Interpretasi: kemampuan atau fungsi?

Seorang teman membaca buku Viktor Frankl, “Man’s Search for Meaning,” dan memberitahu saya sebuah pernyataan dari Frankl yang sampai sekarang saya tidak lupa, “… everything can be taken from a man but one thing: the last of the human freedoms—to choose one’s attitude in any given set of circumstances, to choose one’s own way.” Melalui pengalamannya di kamp konsentrasi, Frankl melihat dua macam manusia yang berespon secara berbeda. Lalu mengapa dua manusia di tempat, situasi, dan kondisi yang persis sama—menderita, didera, menghadapi kematian—bisa mempunyai respon yang berbeda? Jawaban saya dengan bahasa yang paling membumi adalah perspektif hidup yang berbeda. Dua manusia melihat makanan yang tergeletak di depan mereka, belum tentu mempunyai perspektif yang sama tentang makanan tersebut. Hal ini merujuk kepada satu keunikan manusia, yang bisa membuat Anda dan saya berbeda dalam melihat segala sesuatu, yakni: interpretasi. Fakta yang sama dengan interpretasi yang berbeda akan menerjemahkan arti (meaning) yang berbeda juga. Dari kamus, ada satu definisi dari kata interpretasi yang menarik perhatian saya, yaitu: “an explanation of the meaning of another artistic or creative works.” Manusia bisa melakukan hal ini—menjelaskan arti (meaning) dari sebuah karya.

Coba kita mengambil contoh misalnya tentang gerakan feminisme. Feminisme menurut Wikipedia “… is a collection of social theories, political movements, and moral philosophies largely motivated by or concerned with the liberation of women. A large portion of feminist are especially concerned with what they perceived to be the social, political, and economic inequality between the sexes which favors the male gender; some have argued that gendered and sexed identities, such as “man” and “woman” are socially constructed. Role observed in society are due to conditioning.” Argumen, teori, ilmu pengetahuan, filsafat, sampai pada berbagai gerakan politik, semua hal ini dilakukan oleh manusia di dalam fungsi menginterpretasi. Tidak ada binatang yang bisa mengadakan demo karena berbeda pendapat. Tidak ada binatang yang mendefinisikan bahwa perbedaan antara binatang adalah “socially constructed” ketimbang ‘memang sudah demikian sejak dunia diciptakan.’ Tidak ada binatang yang dapat mengamati satu binatang makan binatang ini, lalu binatang ini makan binatang itu, dan akhirnya menyimpulkan adanya rantai makanan dalam alam semesta ini.

Sebetulnya apa yang terjadi ketika manusia berbeda pendapat (baca: menginterpretasi) padahal mereka membicarakan objek yang sama? Dalam film “Holywoodland” (tentang kehidupan aktor pertama yang memainkan Superman, ketika televisi masih hitam putih di Amerika) diceritakan bagaimana seorang investigator mencari kebenaran di balik matinya sang aktor. Oleh surat kabar diumumkan bahwa kematiannya adalah karena bunuh diri. Lalu dia mencari bukti-bukti (facts) dari cerita orang lain tentang aktor ini dan juga dari objek-objek yang ditinggalkan oleh sang aktor. Menariknya film itu menggambarkan bagaimana pikiran sang investigator sedang menginterpretasi sebetulnya apa yang terjadi, lewat bukti dan fakta (object) yang dia peroleh, apa cerita (story) sebetulnya di balik matinya aktor ini. Interpretasi mencoba menemukan apa cerita yang sebenarnya. Di dalam film ini diceritakan kemudian bagaimana anak-anak menjadi sangat kecewa dan tidak mempunyai gairah hidup karena menurut interpretasi kepolisian, superhero mereka bunuh diri. Konsep ini tidak cocok dengan anggapan (intepretasi) mereka terhadap Superman. Mereka baru mengetahui, Superman dalam hidup sebenarnya bisa mati juga karena peluru.

Dunia ini penuh dengan fakta, bukti, dan objek, dan dari sana, manusia punya kemampuan menginterpretasi cerita sebenarnya (true story) dunia ini. Seperti sang investigator tadi, manusia bisa punya berjuta-juta interpretasi terhadap apa yang dilihatnya, diamatinya, didengarnya, dan diperhatikannya. Pertanyaannya adalah interpretasi manakah yang benar-benar mewakili yang sebenarnya? Otoritas dari manakah yang dapat membenarkan interpretasi tersebut?

Alkitab menyatakan bahwa kemampuan ini adalah salah satu fungsi manusia yang diciptakan oleh Allah sebagai image of God. Di dalam buku “Mengetahui Kehendak Allah,” Pdt. Stephen Tong menjelaskan bagaimana fungsi inilah yang memungkinkan adanya ilmu pengetahuan (kata science berasal dari bahasa Grika scio, yang berarti aku tahu).

Calvin, dalam bukunya, “Institutes of the Christian Religion,” menjelaskan adanya tiga fungsi dalam diri Kristus (mewakili umat pilihan-Nya) yang dikembalikan melalui penebusan-Nya, yaitu fungsi sebagai nabi, raja, dan imam. Nabi-nabi Perjanjian Lama berfungsi sebagai penyambung lidah Allah untuk bersuara kepada umat-Nya dan manusia. Menurut Calvin, Allah menyediakan barisan nabi-nabi-Nya adalah untuk memberitahukan tentang kebenaran tetapi pada akhirnya kepenuhan iluminasi kebenaran digenapi oleh Sang Mesias: “Setelah pada zaman dahulu Allah berulang kali dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantara nabi-nabi, maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantara Anak-Nya, yang Ia telah tetapkan sebagai yang berhak menerima segala yang ada. Oleh Dia Allah telah menjadikan alam semesta” (Ibr. 1:1-2). Kemudian Calvin menjelaskan bahwa kita lebih bisa melihat apa hubungan Mesias dengan kebenaran yang ultimat dalam surat-surat Rasul Paulus yang mengatakan, “He was given to us as our wisdom” (1 Cor. 1:30) dan, “In Him are hid all the treasures of knowledge and understanding” (Col. 2:3). Dengan kata lain, menurut Calvin, “He (Paul) has a slightly different meaning. That is, outside Christ there is nothing worth knowing, and all who by faith perceive what he is like have grasped the whole immensity of heavenly benefits.”

Di dalam Kristus, ketiga fungsi manusia terpenuhi. Sungguh unik, jika melihat apa yang dikatakan Alkitab, kepenuhan iluminasi kebenaran digenapi oleh Seorang Pribadi; Kristus sebagai pribadi adalah Sumber Hikmat. Sumber hikmat bukan buku filsafat atau tulisan-tulisan filsuf dunia terkenal, bukan pada teks-teks yang tidak bernyawa tetapi terletak pada Seorang Pribadi yang hidup. Orang modern mencari kebenaran secara objektif, orang postmodern muak dengan kebenaran objektif, maunya kebenaran subjektif. Kekristenan menjawab dengan tuntas. Manusia yang personal dalam menemukan interpretasi yang sesungguhnya (kebenaran) terhadap diri dan alam semesta harus melalui kebenaran yang berpribadi pula. From Personal to personal. Dalam hal ini, kekristenan konsisten dalam keseluruhan konsepnya. Yang berpribadi (personal) lebih besar dari yang tidak-berpribadi (impersonal) sehingga manusia yang berpribadi harus dipimpin dan dikuasai oleh Kebenaran yang berpribadi yaitu Kristus sendiri. Dialah Sang Kebenaran itu sendiri (Yoh. 14:6). Demikianlah fungsi nabi dari seorang manusia dalam menginterpretasi diri dan alam baru dapat dipertanggungjawabkan, dapat mewakili fakta yang sebenarnya, ketika manusia melakukan interpretasinya dipimpin oleh dan di dalam Kebenaran yang berpribadi yang juga adalah Sang Pencipta manusia dan alam ini. Hanya inilah yang dapat membuat seluruh interpretasi manusia benar adanya, baik interpretasi manusia terhadap diri seperti psikologi, maupun interpretasi manusia terhadap alam dalam ilmu pengetahuan ataupun interpretasi manusia terhadap kejadian dan peristiwa di sekitarnya. Semuanya harus dikembalikan dan dikerjakan hanya dalam pimpinan Sang Kebenaran yang menyatakan Diri-Nya dua ribu tahun yang lalu dalam sejarah dan dalam Firman-Nya, yakni Alkitab.

Dalam kehidupan kita sehari-hari, pernahkah kita memperhatikan payung kita masing-masing? Kenapa bisa ditemukan payung? Hampir semua manusia dan binatang, jika hujan, pasti berteduh. Tetapi hanya manusia yang akhirnya menemukan dan menciptakan payung. Mungkin memang idenya bisa diinspirasikan oleh daun pisang, tapi kemudian, bawa-bawa daun pisang ke mana-mana repot juga dan lagipula bisa busuk. Saya tidak tahu bagaimana sampai kemudian ditemukan payung, tetapi yang pasti itu berasal dari kemampuan manusia untuk menginterpretasi, baik dalam fungsi maupun rancangan struktur payung sehingga bisa dilipat dan ringkes dibawa ke mana-mana.

Mengapa harus cape-cape menginterpretasikan segala sesuatu dengan benar? Bukankah kadang kebenaran lebih menyakitkan daripada kebohongan atau kesalahan? Yang pasti, kebenaran tidak pernah menghancurkan manusia; kebohongan dan kesalahanlah yang menghancurkan manusia beserta dunia ini, bahkan menghancurkan manusia secara abadi, selama-lamanya. Paling sedikit, kemampuan interpretasi manusia yang sudah rusak saja, karena dosa, bisa menemukan sebuah tudungan yang bisa dilipat dan kemudian dibawa ke mana-mana untuk melindungi dari basah ketika sedang hujan. Bagaimana interpretasi yang sudah ditebus Kristus, kebaikan sebesar apakah yang dapat dihasilkannya? Marilah kita sebagai pemuda Kristen, penerus zaman, laskar Kristus, berani menundukkan seluruh kemampuan interpretasi kita kembali kepada fungsi semula, yaitu menginterpretasi diri dan alam ini di dalam Kebenaran yang sejati agar kita boleh dipakai Allah di tangan-Nya sebagai alat kemuliaan yang menggenapkan rencana kekal Allah di dunia ini, di zaman ini. Soli Deo Gloria.

Yenty Rahardjo Apandi

Pemudi GRII Singapura