Fondasi
Pada bulan ini, buletin PILLAR akan membahas tema mengenai “Gerakan Reformed Injili dan Pemuda”. Sebenarnya tema ini bukanlah tema yang sama sekali baru, melainkan sudah pernah dibahas dalam tahun-tahun sebelumnya. Jika kita membaca kembali edisi-edisi tersebut, sebenarnya sudah dijelaskan dengan cukup lengkap beberapa poin penting mengenai tema ini. Mulai dari apa itu Gerakan Reformed Injili, signifikansi, dan relevansinya dalam hidup pemuda, natur dari pemuda, kesempatan dan kebahayaan yang dihadapi pemuda, sampai pada kaitan antara pemuda dengan zaman, pengharapan, dan kekekalan. Penulis akan sedikit merangkum dan menekankan beberapa poin penting yang sudah pernah dijelaskan sebelumnya.
Dalam transkrip “Pemuda dan Spirit Reformed Injili”[1], Pdt. Stephen Tong menegaskan perlunya sekelompok orang yang berjuang keras dan berani berkorban demi menggenapkan rencana Tuhan. Terutama dalam konteks zaman ini di mana begitu banyak gereja tidak lagi berjalan sesuai dengan ketetapan firman. Ditegaskan bahwa perlunya kepekaan yang tinggi untuk menilai apakah khotbah yang diberitakan sesuai dengan kebenaran dan diproklamasikan demi kemuliaan Tuhan. Gerakan Reformed Injili adalah salah satu gerakan sejarah di mana Tuhan mau memakai kita untuk menemukan kesimpangsiuran ajaran, mencermati cara-cara yang tidak beres yang tidak sesuai dengan ajaran Alkitab, dan yang menggerogoti iman Kristen sambil mengatasnamakan dirinya Gereja. Gerakan ini melihat perlunya sebanyak mungkin orang Kristen yang ditarik kembali kepada ajaran yang benar, sesuai dengan Kitab Suci, dan hidup sungguh-sungguh bagi Tuhan. Dalam transkrip ini, teguran juga ditujukan kepada pemuda-pemudi masa kini yang terlalu percaya diri, merasa mampu berjalan sendiri tanpa Tuhan yang pada akhirnya hidupnya menjadi rusak dan mengalami kebinasaan. Di sisi lain, pemuda-pemudi yang sungguh-sungguh mau setia ikut Tuhan, mau dipimpin oleh Roh Kudus, dan berpegang pada kebenaran Kitab Suci akan mempunyai hari depan yang indah dan hidup yang bernilai.
Pada pembahasan dalam artikel “Pemuda dan Gerakan”[2], dipaparkan hasil interview terhadap beberapa pemuda-pemudi GRII mengenai pandangan mereka mengenai Gerakan Reformed Injili dan pergumulan mereka untuk berbagian di dalamnya. Sungguh bersyukur bahwa mereka meyakini teguh semangat Reformed Injili untuk kembali sepenuhnya kepada Alkitab, kepada dasar iman yang diturunkan oleh para rasul dan nabi, dan dengan segenap hati memberitakan Kristus kepada dunia, yang terekspresi melalui mandat Injil dan mandat budaya. Karena mereka menyadari signifikansi besar dari gerakan ini, banyak dari mereka yang bergumul lebih mendetail untuk melayani sebagai guru, belajar firman Tuhan lebih dalam dan komprehensif (dengan mengikuti kelas, dan ada yang masuk seminari), ataupun dengan rela pergi ke tempat jauh untuk memberitakan Injil, khususnya kepada pemuda.
Dalam artikel “Kewajiban Gerakan Reformed dari Perspektif Pemuda GRII”[3], sangat disadari bahwa dalam era transisi menuju post-modern yang lebih bersifat sensual ini, kita semakin ditantang untuk siap menyaksikan iman kita dalam setiap aspek kehidupan ini secara langsung dan hidup. Tidak hanya dalam aspek rasional, tetapi juga dalam keseluruhan praksis dan karya hidup kita di mana pun kita berada. Dalam menghadapi tuntutan ini, tidak ada cara lain, kita harus membangun Christian worldview yang konsisten yang mampu menjawab tantangan tersebut dan sekaligus menuntun kita untuk dapat berkarya dalam konteks kita masing-masing (baca edisi Juli-November 2013 untuk pembahasan lebih lengkap mengenai Christian Worldview). Dalam artikel ini, terdapat pengakuan menarik bahwa mungkin banyak orang yang lebih merasa “berani” melakukan penginjilan ke pasien-pasien rumah sakit atau ke panti asuhan/jompo daripada orang-orang sekitar. Kita takut dianggap klise, ataupun “makhluk” religius yang aneh. Ulasan ini ditutup dengan pentingnya prinsip hidup di hadapan Allah (Coram Deo). Sehingga seluruh pengambilan keputusan, tindakan, penggunaan uang, dan waktu, semuanya tidak bisa dilepaskan dari iman Kristen yang sungguh-sungguh mau hidup dengan gentar di hadapan Allah.
Artikel “Menghidupi Panggilan sebagai Pemuda-Pemudi Kristen”[4] menyatakan dengan seimbang mengenai natur pemuda, baik segala kelebihan maupun kekurangannya. Masa muda adalah satu periode transisi seseorang dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Inilah waktu di mana seseorang memiliki perkembangan yang pesat akan pemikiran abstrak, penemuan identitas diri secara psikologis, dan keinginan untuk dapat hidup mandiri. Inilah suatu masa di mana seseorang dipenuhi dengan kekuatan dan vitalitas, sekaligus menghadapi badai, konflik, dan stres. Ditambah keinginan kuat untuk hidup berdikari, maka teriakan untuk menuntut kebebasan yang cenderung berujung pada keliaran kerap kali terlontar dari hati dan mulut pemuda-pemudi. Orang muda juga identik dengan kurangnya pengalaman hidup, pengetahuan, dan kebijaksanaan. Ditambah dengan pemikiran yang belum matang, tidak jarang kesalahan-kesalahan fatal terjadi dalam masa-masa ini. Artikel ini sekali lagi mengingatkan kita untuk lebih berhati-hati dalam melewati kerentanan dan kebahayaan masa muda, dan sekaligus dengan sungguh-sungguh memaksimalkan segala potensi yang ada.
Melalui artikel “Pemuda dan Pengharapan”[5], penulis artikel menggugah kita untuk semakin menyadari kaitan antara masa muda, waktu, pengharapan, dan kekekalan. Kita yang hidup di zaman akhir antara kedatangan Kristus yang pertama dan kedua ini, telah mendapatkan janji dan kuasa kebangkitan Kristus. Kita yang hidup karena awalnya dicipta dan hidup untuk akhirnya disempurnakan ini memiliki hidup yang dijalani sekarang. Awal sejarah dimulai dengan rencana Allah yang memberikan gambar dan rupa-Nya dengan konsekuensi kebebasan yaitu potensi dan krisis dalam diri manusia. Dan sejarah diakhiri dengan kesempurnaan dan penghakiman atas segala kemungkinan kebebasan dari potensi yang ditanam di dalam diri manusia. Waktu, yang akan terus bergulir tanpa menunggu siapa pun, akan menghampiri pemuda-pemuda Kristen. Dan pemuda-pemuda Kristen, yang akan menjadi para pahlawan iman, diharapkan untuk memimpin masa depan ke zaman yang baru. Semoga artikel ini menggugah kita untuk menjalani waktu yang sekarang dengan penuh kesadaran dan kesungguhan. Juga dengan serius menggumulkan di hadapan Tuhan, segala potensi dan tanggung jawab untuk kemungkinan dipakai sebagai pemimpin-pemimpin kekristenan di masa yang akan datang.
Jurang
Setelah sedikit melihat kembali poin-poin penting dari edisi-edisi sebelumnya, penulis juga ingin sedikit membagikan tujuan dari penulisan ulasan kali ini. Maksud utama dari artikel ini adalah agar prinsip-prinsip yang sudah dibahas dengan begitu limpah dalam edisi-edisi sebelumnya, dapat lebih kita renungkan, gumulkan, dan aplikasikan dalam hidup kita sehari-hari dan sesuai dengan konteks panggilan masing-masing. Tentunya kita mau menghindari dari terjerumus ke dalam jurang besar antara pengetahuan dan perbuatan, antara apa yang (katanya) kita percayai dan apa yang sebenarnya kita hidupi dan lakukan dalam realitas sehari-hari. Yesus memberikan perumpamaan bahwa orang yang mendengar perkataan-Nya tetapi tidak melakukannya adalah bagaikan orang bodoh yang membangun rumahnya di atas pasir. Rumah yang akan langsung hancur roboh begitu badai menerpa.[6]
Sebagai orang Kristen, kita tentunya harus menjalankan setiap panggilan kita dengan setia, gentar, dan tidak boleh lalai. Allah adalah Allah yang terus bekerja sepanjang sejarah dan terus memilih dan memanggil pelayan-pelayan-Nya. Tidak ada seorang pun yang bisa merasa dirinya begitu istimewa, penting, dan tidak tergantikan. Dalam kitab 1 Raja-Raja 19 dikisahkan bahwa Elia yang melarikan diri dari Izebel dan sebetulnya tidak terlalu berbuat apa-apa, justru merasa bahwa dirinya sedang giat melayani Tuhan. Setelah Tuhan bertanya kesekian kalinya, akhirnya Tuhan menyatakan bahwa ada 7.000 orang yang sama sekali tidak menyembah Baal. Saat itu juga Elia diperintahkan untuk memilih dan meneruskan pelayanan-Nya kepada Elisa.[7] Tentunya kita juga mengingat kisah imam Eli yang adalah seorang pelayan Tuhan. Tetapi Eli ternyata tidak setia dan begitu lunak terhadap dosa, terutama terhadap dosa kedua anaknya. Tuhan pun berfirman bahwa Eli dan kedua anaknya akan mati, dan Tuhan sudah mempersiapkan Samuel yang setia dalam melayani Tuhan.[8] Contoh terakhir adalah Saul, seseorang yang sudah Tuhan begitu urapi dan pakai. Tetapi semakin lama kita melihat bahwa ia lebih mementingkan pandangan manusia (terutama tua-tua, tentara, dan rakyat) daripada pandangan Tuhan. Akhirnya Tuhan tidak lagi memakai Saul dan memerintahkan Samuel untuk mengurapi Daud, yang pada waktu itu masih sangat muda.[9] Semoga melalui contoh-contoh ini, kita kembali sadar untuk menjalankan panggilan kita dengan penuh kesungguhan dan kesetiaan.
Perbandingan
Sebelum membahas lebih jauh mengenai apa yang bisa kita kerjakan dalam konteks sekarang, ada baiknya jika kita sedikit melihat contoh hidup, khususnya pada periode masa muda, dari tokoh-tokoh besar yang Tuhan izinkan hidup dan memberikan pengaruhnya dalam dunia ini. Alkitab sendiri memberikan banyak contoh teladan dari tokoh di Perjanjian Lama seperti Samuel, Daud, Daniel, Sadrakh, Mesakh, dan Abednego. Samuel yang masih muda dicatat menjadi pelayan yang setia di rumah Tuhan. Seiring dengan pertumbuhannya, Tuhan semakin menyertai Samuel dan setiap nubuat yang disampaikannya tergenapi.[10] Daud yang masih muda juga sudah memiliki bibit sifat pahlawan yang gagah berani. Singa dan beruang ia hadapi dengan frontal demi menyelamatkan domba-domba gembalaannya. Sikap kerendahan hatinya juga luar biasa. Ia masih rela bekerja sebagai gembala dan taat kepada ayahnya, padahal saat itu ia sudah bekerja secara bergengsi untuk Saul di istana.[11] Semangat tidak kompromi dan menjaga hidup kudus untuk Tuhan dapat juga dapat kita lihat dari kehidupan Daniel, Sadrakh, Mesakh, dan Abednego. Mereka dengan bulat hati tidak mau menajiskan diri dengan makan makanan yang dipersembahkan kepada berhala. Kondisi lingkungan yang tidak kondusif dan faktor tekanan eksternal tidak mereka jadikan alasan untuk melakukan rasionalisasi dan tawar-menawar dengan Tuhan. Bahkan nantinya dalam kisah dapur api yang menyala-nyala, kita bisa melihat dengan jelas mentalitas “berani mati” ketika diperhadapkan dengan pilihan menyembah Tuhan atau berhala.[12]
Sedikit membandingkan dengan tokoh yang lebih dekat dengan zaman kita, baru-baru ini tentunya masih segar dalam ingatan akan seorang tokoh besar yang berjuang untuk kesamarataan derajat manusia, yakni Nelson Mandela. Pahitnya hidup sudah ia rasakan saat berusia sembilan tahun ketika ayahnya meninggal dunia karena penyakit tuberculosis. Dididik oleh ibu yang menghidupi iman Kristen dengan sungguh-sungguh, ia pun disekolahkan di sekolah Methodist. Periode ini menjadi masa berharga di mana tumbuh kecintaannya yang begitu besar akan sejarah Afrika, munculnya bibit perjuangan untuk melawan penjajah, dan berkobarnya dorongan untuk perjuangan kesamarataan manusia. Tokoh kedua yang akan kita telaah adalah Abraham Lincoln. Ia adalah seorang presiden Amerika yang begitu dihormati dan telah berjuang gigih melawan perbudakan. Lincoln muda juga mengalami kepedihan hidup ketika ibunya meninggal saat ia berumur sembilan tahun. Ia hidup dengan sangat sederhana dan kerap kali membantu ayahnya yang adalah petani dan tukang kayu. Campuran kesulitan hidup dan dorongan kuat untuk belajar, membuatnya sering pergi ke hutan untuk menulis menggunakan arang, karena di rumahnya sama sekali tidak terdapat kertas yang dapat ditulis. Dalam masa muda inilah ia mendapat fondasi yang kuat dari buku-buku yang ia terus baca berulang-ulang, seperti King James Bible, Aesop’s Fables, dan Pilgrim’s Progress.
Langkah
Setelah membandingkan beberapa tokoh pada masa muda mereka, sekarang kita akan menggumulkan untuk mengerjakan panggilan hidup kita masing-masing. Hal ini tentunya bukan didasari di atas spirit legalitas atau sekadar menjalankan tata cara dan peraturan semata. Kita mau menggumulkan prinsip firman dalam setiap detail hidup karena kita sadar bahwa keseluruhan diri kita adalah suatu korban hidup di hadapan Tuhan. Kita tergerak untuk melakukan segala sesuatu dengan penuh kesungguhan, untuk Tuhan yang begitu mengasihi kita dan sudah rela mati untuk kita.
Pergumulan besar dari pemuda-pemudi dalam zaman ini, khususnya di kota besar, setidaknya terbagi dalam tiga aspek utama, yakni pendidikan (masalah ujian, prestasi akademis, dan pemilihan jurusan), pekerjaan (sulitnya mencari pekerjaan, tekanan dari bos dan kolega, kejenuhan), dan pasangan hidup (kriteria, pergumulan dalam memilih dan memulai, naik-turunnya perasaan dalam menjalankan relasi). Bisa dikatakan bahwa tiga hal inilah yang menjadi bongkahan besar fokus utama dari banyak pemuda-pemudi. Pertanyaannya, seberapa jauh kita menggumulkan prinsip firman Tuhan, menjalaninya, juga menjadi kesaksian dan memberitakan Injil dalam tiga aspek ini? Apakah ketika kita memilih sekolah dan jurusan, kita hanya memilih berdasarkan prestige, jurusan yang lebih populer, atau yang nantinya dapat menghasilkan lebih banyak uang?[13] Dalam pekerjaan, sudahkah kita jelas melihat panggilan Tuhan dalam bidang yang kita kerjakan? Sudahkah kita menggumulkan mengenai pengaruh yang kita kerjakan setiap harinya terhadap divisi/departemen lain, anak perusahaan lain, dan juga lingkungan sosial di sekitar perusahaan tempat kita bekerja? Atau jangan-jangan kita hanya “terpaku” mengerjakan apa yang menjadi job scope kita semata saja untuk kemudian menerima gaji bulanan secara rutin?[14] Mengenai pasangan hidup, apa yang menjadi pertimbangan utama kita ketika kita berani memulai relasi dan nantinya memilih seseorang untuk mengenal dia lebih dalam? Apakah pernah terbersit untuk nantinya bersama-sama membangun keluarga yang mempermuliakan Tuhan, terlepas Tuhan akan mengaruniakan anak atau tidak, umur panjang atau tidak, ataupun berkat secara materi atau tidak?[15]
Kerinduan untuk menggumulkan prinsip firman dan dorongan untuk memuliakan Tuhan pastinya akan memengaruhi aspek detail dan hidup keseharian kita. Sebut saja masalah pengambilan keputusan, pemakaian waktu, dan pemakaian uang. Apakah yang menjadi pertimbangan kita ketika sedang memilih makanan? Yang enak? Yang kita suka? Yang gambarnya menarik? Atau yang menyehatkan?[16] Kemudian bagaimana dengan pergumulan kita menggunakan waktu tidur?[17] Apakah kita sering kali terus menambah sekian menit jam tidur padahal sebetulnya tubuh kita sudah segar dan dapat mulai beraktivitas? Atau kita justru malah terlalu kurang tidur sampai aktivitas seharian menjadi kacau balau dan kurang produktif karena tidak bisa berkonsentrasi dan kesehatan tidak berada dalam kondisi optimal? Belum lagi dunia social media yang tentunya mendominasi dunia pemuda-pemudi. Apa sih yang kita tuangkan, publikasikan, dan kerjakan melalui Facebook, Twitter, Whatsapp, dan Youtube? Apakah kita selama ini hanya sekadar bergosip ria? Menghabiskan waktu berjam-jam untuk melakukan “observasi” dengan begitu teliti dan seksama terhadap foto-foto makanan dan liburan yang di-upload oleh teman-teman kita? Sering kali juga kita tidak sadar waktu sekian jam yang tadinya kita pikir mau mengerjakan tugas atau mencari informasi penting, tiba-tiba saja menghilang tanpa bekas tertelan waktu “selingan” ke berbagai website yang tadinya kita pikir mungkin bisa memulihkan konsentrasi kita untuk mengerjakan maksud awal tersebut.[18]
Bagaimana pula dengan aspek penjangkauan dan penginjilan dalam hidup kita sehari-hari? Apa kita mulai gencar menjangkau dan mendekati teman-teman kita hanya ketika akan ada acara KKR, seminar, atau event-event tertentu saja? Sehingga akhirnya teman kita memiliki prejudice yang negatif terhadap kita karena hanya datang kalau ada “maunya” saja, yakni membagi undangan.[19] Selebihnya teman tersebut sama sekali tidak digubris atau diajak bicara. Sudahkah kita sungguh-sungguh memerhatikan teman-teman di sekeliling kita, menjadi pendengar yang baik, dan menjadi penolong ketika mereka memiliki kesulitan?[20] Sehingga ketika suatu kali kita mengundang KKR, mereka mau datang karena sebelumnya sudah terlebih dulu melihat kemurnian dan kepedulian kita. Kita mungkin sadar banyak teman kita yang belum mengenal Tuhan, “Kristen KTP”, ataupun beribadah dalam gereja yang pengajarannya kurang bertanggung jawab. Apakah kita memiliki kerinduan untuk mengajak mereka bicara, memperkenalkan Kristus, dan menceritakan pengajaran Alkitab yang begitu lengkap dan limpah?[21] Sudahkah kita mendoakan keluarga inti dan keluarga besar kita yang mungkin banyak sekali yang belum percaya kepada Kristus?
Sekali lagi, ini hanyalah segelintir contoh saja dari penulis. Pastinya masih begitu banyak hal-hal lain dalam hidup kita sehari-hari yang dapat terus kita gumulkan lebih jauh. Salah satu langkah, pembaca sekalian dapat melihat referensi artikel-artikel lain yang sudah tercantum dalam bagian “Endnotes”. Melalui artikel-artikel tersebut, pembaca dapat lebih mendalami aspek-aspek yang sudah tercakup dalam ulasan kali ini. Sekali lagi, keseluruhan hal ini kita lakukan karena kita digerakkan begitu rupa oleh kasih Sang Gembala yang sungguh besar terhadap kita yang terhilang dan begitu keras kepala ini.
Harapan
Setelah pembaca PILLAR selesai membaca artikel ini, tentunya yang menjadi harapan besar dari penulis adalah agar setiap pembaca setidaknya mulai memikirkan, dan sungguh bersyukur jika bisa sampai menjawab dengan mantap judul pertanyaan dari artikel ini. Tentunya apa yang kita kerjakan sebagai individu tidak bisa dilepaskan dalam konteks yang lebih besar seperti keluarga, lingkungan sekolah/universitas, gereja, tempat bekerja, dan negara di mana kita ditempatkan. Sehingga ketika masing-masing kita menggumulkan mengenai “apa yang harus aku kerjakan”, cepat atau lambat harus juga menggumulkan “apa yang harus KAMI kerjakan”. “Kami” di sini adalah orang-orang yang Tuhan tempatkan yang bisa saja adalah orang tua, saudara, keluarga, teman sekolah, teman persekutuan, teman kantor, dan orang-orang yang kita jumpai dalam masyarakat.[22] Mari kita berdoa agar kiranya dalam zaman ini, khususnya dalam Gerakan Reformed Injili, Tuhan memanggil, membangkitkan, membentuk, melatih, dan memakai sekelompok pemuda-pemudi yang mau bekerja dan berjuang bersama-sama untuk Kerajaan Allah.
Juan Intan Kanggrawan
Redaksi Bahasa PILLAR
Endnotes:
[1] “Pemuda dan Spirit Reformed Injili”, PILLAR edisi September 2009 (http://www. buletinpillar. org/transkrip/pemuda-dan-spirit-reformed-injili).
[2] “Pemuda dan Gerakan”, PILLAR edisi Januari 2007 (http://www. buletinpillar. org/artikel/pemuda-dan-gerakan).
[3] “Kewajiban Gerakan Reformed dari Perspektif Pemuda GRII”, PILLAR edisi Januari 2010 (http://www. buletinpillar. org/artikel/kewajiban-gerakan-reformed-dari-perspektif-pemuda-grii).
[4] “Menghidupi Panggilan sebagai Pemuda-Pemudi Kristen”, PILLAR edisi Januari 2012 (http://www. buletinpillar. org/artikel/menghidupi-panggilan-sebagai-pemuda-pemudi-kristen).
[5] “Pemuda dan Pengharapan”, PILLAR edisi Januari 2012 (http://www. buletinpillar. org/artikel/pemuda-dan-pengharapan).
[6] Matius 7:21-29.
[7] 1Raja-Raja 19.
[8] 1Samuel 2 dan 3.
[9] 1Samuel 13:1-14 dan 1Samuel 15.
[10] 1Samuel 3:19-21.
[11] 1Samuel 16:6-23, 17:12-20, 17:31-39.
[12] Daniel 1 dan 3.
[13] Buletin PILLAR edisi Agustus, September, Oktober 2013 memiliki artikel-artikel yang membahas secara lebih khusus mengenai dunia pendidikan.
[14] Artikel-artikel berikut membahas lebih spesifik mengenai pergumulan dalam dunia kerja: “Bagaimana Mungkin Pekerjaan Sekuler Dapat Memuliakan Allah?” (http://www. buletinpillar. org/artikel/bagaimana-mungkin-pekerjaan-sekuler-dapat-memuliakan-allah) dan “Terang Dunia di Lapangan Kerja” (http://www. buletinpillar. org/artikel/terang-dunia-di-lapangan-kerja).
[15] Artikel-artikel berikut membahas lebih spesifik mengenaiaspek relasi: “Berpacaran Ala Kristen” (http://www. buletinpillar. org/artikel/berpacaran-ala-kristen), “Till Death Do Us Part” (http://www. buletinpillar. org/artikel/till-death-do-us-part).
[16] Baca artikel “Makan Aja Koq Report” yang membahas berbagai aspek makan dari perspektif firman Tuhan (http://www. buletinpillar. org/artikel/makan-aja-koq-repot).
[17] Baca artikel “Refreshing Yuk” untuk pembahasan mengenai penggunaan waktu luang (http://www. buletinpillar. org/artikel/refreshing-yuk).
[18] Baca artikel mengenai “The Age of Great Distraction” untuk lebih mendalami kesulitan yang diakibatkan oleh social media (http://www. buletinpillar. org/artikel/the-age-of-great-distraction). Sebagai penyeimbang, silakan membaca artikel “Redeeming the Youth through Social Media” untuk menggumulkan fungsi social media dalam posisi yang seharusnya (http://www. buletinpillar. org/artikel/redeeming-the-youth-through-social-media).
[19] Penulis kerap kali mendengar kasus-kasus seperti ini, khususnya dalam momen-momen menjelang KKR.
[20] Kita sering kali melupakan aspek-aspek pre-evangelism dan post-evangelism dalam penginjilan.
[21] Tentunya kita bisa saja “menghajar” mereka yang pengertiannya masih dangkal, atau bahkan kacau. Tetapi di saat yang sama, apakah kita juga dengan penuh kasih memberitakan dan menuntun mereka di dalam kebenaran?
[22] Roma 12:3-10, 1Korintus 3:5-10, 1Korintus 12.