It Is (Not) Well with My Soul: A Reflection on Depression

Ketukan itu terdengar dengan teratur. Yang kecil menunjuk ke angka 1, yang panjang menunjuk ke angka 3. Baju ini basah lagi. Mungkin karena berita mengatakan musim hujan sudah pergi, musim kemarau sudah tiba. Sudah berapa lama ya seperti ini? Seingatku baru saja makan malam dengan si dia. Ah, mengapa tiba-tiba terpikir lagi pengalaman putus dengan si mantan? Mengapa semua pikiran ini muncul lagi? Nanti pagi padahal ada pertemuan dengan client penting, tetapi otak ini menolak untuk istirahat. Apakah lebih baik aku minum pil saja? Tetapi ini sudah dua minggu lebih, dan dosis yang ada tidak membantu sama sekali.

 

Ah sudahlah, apalah artinya satu hari lagi. Hari-hari yang ada hanyalah angka di kalender. Sebentar saja dia disobek, lalu yang baru akan menggantikannya. Jika diri ini kembali terbangun dari tidur, apakah hari besok itu penting? Andaikan saja hidup ini seperti video game, dengan tombol reset yang tersedia untuk menghapus semua kesalahan yang sudah kulakukan. Aku ingin semua ini cepat berakhir.

Kita pasti pernah merasakan hidup yang kosong, hampa, dan tanpa gairah. Satu masa ketika hal sehari-hari yang kita lakukan tidak membawa “bahagia”, atau sepertinya sudah tidak ada maknanya lagi. Hobi yang tadinya membuat kita senang, sekarang terasa hambar. Pekerjaan sulit yang dilakukan sepertinya sudah tidak ada gunanya karena orang nanti akan melupakannya. Bisnis, usaha, atau kekayaan yang dibangun bertahun-tahun hilang dalam sekejap karena wabah yang mendunia. Keluarga dan sahabat datang dalam masa terbatas dan kemudian pergi untuk selamanya. Akhirnya, selamat datang depresi.

Depresi adalah penyakit yang menurut WHO dapat menyebabkan orang tidak dapat bekerja dan berakhir pada percobaan bunuh diri. Penyakit ini menginfeksi sekitar 264 juta manusia di seluruh dunia, dari usia muda hingga tua. Mulai dari orang sederhana, pekerja di kota, musikus seperti Rachmaninoff, pendeta, hingga raksasa iman seperti Musa (Mzm. 42-43) dan Elia pernah mengalaminya. Penyakit atau gejala ini mewabah, tetapi begitu sedikit yang sebenarnya kita pahami. Penyakit ini menyebabkan diri kita sendiri menjadi penipu ulung terhadap diri kita.

Artikel ini tidak berusaha menjadi sumber definitif tentang penyakit ini, namun setidaknya bertujuan memulai diskusi tentang hal yang kompleks ini.

 

Mencari Definisi

Terdapat bermacam-macam definisi yang tersedia perihal depresi. Konsensus umum yang diterima oleh para ahli kesehatan dan psikolog menyebutkan bahwa depresi adalah kondisi ketika seseorang secara terus-menerus, dengan intensitas ringan hingga parah, mengalami kondisi yang menyebabkan pengaruh negatif terhadap pola hidup yang umumnya ia lakukan. Contoh gejala-gejala tersebut meliputi:

  • Perasaan sedih
  • Kehilangan rasa nikmat atau ketertarikan pada aktivitas yang biasanya dilakukan
  • Perubahan pola makan, berat badan naik/turun bukan karena akibat diet
  • Sulit tidur atau kebanyakan tidur
  • Mudah lelah atau tidak bergairah
  • Peningkatan pergerakan tubuh yang tidak ada tujuan, seperti kesulitan berpikir, berkonsentrasi, atau mengambil keputusan

Gejala-gejala tersebut harus terjadi setidaknya selama dua minggu berturut-turut dan tidak terdapat kondisi medis yang dapat menimbulkan gejala tersebut (contoh: masalah tiroid, tumor/kelainan otak, kekurangan gizi) sebelum dapat didiagnosis sebagai depresi. Hal ini perlu ditekankan, karena orang yang mengalami depresi memang mengalami ketidakseimbangan zat kimia dalam tubuhnya, dan otaknya memang sedang mengalami masalah. Namun demikian, ketidakseimbangan kimia bukanlah satu-satunya penyebab dari depresi.[1]

Walaupun memang tertulis, definisi klinis yang baru saja disebutkan memiliki subjektivitas yang sangat tinggi. Bentuk gejala nyata depresi dari orang ke orang sangat mungkin berbeda. Oleh karena itu, mungkin kita bisa mencoba melihat definisi yang dijabarkan melalui media film.

Dalam film, depresi umumnya digambarkan sebagai sebuah perasaan yang membuat kita kehilangan relasi dengan dunia tempat kita berada. Film Melancholia, misalnya, menceritakan tentang gejala depresi melalui karakter “Justine”. Justine, seorang pengantin baru, digambarkan memiliki relasi yang “lepas” dengan lingkungan tempat dia berada. Waktu dalam perspektif dirinya terasa sangat lambat. Semua hal berjalan dalam slow motion. Selain itu, meskipun dia seharusnya merasa senang karena sedang mengadakan resepsi, terdapat momen-momen ia hanya menyendiri, pergi ke tempat lain, atau hanya sekadar berendam di kamar mandi dengan gaun yang lengkap. Terlebih lagi, ia digambarkan seolah-olah seperti orang asing bagi suaminya. Pada akhirnya, meskipun dunia akan kiamat, di saat karakter lain panik, dia hanya dengan tenang (bahkan cenderung stoik) menerima ajal yang akan datang. Hal serupa juga digambarkan dalam film The Beaver, yang menceritakan seorang CEO perusahaan mainan yang kehilangan “sentuhan” dengan dunia nyata. Rumah tangganya berantakan, perusahaannya hampir bangkrut, dan karyawannya sudah kehilangan kepercayaan terhadap dirinya. Walaupun demikian, yang dia lakukan hanya meneguk alkohol lalu tidur. Dia tidak mempunyai daya juang untuk menata hidupnya yang berantakan.

Selain definisi dalam film, dalam Alkitab sendiri, Mazmur 42 dan 43 menggambarkan perihal keadaan jiwa dari pemazmur yang sedang mengalami depresi. Timothy Keller menjelaskan bahwa kata “cast down” dalam perikop ini (Mzm. 42:5, 11, 43:5, ESV), dalam bahasa Ibrani tidak hanya menggambarkan tentang rasa lelah atau letih biasa, namun menggambarkan orang yang sudah putus asa dan kehilangan pengharapan. Dalam konteks pemazmur, hal ini terjadi karena ia sedang menghadapi musuh-musuhnya yang menghina Tuhan dan orang-orang yang berlaku tidak benar. Jiwanya begitu remuk sehingga ia merindukan kehadiran Allah. Mazmur 42:4 memperlihatkan hal yang sangat erat dengan konteks kita dalam wabah COVID-19 saat ini. Sang pemazmur mengingat kembali masa-masa ketika ia bisa beribadah bersama-sama dengan jemaat Allah yang lain dalam Kemah Suci. Karena musuh-musuhnyalah ia merasa bahwa Tuhan telah meninggalkannya (Mzm. 42:9). Bagian ini secara tidak langsung menunjukkan foreshadowing terhadap penderitaan yang akan dialami Yesus ketika Ia akan disalib—sebuah perasaan ditinggalkan Allah, Sang Sumber Hidup.

Hal serupa terjadi pada Elia dalam 1 Raja-raja 19:1-14. Setelah mengalahkan imam-imam Baal dan membunuh mereka (1Raj. 18), Elia berharap bahwa Israel segera bertobat dari penyembahan Baal. Namun demikian, bukannya Israel bertobat, Elia malah dikejar Izebel, yang terkenal mematikan nabi-nabi yang berlawanan dengannya, dan Elia pun terancam. Dalam kondisi tertekan ini, ia menjadi takut, seolah-olah “lupa” terhadap Tuhan yang sebelumnya membakar habis korban dan menurunkan hujan setelah bertahun-tahun tidak turun hujan. Ketika ancaman dari musuh itu terasa dekat, Elia menjadi takut dan melarikan diri, tanpa perintah dari Tuhan (1Raj. 19:3). Ia merasa gagal dan bahkan meminta Tuhan mencabut nyawanya saja (1Raj. 19:4). Inilah momen kritis dalam hidup Elia, sang nabi Allah. Tekanan terhadap jiwanya begitu hebat, sehingga menyebabkan nabi yang telah diurapi pun sulit melihat Allah.

 

Kejatuhan, Fakir Dopamin, dan Identitas yang Hilang

Satu hal yang jelas tentang depresi adalah: penyakit ini adalah penyakit yang sifatnya fisik dan rohani. Sejak kejatuhan Adam, kerusakan yang terjadi dalam manusia bersifat total dan menyeluruh. Semua aspek dalam diri manusia mulai dari rohani, pikiran, sampai fisik, mengalami kerusakan. Kita bisa, baik secara sadar maupun tidak sadar, menjerumuskan diri kita sendiri dalam keadaan depresi. Ini sudah jadi “mode standar” dari hidup manusia, yang dalam keadaan “normal” akan terus berjalan menuju keadaan mati tanpa pengharapan. Depresi hanya menggambarkan sebagian “gejala” dari kejatuhan ini.

Pemahaman akan kejatuhan ini menjelaskan fenomena yang ditemukan oleh para ahli kesehatan, bahwa orang yang mengalami depresi umumnya mengalami ketidakseimbangan zat kimia dalam tubuh. Dua zat kimia yang berperan penting dalam regulasi tubuh manusia adalah dopamin dan serotonin. Kedua senyawa tersebut bersinergi dalam mengatur pengelolaan perasaan, tidur, dan aktivitas tubuh. Pada orang yang mengalami depresi, cenderung ditemukan tingkat dopamin/serotonin yang terlalu tinggi atau terlalu rendah. Kondisi jiwa yang stres, gaya hidup, genetik, lingkungan, serta kondisi medis lainnya dapat memengaruhi intensitas gejala yang dialami. Tidak heran, selain stres berkepanjangan, orang yang mengalami kecanduan alkohol, pornografi, internet/media sosial, ataupun video game, sangat berisiko mengalami depresi karena keempat aktivitas tersebut memicu tubuh menghasilkan dopamin/serotonin dalam jumlah yang tinggi.

Hal yang lebih mendasar ketimbang aspek fisik dari depresi adalah aspek rohani. Depresi sangat terkait dengan identitas diri yang hilang. Sebagai manusia, identitas kita dibangun atas relasi antara diri dan entitas lain, baik yang bersifat natural (duniawi) maupun yang bersifat supranatural (Ilahi). Ketika relasi tersebut terganggu, khususnya yang supranatural, akan terlihat apakah sebenarnya kita sudah membangun relasi pribadi yang erat dengan Tuhan. Pekerjaan, status sosial, relasi, kesehatan, bakat, pencapaian, kebebasan beribadah, dan keluarga, semua ini adalah berkat yang Tuhan berikan kepada manusia. Jika hal-hal tersebut tiba-tiba diambil dari kita, sangat mungkin kita masuk dalam depresi karena identitas kita masih dibangun di atas hal-hal tersebut. Sebagai orang Kristen, sangatlah penting untuk tidak mendasarkan identitas kita hanya pada hal-hal natural tersebut, namun kepada Tuhan yang kekal saja.

Perlu ditekankan bahwa depresi tidak selalu disebabkan oleh dosa yang jelas kita lakukan. Elia dan pemazmur melakukan hal yang benar di hadapan Tuhan. Namun, perasaan seperti ditinggalkan Tuhan muncul pada kedua raksasa iman ini.

Dalam kasus Elia, kita melihat jelas bahwa ia adalah orang agung yang rindu akan datangnya pertobatan atas bangsa Israel. Sayangnya, cara bangsa Israel bertobat tidak sesuai dengan caranya. Dalam keputusasaannya, Tuhan menunjukkan kepada Elia bahwa Tuhan sudah mempersiapkan 7.000 orang yang masih setia (1Raj. 19:18). Ini tidak sesuai dengan perspektif Elia sendiri yang mengira bahwa hanya dialah satu-satunya orang yang masih setia terhadap Tuhan di Israel (1Raj. 19:10). Kisah Elia menunjukkan bahwa ketika jiwa seseorang dalam keadaan tertekan, dia bisa “lupa”, atau “buta” (“menyelubungi mukanya dengan jubahnya”, 1Raj. 19:13, TB), terhadap hal-hal yang Tuhan sudah tunjukkan kepadanya. Ancaman fisik (pembunuhan) atau psikis (dikejar musuh) dapat menimbulkan guncangan spiritual (gagal melihat Allah, penyertaan-Nya, dan berkat-berkat-Nya).

Harapan dalam Depresi

Hal yang dialami Elia juga terjadi dalam kasus pemazmur. Jiwa pemazmur tertekan oleh karena musuh-musuhnya (Mzm. 42:10-11, 43:1-2). Hal ini membuat dia larut dalam kesedihan yang berkepanjangan (Mzm. 42:4), dan jiwanya remuk (Mzm. 42:5). Walaupun demikian, dibandingkan dengan Elia, pemazmur masih mempunyai respons yang lebih baik dalam menghadapi tekanan dalam jiwanya. Dari pemazmur ini, Timothy Keller menjabarkan tiga hal praktis yang bisa dilakukan dalam menghadapi depresi:

  1. Berdoalah meskipun kita tidak sedang ingin berdoa.

Meskipun Tuhan tidak terasa ada baginya, sang pemazmur tetap secara sengaja berdoa kepada Dia (Mzm. 42:9). Hal ini akan terasa sangat sulit dan mungkin terdengar konyol. Namun demikian, hal ini akan jauh lebih baik ketimbang tidak berdoa sama sekali, karena Tuhan akan makin terasa jauh ketika kita tidak berdoa.

  1. Tantang pengharapan yang ada pada dirimu.

Sebagai orang muda, kita sering mengira bahwa cara mencapai kebahagiaan adalah, “Saya akan belajar baik-baik, bekerja keras dan setia, mencari istri yang takut akan Allah, membangun keluarga dengan baik-baik, lalu saya akan berbahagia.” Identitas dan perasaan kita dibangun terhadap pengharapan yang kita miliki. Ketika kita mengalami depresi, pengharapan ini terancam. Dalam momen yang berat ini, sang pemazmur tetap mendengar perasaan hatinya, tetapi juga mengkhotbahkan firman kepada dirinya sendiri. Dia menganalisis alasan kegundahan hatinya lalu kembali menaruh harapannya kepada Allah (Mzm. 42:5, 11, 43:5).

  1. Hiburlah dirimu dengan kasih Allah yang tidak bersyarat.

Mazmur 42:9 menunjukkan sang pemazmur yang kembali melihat kasih Allah yang tidak berkesudahan kepada-Nya. Sebagai orang percaya, salib Kristus adalah penghiburan yang begitu besar. Yesus yang disalib demi dosa kita mengalami keterpisahan kosmis dengan Bapa karena dosa kita yang ditanggung-Nya. Betapa besarnya pengharapan ini, Sang Bapa yang rela terpisah dengan Anak untuk menebus kita dari keterpisahan total!

Ketiga hal tersebut tidak mudah untuk dilakukan dan mungkin butuh bertahun-tahun untuk menguasainya.

Perlu diingat bahwa depresi menyebabkan kerusakan, baik secara rohani, mental, maupun fisik. Oleh karena itu, terkadang solusi dari aspek fisik dapat membantu menyelesaikan depresi. Ini bukan sebuah silver bullet yang secara otomatis menyelesaikan masalah depresi, namun hal ini bisa dipakai Tuhan dalam mengelola gejolak dalam jiwa.

Di dalam segi fisik, solusi yang diberikan dunia untuk menghadapi depresi mungkin dapat membantu mengurangi gejala depresi. Jika digunakan sesuai anjuran dokter, obat-obatan antidepresan yang tersedia atau diberikan kepada penderita depresi umumnya digunakan untuk mengurangi gejala yang timbul, dengan mengoreksi ketidakseimbangan zat kimia dalam tubuh. Di sisi lain, aktivitas yang dapat meningkatkan kualitas hidup (pola makan sehat, menghindari polusi, mengurangi stres, memperbaiki pola tidur, olahraga, dan mengurangi candu) juga dapat membantu dalam menyeimbangkan zat kimia dalam tubuh. Tuhan juga tidak melupakan aspek fisik dalam menyelesaikan depresi Elia. Ia melalui malaikat-Nya memberi makanan kepada Elia, agar ia mempunyai kekuatan untuk berjalan ke Gunung Sinai (1Raj. 19:5-8). Barulah setelah Tuhan mendukung Elia secara fisik, Ia mulai mengoreksi perspektifnya yang salah.

Yang perlu kita waspadai adalah pengharapan palsu yang menjanjikan penyelesaian instan terhadap masalah yang saat ini sedang kita alami. Tuhan tidak berkewajiban untuk menyelesaikan masalah kita apalagi menyelesaikannya dengan segera. Begitu juga ketika kita menghadapi orang yang mengalami depresi. Mereka bisa saja merasa bahwa hati mereka remuk, firman yang selama ini mereka baca terasa hambar. Ini bukan kesedihan yang sementara, tetapi kesedihan yang datang bisa berlarut-larut dan menghancurkan semangat hidup.

Dalam menghadapi gurun pasir iman ini, keberadaan sahabat rohani yang mau mendengarkan dan mau berjalan bersama dengan orang yang mengalami depresi sangatlah dibutuhkan. Orang yang mengalami depresi sedang “tertipu” oleh dirinya sendiri. Ia sulit melepaskan kacamata yang menyebabkan ia melihat semuanya dalam perspektif negatif. Mereka tetap membutuhkan firman Tuhan, yang disampaikan dengan cara yang lebih personal, menggugah pikiran, dan mengoreksi perspektif mereka yang salah, serta mengingatkan kembali akan kasih mula-mula yang Tuhan sudah berikan kepada mereka.

Marilah kita bersama-sama memperhatikan saudara seiman kita. Di dunia nyata, orang yang terlihat paling bahagia mungkin menyimpan kesedihan yang mendalam. Mereka membutuhkan orang yang mau mendengarkan dan mencoba untuk mengerti mereka. Mereka tidak bisa melihat dengan jernih pengharapan yang Tuhan sudah sediakan bagi mereka. Depresi adalah masalah yang multiaspek. Oleh karena itu, orang yang mengalaminya perlu didukung, baik melalui firman maupun pemenuhan kebutuhan fisik.

Kiranya Tuhan menolong kita dalam menghadapi masalah depresi ini, baik bagi yang mengalaminya ataupun yang menolong orang-orang tersebut. Namun satu hal yang perlu kita ingat: pertolongan yang sejati hanya ada di dalam Tuhan dan firman-Nya. Segala metode, baik pertolongan melalui obat-obatan, konseling, maupun metode lainnya, hanyalah media yang Tuhan pakai. Semua itu harus sejalan dengan prinsip yang Alkitab nyatakan. Kiranya sebagai saudara seiman, kita dapat saling menolong dan menguatkan sesama baik dalam memberikan maupun meminta pertolongan.

Alvin Natawiguna

Pemuda GRII Kebon Jeruk

Referensi:

  • – ESV Study Bible. 2016. Crossway.
  • – WHO. Depression. https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/depression.
  • – Puschak, Evan. 2016. Melancholia: Depression on Film.

https://www.youtube.com/watch?v=FPkANZ9HGWE.

  • – Keller, Timothy. 28 Feb 2020. Prayer of Thirst.

https://open.spotify.com/episode/2HfzJxgaSf5o0FwGfOhac7?si=neRd0dwIT3StkCRXFnl7Pw.

  • – American Psychiatric Association. January 2017. What Is Depression? https://www.psychiatry.org/patients-families/depression/what-is-depression.

Bacaan/Referensi Lanjutan:

  • – Martin Lloyd-Jones. 1965. Spiritual Depression: Its Causes and Its Cure.

https://www.monergism.com/spiritual-depression-24-part-mp3-series.

Endnotes:

[1] Ada teori medis lain yang menyatakan bahwa depresi disebabkan oleh ketidakseimbangan zat kimia dalam tubuh, namun teori ini secara umum diragukan oleh komunitas medis, karena mereduksi kompleksitas dari penyakit ini. https://www.health.harvard.edu/mind-and-mood/what-causes-depression.