Itu Kan Loe, Bukan Gua!

Suatu hari, guru kami memberikan tugas yang banyak sekali kepada kami, dan kami hanya diberikan waktu dua hari saja untuk menyelesaikan tugas-tugas itu. Padahal jadwal sehari-hari kami sudah padat sekali. Setiap hari dimulai dengan bangun pagi, beres-beres, pergi ke sekolah, sepanjang hari belajar dari satu mata pelajaran ke mata pelajaran lain, dari satu aktivitas ke aktivitas lainnya. Saat kami pulang sekolah pada sore hari, biasanya langsung dilanjutkan dengan pergi les, mulai dari bahasa asing, bermain alat musik, sampai kepada mata pelajaran sekolah. Tidak cukup dengan waktu yang tersita karena les sana-sini, tetapi juga waktu yang harus disediakan untuk mengerjakan PR-PR dari les. Maka adalah hal yang sangat logis jika kami protes kepada guru bahwa kami tidak bisa secepat itu menyelesaikan tugas tersebut. Anehnya, satu kelas menjadi kompak mendadak untuk protes kepada guru, teman-teman semuanya mempunyai satu suara yang sama. Tetapi… tiba-tiba ada salah satu teman membalas, “Koq tidak bisa selesai. Aku saja yang jadwal padat bisa selesai.” Hampir serentak kami menjawab dengan berkata, “Itu kan loe, bukan gua!”

“Itu kan loe, bukan gua!” Kalimat ini mungkin sering kita gunakan untuk situasi-situasi tertentu dalam kehidupan kita sehari-hari, khususnya dalam situasi di mana kita harus melindungi atau mempertahankan diri dengan membedakan diri kita dengan orang lain. Lalu sebenarnya apa makna di balik kalimat ini? Pertama, loe dan gua beda, gua adalah gua dan loe adalah loe, gua bukan loe dan loe bukan gua. Melalui pembedaan ini, sebenarnya kita ingin mengatakan bahwa kita tidak ingin diperbandingkan dengan siapapun dan apapun. Apalagi perbandingan yang menuntut diri kita untuk berubah. Maka, sebenarnya saat itu kita berhenti dengan keadaan diri kita sendiri. Kita tidak mau berubah, kita tidak ingin berjuang menjadi lebih baik. Kita puas dan nyaman dengan keadaan kita sekarang.

Dalam konteks berelasi dengan firman Tuhan pun kita sering mengeluarkan kalimat ini, yang berarti bahwa sebenarnya kita tidak mau bertumbuh di dalam Tuhan. Kita tidak mau diri kita dikoreksi oleh kebenaran firman Tuhan, walaupun kita selalu mengatakan kita mau berubah dan sedang berusaha berubah. Tapi kenyataannya, sebenarnya kita tidak mau membuka diri kita untuk menerima kebenaran. Kebenaran yang seharusnya kita lihat dan pelajari adalah firman Tuhan, satu-satunya standar bagi kehidupan manusia. Maka, ketika diri kita berhadapan dengan firman-Nya, seluruh kehidupan kita harus bersedia dibongkar dan diubahkan, sehingga semakin hari semakin sesuai dengan firman Tuhan, meskipun harus melalui pergumulan jatuh bangun.

Pengalaman jatuh, kegagalan hidup menjalankan Firman tidak boleh membuat kita menjadi putus asa dan menyerah untuk berubah. Mengapa? Karena hidup harus didasarkan kepada kebenaran firman Tuhan dan bukan pengalaman kita. Jika segala sesuatu yang kita lakukan itu benar di hadapan Tuhan, maka jangan ragu-ragu berjuang untuk berbuat sampai hal tersebut tercapai dalam hidup kita. Karena di dalam hidup ini semuanya adalah dari tangan Tuhan. Hidup kita sendiri Tuhan yang membuatnya, Tuhan yang berikan. Maka, seluruh hidup harus dipertanggungjawabkan kembali di hadapan Tuhan, harus diisi hanya dengan kehendak Tuhan, menggenapkan rencana Allah dalam hidup yang Dia berikan, bukan rencana kita. Jadi, hidup adalah berjuang untuk berubah terus-menerus sesuai dengan kehendak Allah, bukan diam menerima apa adanya kita yang berdosa ini.

Kedua, kita merasa diri kurang sehingga orang lain perlu dan harus mengerti dan memperhatikan kita. Di balik perbuatan tersebut jika dikaitkan dengan “Itu kan loe, bukan gua!” maka sebenarnya kita sedang menarik orang lain untuk merasa iba kepada kita dengan cara “merendahkan diri” dengan kata-kata seperti itu. Gua kan tidak seperti loe yang hebat, yang lebih dari gua, gua kan cuman orang biasa yang bodoh, tidak sanggup apa-apa, tidak seperti loe, maka jangan minta gua melakukan lebih dari yang gua bisa, cobalah mengerti keadaan gua! Apakah perbuatan itu dapat dibenarkan di hadapan Tuhan? Tentu saja tidak. Karena kita sedang mengasihani diri sehingga menarik sekitar kita memusatkan perhatian kepada kita, kita merasa hanya diri inilah yang perlu diperhatikan saat itu. Kita itu ‘anthroposentris’ atau ‘self-centered’ yang artinya ‘diri menjadi pusat dari segala sesuatu’. Hidup yang demikian melanggar 10 hukum Allah dalam hukum yang pertama dan kedua (Keluaran 20 : 3, 5a). Jangan ada padamu Allah lain di hadapan-Ku; Jangan sujud menyembah kepadanya.

‘Diri menjadi pusat dari segala sesuatu‘ menjadikan diri kita allah, menjadikan diri kita titik acuan bagi semua yang di sekitar kita, menjadikan diri kita tujuan tindak-tanduk dari orang-orang sekitar kita. Semua tingkah laku kita menjadi untuk diri, kehendak kita tertuju pada diri, termasuk relasi kita dengan orang lain juga adalah untuk diri, perbuatan orang lain kita tuntut harus ditujukan kepada diri kita dan bukan untuk Allah. Padahal Alkitab dengan jelas mengajarkan, semua adalah untuk Tuhan dan Tuhan pusat dari segala sesuatu. Apa yang menyebabkan kita berbuat demikian? Alkitab mengatakan itu karena dosa. Dosa membuat pikiran kita diputarbalikkan dari firman Tuhan. Yang seharusnya semuanya fokus ke Tuhan menjadi fokus ke diri, yang seharusnya ditujukan kepada Tuhan menjadi ditujukan kepada diri, hidup yang seharusnya seutuhnya untuk Tuhan menjadi untuk kesenangan, kenyamanan, dan kemuliaan diri.

Suatu kali di sekolah, guru meminta kami membuat suatu kelompok untuk menyusun kliping tentang bencana alam. Di dalam kelompok tersebut, ada teman yang bisa mencari berita dengan cepat dan tepat. Kemudian sebagian mulai berpikir bahwa itu kan dia yang mempunyai banyak talenta. Sedangkan saya kan hanya segini saja. Ketika kita mulai berpikir “saya kan hanya segini saja“, maka tujuan penyelesaian tugas tersebut akan bergeser dari untuk Tuhan menjadi untuk diri saja. Hasilnya pas-pasan saja tidak apa-apa. Tidak lagi berjuang semaksimal mungkin mengerjakannya untuk Tuhan. Kita hanya mau melakukan sejauh yang kita mau lakukan, bukan melakukan secara maksimal apa yang Tuhan mau. Kita menjadi penentu atas apa yang mau kita lakukan atau penentu atas hidup kita, kita menjadi penentu atas hasil dari apa yang kita lakukan atau penentu atas tujuan hidup kita, dan kita menjadi allah atas diri kita. Itu dosa!

Demikian juga dalam kehidupan di gereja. Ketika kita melihat Pdt. Stephen Tong yang bekerja keras untuk Tuhan dengan memikirkan pembangunan gereja, berkhotbah ke sana-sini, dan memikirkan banyak hal untuk pekerjaan Tuhan, apa yang ada dalam benak kita, kita yang sering merasa dan mengaku sudah mengerti apa yang dikerjakan Pak Tong? Pak Tong pernah meresponi hal ini dengan membagi 3 tipe orang yang mengaku bahwa mereka mengerti dirinya dan pekerjaan yang dilakukannya dalam meresponi visi dari Tuhan. Yang pertama, “Itu kan Pak Tong.” Arti kalimat itu adalah Pak Tong ya Pak Tong, bukan saya. Tidak ada urusannya dengan saya. Jadi, itu pekerjaan yang Tuhan berikan kepada Pak Tong, bukan saya. Saya hanya jemaat biasa yang tidak ada bedanya dengan hanya sekedar penonton. Lalu kita menganggap sudah mengerti Pak Tong. Huhh!! Yang kedua, “Itu kan urusan Pak Tong dan hamba-hamba Tuhan.” Jadi pekerjaan Tuhan itu hanya untuk hamba-hamba Tuhan saja, bukan untuk saya yang hanya jemaat ini. Saya tidak perlu ikut dalam pekerjaan itu, karena itu untuk hamba-hamba Tuhan saja. Saya tetap dukung koq sebagai jemaat dan saya mengerti apa yang mereka kerjakan. Mendukung melalui menonton? Seperti pendukung klub sepakbola? Yang terakhir, “Saya sudah melihat, saya sekarang mengerti, saya mau belajar menghidupi dan berjuang dalam visi yang sama (dalam Gerakan Reformed Injili Indonesia).” Jadi kita tidak hanya melihat saja (sebagai penonton) apa yang dikerjakan hamba-hamba Tuhan dalam gerakan ini, tapi kita ikut berbagian di dalamnya. Mengapa? Karena hidup ini adalah dari Tuhan dan Tuhanlah yang memberikan kita anugerah hidup di zaman ini, di dalam gerakan ini, di dalam gereja ini. Anugerah ini diberikan tentu dengan satu maksud yang pasti, yaitu supaya kita hidup bertumbuh, hidup memuliakan Dia, dan hidup menikmati Dia bersama-sama orang-orang yang ada di dalam gerakan ini karena kita ini adalah satu tubuh Kristus. Kita diberikan visi yang sama untuk melaksanakan kehendak Tuhan dalam zaman ini melalui gerakan ini. Seluruh hidup kita ini adalah milik Tuhan! Sekarang pertanyaannya adalah: “Kita termasuk kelompok yang mana?”

Mari kita belajar untuk terus bertumbuh di dalam Tuhan karena Tuhan adalah pusat segala sesuatu. Rasul Paulus menuliskan di Roma 11:36 “Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, oleh Dia, dan untuk Dia. Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya.” Jadi segala perbuatan kita, seluruh hidup kita, harus menyatakan bahwa Tuhan yang terutama. Dialah yang memberikan hidup kita ini, Dialah yang menopang hidup kita ini, Dialah tujuan dari seluruh hidup kita ini, kehendak Dialah yang harus digenapi melalui hidup kita ini, bukan kehendak diri kita. Kehendak diri harus disesuaikan dengan kehendak Allah, kehendak diri harus ditaklukkan di bawah kehendak Allah. Biarlah kita tidak hanya menjadi penonton saja dalam gerakan yang sudah Tuhan nyatakan dan berkati, marilah kita turut berbagian dalam memperjuangkan visi dalam Gerakan Reformed Injili, menggenapkan rencana kekal Allah dalam zaman ini. Mari kita belajar berjuang bersama-sama! Soli Deo Gloria.

Sarah Charista

Remaja (Kelas VII) GRII Pusat