Banyak orang Kristen yang ketika ditanya tentang akhir hidupnya, mereka akan dengan mudah menjawab, “Saya yakin saya masuk sorga, Kawan!” Mengapa orang Kristen begitu mudah mengatakan hal demikian? Apa penyebab utamanya? Apakah mereka benar-benar yakin akan masuk sorga nanti dan sekarang sedang begitu rindunya menantikan sorga?
Sewaktu ayah saya meninggal, keponakan saya dinilai masih terlalu kecil untuk menerima fakta kematian ayah saya. Maka kami sekeluarga sepakat untuk tidak memberitahu secara benar. Tetapi kemudian keponakan saya bertanya kepada saya, “Uncle, where is Akong now?” Saya cukup bingung ketika saya diperhadapkan dengan kasus seperti ini. Saya kemudian di dalam keragu-raguan menjawab, “He’s in heaven right now, in Jesus’ house.” Lalu keponakan saya bertanya lagi, “Is Akong happy with Jesus?” Otomatis saya menjawab, “YES! Absolutely! He’s happy now! Do you want to meet Jesus?” Keponakan saya langsung menjawab, “YES! Absolutely too, Uncle!” Lalu ia berlari dengan riangnya, dan saya juga merasa senang karena saya merasa sudah bisa menjawab dengan benar. Namun setelah saya membaca buku If I Should Die Before I Wake, What’s Beyond This Life? karya K. Scott Oliphint dan Sinclair Ferguson, saya sungguh menyesal dan kecewa pernah menawarkan sorga versi “Sorga tempat bermain” kepada keponakan saya. Mengapa? Karena sebagai orang Kristen seharusnya saya bukan menawarkan sorga penuh kesenangan atau kebahagiaan.
Di dalam buku tersebut, Oliphint dan Ferguson menjelaskan kaitan antara hidup, kematian, dan sorga. Ketika kita tidak siap menghadapi kematian maka sebenarnya kita pun juga tidak siap menghadapi hidup. “Facing death enables us to face life.” Ketika kita mengenali apa yang akan kita hadapi di masa mendatang, di situlah akan ada perubahan jelas di dalam hidup kita sekarang ini. Dalam konteks inilah seharusnya kita mengerti keberadaan sorga.
Kita sering kali mengatakan dengan iman yang mantap, “Aku tidak takut mati.” Kita mengatakannya dengan angkuh dan dengan “keren”. Kita terlalu PeDe dengan diri sendiri, merasa mampu menghadapi kematian dengan benar. Namun firman Tuhan mengatakan bahwa kematian justru merupakan pembuktian atas “kesombongan kita” dan “self-centeredness” tidak berkuasa lagi atas kematian.
Kematian adalah pernyataan diri-Nya Tuhan kepada kita, sehingga pada akhirnya kita harus mengakui, “Diriku tidak berkuasa untuk menentukan hidup, hanya Tuhan saja.” Kematian di dalam perspektif Kristen mencerminkan dan menyatakan kedaulatan penuh Allah sebagai Sang Pencipta atas hidup kita, sekaligus menyatakan penghakiman Allah yang tak terelakkan atas dunia yang berdosa.
Rasul Paulus memberikan pengertian akan penghakiman Allah secara lengkap di dalam surat Roma yang meliputi lima aspek:
Penghakiman Allah itu benar karena penghakiman Allah datang dari Allah sendiri, yang adalah sumber kebenaran (Rm. 2:2). Kita adalah manusia yang tidak sempurna dan Allah adalah Allah yang sempurna, manusia pasti tidak akan luput dari penghakiman Allah yang menuntut kesempurnaan.
Penghakiman Allah adalah penghakiman yang adil (righteous). Allah kita adalah Allah yang adil dan keadilan Allah tidak bisa dikompromikan. Allah menyatakan diri-Nya sepanjang sejarah di dalam konteks “Allah yang adil”. Roma 2:5 menceritakan akan keadilan Allah yang akan dinyatakan kepada setiap manusia, sehingga setiap manusia nantinya pasti akan dihakimi secara adil, menurut keadilan Allah sendiri.
Penghakiman merupakan keadilan yang dinyatakan kepada setiap pribadi manusia. Setiap pribadi, baik orang Kristen maupun non-Kristen akan diadili oleh Allah yang sama, yaitu Allah Sang Pencipta langit dan bumi.
Penghakiman Allah menurut pengenalan kita akan Allah. Kita yang sudah mengerti dan mengenal Allah, mendapatkan keadilan yang setimpal pula. Kita pasti berpikir, “Tidak adil sewaktu saya yang adalah seorang profesor mendapatkan gaji yang sama besarnya dengan seorang tukang sapu jalanan.” Inilah yang dimaksud dengan keadilan yang dilihat berdasarkan pengenalan akan Allah kita. Roma 2:12 mengatakan dengan jelas, “Sebab semua orang yang berdosa tanpa hukum Taurat akan binasa tanpa hukum Taurat; dan semua orang yang berdosa di bawah hukum Taurat akan dihakimi oleh hukum Taurat.”
Keadilan Allah juga merupakan keadilan yang tidak bisa dibantah, keadilan Allah bersifat absolut. Mengapa? Karena memang Allah kita adalah Allah yang absolut. Kemutlakan Allah menjadi dasar bagi hidup kita. Ketika kita melihat keadilan Allah, satu hal yang tidak mungkin kita hindari yaitu penghakiman-Nya yang adil dan benar. Allah kita tidak bisa dibantah, disogok, dirayu, ditipu dengan segala cara sehingga kita bisa lolos dari penghakiman-Nya yang adil. Dia adalah Allah yang tidak bergantung kepada apa pun, Dia adalah Allah yang absolut, sehingga kepada-Nya kita dapat bergantung dan bersandar. Dia tidak akan menghakimi kita lebih daripada yang seharusnya karena ada yang merayu-Nya atau menyogok-Nya. Demikian juga, Dia tidak akan menghakimi kita kurang dari yang seharusnya hanya karena kasihan melihat kita yang culun. Dia adalah Allah yang absolut adil.
Alkitab menyatakan bahwa pada akhirnya Kristus, Sang Hakim Agung, akan menghakimi seluruh manusia menurut keadilan-Nya. Tidak akan ada dan tidak pernah ada yang sanggup lolos dari penghakiman Kristus. Melihat ke dalam hidup kita di belakang kita, masih beranikah kita mengatakan bahwa kita pasti masuk sorga? Bisakah kita menuju sorga?
Di dalam melihat penghakiman dan keadilan Allah, kita disadarkan bahwa kita tidak layak untuk menerima kebaikan Tuhan, dan bahkan kita harus berani mengatakan, “Kematian adalah hal yang seharusnya saya dapatkan karena saya terlalu berdosa!” Kebaikan dalam hidup kita yang berdosa tidak mungkin mendapatkan perkenanan Allah. Hal ini seharusnya membuat kita sadar bahwa kita harus menghadapi kematian dengan serius.
Kematian dibahas dalam buku tersebut di bab pertamanya dengan judul “The End” dan diakhiri dengan bab yang berjudul “Ready to Go”. Mengapa buku ini harus diawali dengan “kematian” dan diakhiri dengan “permulaan perjalanan”? Ada dua alasan yang diberikan oleh penulis.
Pertama, buku ini ditulis untuk mengajarkan kita bagaimana mati. Hah? Untuk mati? Yang benar saja kamu! Bagaimana bisa seorang profesor theologi mengajarkan dan mempersiapkan kita bagaimana untuk mati? Ya, tentu! Charles Spurgeon pernah berkata, “Ketika engkau dapat mengenal kematian, engkau mengerti bagaimana untuk menghidupi hidupmu.” Di dalam kebudayaan Cina, Sun Tzu terkenal dengan “Art of War”, di dalam kebudayaan Baroque, banyak pelukis yang mengerti “Art of Drawing”. Namun di dalam Kristus, kita diajarkan untuk menguasai “Art of Death”. Hidup orang Kristen harus bersifat “To Die Daily”. Kita harus mematikan diri kita hari demi hari. John Owen mengatakan, “Kematian Kristus mematikan kematian kita”. Hal yang harus kita bunuh dan kita matikan adalah dosa. Setiap hari kita melakukan latihan “kematian” dengan mematikan dosa. Kehidupan yang berkelimpahan diperoleh ketika kita berhasil mematikan dosa dan menghidupi hidup. Puncak dari segala kematian adalah kematian Kristus di atas kayu salib yang mematikan kuasa dosa, Iblis, dan kematian itu sendiri. Melalui kematian inilah, kematian dimatikan dan hidup yang sesungguhnya di hadapan Allah dimungkinkan.
Kedua, buku ini mengajarkan kita untuk melihat bahwa kematian harus dihadapi dengan serius, tidak boleh dilupakan, tidak boleh menjadi hal yang dianggap remeh, karena kita semua adalah orang yang sudah berdosa dan tidak akan pernah bisa luput dari kematian. Banyak orang Kristen ketika ditanya, “Kalau mati masuk mana?”, mereka dengan entengnya menjawab, “Ya sorga dong! Kan gue udah selamat!” Benarkah sorga tujuan akhir hidup kita? Atau Kristus? Buku ini memaparkan bab yang kesannya terbalik, namun sebenarnya inilah yang akan kita hadapi. Kematian merupakan suatu titik awal bagi setiap orang Kristen untuk menggenapi kehendak-Nya dengan sesungguh-sungguhnya.
Kepastian kita akan sorga bukan berasal dari diri sendiri, namun berasal hanya dari Allah di dalam Kristus yang menyelesaikan murka Allah. Pekerjaan Kristuslah yang menjadi satu-satunya jaminan bagi kita untuk menuju sorga.
Kematian, semua orang pasti akan mengalaminya; tidak akan ada orang hidup yang “pernah” mengalami kematian! Maka kematian fisik merupakan hal pertama yang nanti akan kita rasakan. Namun bagaimana Kristus mengajarkan kita untuk mati padahal kita belum mati? Jawaban paling ultimat adalah: Tuhan kita adalah Tuhan yang pernah mati, maka sebenarnya tidak ada alasan bagi kita untuk tidak melihat Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat kita. Tidak ada satu pendiri agama pun yang pernah mati dan bangkit. Hanya Kristuslah satu-satunya manusia yang pernah mati dan bangkit, mengalami kuasa maut dan mengalahkannya. Siapkah kita masuk sorga? Ingatlah bahwa kepastian bukan terdapat pada diri kita, namun kepastian itu adalah anugerah Allah bagi kita.
Now I lay me down to sleep
I pray the Lord my soul to keep
If I should die before I wake
I pray the Lord my soul to take
Ini adalah doa sederhana dari dataran Inggris yang selalu diajarkan turun-temurun oleh orang tua kepada anaknya sebelum mereka tidur. Beranikah kita sebelum tidur mendoakan hal ini kepada Tuhan? Mari kita bersama berjuang menuju titik eskatos (the end), di mana dijanjikan rumah yang sejati yang indah bagi kita, di mana kita akan bersekutu dan melayani Kristus, Tuhan dan Juruselamat kita dengan sempurna sampai selama-lamanya. Sorga – the new heaven and the new earth – inilah yang menjadi tujuan kita. Sorga bukanlah tempat bersenang-senang seperti yang kita bayangkan sekarang dalam keberdosaan kita. Sorga adalah tempat di mana kita melayani Tuhan kita dengan segenap hati dan segenap jiwa dan segenap akal budi dan segenap kekuatan kita dengan sempurna. Kematian adalah pintu masuk ke sorga itu. Jika kita yakin pasti masuk sorga, maka seharusnya hidup kita sekarang juga menyatakannya. Hidup sekarang akan terus semaksimal bertumbuh menuju sorga itu, hidup kita sekarang harus terus belajar menjalankan kehendak Kristus semaksimalnya. Inilah sukacita sejati, kita yang tidak layak diberikan kelayakan hidup melayani Tuhan dan Juruselamat kita. Inilah sorga di bumi yang masih berdosa ini. Kiranya Tuhan memberikan kita kekuatan dan kerelaan serta sukacita menghidupi kematian dan sorga sambil menunggu datangnya kematian dan sorga dalam kepenuhannya. Soli Deo Gloria.
Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan. – Filipi 1:21
Hans Yulizar Sebastian
Pemuda FIRES
Referensi:
K. Scott Oliphint, Sinclair Ferguson, If I Should Die Before I Wake, What’s Beyond This Life?, Christian Focus Publications, Ltd.