“Apa sih kabar baik Injil bagi dunia?”
Pertanyaan tersebut kadang terlintas di pikiranku. Di gereja, aku belajar bahwa hanya melalui Injil, manusia bisa kembali kepada Allah dan masuk surga. Bukankah itu seharusnya menjadi kabar baik bagi dunia?
Hanya saja, dalam kehidupan setiap hari dan interaksi dengan teman-temanku, sangatlah sulit bagiku untuk melihat Injil sebagai kabar baik. Entah mengapa, rasanya lebih bahagia ketika mendapat nilai bagus daripada mendengar Injil. Pertanyaan nakal pun mulai memasuki pikiranku: benarkah Injil kabar baik bagi dunia?
Anehnya, di tengah pergumulan tersebut, Tuhan menggerakkanku untuk melihat ladang pelayanan di berbagai daerah di Indonesia. Aku mulai berkunjung ke berbagai provinsi di Indonesia. Aku mencoba tinggal bersama penduduk setempat dan melakukan berbagai hal. Mulai dari hal-hal yang kecil dan sederhana seperti ngobrol bersama bapak-bapak yang bermain catur di warung kopi, hingga hal-hal yang lebih besar seperti mengajar matematika di sekolah setempat, berkhotbah kepada para napi di penjara, atau berkhotbah dalam KKR Regional.
Suatu kali, ketika aku berkhotbah di penjara, ada satu kejadian yang sangat berkesan buatku. Saat itu, aku berkhotbah tentang Zakheus. Zakheus adalah seorang yang dijauhi masyarakat karena profesinya sebagai pemungut cukai. Saat itu, pemungut cukai dianggap oleh masyarakat sebagai antek-antek penjajah. Akan tetapi, Tuhan Yesus mau datang dan menumpang di rumahnya. Pada saat itu, ada keselamatan di rumah Zakheus dan Tuhan Yesus mengatakan bahwa Dia datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang. Khotbah yang terasa cukup sederhana bagiku. Akan tetapi, ketika aku mengadakan altar call, ada seorang napi yang maju dengan air mata membasahi pipinya. Sambil menangis, dia berkata kepadaku, “Saya mau terima Tuhan Yesus.”
Melihat napi tersebut, dengan pakaian napi dan tato di badan, tetapi menangis mendengar panggilan Injil, hatiku pun sangat tergerak. Sebelumnya, tak pernah terbayangkan olehku bahwa orang seperti itu bisa menangis! Namun saat ini, di depanku, dia menangis dan mengatakan bahwa dia mau menerima Tuhan Yesus. Saat itu, mataku pun terbuka. Aku disadarkan bahwa setiap manusia, siapa pun itu, membutuhkan sentuhan kasih Tuhan dan pertobatan yang sejati. Saat itu, aku menyadari betapa dahsyatnya berita Injil: manusia berdosa tidak dibuang oleh Tuhan, melainkan Tuhan mencari dan menyelamatkan yang hilang!
Aku tidak bicara banyak dengan napi itu karena acara harus segera berlanjut. Namun setelah pengalaman itu, ketika aku sendirian, aku mulai merenungkan ulang pengalaman tersebut. Aku mencoba melihat diriku di posisi napi tersebut. Bagi napi tersebut, dia adalah orang yang dibuang oleh masyarakat. Keluarganya mungkin malu menerima dia. Dia sudah terhilang, jauh dari Tuhan. Dia mungkin sedang dihantui perasaan bersalah karena dosa-dosanya di masa lalu. Mungkin dia merasa bahwa hidupnya sama seperti Zakheus yang dikucilkan masyarakat. Akan tetapi, Tuhan mencari dia, sama seperti Tuhan mencari Zakheus. Ketika dia tenggelam dalam penyesalan dan kesulitan mengampuni kesalahannya di masa lalu, Tuhan sudah mati bagi dia! Bahkan Roma 5:8 mengatakan bahwa Kristus sudah mati bagi kita di saat kita masih berdosa! Betapa indahnya berita Injil ini!
Saat ini, banyak orang bergumul dengan perasaan dikucilkan dan penyesalan terhadap dosa dan kesalahan di masa lalu. Aku sendiri juga pernah bergumul dengan hal ini, sampai pada titik aku berharap supaya sebagian kesalahanku di masa lalu bisa dihapuskan dari kehidupanku. Akan tetapi, penyesalan sebesar apa pun tidak bisa membalikkan keadaan yang sudah terjadi. Hati orang lain yang sudah disakiti, reputasi yang sudah rusak, dan berbagai macam masalah lainnya yang muncul karena perbuatan dosa yang pernah kita lakukan tidak bisa dihapus seperti menghapus file di komputer. Tidak bisa juga ditutupi dengan perbuatan baik maupun prestasi. Di dalam keadaan ini, adakah jalan keluar?
Tentu saja! Zakheus pernah berada di posisi ini. Penjahat yang disalibkan di sebelah Tuhan Yesus pernah mengalami keadaan ini. Bahkan dia baru menyadari ketika dia menghadapi hukuman mati. Napi yang aku temui di penjara juga pernah berada di posisi ini. Mereka semua bersukacita ketika mengetahui bahwa Tuhan tidak membuang mereka, meskipun masyarakat dan orang terdekat mereka sudah membuang mereka. Kesadaran bahwa Tuhan rela mati mengganti dosa manusia telah menggerakkan hati banyak orang untuk kembali kepada Tuhan, menjalani setiap konsekuensi yang ada bersama Tuhan, dan menjalani hidup baru yang memuliakan Tuhan. Bukankah ini sebuah kabar yang sangat indah dan mulia yang dicari oleh banyak orang?
Selain tentang Tuhan tidak membuang manusia berdosa tetapi mati bagi manusia berdosa, melalui pengalaman melayani di daerah, aku juga belajar mengenai nilai manusia. Frasa “setiap manusia berharga di mata Tuhan” terasa sangat berbeda ketika diucapkan di dalam gereja atau ruang kelas yang ber-AC dibandingkan ketika berada di rumah kumuh dengan tembok triplek dan atap seng yang panas di tengah ladang.
Di dalam satu kesempatan berkunjung ke sebuah rumah kumuh, aku berbicara dengan penghuni rumah tersebut. Di saat itu, aku mencoba mendengarkan cerita hidup dan pergumulan mereka. Mereka bercerita bahwa mereka ingin melihat anak-anak mereka bisa bertumbuh dengan sehat menjadi orang dewasa pada umumnya. Mereka rindu melihat anak-anak mereka bisa bersekolah. Mereka berusaha keras untuk menabung bagi sekolah anak-anak mereka.
Hal ini tak terbayangkan olehku sebelumnya. Jikalau aku hanya mendengar cerita ini dari orang lain, mungkin aku akan berpikir, “Kenapa mereka sudah hidupnya susah masih banyak maunya?” Akan tetapi, ketika aku hadir di sana dan mendengar cerita ini secara langsung, aku belajar melihat mereka seperti layaknya manusia biasa. Layaknya semua orang tua, pasti mereka menginginkan supaya anak mereka bisa punya cukup makanan dan gizi untuk bertumbuh dengan sehat. Layaknya semua orang tua, mereka juga menginginkan anaknya bisa bersekolah dan memiliki nasib yang lebih baik daripada nasib mereka. Atau dengan kata lain, aku belajar melihat mereka sebagaimana layaknya “seorang manusia” (yang berharga di mata Tuhan) dan bukan “seorang miskin” (yang patut dikasihani).
Di dalam lagunya yang berjudul “Kemana Saja”, Pdt. Stephen Tong menuliskan satu kalimat yang sangat menggerakkan hatiku, “Dalam kota besar atau dalam rimba, jiwa sama berharga di matamu.” Melalui kunjungan ke rumah kumuh tersebut, aku makin mengamini kalimat ini. Aku menyadari bahwa di dalam setiap pergumulan mereka, Tuhan selalu menjadi tempat mereka berdoa dan berseru. Suara mereka jarang sekali didengarkan oleh pemerintah. Masyarakat biasa juga cenderung mengucilkan mereka. Tetapi Tuhan mau mendengar suara mereka. Dari sana, aku pun menyadari betapa indahnya ketika Tuhan mengizinkan kita datang, berdoa, dan berseru kepada-Nya di dalam pergumulan yang kita hadapi! Karena setiap jiwa berharga di mata Tuhan!
Kejadian ini membuatku bertanya, “Berapa banyak orang Kristen yang sungguh-sungguh mengerti prinsip ‘setiap manusia berharga di mata Tuhan’?” Apakah kita menjadi sama seperti dunia, menilai manusia lain dari ukuran materi? Di dalam lagunya, Pdt. Stephen Tong berkata, “Ku mau cinta yang dicinta Hu.” Adakah kesadaran bahwa Tuhan mengasihi mereka mendorong kita, umat Tuhan, untuk mengasihi orang-orang yang miskin dan dikucilkan? Inikah sebabnya dunia sulit melihat Injil sebagai kabar baik? Bukankah dunia akan terasa lebih indah jika orang Kristen mengerti dan menghidupi prinsip ini?
Hal terakhir yang ingin aku bagikan melalui pengalamanku melayani di daerah-daerah di Indonesia adalah kesadaran betapa Injil benar-benar sudah mengubah dunia. Ketika aku bertemu dengan beberapa teman dari suku Batak, mereka bercerita kepadaku bahwa nenek moyang mereka dulunya kanibal. Mereka bahkan memakan 2 misionaris yang pergi menginjili ke Tanah Batak. Tetapi, lihat sekarang! Setelah menjadi orang Kristen selama beberapa generasi, kanibalisme sudah sangat jarang terdengar di suku Batak. Betapa kagumnya aku melihat pengaruh Injil pada suku Batak! Ketika melihat hal ini, apakah berlebihan jika aku mengatakan bahwa Injil memang benar-benar sudah mengubah dunia?
Dalam kesempatan lain, aku melihat kehidupan di tengah-tengah suku Pamona di daerah Sulawesi Tengah. Betapa kagumnya aku ketika melihat betapa kekristenan sudah mentransformasi kehidupan suku tersebut. Ketika melihat media, aku lebih sering mendengarkan cerita konglomerat A mendirikan sekolah, atau konglomerat B mendirikan rumah sakit. Namun, ketika berkunjung ke Sulawesi Tengah, aku melihat bahwa yang mendirikan sekolah dan rumah sakit bukanlah konglomerat, melainkan gereja. Dan ketika aku memikirkan kembali, berapa banyak sekolah Kristen yang punya reputasi baik di Indonesia? Bukankah cukup banyak? Dan bukannya tidak sedikit yang didirikan oleh gereja? Bukankah ini pun salah satu dampak Injil di dalam mentransformasi Indonesia dan dunia?
Sedihnya, saat ini, orang Kristen, berita Injil, apalagi kegiatan penginjilan, lebih dipandang negatif oleh masyarakat (bahkan oleh orang Kristen sendiri). Orang Kristen lebih dilihat sebagai orang yang munafik, berpikiran sempit, merasa benar sendiri, suka menghakimi, dan tidak memakai logika. Berita Injil dilihat sebagai berita yang merusak hubungan asmara maupun hubungan keluarga. Kegiatan penginjilan dilihat sebagai kegiatan memaksa orang untuk masuk gereja dengan ancaman neraka. Kabar baik Injil sudah ditutupi dengan persepsi-persepsi yang mungkin ada benarnya, tetapi ketika diletakkan dalam perspektif yang lebih besar, jauh dari kebenaran!
Oleh karena itu, marilah kita kembali melihat gambaran asli dan utuh dari Injil yang sudah begitu menyentuh hati manusia dan mengubah hidup banyak orang. Injil yang menarik manusia dari dosa dan membawa manusia kembali kepada Allah. Bukankah kabar baik Injil yang bisa membawa manusia kembali kepada Allah jauh lebih mulia daripada kabar baik mendapat nilai bagus atau naik pangkat atau uang banyak?
Jerry Hermanto
Pemuda GRII Singapura