It’s Just Football

Amir: Lho, lho, lhowah, masuk, wah masuk… gogo… gol, toenkwaduh, kena tiang deh

Beberapa waktu kemudian,

Benny: Wah, cakep… ckckck… Messi, oper ke Tevez, Messi lagi, Higuain, … Goal!!!i

Itulah kira-kira gambaran yang terjadi di musim bola ini di sekitar kita. Yes, it is World Cup 2010. Sedangkan di berbagai belahan dunia lainnya, peperangan seolah berhenti, perbedaan sengit ideologi tak muncul, kedamaian tercipta. Tertawa bersama, menangis bersama, dan juga gila bersama. Para penggemar bola menemukan kenikmatan dan nilai dari permainan sepak bola. Sebenarnya apa sih yang didapat dari main bola, nonton bola, dan menikmati bola? Istilah MessiDona (Messi = penerus Maradona) atau Messiah didengungkan karena kehebatan seorang Lionel Messi dari tim Argentina favorit juara tahun ini.ii

Sotoy: Bukannya cuma bola menggelinding yang nilainya banyak dipengaruhi kebetulan dan keberuntungan (tanpa mengesampingkan faktor teknik dan tim yang sangat esensial)?

Gibol: Yahhelu nggak tahu seninya sih… Ada yang disebut momentum dan momen. Kairos atau theology of time. Mana bisa disamakan?

Sotoy: Halahhh… rupamu… bola dilihat dari mana-mana ya bulat, itulah keindahan ciptaan Tuhan. Pakai kairos atau theology of time segala. Aku pakai theology of creation pakai bentuk bulat kalau begitu. Ada matahari, bumi, bulan, ciptaan Tuhan yang bulat-bulat. Buktinya, lihat aja, gara-gara 1 bola bulat diperebutkan 22 orang di lapangan, yang katanya membawa perdamaian atau apapun namanya, bisa membuat pelatihnya merengut, penjudi bola bunuh diri, berbagai kerusuhan di bar, atau bonek di Indonesia yang terkenal. Itu semua kan subjektif, tergantung gimana kita menyikapinya. Hati yang gembira adalah obat, tapi patah hati meremukkan tulang. Semuanya subjektif dari hati masing-masing orang pokoknya. Hati cuma 1 kok diputar-putar emosinya mengikuti perputaran bola. Hati itu harusnya berpaut pada Tuhan.

Gibol: Emang orang senang bola berarti hatinya nggak berpaut ama Tuhan? Tunggu sampai elu jatuh cinta. Hatimu berpaut ama Tuhan atau ama pacarmu. Gue sih terserah. EGP. Elu elu, gue gue. Emang nonton bola enak kok.

Sotoy: … It’s just football.

It’s just football.” Kalimat itu muncul dari mulut pemain Portugal yang mengharapkan Korea Utara bermain baik melawan Pantai Gading di laga terakhir sesudah timnya menggelontor Korea Utara 7-0.iii Tetapi benarkah “It’s just football?” Itulah petikan kalimat dari salah satu surat kabar Singapura yang menampilkan foto keluarga kiper Korea Utara sedang menonton aksinya di World Cup. Benarkah “It’s just football” bagi Korea Utara? Bagi Korea Utara yang kebanggaan negara adalah terutama, sepak bola adalah olahraga yang paling populer termasuk sangat digemari oleh Kim Jong Il, dan penampilan kedua Korea Utara sepanjang sejarah World Cup termasuk penampilan baiknya melawan Brazil merupakan kebanggaan tersendiri. Benarkah “It’s just football”? Tentu tidak, It’s more than just a football. Mood sosial, gairah masyarakat, dan juga kepentingan politik tidak bisa terpisahkan untuk event seakbar World Cup ini. Perhatikan saja, kekalahan Perancis, runner-up World Cup 2006 periode sebelumnya, telah menyebabkan pemerintah Perancis turut bertindak termasuk menyalahkan kebudayaan Inggris yang buruk telah mempengaruhi para pemainnya yang merumput di sana. Jadi, kalimat “It’s Just Football” sangat berpotensi menjadi trauma dan terngiang-ngiang di telinga mereka yang berduka. Bagaimanakah seharusnya kita memandang? Haruskah kita menyetujui Sotoy bahwa semuanya adalah subjektif tergantung cara kita memandang?

Subjektif & Objektif

Sepanjang sejarah epistemologi dan filsafat, para filsuf berusaha mengerti apakah itu kebenaran. Jika Pdt. Dr. Stephen Tong mengatakan: “Who Am I?”iv merupakan salah satu pertanyaan terbesar di dalam sejarah umat manusia, demikian pula pertanyaan “What is Truth?” Apakah kebenaran itu? Apakah sifat kebenaran itu? Apakah kebenaran itu bersifat subjektif? Apakah kebenaran itu bersifat objektif? Rumit? Bingung? Pusing? Puyenk? Sebenarnya hal ini sangat erat dalam kehidupan teman-teman dan kita semua di peralihan zaman modern yang sangat menekankan objektivitas dan posmodern yang menjunjung subjektivitas ini. Masih merasa rumit? Bingung? Pusing? Puyenk? Tapi jadi lebih tertarik untuk membaca dan mengerti lebih jauh? Mari kita lihat lagi teman kita Anton, Budi, dan kawan-kawan (baca artikel Pillar edisi 83 – Juni 2010, dengan judul: Right in His Own Eyes).

Secara objektif, mengapa ketika kita mendengarkan sebuah lagu, kita tetap dapat membedakan unsur-unsur keindahan yang diterima oleh orang banyak secara umum? Berulang kali dengan kesabarannya Pdt. Billy Kristanto menjelaskan bahwa Do-Re itu tidak enak sedangkan Do-Mi itu merdu apabila dimainkan bersamaan. Mengapa? Karena Tuhan di dalam wahyu umum-Nya telah mengaruniakan nada dan frekuensi di dalam alam ini secara demikian. Bahwa frekuensi Do dan Re itu disharmonis dan frekuensi Do-Mi itu harmonis. Mirip dengan dalil magnet berlawanan jenis itu tarik-menarik sedangkan yang sejenis itu tolak-menolak. Jadi musik itu ada dalilnya yang objektif.

Di sisi lain, secara subjektif, sebuah lagu dapat membuat orang menangis, tertawa, terluka, terhibur, murung, sukacita, mengantuk, melonjak, tenang, berdansa, menghina diri, bangga, stres, bersyukur, gila, dan berbijaksana. Bahkan Tuhan berkenan untuk memakai puji-pujian menjadi takhta hadirat-Nya yang membawa iman pengharapan, tetapi sebuah lagu juga dapat membuat orang bunuh diri. Mengapa lagu yang jelek sekali disukai oleh Charlie? Saya yakin teman-teman pasti bisa mengira-ngira kenapa. Tapi apakah berarti memang yang subjektif itu menelan yang objektif? Dan bukankah kelihatannya oke-oke saja kalau memang manusia sebagai subjek menaklukkan alam sebagai objek? Termasuk katanya kalau manusia mau mempelajari Allah, manusia tidak boleh memperlakukannya sebagai objek tetapi harus menaklukkan dirinya (to subject himself) di bawah Allah yang berdaulat?v

Bahkan kalau kita melihat sejarah penafsiran Alkitab, masalah subjektif dan objektif ini sudah dimulai sejak zaman Bapa-bapa Gereja yaitu School of Antiochvi dan School of Alexandriavii dengan penekanannya masing-masing. School of Antioch yang lebih objektif menekankan pentingnya melihat konteks sejarah dan grammar bahasa dari teks Alkitab sedangkan School of Alexandria lebih subjektif dengan menekankan arti figuratif di balik teks, bukan interpretasi literal semata.viii Di dalam Alkitab sendiri pun Yesus berulang kali menyatakan perumpamaan yang diberikan untuk menutup maksud aslinya supaya yang mendengar tidak mengerti dan yang melihat tidak menanggap sebagai bentuk hukuman dan penghakiman Tuhanix.

Kebenaran

Banyak di antara kita sudah tahu kalau Alkitab adalah kebenaran. Kurang? Alkitab adalah kebenaran maka dari itu Alkitab berotoritas. Masih kurang? Alkitab adalah kebenaran yang berotoritas tertinggi karena berasal dari Allah. Masih kurang lagi? Alkitab adalah satu-satunya kebenaran yang berotoritas tertinggi karena berasal dari Allah sejati yang Esa.

Berikutnya, kurang sedikit dari yang tadi, tapi mungkin masih banyak juga di antara kita, yang sudah tahu kalau Alkitab itu adalah salah satu wahyu Allah sejati yang Esa. Kurang? Alkitab adalah wahyu Allah sejati yang Esa yang khusus dinyatakan kepada umat-Nya. Masih kurang? Alkitab adalah wahyu khusus Allah sejati yang Esa yang dinyatakan kepada umat-Nya untuk menginterpretasi wahyu umum Allah. Masih kurang lagi? Alkitab adalah kunci master untuk mengerti keutuhan wahyu (umum dan khusus) dalam keseluruhan hidup manusia.x

Lanjut lagi, mungkin kurang lebih sama dari yang tadi, yang juga sudah tahu kalau wahyu itu adalah kebenaran dari Allah yang benar, tetapi kemudian mempertanyakan peran manusia dan keberadaan dosa. Kurang? Bahwa wahyu umum Allah itu direspons oleh manusia berdosa secara terdistorsi dan bentuk eksternalnya adalah budaya dan internalnya adalah agamaxi. Masih kurang? Kalau wahyu umum direspon secara distorsi, tentu saja sangat wajar dan mungkin sekali wahyu khusus direspon secara distorsi pula. Masih kurang lagi? Kalau begitu masalahnya sekarang bagaimana kita merespon keutuhan wahyu dengan sedekat mungkin dengan Alkitab sebagai kunci master.

Maka konsep pencarian kebenaran, yaitu pergumulan mengetahui kehendak Allah, yang baik, yang berkenan, yang sempurnaxii; yang adalah pekerjaan baik yang telah disiapkan Allah sebelumnyaxiii; yang ditandai oleh segala sesuatu bekerja bersama-sama mendatangkan kebaikanxiv; yang memberikan kepastian jawaban doaxv; sekarang yang menjadi pemikiran kita.

Lantas, apa hubungan kebenaran, kebenaran Allah, subjektif dan objektif? Apa kaitannya dengan panggilan dan kehendak Allah? Apa kaitannya dengan kerajaan Allah dan tubuh Kristus yaitu Gereja sebagai wakil Tuhan di dunia ini? Kita nanti akan melihat bagaimana segala sesuatu bekerja untuk Yusuf (dibandingkan dengan Ahitofel) di dalam kaitan kehendak Allah dan panggilan-Nya.

Jika kita mengamati panggilan Tuhan di dalam Alkitab, semuanya tidak lepas dari hubungan pribadi seseorang dengan Tuhan secara subjektif. Apa yang terjadi pada setiap orang itu unik dan berbeda dari yang lain. Abraham mendengar suara Tuhan dan langsung keluar dari tanah Urxvi, Yakub merebut hak kesulungannyaxvii dan bermimpi dalam perjalanan ke Labanxviii serta bergumul semalam-malaman dengan Tuhan di Pniel di tepi sungai Yabokxix, Yusuf melihat mimpi mengenai panggilan masa depannya dan masih penuh misteri tetapi bersemangat untuk menceritakannya kepada saudara-saudaranyaxx, Musa penuh alasan ketika bertemu dengan semak belukar yang menyala untuk memimpin Israel keluar dari tanah Mesirxxi, Yosua dipanggil untuk meneruskan Musa membawa Israel masuk ke Kanaanxxii, Samuel sejak kecil telah belajar mendengar suara Tuhanxxiii, Daud diurapi oleh Samuelxxiv, Yesaya melihat takhta Allah dengan kerubim serta merasa najis bibirxxv, Yeremia merasa terlalu muda dan tidak tahu bagaimana berbicaraxxvi, dan seterusnya.

Hanya dari daftar pahlawan iman di Ibrani 11 saja kita sudah kekurangan waktu menyebutnya satu persatu.

Karena iman Habel telah mempersembahkan kepada Allah … Allah berkenan akan persembahannya itu dan karena iman ia masih berbicara, sesudah ia mati.

Karena iman Henokh terangkat … ia berkenan kepada Allah. Tetapi tanpa iman tidak mungkin orang berkenan kepada Allah.

Karena iman, maka Nuh–dengan petunjuk Allah tentang sesuatu yang belum kelihatan–dengan taat mempersiapkan bahtera, karena iman itu ia menghukum dunia dan ia ditentukan untuk menerima kebenaran.

Karena iman Abraham taat, ketika ia dipanggil untuk berangkat … dengan tidak mengetahui tempat yang ia tujui. Karena iman ia diam di tanah yang dijanjikan itu seolah-olah di suatu tanah asing. Karena iman ia juga dan Sara beroleh kekuatan untuk menurunkan anak cucu.

Karena iman maka Ishak, sambil memandang jauh ke depan, memberikan berkatnya kepada Yakub dan Esau.

Karena iman maka Yakub, ketika hampir waktunya akan mati, memberkati kedua anak Yusuf.

Karena iman maka Yusuf menjelang matinya memberitakan tentang keluarnya orang-orang Israel dan memberi pesan tentang tulang-belulangnya.

Karena iman maka Musa, … meninggalkan Mesir dengan tidak takut akan murka raja. Ia bertahan sama seperti ia melihat apa yang tidak kelihatan.

Karena iman maka runtuhlah tembok-tembok Yerikho.

Karena iman maka Rahab tidak turut binasa.

Dan apakah lagi yang harus aku sebut? Sebab aku akan kekurangan waktu, apabila aku hendak menceriterakan tentang Gideon, Barak, Simson, Yefta, Daud dan Samuel dan para nabi, yang karena iman telah menaklukkan kerajaan-kerajaan, mengamalkan kebenaran, memperoleh apa yang dijanjikan, menutup mulut singa-singa, memadamkan api yang dahsyat. Mereka telah luput dari mata pedang, telah beroleh kekuatan dalam kelemahan, telah menjadi kuat dalam peperangan dan telah memukul mundur pasukan-pasukan tentara asing.

Jika kita melihat maka sangat jelas bahwa panggilan orang berbeda-beda satu sama lain. Abraham dengan iman dipanggil ke Kanaan dan tinggal sebagai orang asing tetapi belum juga tanah itu dimilikinya maka Yakub harus pergi dari Kanaan untuk ke Mesir di mana Tuhan memakai Yusuf dan panggilannya untuk itu. Baru sesudah itu, Musa yang membawa bangsa Israel keluar dari Mesir untuk kembali ke Kanaan. Maka, kita mungkin dengan mudah akan mengatakan pergumulan orang beda-beda sebagai alasan bukan melihat takhta Tuhan atau panggilan orang beda-beda maka kebenaran itu subjektif tergantung orang masing-masing. Tetapi sesungguhnya kalau kita mau melihat di balik fenomena yang berbeda tiap pribadi, mereka memiliki satu alasan yang sama. Karena Iman. Mereka dipersatukan oleh imanxxvii. Dan itulah kualitas dari pahlawan-pahlawan iman yang menjadi pengikat objektivitas bahwa kehendak Tuhanlah yang mereka harapkan. Adakah kita bergumul dengan Tuhan seperti para pahlawan iman yang menjadi teladan kita?

Selanjutnya, contoh yang lebih jelas dan konkret, apabila kita memperhatikan cara Tuhan bekerja yang menyatakan karakter-Nya dan perbuatan-Nya yang ajaib melalui dan berelasi dengan umat yang dikasihi-Nya. Benarkah kebenaran itu subjektif? Atau kebenaran itu objektif? Atau sebaliknya? Ada peristiwa yang menarik kalau kita membandingkan kisah Yusuf dan Ahitofel. Lho, apa hubungannya? Satu di kitab Kejadian, satunya di 2 Samuel. Bukankah begitu jauh? Kita hanya akan membandingkan kehidupan mereka dalam kaitan dengan objektivitas dan subjektivitas. Kita mungkin pernah berpikir bahwa mengapa Yusuf begitu bodoh dan naif dalam kemudaannya dengan mengumbar isi hatinya kepada saudara-saudaranya sehingga menyebabkan dia harus ditolak, dibuang, hampir dibunuh, dan dijual?xxviii Coba dia berotak, berbijaksana, dan berpengalaman seperti Ahitofel yang nasihatnya dianggap sama dengan kemutlakan firman Tuhan, pastilah dia tidak mengalami kecelakaan. Tetapi kita melihat sendiri apa yang terjadi dan tercatat di dalam sejarah yaitu Ahitofel mati bunuh diri.xxix Yusuf di dalam kenaifan subjektivitasnya diperkenan oleh Allah penguasa sejarah untuk meremukkannya dalam kesakitan dan baik bagi seorang muda untuk menanggung beban beratxxx, sebaliknya Ahitofel di dalam ketajaman analisisnya yang objektif mampu melihat sangat jauh apa yang terjadi di depan tetapi ada kuasa yang tidak dapat dikontrol olehnya yaitu bahwa Tuhan tidak ada di pihaknya. Akhirnya, Yusuf bertahan karena iman kepada Allahnya sedangkan Ahitofel hancur di dalam subjektivitasnya sesudah menganalisis kejadian dengan objektif karena melihat Allah bekerja tetapi bukan di pihaknya.xxxi Oh! Betapa seharusnya kita bersyukur apabila Allah ada di pihak kita.xxxii

Mampukah manusia melawan Allah yang hidup? Apakah hidup ini dibentuk secara murni dari hubungan sebab akibat dan kebetulan saja? Jika kesuksesan duniawi semata yang kita kejar tanpa melihat kepada Tuhan dan panggilan-Nya atas kita, pemikiran yang kebetulan-kebetulan seperti itu sangat mungkin terlihat benar.xxxiii Dan di tengah-tengah keterbatasan bahasa dan konteks, Alkitab pun menggunakan dan membedakan kebetulan dan intervensi Tuhan, antara peristiwa natural dan supernatural.xxxiv

Kehidupan manusia berpribadi yang subjektif, yang dicipta oleh Allah berpribadi yang subjektif, tidak bisa lepas dari semua elemen subjektif ini.xxxv Termasuk sepak bola. Permainan menjadi sangat menarik apabila seorang pemain bekerjasama dengan timnya dapat dengan lincah mengecoh dan menari secara elegan menyatu dengan ritme bola serta membuka, menciptakan, menyiapkan, mengejar, menangkap, merebut kesempatan.xxxvi xxxvii Lagi-lagi ini adalah permasalahan kesempatan yang mirip dengan kasus kenaifan Yusuf dan analisis tajam Ahitofel. Tetapi saya percaya yang besar harus besar, yang kecil harus kecil, yang penting harus penting, yang mutlak harus mutlak, dan relatif harus relatif. Mengenai bagaimanakah kita menggunakan kesempatan termasuk contoh ekstrem dengan mempertaruhkan jiwa kehidupan kita kepada kesempatan dan probabilitas yang tak menentu seperti judi sepak bola yang bernilai jutaan, bukan sekedar permainan lagi di mana harga diri dan keberadaan keluarganya bergantung, itu sudah jelas dilarang oleh Tuhan. Lain halnya dengan menyerahkan seluruh hidup dan masa depan yang terlihat tidak menentu kepada Tuhan subjektif yang dinamis seolah tak menentu sekaligus yang pasti dan menentu, dan kita menyerahkannya karena iman dan dengan iman yang bergumul. Iman yang bergumul dengan teks firman Tuhan yang objektif, tetapi bukan yang mati dengan pengarang yang mati, tapi disertai oleh pribadi Roh Kudus yang subjektif dengan kepenuhan kuasa-Nya yang hidup dan memimpin kita ke dalam seluruh kebenaranxxxviii.

Dan terakhir, berapa banyak tukang becak Kristen dengan iman sederhana yang lebih beriman dari mahasiswa dan pengusaha Kristen di kota besar? Mengapa kekuatan kasih memampukan Albert Schweitzer, Mother Teresa, dan Mahatma Gandhi untuk pergi dan melayani orang-orang yang tidak berguna secara objektif karena tergerak oleh kasih yang subjektif? Kasih itu murah hati, sabar, menutupi segala sesuatu, di mana salib Kristus menjadi pusat. Apakah yang objektif ditelan oleh subjektif? Tidak! Bukan objektif yang ditelan oleh subjektif, tetapi dosa yang telah ditaklukkan oleh kebenaran dan kasih di atas kayu salib yang sekaligus subjektif dan objektif. Ini semua dipuncakkan kepada Kristus sebagai subjektivitas kebenaran yang objektif itu sendiri, bahwa Kristus dan Allah Tritunggal adalah Allah yang subjektif, yang memihak, yaitu memihak diri-Nya, diri-Nya yang pencemburu; tetapi diri-Nya sekaligus adalah Allah yang objektif, diri-Nya kebenaran, yang setia, yang tidak berubah, yang adil, yang penuh cinta kasih dan kebaikan. Allah itulah yang memberikan wahyu, wahyu umum dan khusus-Nya di dalam keutuhan wahyu, kepada keutuhan hidup dari umat yang dikasihi-Nya.

Lukas Yuan Utomo

Redaksi Bahasa PILLAR

i Tinggal bersama teman-teman yang gila bola (gibol) memang memberikan nuansa tersendiri. 4 dari 6 orang di rumah kami benar-benar gibol sehingga rela merogoh kantong demi menonton World Cup karena di Singapura layanan ini tidak gratis. Mau tidak mau, berita terhangat dan up-to-date selalu masuk ke telinga termasuk saat penulisan Pillar ini sedang berlangsung pertandingan Slovakia vs. Italia dengan skor sementara 2-0. Catatan: Amir dan Benny bukan nama sebenarnya.

ii Ada pertaruhan juara World Cup 2010 di antara teman-teman kantor saya dan kurang lebih 50% menjagokan Argentina sebagai juara dengan Messi yang menonjol. Hal ini juga terbukti dari penampilan prima dan kemenangan mutlak Argentina selama ini di penyisihan grup dengan meraup 9 poin.

iii http://www.todayonline.com/WorldCup/EDC100623-0000123/More-than-just-football [Diambil pada tanggal: 24-06-2010]

iv SPIK 2010 – Rahasia Kemenangan dalam Cinta dan Sex Menuju Pernikahan, 28 Mei 2010.

v Tong, S. Iman, Rasio, dan Kebenaran.

vi Lucian of Samosata, Theodore of Mopsuestia, John Chrysostom

vii Origen, Athanasius

viii Lopes, A. N. Lecture on A Short History of the Interpretation of the Scriptures, Maret-April 2009.

ix Mat. 13:14. Konsep perumpamaan yang juga mengutubkan ini merupakan ciri khas dari pelayanan Yesus dan cara kerja Tuhan Allah sejak Kejadian yang erat kaitannya dengan konsep wahyu Van Til: revelation of grace and wrath. Untuk poin ini sudah sangat banyak dibahas di edisi sebelumnya atau artikel-artikel lain di edisi ini. Mungkin hanya menambahkan sedikit bahwa musik yang sama bisa menjadi trauma dan sukacita bagi orang yang berbeda dalam kasus Anton, Budi, dkk. Begitu juga even yang menjadi konteks kalimat “It’s Just Football ” bagi North Korea dan Portugal.

x Baca Pillar edisi-edisi sebelumnya untuk lebih jelasnya.

xi Tong, S. Dosa dan Kebudayaan.

xii Rm. 12:2

xiii Ef. 2:10

xiv Rm. 8:28

xv 1Yoh. 3:22

xvi Kej. 12

xvii Kej. 27

xviii Kej. 28:10 dst.

xix Kej. 32:22 dst.

xx Kej. 37

xxi Kel. 3

xxii Ul. 31

xxiii 1Sam. 3

xxiv 1Sam. 16

xxv Yes. 6

xxvi Yer. 1

xxvii Ef. 4:5

xxviii Kej. 37

xxix 2Sam. 17:23

xxx Rat. 3:27

xxxi Bdk. dengan sifat Kristus yang mengutubkan dan juga Kristus sebagai subjektivitas dari kebenaran objektif itu sendiri. Kaitkan lebih jauh dengan Allah Tritunggal yang satu dan jamak. Bdk. lebih jauh kaitan subjektif dan objektif dengan kalimat Pdt. Stephen Tong mengenai Allah yang mengikat diri (self-control) dengan karakter dan sifat-sifat-Nya.

xxxii Rm. 8:31

xxxiii Bdk. The Outliers, buku dari Malcolm Goldwell

xxxiv 1Sam. 6:8-9. Meskipun keluar dari mulut imam dan petenung Filistin, tetapi saya percaya secara rasional dan sadar kita juga berpikir serta berkata-kata seperti itu. Hal itu sangatnyata melalui mujizat dan tanda yang dipakai oleh Tuhan untuk meneguhkan umat-Nya mulai dari Kejadian sampai Wahyu. Baik mereka di dalam konteks Ancient Near East sekitar abad 10 SM ataupun kita di dalam konteks modern pasca abad 20 dapat berpikir hal yang sama. Termasuk Pdt. Stephen Tong juga dengan sukacita mengatakan bahwa ada 2 hal yang mempengaruhi tingginya mutu kualitas Aula Simfonia Jakarta: 1. Anugerah Tuhan, 2. Kebetulan, meskipun kita semua percaya tidak ada yang kebetulan di hadapan Tuhan.

xxxv Untuk analisis lebih jelas mengenai pemisahan antara sacred and secular, fact and value, deterministic and morality, etc, baca lebih jauh di “Total Truth” oleh Nancy Pearcey.

xxxvi Latihan untuk tidur dan bermain dengan bola, medan lapangan yang keras, arahan yang lebih bebas dan fleksibel untuk pemain menjadi kunci sepak bola indah dari tim Brazil selama ini.

xxxvii Orang-orang lebih memilih permainan yang menarik, indah, dan luwes selama 90 menit daripada permainan yang banyak gol tetapi semuanya terjadi dengan kebetulan yang jelek dan permainan yang kaku. Perhatikan komik Shoot! dengan cara bermain total football yang mengalir. Lebih jauh lagi mengenai komik, banyak pemuda-pemudi menjadi menggemari berbagai macam hal karena komik yang memiliki kekuatan penceritaan yang dramatis dan bermakna. Shoot dan Captain Tsubasa untuk sepakbola, Slam Dunk! untuk basket, Harlem Beat untuk street basket mungkin masih tidak terlalu terasa karena olahraga tersebut memang sudah cukup favorit, tetapi bagaimana untuk mereka yang jadi terbuka terhadap igo karena Hikaru No Go dan pacuan kuda karena Sylphid dan Mars?

xxxviii Poin ini erat kaitannya dengan konsep Van Til mengenai cara Tuhan bekerja: Presence, Word and Deeds. Untuk poin ini juga sudah dibahas salah satunya di artikel “Wahyu Khusus dalam Hidup orang Kristen” di edisi ini.