terlalu mempertanyakan motivasi kebaikan orang itu dan tidak melihat Tuhan di balik semua itu. Tetapi saat kita menginginkan sesuatu dari orang lain, kita akan bersikap baik sekali di depan dia. Hal ini sebenarnya sama saja seperti ‘menyogok’ karena kita memberi sesuatu agar orang mau berbuat sesuatu untuk kita, walaupun mungkin ‘sogokan’ itu tidak terang-terangan dalam bentuk cash. Bagi saya ini adalah dualisme di dalam dunia yang pada dasarnya sudah dualisme. Dualisme pertama adalah kita bersikap lain di gereja dengan di luar gereja; dan dualisme kedua adalah kita bersikap lain di saat kita sendirian dengan di hadapan orang lain.

Pada dasarnya manusia berdosa adalah malas dan jahat, dan kita mau mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya untuk diri kita sendiri. Kita baik terhadap orang lain pun karena hal itu bisa membawa keuntungan bagi kita. Satu hal yang sudah hilang dari hati manusia adalah sincerity. Kita hanya memikirkan tentang untung dan rugi, tepatnya kita yang untung atau rugi. Kalau kita bisa untung, pasti kita mau melakukan hal itu tanpa berpikir panjang, tetapi kalau kita rugi… nanti dulu, pikir-pikir dulu. Satu hal yang sangat saya kagumi dari para hamba Tuhan di GRII adalah mereka mempunyai sincerity yang sangat terpancar keluar. Saya banyak belajar bagaimana mereka mengutamakan Tuhan di dalam hidup mereka dan tidak mempedulikan untung rugi bagi diri mereka sendiri. Mereka hanya melakukan apa yang Tuhan inginkan, tidak ada ‘self’ di dalam pelayanan mereka.

Bagaimana manusia bisa kembali menemukan sincerity dan memperbaiki hubungan antar manusia? Hanya satu cara yaitu hati manusia harus ditebus dan disucikan melalui darah Kristus. Tidak ada cara lain! Hanya Kristus yang bisa memulihkan manusia kembali. Seberapa banyak pun perbuatan baik yang kita lakukan kita tidak mungkin sanggup membersihkan hati kita sendiri dari kekotoran yang sudah begitu melekat. Juga apabila kita ingin membersihkan hati kita melalui perbuatan baik kita, motivasinya saja sudah salah; motivasinya yaitu diri kita sendiri, kita ingin menyelamatkan diri sendiri maka kita berbuat baik. Semuanya kembali kepada self.

2.      Hubungan antara manusia dan uang

Demi uang manusia rela bekerja keras membanting tulang, dan demi uang manusia juga rela menjual prinsip kebenaran dan harga dirinya, padahal pada awalnya manusia menciptakan uang sebagai alat tukar untuk mempermudah hidup manusia sendiri, jadi seharusnya manusialah yang mengontrol uang. Di zaman sekarang, kita harus mempunyai uang untuk dapat hidup. Kalau tidak punya uang kita tidak bisa membeli makanan, rumah tempat berteduh, dan hal-hal lain yang kita perlukan untuk survive in this world. Bahkan dunia yang semakin menganut konsumerisme ini ‘memaksa’ agar kita mempunyai uang banyak supaya kita dapat hidup layak dan keberadaan kita diakui oleh orang lain. Jadi yang lebih penting itu yang mana? Manusia atau uang? Hal ini membuat kita menjadi budak dan uang menjadi tuan kita.

Bagi saya, fenomena di atas sangatlah tidak logis. Awalnya manusia menciptakan uang untuk membantu mereka, lalu manusia membuat sistem ekonomi yang sedemikian rupa yang membuat manusia tidak dapat hidup tanpa uang. Jadi uang yang seharusnya membuat hidup manusia semakin mudah malah mempersulit, bahkan justru menghancurkan hidup manusia. Manusia menjadi budak uang. Bukankah ini berarti manusia menjadikan dirinya sendiri budak dari “ciptaan”nya sendiri. Apakah ini berarti manusia yang menganggap dirinya pintar itu sebenarnya sangat bodoh?   

Ketika kita menerima Kristus sebagai Juruselamat kita, kita ditebus dan status kita sebagai anak kembali dipulihkan, serta Kristus menjadi Tuhan dalam hidup kita. Hanya saja biasanya kita tidak mau memilih Kristus, kita lebih mau memilih uang. Padahal dua pilihan ini berbeda 180 derajat. Kalau pilih Kristus kita jadi anak, tapi kalau pilih uang kita jadi budak. Inilah manusia berdosa, lebih suka memilih uang karena itu lebih enak untuk mereka. Uang dapat membeli kenyamanan jasmani (kemalasan) bagi diri manusia. Sekali lagi, semuanya kembali kepada self

3.      Hubungan manusia dan nilai diri

Sejak kecil lingkungan di sekitar saya mengajarkan betapa pentingnya uang dalam kehidupan manusia. Saya diajarkan bahwa kalau kita mempunyai uang maka banyak hal bisa dipermudah dan banyak masalah dapat dihindari, juga tidak ada orang akan menghina kita. Lalu setelah saya mengenal Reformed Theology, saya mulai berpikir, “Kenapa saya harus menghindari masalah? Kenapa saya harus peduli apa kata orang tentang saya kalau saya miskin? Apakah diri saya dinilai dari berapa banyak uang yang saya miliki? Apakah diri saya dinilai dari sejauh mana kesuksesan yang dapat saya raih dalam dunia ini?”

Banyak orang tua yang sering mengatakan bahwa anaknya belum ‘jadi orang’ kalau dia belum sukses, belum mendapatkan pekerjaan yang bergengsi dan menghasilkan banyak uang. Kalau anaknya sudah kaya, baru dikatakan dia sudah ‘jadi orang’. Jadi selama ini anak itu kalau bukan orang lalu apa? Hidup anak tersebut jelas-jelas sudah dinilai dengan uang oleh orang tuanya.

Manusia menciptakan uang, kemudian manusia menilai dirinya sendiri dengan uang. Artinya manusia menilai dirinya sendiri menurut takaran yang diciptakannya. Apakah itu mungkin? Sesuatu selalu diciptakan dengan tujuan tertentu. Tidak pernah saya menemukan sesuatu yang diciptakan tanpa tujuan apapun. Misalnya manusia membuat komputer untuk mempermudah dan mempercepat pekerjaan manusia. Lalu siapa yang bisa menilai seberapa bergunanya komputer itu? Kita atau komputer itu sendiri? Bagaimana cara komputer itu dapat menilai dirinya sendiri? Tidak mungkin, bukan? Dari konsep ini, saya pikir manusia juga tidak dapat menilai dirinya sendiri. Yang dapat menilai diri kita adalah Tuhan yang menciptakan kita. Tuhan menciptakan kita sesuai dengan rupa dan gambar-Nya dengan tujuan agar kita menjadi wakil-Nya di bumi dan mempermuliakan nama-Nya. Jadi yang berhak dan dapat menilai seberapa besar kita sudah memuliakan Dia di bumi ini adalah Tuhan Allah sendiri.

Kalau kita melihat uraian di atas, mungkin kita akan berkata, “Semua hal buruk yang terjadi dalam hidup kita adalah karena uang. Uang yang membuat manusia menjadi jahat.” Saya pikir itu tidak benar, karena sekali lagi saya tekankan bahwa uang itu hanyalah sebuah alat. Uang hanya menjadi pemicunya saja, tetapi bukan merupakan sebab yang paling utama. Kita memang mencintai uang, tetapi di balik itu kita mencintai diri kita sendiri lebih dari segalanya. Tujuan akhir manusia lewat uang adalah mencari kebahagiaan. Tetapi ‘bahagia’ yang seperti apa yang seharusnya kita cari? Alkitab tidak pernah mengajarkan kepada kita untuk mencari kebahagiaan dalam materi. Bentuk kebahagiaan yang Alkitab ajarkan adalah seperti yang diajarkan oleh Tuhan Yesus dalam khotbah-Nya di bukit (Matius 5:3-12). Itulah kebahagiaan yang harus kita kejar sebagai orang Kristen.

Kalau begitu apakah kita sebagai orang Kristen tidak boleh menggunakan uang? Tidak juga. Manusia mempunyai kecenderungan untuk jatuh dari titik ekstrim satu ke titik ekstrim lainnya. Kita harus belajar untuk menempatkan diri kita di dalam posisi yang seharusnya. Tentu saja kita boleh mempunyai uang dan memakainya, namun kita harus bertanggung jawab dalam mengelola uang kita. Kita harus menyisihkan uang untuk perpuluhan terlebih dahulu sebelum mengatur uang untuk hal-hal lain. Kita tidak perlu membeli barang-barang mahal yang tidak terlalu kita perlukan, misalnya membeli sebuah tas yang harganya puluhan juta Rupiah, padahal kalau tas itu tidak ada pun tidak apa-apa karena kita masih bisa membeli tas lain yang lebih murah dan berfungsi sama baiknya. The only reason we buy it hanya untuk mengikuti trend dan menjaga gengsi agar orang lain tahu bahwa kita juga mampu membeli barang-barang mahal seperti mereka. Uang yang kita hemat dari tidak membeli barang-barang seperti itu memungkinkan kita untuk mendukung pekerjaan Tuhan lebih banyak lagi. Kita harus mengembalikan uang ke posisinya yang semula, yaitu sebagai alat, dan kita harus bisa menggunakan alat itu untuk mencapai tujuan kita yang utama, yaitu to glorify the Lord.

Selama ini uang telah membuat hubungan kita dengan sesama menjadi rusak. Kita harus belajar untuk mulai membuka diri kepada orang lain. Biarkan mereka melihat bagaimana diri kita sebenarnya. Di dalam dunia ini pergumulan kita sebagai orang Kristen sangatlah berat, semakin lama akan semakin berat. Kita sangat memerlukan saudara seiman agar kita menjadi semakin kuat untuk terus berperang dalam menyatakan kebenaran Firman Tuhan melawan arus dunia yang menyeret kita ke arah yang sebaliknya. Bagaimana caranya? Pertama, kita harus belajar bersyukur kepada Tuhan. Berapa banyak pun uang yang kita miliki, kita harus bersyukur karena Tuhan telah mempercayakan bagian itu kepada kita dan kita harus bertanggung jawab atas bagian itu. Kedua, kita melatih diri kita agar kita selalu merasa content, suatu istilah yang pernah diucapkan oleh Pdt. Billy Kristanto. Content bukan berarti puas, tetapi berarti ‘cukup’. Dengan demikian, kita akan merasa cukup puas dengan apa yang Tuhan percayakan kepada kita dan kita tidak akan merasa iri apabila orang lain mempunyai lebih. Tuhan kita adalah Tuhan yang adil, bila Dia memberi lebih kepada kita, Dia juga akan menuntut lebih sesuai dengan apa yang dipercayakannya kepada kita. So we just need to trust Him, be grateful, and be content.

Kita juga harus memikirkan ulang konsep yang selama ini telah meracuni kita, yaitu bahwa kita memerlukan uang untuk hidup. Ini sama sekali salah. Tuhan yang memberikan kita hidup, dan hanya Tuhan yang dapat mengambil hidup kita kembali. Saya sering berpikir, kenapa ada sebagian orang yang tidak punya uang lalu merasa dunia mereka runtuh, padahal kalau saya lihat mereka juga tidak miskin-miskin amat, mereka toh masih mempunyai uang walaupun tidak sebanyak yang mereka inginkan. Di lain pihak, saya melihat pengemis di pinggir jalan atau di kolong jembatan yang bisa terus hidup dari hari ke hari, padahal sudah jelas-jelas mereka tidak punya uang sedikit pun. Mereka hanya hidup dari belas kasihan orang lain dan mereka bersyukur kalau hari ini ada makanan, tetapi tidak tahu bagaimana hari esok. Dalam Matius 6:26 dikatakan, “Pandanglah burung-burung di langit, yang tidak menabur dan tidak mengumpulkan bekal dalam lumbung, namun diberi makan oleh Bapamu yang di sorga. Bukankah kamu jauh melebihi burung-burung itu?” Dengan jelas Tuhan berjanji bahwa Dia akan memelihara kita, tetapi kita tidak sepenuhnya percaya akan hal itu, maka kita mencari uang sebanyak-banyaknya untuk menjamin kelangsungan hidup kita di masa yang akan datang. Kita ingin dapat mengontrol hidup kita dan bergantung pada kekuatan kita sendiri, sehingga kita tidak merasa perlu beriman sepenuhnya terhadap Tuhan dan apa yang Dia janjikan melalui Firman-Nya.

Pada akhirnya, seperti yang pernah dikatakan oleh Pdt. Sutjipto Subeno, kita hanya mempunyai dua pilihan, yaitu ‘cinta diri’ atau ‘cinta Tuhan’. Kalau kita mencintai uang, berarti kita ‘cinta diri’, tetapi kalau kita mau ‘cinta Tuhan’ berarti kita harus menyangkal diri dan mengikis self dari dalam diri kita. Dengan demikian diri kita akan menjadi semakin kecil dan Tuhan akan menjadi semakin besar, because all the glory is His. Now the big question is: Who do we love?

Mildred Sebastian

Pemudi GRII Pusat