Kehidupan Jemaat Mula-mula: Masih Relevankah?

Pada waktu membaca kisah kehidupan jemaat mula-mula, sempat terbesit pemikiran, “Wah, apakah kejadian seperti ini masih mungkin untuk terjadi di masa ini?” Dengan jumlah yang bertobat kira-kira tiga ribu orang, tentu bukan hal yang mudah untuk membangun suatu komunitas persekutuan Kristen seperti ini. Kalau berbicara masalah jumlah saja, tiga ribu orang tentu berbeda sekali dengan sepuluh atau dua puluh orang. Untuk mengakrabkan diri satu dengan yang lainnya, jauh lebih mudah ketika memiliki komunitas yang berjumlah lebih sedikit. Alkitab juga mencatat di dalam Kisah Para Rasul Pasal 4, bagaimana kehidupan persekutuan orang percaya semakin bertambah jumlahnya menjadi lima ribu orang. Sekali lagi bukan jumlah yang sedikit dan tidak mudah untuk membangun persekutuan dengan kualitas seperti ini. Lalu saya berpikir, apakah tidak mungkin bagi GRII (khususnya di Pusat) dengan jumlah jemaat yang kira-kira dua tiga ribu orang untuk mengalami hal yang sama seperti jemaat mula-mula? Apakah kejadian kurang lebih dua ribu tahun lalu hanyalah catatan sejarah yang tidak dapat terulang ataukah masih mungkin terulang, bahkan bisa lebih baik lagi penerapannya di masa kini.

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, ada beberapa hal yang perlu dicermati terkait dengan konteks peristiwa yang terjadi pada saat itu, antara lain:

1. Konteks Demografi
Gereja mula-mula pada saat itu dimulai dari suatu tempat bernama Yerusalem. Jemaat mula-mula berkumpul dan mengadakan persekutuan di Bait Allah. Mungkin tidak ada tempat yang dapat menampung kurang lebih tiga ribu orang selain Bait Allah. Jemaat mula-mula pun merupakan suatu kumpulan jemaat yang memiliki keyakinan yang sama sebelum bertobat, yaitu sama-sama pemeluk agama Yudaisme. Mereka juga berasal dari kaum yang sama (Yahudi) yang nantinya mengalami sedikit kesulitan saat Tuhan membuka tempat bagi orang-orang non-Yahudi. Di dalam pasal-pasal selanjutnya, Alkitab mencatat bagaimana seorang rasul seperti Petrus pun mengalami kesulitan saat Tuhan mengajarkan prinsip ini melalui pertemuannya dengan Kornelius. Lalu mengapa mereka dapat berkumpul tiap-tiap hari? Memang tidak dipungkiri bahwa Roh Kuduslah yang bekerja di dalam hati mereka, namun kita harus mengerti bahwa konteks geografis pada saat itu juga sangat mendukung. Dengan sebagian besar jemaat berada di satu tempat dan lokasinya tidak terlalu jauh tentunya memudahkan bagi mereka untuk dapat berkumpul.

2. Konteks Penganiayaan
Jemaat pada saat itu mengalami penganiayaan yang luar biasa beratnya. John Stott pernah berkata, “Salah satu ciri yang melekat terhadap Gereja yang sejati adalah penderitaan.” Kehidupan orang Kristen pada masa itu tidak pernah terlepas dari penderitaan. Penderitaan dialami karena mengaku Yesus Kristus adalah Tuhan bagi hidup mereka. Dengan mengakui Yesus Kristus sebagai Mesias, sudah cukup membuat saudara-saudara sebangsanya untuk mengucilkannya. Ditambah lagi dengan bangsa Romawi yang menjajah bangsa Yahudi saat itu, juga melihat hal ini sebagai salah satu bentuk pemberontakan terhadap Kaisar yang diyakini sebagai Tuhan oleh bangsa Romawi. Selain itu bukti-bukti dalam Kitab Yakobus menunjukkan bahwa gereja mengalami hambatan ekonomi, baik melalui penindasan secara hukum maupun diskriminasi. Mereka menjadi yang “terakhir bekerja – pertama dipecat”.

Seorang penafsir pernah berkata bahwa pada masa itu, iman yang mereka yakini menyebabkan yang berdagang makin dipersulit sehingga banyak sekali jemaat mula-mula yang jatuh miskin akibat iman mereka. Hal inilah yang membuat Alkitab mencatat bagaimana segala kepunyaan mereka adalah milik bersama. Ini sangatlah lumrah mengingat kondisi pada saat itu. Ini bukanlah suatu konsep yang dikatakan komunisme primitif.1 Hal yang paling membedakan gerakan dari Roh Kudus dengan komunisme primitif adalah mereka (jemaat mula-mula) melakukannya secara terus-menerus setiap kali ada yang memerlukannya. Kemurahan hati mereka bukan didasarkan pada hukum. Itulah sebabnya Ananias dan Safira dihukum oleh Tuhan bukan karena mereka tidak bermurah hati, melainkan karena mereka berdusta. Memberi milik sendiri untuk bisa menjadi milik bersama bukanlah suatu keharusan. Hal ini diperkuat oleh statement Petrus pada saat bertanya kepada Ananias dan Safira Kisah Para Rasul 5:4, Selama tanah itu tidak dijual, bukankah itu tetap kepunyaanmu, dan setelah dijual, bukankah hasilnya itu tetap dalam kuasamu?…”

Dalam Wycliffe Bible Commentary3 dikatakan: “…suatu rasa bersatu yang termanifestasikan dalam saling membagi kekayaan materi. Untuk memenuhi kebutuhan orang-orang Kristen yang miskin, orang-orang percaya yang lebih kaya menjual tanah atau rumah mereka lalu mempersembahkan uang itu untuk dipakai bagi kesejahteraan bersama. Para rasul mengawasi pelayanan kasih ini yang dilaksanakan bukan berdasarkan asas kesetaraan, tetapi pada asas kebutuhan pribadi”. Sehingga berbeda sekali cara hidup jemaat mula-mula dengan prinsip komunisme primitif.

Berbicara masalah penderitaan dan penganiayaan, ternyata hal ini menyebabkan kebersamaan dan kesehatian di dalam diri jemaat mula-mula secara tidak langsung mulai terbangun. Hal ini tidaklah mengherankan. Sebagai contoh, apabila kita melirik Negara Tirai Bambu dan melihat bagaimana pesatnya perkembangan umat Tuhan di sana di tengah masa-masa penganiayaan terhadap orang Kristen. Itu sebabnya kita perlu menggunakan kacamata yang berbeda pada saat melihat penderitaan, bukan melihat itu sebagai totally negative, melainkan melihat adanya kesempatan di mana Tuhan bisa membentuk dan mempertumbuhkan umat-Nya melalui hal ini, termasuk jemaat mula-mula. Rasul Paulus menyatakan bahwa “Memang, setiap orang yang mau hidup beribadah di dalam Kristus Yesus akan menderita aniaya” (2 Tim. 3:12).

3. Konteks Otoritas Pemimpin Gereja
Jemaat mula-mula pada saat itu langsung dipimpin oleh rasul yang memiliki otoritas rasuli dalam kehidupan bergereja. Ini merupakan suatu keunikan yang tidak mungkin terulang pada masa kini. Tuhan memberikan suatu masa di saat Alkitab belum sepenuhnya lengkap, Ia menggunakan rasul untuk menggembalakan jemaat-Nya yang mula-mula. Dan hal ini juga ditunjang oleh banyaknya mujizat yang terjadi sebagai tanda-tanda kerasulan mereka sehingga membuat kepemimpinan mereka begitu sangat efektif pada saat itu. Kita tentu tahu bagaimana latar belakang Petrus dan rasul-rasul lainnya yang notabene adalah orang-orang yang penakut dan bukan kaum terpelajar. Namun kita juga tahu bagaimana pimpinan dan kepenuhan Roh Kudus membuat mereka mengerjakan banyak hal besar, termasuk penambahan jumlah jemaat hingga mencapai lima ribu orang. Rasul-rasul ini pun bukan hanya “pintar dalam memimpin”, tapi darah yang tercurah melalui kematian martir mereka (kecuali Yudas Iskariot yang menggantung diri) justru membuat Gereja Tuhan makin berkembang pesat. Berhubung otoritas rasuli begitu pentingnya pada masa itu, tidak heran mulai banyak bermunculan injil-injil dan pengajaran sesat yang menggunakan nama rasul sebagai penulisnya. Pemimpin gereja yang berani mati martir, ini merupakan sesuatu yang sangat sulit kita jumpai di zaman dewasa ini. Terlalu banyak hamba Tuhan yang menjadi pemimpin gereja yang beranggotakan ribuan jemaat namun tidak memiliki hati seperti ini. Bahkan ada hamba Tuhan, yang penulis kenal (tentu bukan di GRII), bahkan berbisnis dengan memanfaatkan hubungan yang terjalin dengan jemaatnya. Rasul saat kini sudah tidak ada lagi. Di dalam surat Efesus, Paulus berkata bahwa di masa kini, Tuhan mengaruniakan jabatan penginjil, penggembala, dan pengajar. Pdt. Dr. Stephen Tong pernah berkata bahwa tiga jabatan ini seharusnya dituntut oleh setiap hamba Tuhan. Kita bisa mengambil contoh Paulus, Paulus seorang penginjil, seorang penggembala, serta seorang pengajar. Kita boleh bersyukur apabila di dalam hidup kita bisa melihat tidak banyak hamba Tuhan yang menuntut diri untuk dapat mengerjakan ketiga fungsi jabatan ini, salah satunya adalah Pdt. Dr. Stephen Tong.

Beberapa konteks di atas memberikan sedikit jawaban kepada kita mengenai kehidupan jemaat mula-mula, ada beberapa yang tidak mungkin terulang kepada kita saat ini. Gereja saat ini pun terdiri dari berbagai multi-etnis dan tersebar di berbagai tempat. Tuhan tidak lagi mengirimkan rasul kepada Gereja-Nya saat ini. Penganiayaan yang dialami Gereja pada saat ini pun berbeda dengan penganiayaan yang dialami oleh jemaat mula-mula. Hal-hal inilah yang tidak mungkin dapat terulang pada masa kini. Namun ada juga beberapa hal yang dapat ditiru dan dicontoh serta dapat diterapkan pada masa kini, antara lain:

1. Bertekun dalam pengajaran
Jemaat mula-mula adalah jemaat yang mengalami pembaharuan dari Roh Kudus dan salah satu tandanya adalah adanya kerinduan dan kehausan untuk tekun belajar firman Tuhan. Pada masa kini, memang rasul sudah tidak ada lagi, tapi pengajaran rasul-rasul masih ada dan tertulis di dalam Alkitab. Itu sebabnya sikap hidup seperti ini tetap bisa ditiru dan diteladani oleh Gereja saat ini. Berapa banyak dari kita yang sungguh-sungguh memiliki sikap hidup seperti ini? Saat ini banyak Gereja Tuhan yang memiliki semangat ketekunan tetapi bukan untuk belajar firman Tuhan melainkan untuk hal-hal yang lain. Bahkan terkadang pelayanan pun bisa menjadi alasan untuk tidak menjalankan hal ini. Apa yang dilakukan jemaat mula-mula bukanlah suatu paksaan dari luar melainkan suatu dorongan dari dalam yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dan sukarela. Seringkali ketika kita membaca bagian ini, kita berpikir, “Wah inilah saya pada saat pertama kali menjadi orang Kristen. Semangat menggebu-gebu, baca Alkitab dengan tekun, baca buku-buku rohani dan doktrin-doktrin yang berbobot sebagai suplemen, saat teduh rutin setiap hari, bahkan kadang-kadang bisa 2-3 kali dalam sehari.” Dan semuanya itu bisa kita lakukan dengan dorongan dari dalam, bukan paksaan dari luar. Lalu mengapa hal ini hanya menjadi sejarah hidup kekristenan kita, bukan menjadi bagian dari perjalanan hidup kekristenan kita? Apakah Roh Kudus yang bekerja di dalam hati kita pada saat pertama kali menerima Tuhan berbeda kuasa-Nya dengan saat ini? Mari kita berdoa meminta Tuhan agar memberikan kerinduan seperti jemaat mula-mula, tekun dalam pengajaran, bukan hanya sesekali, tetapi mejadi suatu keseharian dalam hidup kita.

2. Bersekutu
Jemaat mula-mula bukan hanya memiliki semangat dan ketekunan belajar firman Tuhan, namun semangat yang sama juga dimiliki untuk berkumpul dan bersekutu. Kehidupan persekutuan dengan saudara seiman merupakan sesuatu yang penting dalam kehidupan kekristenan kita selain bersekutu dengan Firman itu sendiri. Tuhan memberikan komunitas/saudara-saudara seiman di sekitar kita bukan tanpa maksud. Kita bukan seorang superman yang dapat menyelesaikan setiap problematika hidup dan permasalahan seorang diri. Bahkan seorang superman pun memiliki kelemahan dalam dirinya yang tidak dapat diselesaikan sendiri. Dan memang Alkitab pun mencatat bahwa tokoh-tokoh penting pun tidak luput dari hal ini. Persekutuan dengan saudara seiman seringkali dipakai Tuhan untuk menguatkan apabila ada yang lemah, menghibur apabila ada yang sedih, mengingatkan apabila ada yang lupa, menegur apabila ada yang salah, memberi apabila ada yang kekurangan, dan sebagainya. Persekutuan orang Kristen jemaat mula-mula berbeda dengan persekutuan pada hari-hari besar orang Yahudi pada waktu itu. Seorang penafsir bernama Adam Clarke mengatakan bahwa menjadi hal yang lumrah di dalam masyarakat Yahudi pada hari-hari besar mereka untuk memberi harta miliknya kepada yang berkekurangan maupun memberi tumpangan kepada yang membutuhkan. Namun ini berbeda dengan cara hidup jemaat mula-mula, mereka melakukannya bukan hanya di hari-hari besar dan begitu tergeraknya hati mereka sehingga segala kepunyaan mereka menjadi milik bersama. Bagaimanakah kehidupan persekutuan kita?

3. Memecahkan roti
Calvin mengatakan bahwa bagian memecahkan roti di dalam ayat ke-42 berbicara mengenai Perjamuan Kudus. Kehidupan jemaat yang bersekutu dengan Firman, bersekutu dengan saudara seiman, dan juga bersekutu secara bersama-sama (dengan Kristus yang adalah Firman Hidup dan saudara seiman) di dalam Perjamuan Kudus. Persekutuan yang disebut Union with Christ melalui Perjamuan Kudus membuat mereka senantiasa diingatkan akan penderitaan Kristus yang membuat mereka kuat ketika menghadapi penganiayaan dan kesulitan dalam hidup mereka sebagai orang Kristen.

4. Berdoa
Apabila melihat konteksnya, berdoa di sini mengacu kepada persekutuan doa. Pemuda GRII Pusat melihat hal ini sebagai sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan persekutuan. Itu sebabnya kami didorong untuk ikut dalam persekutuan doa pagi dan dilanjutkan dengan berdoa secara khusus bagi generasi muda. Selain itu dalam waktu satu bulan, kami menyempatkan diri untuk bersekutu dalam doa setelah Persekutuan Pemuda Pusat selesai sebanyak dua kali. Ini ditulis bukan untuk menunjukkan prestasi kami, melainkan adanya suatu kesadaran bahwa persekutuan doa adalah sesuatu yang penting dalam pertumbuhan gereja. John Sung setiap kali mengadakan kebangunan rohani selalu membentuk tim doa di tempat tersebut. Charles Spurgeon memiliki tim doa kurang lebih tujuh ratus orang di gerejanya.

Kehidupan jemaat mula-mula pun tidak terlepas dari permasalahan dan kekurangan. Bob Deffinbaugh di dalam makalahnya mengatakan,2 bahwa salah satu permasalahan dari gereja mula-mula antara lain :

1. Gereja di Yerusalem bukanlah gereja yeng bermisi seperti gereja Antiokhia
Itu sebabnya Tuhan memberikan penganiayaan kepada gereja sehingga membuat mereka tersebar ke daerah-daerah lain. Hal ini dimaksudkan agar Injil bisa diberitakan bukan hanya di Yerusalem, melainkan Yudea, Samaria, hingga ke ujung bumi.

2. Gereja belum siap untuk menerima orang non-Yahudi
Kita bisa melihat adanya kesulitan bagi gereja masa itu untuk menerima bagaimana Tuhan juga menginginkan keselamatan bagi orang non-Yahudi. Itu sebabnya ada persidangan terhadap Paulus untuk meminta pertanggungjawaban terhadap pemberitaan Injil bagi orang non-Yahudi.

3. Gereja terlalu bergantung kepada Rasul
Kesulitan lainnya dalam gereja mula-mula adalah kebergantungan penuh kepada para rasul. Dari hal yang kompleks sampai ke hal administratif, seperti pembagian jatah kepada para janda dan yatim piatu. Hal ini kemudian memicu dipilihnya beberapa orang yang saleh untuk membantu para rasul dalam hal-hal administratif.

Mari kiranya kita semua boleh belajar dari kehidupan jemaat mula-mula, ada yang saat ini tidak mungkin dapat kita terapkan lagi, namun ada yang masih dapat kita teladani saat ini dan tetap melihat bahwa gereja merupakan tempat bersekutu dengan Firman, dengan saudara seiman, bersama-sama dengan penderitaan Kristus melalui Perjamuan Kudus, serta bersekutu di dalam doa. Soli Deo Gloria.

Dedy Budiharjo
Pemuda GRII Pusat

Referensi :
Peter H Davids, Ucapan yang Sulit Dalam Perjanjian Baru, SAAT Malang, p. 41-46
Bob Deffinbaugh – http://bible.org/seriespage/characteristics-healthy-church-acts-214-47
Wycliffe Bible Commentary: Acts 2:42-47