,
Foto guru sedang mengajar, sedangkan muridnya sedang bermain ponsel

Kejatuhan dalam Dunia Pendidikan Masa Kini

Pertanyaan Dasar
Pada edisi kali ini, buletin PILLAR membahas aspek kejatuhan, yang merupakan fase kedua jika dilihat melalui perspektif Christian Worldview. Dalam artikel ini, penulis akan fokus pada aspek kejatuhan dalam dunia pendidikan. Maksud utama artikel ini sebenarnya sederhana, yakni mengajak pembaca untuk bersama-sama memikirkan kembali beberapa pertanyaan dasar. Siapakah itu guru? Apa itu mengajar? Apa tujuan akhir dari mengajar?[1] Pembahasan akan terpusat dalam menjawab tiga pertanyaan dasar tersebut. Beberapa perspektif seperti perkembangan konsep pendidikan sepanjang sejarah dan pandangan dari beberapa tokoh penting akan digunakan untuk memperkaya pengulasan dalam tulisan ini.

Perkembangan Sepanjang Sejarah
Konsep pendidikan yang menarik dapat kita lihat dalam kebudayaan Yahudi dan Sparta. Aspek pengajaran bukanlah sesuatu yang asing bagi bangsa Yahudi. Setiap anak dalam komunitas Yahudi pasti diajarkan mengenai Taurat. Baik secara langsung oleh orang tua, maupun secara publik di sinagoge ataupun sekolah Taurat[2]. Khususnya dalam pendidikan oleh orang tua, pengajaran secara lisan menjadi aspek yang begitu penting (bandingkan dengan Ulangan 6:7). Saat anak-anak menginjak usia 13 tahun, anak yang tergolong pandai dapat melanjutkan studinya untuk suatu saat menjadi rabi/guru yang akan mengajar Taurat[3]. Yang menjadi inti dari kegiatan belajar-mengajar ini adalah penyembahan kepada Tuhan. Sangat berbeda dengan pendidikan Sparta, tujuan akhirnya adalah untuk mencetak tentara militer yang gagah berani. Sejak umur tujuh, anak-anak sudah menjalani pelatihan fisik yang sangat berat dan disiplin. Mereka berjalan tanpa alas kaki, tidur di alas yang keras, lari jarak jauh, lempar lembing, dan berbagai aspek latihan lain. Hukuman fisik yang keras adalah hal yang lumrah dalam sistem pendidikan Sparta. Saat berumur 18 tahun, mereka belajar berbagai strategi militer agar dapat menjadi tentara sampai umur 60 tahun.

Pada Abad Pertengahan terjadi perubahan yang cukup besar dalam konsep dan format pendidikan. Biara, gereja, dan sekolah untuk kaum bangsawan menjadi institusi utama dalam kegiatan belajar-mengajar. Bahasa Latin dan seni literatur adalah salah satu fokusnya agar para murid dapat menyalin dan menjaga karya-karya dari Bapa-Bapa Gereja. Sebagian besar murid adalah pelayan dalam gereja, walaupun ada sedikit orang awam yang ikut belajar dan dilatih. Tujuan pendidikan adalah untuk mempersiapkan para murid akan kehidupan kekal setelah kematian dan mendorong perenungan mengenai Tuhan selama masa hidup mereka di bumi[4]. Beberapa tantangan yang besar adalah banyaknya murid yang keluar dan tidak meneruskan sampai benar-benar selesai[5]. Masalah lain adalah kurangnya materi atau bahan bacaan. Saat itu buku sangat langka dan metode pendiktean, mengingat, dan penyalinan kerap digunakan dalam proses belajar-mengajar. Menjelang akhir Abad Pertengahan, beberapa universitas mulai didirikan. Kurikulum universitas saat itu mengajarkan tujuh liberal arts yang masih dikenal dan diadopsi sampai saat ini[6]. Liberal Arts dibagi menjadi dua bagian besar, yakni trivium dan quadrivium. Cakupan dari trivium adalah gramatika, retorika, dan logika. Sedangkan quadrivium mencakup aritmetika, geometri, musik, dan astronomi.

Perubahan konsep dan format pendidikan kembali terjadi pada periode Reformasi di abad 16. Martin Luther menegaskan bahwa setiap pribadi harus bertanggung jawab dalam hubungan dengan Tuhan dan pembacaan Alkitab secara pribadi. Alkitab adalah standar kebenaran yang mutlak dan keselamatan sangat berkaitan dengan pengertian yang benar dan komprehensif mengenai Alkitab. Para reformator sangat menekankan pengajaran Alkitab yang menyeluruh dan mendorong diimplementasikannya pendidikan publik (termasuk orang miskin dan kaum marginal). Mereka menekankan bahwa pendidikan secara publik adalah kewajiban dari orang Kristen. Akhirnya pada saat itu, gereja Lutheran (bukan negara) yang mengatur dan menjalankan pendidikan publik.

Ketika kaum protestan Inggris (yang juga dikenal dengan sebutan kaum Puritan) melakukan migrasi ke New England (bagian Timur Laut Amerika), mereka juga menjalankan sistem pendidikan yang sama. Anak-anak diajarkan untuk membaca dan menulis sehingga mereka dapat menggali Alkitab secara pribadi. Sistem sekolah publik juga terus dikembangkan di New England. Harvard University (saat itu bernama Harvard College) didirikan pada tahun 1636 dengan salah satu tujuan awal untuk memastikan kecukupan jumlah tenaga pengajar yang berkualitas.

Sekali lagi, pergeseran paradigma pendidikan kembali terjadi pada masa setelah Revolusi Industri. Kelompok pemilik bisnis dan tuan tanah terus meningkat secara jumlah. Dengan demikian, kebutuhan akan tenaga kerja juga semakin besar. Pada masa itu, eksploitasi tenaga kerja anak bukanlah suatu hal yang asing. Mereka dipekerjakan dalam pabrik-pabrik yang gelap, pengap, sesak, dan kotor.[7] Ketika industri semakin berkembang dan teknologi semakin maju, muncullah ide untuk mendidik tenaga kerja yang lebih terampil dalam bekerja. Maka anak-anak tidak lagi dipekerjakan dan mulai diarahkan untuk belajar. Kebijakan ini disetujui oleh berbagai pihak dengan agendanya masing-masing. Para pemilik bisnis menginginkan tenaga kerja yang lebih cakap dan efisien dalam bekerja. Pemerintah dan negarawan menginginkan penduduk yang lebih patriotis dan setia kepada negara. Dengan kondisi seperti ini, pengambilan keputusan tentang kurikulum dan materi yang harus diajarkan bukanlah hal yang mudah.

Berbagai Konsep Pendidikan
Setelah kita memperhatikan perkembangan pendidikan sepanjang sejarah, kita akan sama-sama membandingkan pandangan beberapa tokoh mengenai pendidikan. Tokoh-tokoh tersebut adalah Plato, Konfusius, Agustinus, dan Jean Jacques Rousseau. Menurut visi pendidikan Plato, setiap pelajar pada akhirnya harus melayani masyarakat. Bagi Plato, ini adalah suatu konsep Republik yang ideal.[8] Dalam mencapai hal ini, ia mencetuskan bahwa anak-anak harus dipisahkan dari orang tuanya dan diasuh langsung oleh negara. Secara kurikulum, pendidikan haruslah holistik yang mencakup keterampilan hidup, latihan fisik, seni, dan pelajaran akan berbagai fakta. Plato sangat menyadari bahwa talenta yang luar biasa bisa tersebar di berbagai lapisan masyarakat. Ia secara khusus mencari anak-anak berbakat untuk nantinya dilatih oleh negara.

Di negara Tiongkok, konsep pendidikan untuk segala kalangan dimulai dari pemikiran Konfusius. Menurutnya, pendidikan tidak boleh bersifat diskriminatif dan membedakan status sosial.[9] Jadi sebagai seorang guru, ia menerima murid yang kaya maupun miskin, kaum bangsawan maupun orang desa yang sederhana, orang yang cemerlang maupun yang agak lambat. Pemikiran ini akhirnya memengaruhi sistem ujian negara. Siapa saja, asal memiliki kepandaian dan kemampuan, berhak mengikuti ujian negara. Jika memang hasilnya sangat baik dan memuaskan, kalangan manapun bisa mendapat kesempatan untuk menjadi pejabat. Pada waktu itu, orang-orang yang berasal dari pelosok paling terpencil pun akhirnya bisa mendapatkan hak yang sama untuk menjadi pejabat atau bahkan perdana menteri.

Salah satu bibit dari pendidikan Kristen berasal dari pemikiran Agustinus.[10] Menurutnya, tujuan utama dari suatu pendidikan adalah untuk mengenal Allah, mengarahkan seluruh hati kepada-Nya, dan menjadi semakin serupa dengan Sang Guru Sejati, Yesus Kristus. Dalam kegiatan belajar-mengajar, aspek kasih adalah hal yang sangat krusial. Dengan adanya kasih, pendidikan bukan hanya menyentuh kepala, melainkan bisa masuk sampai ke hati. Dalam konteks dunia berdosa ini, Agustinus menasehatkan agar guru selalu belajar dan meneladani hal-hal yang baik, tahan dalam menghadapi kejahatan, dan senantiasa memancarkan kasih. Agustinus juga sangat menghargai pertanyaan yang diajukan oleh murid. Ia menasihatkan agar guru-guru memperhatikan pertanyaan murid, berdiskusi dua arah, dan sekaligus mengarahkan motivasi dan pengertian murid.

Tokoh terakhir yang akan kita bahas pandangannya adalah Jean Jacques Rousseau. Ia berpendapat bahwa pada awalnya setiap anak adalah baik. Namun karena pengaruh institusi seperti masyarakat, negara, dan sekolah, maka anak-anak akhirnya berubah tendensi menjadi buruk.[11] Pemikirannya yang lebih lengkap dituangkan dalam karyanya “Emile, or on Education”. Menurutnya, yang paling baik adalah anak-anak berkembang secara natural tanpa perlu sentuhan dan pengaruh dari institusi manapun. Dengan cara pikir seperti ini, ia menentang keras pendidikan anak-anak melalui institusi sekolah.

Lembaran Kelam Pendidikan Masa Kini
Setelah kita menelaah sejarah pendidikan dan pandangan beberapa tokoh, kini kita akan melihat kondisi pendidikan saat ini, khususnya dalam aspek kerusakan yang harus kita waspadai. Dalam menganalisa aspek kerusakan ini, penting bagi kita untuk terlebih dahulu mengetahui konsep dasar pendidikan yang seharusnya, yang sesuai dengan ketetapan Allah. Secara singkat, tujuan akhir dari pendidikan adalah untuk semakin mengenal dan menyerupai Allah, Sang Sumber Hikmat Sejati.[12] Manusia memang diciptakan dengan kondisi yang baik adanya, namun telah jatuh ke dalam dosa dengan begitu dalam. Dengan situasi seperti ini, manusia tidak mungkin lagi bisa menjadi baik secara ‘natural’ atau dengan sendirinya.
Dalam konteks pendidikan masa kini, hal yang paling berbahaya namun justru sering tidak disadari adalah cara pandang atheisme yang masuk dalam dunia pendidikan dan penerapan kurikulum.[13] Hal ini bahkan bisa menyusup ke dalam sekolah (yang katanya) Kristen. Allah dianggap tidak relevan dan tidak ada kaitannya dengan ilmu-ilmu yang dipelajari. Pelajaran tentang Allah hanya perlu dibahas dalam pelajaran agama saja. Di sisi lain, nilai-nilai yang memutlakkan humanisme atau meninggikan konsep cinta uang justru ditonjolkan. Pendidikan semacam ini dengan berani mengatakan bahwa pengetahuan bisa diperoleh di luar Allah, atau bahkan Allah sama sekali tidak ada dan tidak diperlukan. Cara pandang ini memiliki implikasi yang luar biasa, termasuk dalam aspek cara guru mengajar, mentalitas murid dalam menuntut ilmu, hasil akhir dari kegiatan belajar-mengajar, dan penentuan bahan-bahan yang akan dipelajari.

Dari perspektif murid, saat ini banyak yang belajar karena alasan sekuritas (supaya dapat kerja) ataupun sebagai sarana pembuktian diri semata. Dengan cara pandang semacam ini, wajarlah jika seseorang memilih jurusan yang sedang trend, sehingga nantinya bisa lebih mudah mendapatkan pekerjaan, memperoleh pengakuan, atau menghasilkan banyak uang. Implikasi lain, bisa juga pendidikan dilihat hanya sebagai sebuah batu loncatan untuk akhirnya lulus dan mendapat selembar ijazah. Tidak lebih. Pendidikan dilihat hanya sebagai “tiket” untuk masuk ke dalam dunia kerja. Ada pemikiran naïf bahwa dengan semakin tinggi tingkat pendidkan, semakin baik pula pekerjaan yang akan diperoleh. Padahal kenyataannya, saat ini banyak lulusan Ph.D sulit mendapat pekerjaan[14]. Tidak jarang pelajar menjadi mendewakan prestasi akademis secara angka semata. Dengan demikian, sang murid bisa mendapatkan pengakuan, entah itu dari sesama siswa, orang tua, guru, ataupun masyarakat. Dengan dorongan seperti ini, tidak jarang semangat kompetitif akhirnya mendominasi dan mengaburkan panggilan Tuhan dalam hidup murid. Juga tidak ada lagi semangat untuk belajar secara integratif (mengaitkan dengan bidang-bidang lain). Yang tersisa hanyalah semangat pragmatis dan cara belajar yang terfragmentasi untuk akhirnya sekadar bisa menjawab soal ujian yang keluar.[15]

Dari perspektif sekolah dan pendidik itu sendiri, salah satu kecelakaan besar adalah tidak adanya tujuan yang jelas dalam pendidikan. Sekolah Kristen dan wadah pengajaran dalam gereja juga tidak kebal dari ‘penyakit’ kehilangan arah ini.[16] Gejala ini sebenarnya mirip dengan gejala yang sudah pernah terjadi dalam sejarah, yakni berbagai pihak yang ikut campur dalam menyetujui program-program pendidikan. Namun ternyata masing-masing pihak memiliki agenda tersembunyi. Tujuan semula dari pendidikan menjadi ‘ditarik-tarik’ dari berbagai arah oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Tidak bisa disangkal, saat ini banyak sekolah yang didirikan dengan tujuan meraup keuntungan. Konsep ‘bisnis edukasi’ bukanlah sesuatu yang asing lagi. Dengan kondisi seperti ini, biaya pendidikan pun menjadi semakin melangit. Biaya pendidikan yang semakin tidak terjangkau membuat banyak orang yang berpikir ulang dan akhirnya memilih jalur home-schooling[17]. Selain itu, aspek-aspek yang lebih ditonjolkan adalah aspek bangunan atau fasilitas yang dapat lebih langsung dilihat, diiklankan, dan menjadi faktor penarik murid.[18] Sekolah yang sudah kehilangan tujuan sangat mungkin menghasilkan murid yang akhirnya hanya menjadi ‘mesin-mesin’ yang dapat bekerja, ataupun kaum fanatik nan sempit karena sepanjang periode sekolah, negara telah menyusupkan dan menanamkan ideologi yang belum tentu benar.

Harapan
Dalam bagian akhir, di tengah-tengah kelamnya dunia pendidikan saat ini, penulis ingin mengungkapkan sedikit harapan akan dunia pendidikan yang lebih baik, yang lebih sesuai dengan prinsip firman Tuhan. Semoga dalam artikel-artikel PILLAR selanjutnya, ada penulis-penulis (khususnya yang langsung menggeluti bidang pendidikan) yang akan membahas dengan lebih komprehensif mengenai aspek-aspek redemption dalam dunia pendidikan. Alangkah indahnya jika tujuan akhir pendidikan bisa kembali seperti yang diutarakan oleh Agustinus, yakni mengenal Allah, mencondongkan hati kepada-Nya, dan menjadi semakin serupa dengan-Nya. Sungguh indah ketika setiap murid bisa menggumulkan dan menemukan panggilan hidup-Nya dan dipakai untuk saling memperlengkapi tubuh Kristus. Dalam hal ini, sekuritas diri, semangat kompetisi, dan pencapaian angka akademis semata bukan lagi menjadi pendorong bagi murid dalam belajar. Sebaliknya, yang menjadi dorongan utama adalah kehausan untuk semakin mengenal Allah, rasa tanggung jawab atas kapasitas dan kemampuan yang Tuhan sudah berikan, ekspresi ucapan syukur atas anugerah keselamatan, dan keingintahuan untuk mengeksplorasi ciptaan di mana segala ciptaan merefleksikan kemuliaan dan kebenaran Allah.[19]

Proses mengajar sendiri pasti melampaui sekadar penekanan elemen pengulangan ala peradaban kuno, ataupun elemen pendiktean dan penyalinan ala Abad Pertengahan.[20] Apalagi dalam era informasi ini, di mana banyaknya materi dan online course berkualitas tinggi yang tersedia secara cuma-cuma.[21] Peran seorang guru bukan lagi sekadar mengisi wadah-wadah yang kosong dan menyampaikan materi secara satu arah. Proses belajar-mengajar dapat dikatakan berhasil justru ketika rasa keingintahuan murid telah terangsang dan menyala, sehingga sang murid dapat secara aktif dan mandiri terus mencari dan belajar. Alangkah indahnya ketika proses mengajar adalah bagaikan memberikan percikan api kepada sang murid, sehingga membuat semangat belajarnya semakin berkobar dan menyala.[22]

Dalam mencapai tujuan akhir belajar dan proses pendidikan ini, guru memiliki peranan krusial sebagai jembatan atau penunjuk kepada Sang Kebenaran Sejati. Hal ini mirip dengan Yohanes Pembaptis yang menunjuk kepada Kristus.[23] Guru bisa menjadi sumber inspirasi dan pencerahan bagi murid-muridnya ketika ia mampu memberikan teladan hidup. Dan seorang guru dapat menjadi teladan hidup hanya ketika ia dengan sungguh-sungguh mengikut dan meneladani Kristus. Juga tidak boleh dilupakan, yang disebut ‘guru’ bukan hanya mereka yang secara full-time mengajar di sekolah atau universitas. Fungsi sebagai guru tentunya juga pasti tercakup dalam relasi orang tua dengan anak, hamba Tuhan dengan jemaat, atasan dengan bawahan, juga relasi sesama teman, saudara, dan bahkan antar sesama karyawan. Dengan begini, yang disebut wadah pendidikan tidak hanya terbatas di sekolah dan universitas. Sebaliknya, wadah-wadah lain juga harus menyadari dan sama-sama menjalankan fungsi dan perannya sebagai pendidik/guru.[24]

Mengenai murid, saya tertarik dengan pandangan Louis Berkhof yang dituangkan dalam buku “Foundations of Christian Education”[25]. Ia menyoroti pendidikan anak dari perspektif covenant dengan Allah.[26] Sejak periode taman Eden, setelah kejatuhan, dan setelah dipulihkan, manusia tidak pernah terlepas dari ikatan covenant dengan Allah, yang mana Allah adalah pihak yang berperan secara aktif. Dalam pendidikan Kristen, murid harus dilihat sebagai manusia yang memiliki relasi perjanjian langsung dengan Allah. Sehingga murid menjadi sadar dan menghargai hak istimewa mereka dan signifikansi iman kepada Allah Tritunggal. Pendidikan Kristen adalah alat di tangan Allah untuk mengerjakan iman dalam hati anak, menuntun sehingga akhirnya iman itu menghasilkan buah, dan anak berubah dalam proses penyucian untuk semakin serupa dengan Allah.

Semoga pembahasan dalam artikel ini bisa memicu setiap pembaca untuk memikirkan kembali beberapa hal mendasar dalam dunia pendidikan, dan menggumulkan peran masing-masing dari kita di dalamnya. Artikel ini akan saya tutup dengan sebuah kutipan indah dari John Milton, salah seorang penyair terbesar Inggris.

The end of learning is to repair the ruins of our first parents by regaining to know God aright, and out of that knowledge to love him, to imitate him, to be like him, as we may the nearest by possessing our souls of true virtue, which being united to the heavenly grace of faith makes up the highest perfection.” (John Milton, on Education)

Juan Intan Kanggrawan
Redaksi Bahasa PILLAR

Endnotes:
[1] Penulis berterimakasih kepada Sdr. Andi Soemarli Rasak atas pendapat dan pandangannya dalam berbagai aspek dalam dunia pendidikan.
[2] Anak-anak Yahudi yang sudah menyelesaikan pendidikan Taurat mendapat sebutan ‘Bar Mitzvah’ atau Anak Taurat.
[3] Seorang rabi dipandang secara tinggi dan terhormat dalam kebudayaan Yahudi.
[4] Yang menjadi salah satu titik fokus dalam Abad Pertengahan adalah kehidupan membiara dan menyiksa diri. Dunia dianggap tidak terlalu memiliki arti. Pandangan lebih banyak diarahkan untuk kehidupan kekal yang akan datang.
[5] Pada masa itu, kelas tidak dipisahkan berdasarkan umur. Anak umur enam sampai tujuh belas digabung dalam kelas yang sama.
[6] Saat ini, beberapa sekolah (termasuk di Indonesia) ada yang berbalik dan kembali menerapkan kurikulum ini. Penerapan kurikulum ini kerap disebut sebagai Classical Education.
[7] Salah satu novel yang menggambarkan hal ini dengan jelas adalah novel yang berjudul ‘A Christmas Carol’ karya Charles Dickens.
[8] Konsep ini secara lebih lengkap Plato tuangkan dalam karyanya yang berjudul The Republic.
[9] Kalimat Konfusius yang terkenal dalam pendidikan adalah 有教無類 (yǒu jiào wúlèi), yang berarti mendidik tanpa klasifikasi/pemisahan (terjemahan langsung).
[10] Pemikiran Agustinus mengenai epistemologi, pendidikan, bahasa, dan pengetahuan sangatlah luas. Beberapa karyanya yang memaparkan tentang hal itu adalah On Christian Doctrine, Confessions, On the Teacher, dan The City of God.
[11] Pada masa itu, ada dua pandangan besar yang berkembang di Perancis. Yakni pro institusi dan kebudayaan (pandangan yang dipegang oleh John Locke) dan kontra institusi dan kebudayaan (pandangan naturalis seperti yang dianut oleh Rousseau).
[12] Dasar ayat mengenai Allah sebagai Sang Hikmat bisa dibaca dalam Amsal 8 dan Yohanes 1.
[13] Louis Berkhof dan Cornelius Van Til menggunakan istilah antitesis dalam buku mereka yang berjudul ‘Foundations of Christian Education’.
[14] Salah satu artikel yang berargumen bahwa jumlah Ph.D saat ini sudah terlampau banyak: http://theconversation.com/are-phd-graduates-expecting-too-much-11854.
[15] Salah satu pidato alumnus yang banyak diperbincangkan adalah pidato dari Erica Goldson: http://americaviaerica.blogspot.sg/p/speech.html.
[16] Dalam tahap ekstrem, bisa saja aspek doktrin dan pengajaran tidak lagi dianggap penting. Misalnya, sekolah minggu tidak perlu lagi ada penyampaian firman Tuhan. Hanya perlu menyanyi dan aktivitas saja.
[17] Memang masih banyak pro dan kontra dalam konsep home-schooling. Namun trend ini semakin meningkat, khususnya di Amerika. Berikut salah satu artikel yang menjelaskan trend ini: http://consciouslifenews.com/18-reasons-doctors-lawyers-homeschool-children/1152660/.
[18] Pdt. Stephen Tong memberikan urutan yang sangat jelas dalam pendidikan, yakni guru, materi yang diajarkan, murid, baru kemudian fasilitas. Prinsip ini dapat dibaca dalam buku yang berjudul ‘Arsitek Jiwa II’.
[19] Hal ini senada dengan prinsip all truth is God’s truth.
[20] Taksonomi Bloom membagi tahapan belajar kognitif sebagai berikut: knowledge, comprehension, application, analysis, synthesis, dan evaluation.
[21] Contoh website-website tersebut adalah https://www.coursera.org/, https://www.edx.org/, http://ocw.mit.edu/index.htm.
[22] Kalimat ini juga diutarakan oleh Plutarch, seorang sejarawan, penulis essai dan biografi yang berasal dari Yunani.
[23] Pdt. Stephen Tong membandingkan Kristus dengan Logos (filsafat Yunani), Dao (filsafat Cina), dan Brahman (filsafat India) dalam khotbah eksposisinya mengenai Yohanes 1. Yohanes Pembaptis yang akhirnya menunjuk kepada Kristus sebagai Anak domba Allah, yang menghapus dosa dunia.
[24] Saat ini, terjadi tendensi atau pola pikir bahwa aspek pendidikan hanyalah tanggung jawab dari guru/sekolah semata.
[25] Resensi buku ini juga bisa diakses melalui website PILLAR pada link berikut: https://www.buletinpillar.org/resensi/foundation-of-christian-education.
[26] Salah satu perspektif dalam membagi covenant adalah sebagai berikut: Covenant of Redemption, Covenant of Works, dan Covenant of Grace.