Pelayanan kelompok Kristen hanya akan dapat kembali relevan ketika ia kembali kepada panggilan dan kasihnya yang mula-mula kepada Allah dan sesama.
Tulisan reflektif ini terinspirasi dari sebuah artikel Tajuk Rencana berjudul “G7 Semakin Tak Relevan bagi Dunia” yang terbit pada Harian Kompas tanggal 22 Mei 2023. Artikel kecil tersebut menguraikan secara singkat tentang peranan kelompok negara-negara G7 yang konferensinya baru saja berlangsung di Hiroshima, Jepang, pada tanggal 19-21 Mei 2023. Lokus dari editorial ini sebenarnya sangat sederhana, yaitu bagaimana negara-negara G7 yang ada saat ini sudah tidak lagi mencerminkan signifikansinya seperti ketika mereka pertama kali dibentuk pada tahun 1975. G7 sebagai label dari “tujuh negara dengan produk domestik bruto (PDB) terbesar dunia” itu dianggap sudah tidak sesuai dengan perkembangan dunia pada tahun 2023. Kelompok yang beranggotakan Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Inggris, Prancis, Italia, dan Kanada tersebut kini posisi PDB-nya sebagian sudah tergeser oleh Tiongkok (urutan dua dunia) dan India (urutan lima dunia).
Sedangkan bila dipantau dari purchasing power parity-nya, yang masih dapat dikategorikan sebagai negara G7 hanya tinggal Amerika Serikat, Jepang, dan Jerman. Tiongkok, India, Rusia, dan bahkan Indonesia, telah menyalip Inggris, Prancis, Italia, dan Kanada. Pada tahun 2018, Jim O’Neill dan Alessio Terzi, dua analis dari lembaga think tank Bruegel, menyatakan bahwa G7 dengan komposisi dan format yang ada saat ini sudah tidak sahih lagi untuk menjadi representasi masyarakat dunia. Justru G20 lebih relevan ketimbang G7 yang malah lebih condong bersifat sektarian (kelompok eksklusif yang merasa elite, penting, dan layak mengatur dunia, padahal tidak memiliki dan mewakili kapasitas tersebut).
Menurut banyak pakar geopolitik dan ekonomi dunia, G7 akhirnya hanya dipandang sebagai sebuah kelompok pemelihara kepentingan dari segelintir negara yang mau mempertahankan status quo dan dominasi pengaruh mereka sendiri atas negara-negara lain dengan mengatasnamakan kepentingan global; dan hal itu dipandang terbukti lewat pertemuan di Hiroshima. Kritik terhadap mereka disampaikan oleh banyak pihak karena G7 telah kehilangan “visi mula-mula”. Alih-alih memikirkan solusi bagi banyak problem lain, G7 hanya berfokus pada bagaimana meningkatkan sanksi terhadap Rusia lewat perang Ukraina dan mengurangi ketergantungan ekonomi global terhadap Tiongkok dengan alasan memperjuangkan kedaulatan Taiwan, Hong Kong, Xinjiang, dan demokrasi[1]. Padahal “G7 berdiri guna memelihara relasi politik, ekonomi, diplomasi, dan militer demi kestabilan global”[2].
Direktur Studi Kebijakan Asia Timur dari Brookings Institution, Mireya Solis, justru mengkhawatirkan kalau persekutuan G7 ini hanya akan menjadi kendaraan yang ditunggangi Amerika Serikat untuk menjalankan kepentingan pribadinya dalam menghadapi konflik dan kontestasi hegemoninya terhadap Tiongkok. Dengan kata lain, slogan G7 yang hadir “bagi kepentingan dan solidaritas global” hanyalah sebuah jargon kosong yang isi sebenarnya telah lama digantikan oleh kepentingan secuil negara yang bercokol di sana. Pakar geopolitik dari University of Chicago, John Mearsheimer, juga mengungkapkan bahwa Amerika Serikat masih berlaku seolah-olah dunia masih berada di bawah hegemoni liberal (dalam artian berada di bawah hegemoni Amerika Serikat). Amerika Serikat memang tampak merasa insecure karena posisi dan kepentingannya terancam. Demikian kritik banyak pakar terhadap kondisi kekinian dari relasi global antara kelompok negara berpengaruh di dunia tersebut. Para pakar memandang peranan dan pemanfaatan ajang pertemuan global G7 akan makin tidak relevan serta tergeser signifikansi positifnya oleh kelompok lain seperti G20, atau BRICS misalnya, bila tidak kembali mengarahkan fokus pada isu bersama, dan bukan hanya pada segelintir kepentingan dari negara-negara G7 saja.
Terlepas dari motif dan kompleksitas perihal relasi geopolitik antarnegara dan aliansinya dalam dunia ini, cara pandang kristiani dapat menarik pembelajaran yang bersifat reflektif dari kasus-kasus seperti di atas. Amsal mengatakan bahwa hikmat ada di banyak tempat[3], dan Tuhan yang menaruhnya. Anugerah umum tersebut Tuhan sediakan bagi semua orang[4], apalagi bila sebagai seorang Kristen kita dengan rendah hati mau belajar untuk mencari hikmat tersebut, kita dapat menemukannya di dalam belas kasihan Tuhan. Karena itu, melalui tinjauan singkat yang telah disampaikan, kita dapat berkaca baik sebagai gereja, persekutuan, maupun sekelompok pemuda Kristen, perihal eksistensi kita sebagai umat kristiani di tengah-tengah masyarakat. Prinsip universal dari kasus keberadaan G7 yang dilematik itu sebenarnya juga relevan bagi kita karena hal serupa pun berlaku bagi kelompok kristiani bila ia telah menjadi begitu eksklusif, merasa sebagai elitis, sektarian, dan keberadaannya hanya menjadi sarana untuk menyenangkan diri sendiri; cepat atau lambat, keberadaan pelayanan kita akan tergeser oleh zaman dan menjadi irrelevant.
Pergulatan untuk Menjadi Relevan?
Tentu penekanan dari refleksi di atas bukanlah pada “untuk selalu menjadi relevan dengan dunia”, karena tak jarang “menjadi relevan” sering disalahartikan sebagai “menjadi serupa” dengan tren dunia. Padahal panggilan gereja bukanlah untuk menjadi serupa dengan dunia, melainkan untuk setia kepada panggilannya. Dalam hal ini justru terdapat paradoks: gereja akan menjadi relevan (dalam pengertian yang benar) bagi dunia hanya ketika ia setia kepada panggilannya sebagai umat Allah. Dalam hal panggilan ini, kita dapat merujuk kepada diskursus Paulus dalam Surat Efesus yang menaruh lokus panggilan kristiani pada “pekerjaan baik yang telah Allah sediakan sebelumnya”[5]. Dengan kata lain, kelompok Kristen janganlah hanya sibuk dengan kepentingan pribadinya, mimpi akan nama besarnya, politik-kekuasaan internalnya, atau bahkan hanya untuk menyenangkan dirinya saja.
Jika kita sandingkan dengan kelompok G7 dalam bingkai comparative case, kelompok Kristen juga diperhadapkan pada problematika dan ancaman yang sama. Kemungkinan untuk menggunakan wadah bersama bagi kepentingan segelintir pribadi juga mengancam eksistensi gereja. Hal ini sebenarnya bukan isu baru, sudah banyak catatan dalam sejarah bagaimana aktor-aktor dalam gereja menggunakan sarana “Kerajaan Allah” untuk mengukuhkan “kerajaan dunia”. Kalau sudah seperti demikian, sudah tentu kebenaran Tuhan akan dikompromikan. Hal semacam demikian juga terpotret dari kisah Yesus sendiri, ketika Ia datang kepada umat kepunyaan-Nya, mereka malah menolak Dia. Dan penolakan terbesar yang dicatat keempat Injil malah datang dari kelompok yang tampak “paling rohani”, dan yang “paling menantikan” kedatangan Mesias. Kalau kita renungkan, memang tak jarang kehidupan religius itu menjadi pagelaran dari sebuah panggung komedi; kebenaran yang paling dibicarakan, dinantikan, dan diserukan, pada akhirnya malah ditolak, dibuang, dan dianiaya.
Inilah suatu kondisi dari “penjara” ontologis/realitas yang dapat kita katakan sangat mengerikan; bukan karena dampak fisik atau psikisnya, tetapi lebih kepada “subtlety-nya”. Manusia tidak dapat menyadari keberadaan dari “penjara” ontologis ini. Dosa menciptakan suatu realitas di mana terkadang manusia merasa sedang berbuat baik, melayani Allah, menjalankan panggilan Tuhan, dan sebagainya, namun sesungguhnya ia sedang melawan Allah dan menganiaya tubuh Kristus. Satu-satunya jalan keluar dari realitas palsu tersebut hanyalah melalui anugerah, yang membelah tabir dari selubung mata kita untuk melihat bahwa gereja/persekutuan/kelompok kristiani dan diri kita sedang tidak baik-baik saja ketika meninggalkan panggilannya yang mula-mula.
Menjadi Relevan: Kembali kepada Injil, Kekuatan Allah yang Membebaskan
Jawaban dari “tidak relevannya kelompok Kristen” dalam dunia mungkin sekali adalah karena kita sebagai umat kristiani sudah tidak lagi hidup di dalam “pekerjaan baik yang telah Allah sediakan sebelumnya”. Mungkin sekali juga perenungan kita akan ruang lingkup dari pekerjaan baik yang telah Allah sediakan itu telah terdistorsi sedemikian rupa, dan yang tersisa hanyalah istilah-istilah “rohani”, namun tanpa pemahaman dan pengamalan yang semestinya. Salah satu contohnya dapat kita temukan melalui kehidupan Paulus ketika ia masih dikenal sebagai Saulus. Ia begitu giat melakukan kehendak “Allah”, melakukan pekerjaan “baik” yang ia anggap merupakan panggilannya, yaitu membersihkan, secara literal, orang-orang Yahudi “sesat” yang sudah “kompromi” dan “menyimpang” dari jalan Allah yang sejati, yaitu orang-orang Kristen itu. Masih banyak sebenarnya contoh lain, seperti para Farisi dan ahli Taurat yang dimaki Tuhan Yesus sebagai kaum munafik[6]. Tetapi, bukankah justru dalam kondisi semacam demikian mereka malah merasa sedang berjalan dalam jalan dan panggilan Tuhan? Inilah contoh dari perwujudan “penjara” ontologis yang menjerat semua orang; baik orang beragama di luar Kristen, maupun mereka yang berada di dalam kekristenan itu sendiri.
Pembebasan satu-satunya dari “penjara” tersebut sesungguhnya hanya dapat kita temukan kembali di dalam keutuhan Injil. Hal ini sangat berlaku pula bagi orang Kristen, karena kitalah yang justru paling membutuhkan Injil. Kita yang mungkin sudah terbiasa dengan lingkungan gerejawi/rohani/keagamaan justru acapkali menjadi kelompok yang paling rentan terhadap amnesia Injil, karena mungkin kita merasa sudah paham, sudah biasa dengar, atau bahkan merasa beritanya sudah terlalu usang. Namun tak jarang, kelimpahan dari “kekuatan Allah yang menyelamatkan” itu luput akibat kita pongah atas kondisi kita yang sebenarnya miskin. Sebagai pemantik refleksi, saya meminjam tiga istilah yang dimunculkan pada Persekutuan Doa dan Pemahaman Alkitab (PDPA) GRII Kebon Jeruk tanggal 9 Agustus 2023[7], yaitu tentang Gospel Story, Gospel Announcement, dan Gospel Community.
Sering kali kita merasa Injil hanya berkenaan dengan announcement-nya saja, soal pemberitaannya saja, soal sudah atau tidaknya kita terlibat dalam pewartaannya, terutama bagi orang non-Kristen. Tetapi problematika yang kerap kali terluput dari pandangan kita adalah bahwa dalam Injil terkandung narasi yang amat besar, yang tidak hanya berkutat pada soal “terima Yesus maka masuk sorga” saja, melainkan juga tentang bagaimana pada mulanya semua ini dimulai, jatuh, ditebus, dan menuju penyempurnaannya (Creation-Fall-Redemption-Consummation). Perenungan terhadap Injil Kristus membawa kita kepada suatu kesadaran untuk melihat bahwa panggilan kita adalah juga berbagian di dalam pekerjaan penebusan atas ciptaan yang hanya mungkin dikerjakan di dalam dan melalui Yesus Kristus sebagai Penebus dan Hikmat Allah yang satu-satunya. “Penebus” dan “Hikmat” inilah satu-satunya yang memampukan dunia untuk kembali dikultivasi sebagaimana perintah Allah yang mula-mula dalam Kejadian, dan bukan malah dieksploitasi hingga rusak seperti yang banyak terjadi dalam peradaban manusia. Dan sayangnya, banyak orang Kristen yang terlibat dalam perusakan tersebut.
Albert M. Wolters dalam Creation Regained: Biblical Basics for a Reformational Worldview memberikan uraian yang menarik tentang bagaimana penebusan Kristus bukan hanya soal manusia yang masuk sorga, namun juga tentang bagaimana sejarah penebusan tersebut mencakup akan seluruh aspek dalam ciptaan yang dibawa kembali kepada Allah. Hal ini berarti mencakup manusia (baik perihal dirinya sendiri maupun society) dan alam yang dibawa menuju kepada rancangan kekal Ilahi tentang manusia, tentang alam, tentang masyarakat, tentang kota, tentang relasi agama yang sejati antara Allah dan manusia, dan seterusnya. Sangat menarik pada materi katekisasi GRII modul 02 pertanyaan 8, dinyatakan bahwa “pengenalan akan Allah Tritunggal adalah dasar dari hidup kekal. Selain itu pengertian Allah Tritunggal adalah dasar atas pengertian kasih yang sejati, atas pernikahan, atas relasi antarpribadi, dan atas kehidupan bermasyarakat yang sehat”[8].
Injil Kristus membawa, memampukan, dan menyertai kita, di dalam perjanjian anugerah, untuk dapat kembali menjalankan panggilan Ilahi yang pernah Allah berikan kepada manusia di Taman Eden. Karena itulah, kekayaan dari kuasa penebusan Injil tersebut tak pernah hanya berbicara tentang jaminan kita untuk masuk sorga saja, melainkan juga tentang panggilan dan penyertaan-Nya yang setia kepada umat Allah agar kembali mengusahakan dunia ini hingga Kristus datang untuk kedua kalinya. Maka kembali, panggilan kelompok kristiani dibangun dalam kerangka umum ini, sehingga ketika wadah bersama umat Allah dimanfaatkan untuk hal di luar panggilan tersebut (misalnya, menjadi kendaraan politik bagi perebutan kekuasaan dalam gereja), sudah dapat dipastikan bahwa umat Allah akan kehilangan relevansi dan signifikansinya bagi dunia.
Vakumnya upaya menghidupkan narasi Injil yang utuh ini sering kali menjadikan komunitas kristiani kehilangan makna dan arah tujuan. Aktivitas dan ritus keagamaan boleh saja tetap hadir, mengisi dan “menyibukkan” setiap insan religius, namun cepat atau lambat kerohanian warga gereja akan makin kering dan tidak bertumbuh. Di sisi lain, selain keutuhan Gospel Story yang mungkin hilang dari pergumulan kelompok Kristen, Gospel Community yang tidak terbangun juga menjadi kendala. Individualisme sebagai gaya hidup sering kali mengisi pemahaman dan praksis hidup dari masyarakat kekinian, terutama urban. Kesadaran untuk hidup berkelompok sebenarnya tidak hanya muncul pada umat beragama saja, secara spesifik kekristenan. Banyak perkumpulan dan paguyuban yang dibina karena satu ide bahwa manusia memang tidak dapat hidup sendiri, maka muncullah komunitas-komunitas sebagai respons dari kehidupan urban yang makin terisolasi.
Terlepas dari beragam baik-buruknya nilai dan ide tentang berdirinya komunitas-komunitas yang ada, seharusnya warga kristianilah yang paling dapat menghayati komunalitas sebagai sebuah kebutuhan dasar pribadi (needs as a being, and needs as a person). Penekanan pada “seharusnya” dan “yang paling dapat” bukan tanpa alasan, sekaligus bukan tanpa ironi. Konsepsi dasar bahwa manusia adalah gambar dan rupa dari Allah yang Tritunggal mendasari natur manusia yang komunal. Dengan kata lain, manusia adalah makhluk komunal karena patron utamanya secara ontologis (terlepas apa pun kepercayaannya) adalah Allah Tritunggal yang saling berelasi di dalam diri-Nya (perichoresis). Namun pada saat bersamaan, kita pun harus mengakui keberadaan komunitas Kristen tak jarang mengkhianati nilai-nilai yang diangkatnya. Hal ini sering kali menjadi dilema yang membuat orang-orang Kristen, terutama kaum muda, bergumul dengan kekristenan yang selama ini mereka percaya. Harapan dan restorasi dari komunitas kristiani untuk menjadi lebih sehat memang hanya dapat ditemukan ketika kita menyadari bahwa gereja adalah milik Allah, sehingga adalah suatu kekejian di mata Tuhan bila setiap kewenangan yang diemban oleh segelintir orang malah diselewengkan bagi ambisi keberdosaan; sekalipun ia mengatasnamakan Tuhan.
Menjadi Relevan: “Tidak Baik Manusia itu Seorang Diri Saja”
Komunitas yang dibangun dengan dasar narasi yang utuh dan proklamasi atas Injil, beserta dengan seluruh pergumulannya, merupakan basis utama dari kehidupan orang-orang Kristen. Nilai-nilai komunal yang ditarik dari studi yang panjang atas Alkitab hanya dapat menemukan kekuatannya ketika ia diinternalisasikan ke dalam praksis kehidupan komunal; bukan hanya pada lingkungan kristiani, tetapi juga pada lingkup di luar komunitas tersebut. Nilai-nilai yang dimaksud adalah seperti kebenaran, keadilan, kebaikan, belas kasihan, dan sebagainya, yang dapat kita temukan dalam pengajaran Alkitab. Pertanyaan pemantik, bukankah nilai-nilai tersebut juga dapat kita temukan terekspresikan oleh kelompok-kelompok lain? Bukankah nilai-nilai tersebut tidak eksklusif dan dimonopoli hanya oleh kelompok Kristen? Kita akan merespons pertanyaan ini dengan jawaban “ya dan tidak”. “Ya” karena dalam wahyu dan anugerah umum, Tuhan dapat memunculkan seluruh kebaikan-Nya melalui orang-orang yang tidak percaya. Bahkan hal ini sering kali menjadi suatu teguran dari Tuhan kepada umat-Nya ketika umat-Nya melupakan panggilan mereka. Lalu “tidak” dalam artian kekristenan memiliki kekhasan dari setiap ekspresi nilai-nilai tersebut, yaitu ia bertumbuh ke arah Kristus, keluar dari pengenalan akan Kristus, dan membawa orang untuk melihat kepada Kristus.
Orang-orang bisa saja melihat bahwa komunitas Kristen berisi pribadi-pribadi yang baik, tetapi kita sadar betul bahwa kebaikan tersebut bukan berasal dari kita. Ia berasal dari Allah, dan segala ucapan syukur harus kembali kepada Dia yang kita kenal melalui Yesus Kristus. Segala “pekerjaan baik” ini hanya dapat kita tunaikan dengan setia ketika terbangun sebuah Gospel Community yang sehat, yang berorientasi kepada penghidupan yang utuh dari narasi Injil Tuhan atas hidup manusia. Bila ketiganya tak ada, atau hilang salah satu, maka sudah dapat dipastikan keberadaan kelompok kristiani akan menjadi irrelevant. Tidak relevannya kekristenan bisa terjadi dalam dua polar: terjadinya konformitas (kekristenan meniru dunia), atau kelompok Kristen memisahkan diri dan menjadi begitu eksklusif, yang akhirnya hanya berujung pada sibuk dan asyik dengan dirinya sendiri.
Sangat miris memang bila kita merenungkan bagaimana sebuah komunitas pelayanan telah menjadi begitu bergeser motivasinya; apalagi bila kondisi tersebut malah sengaja dipelihara oleh segelintir orang. Padahal, semangat elitisme, eksklusivisme, dan sektarianisme (dalam konteks ini tidak mau menjangkau keluar dan hanya mengutamakan kepentingan/kesenangan golongan ketimbang keseluruhan tubuh Kristus) bukan merupakan sifat dari nilai-nilai kristiani yang diajarkan oleh Kristus di dalam Alkitab.
Terlepas dari krisis yang terjadi pada tubuh kekristenan, upaya untuk menghidupi narasi Injil secara kolektif juga harus dimaknai dengan hati-hati agar tidak terjebak pada semangat triumphalistic. Maksudnya adalah suatu dorongan eksesif untuk menaklukkan, menundukkan, dan menguasai kelompok yang dianggap berbeda dengan menggunakan kekerasan; baik secara fisik maupun psikis. Kalau tidak, kita hanya akan melakukan kesalahan yang sama dengan kekristenan pada zaman Medieval yang tak jarang melakukan invasi, perampasan, persekusi, dan seterusnya, atas nama Tuhan. Ucapan “Deus Vult!” yang berarti “Tuhan menghendakinya!” dalam bahasa Latin kerap kali diteriakkan suatu kelompok untuk memberikan pembenaran dan legitimasi atas aksi penyerangan terhadap kelompok lain (baik dalam tubuh kekristenan, maupun di luar itu) dengan alasan-alasan religius, namun pada saat yang bersamaan di dalam tubuh kelompok itu sendiri sedang terjadi korupsi moral dan kemunafikan yang mengerikan[9]. Paradigma “penaklukan” yang cenderung lahir dari ambisi keberdosaan dan spirit narsistik ini sebenarnya sudah pernah diperingatkan oleh Rasul Paulus, bahwa perjuangan orang percaya bukanlah melawan “darah dan daging”, melainkan para “penghulu dunia gelap”[10]. Memang pada realisasinya, kuasa dosa memanifestasikan dirinya pada manusia, kelompok-kelompok, dan komunitas, tetapi tak jarang juga manifestasi dosa berwujud melalui kelompok yang banyak menggunakan slogan-slogan Kristen. Karena itu discernment sangat diperlukan. Spurgeon pernah mengatakan, “Discernment is not knowing the difference between right and wrong. It is knowing the difference between right and almost right.”
Apakah komunitas kristiani yang berusaha menghidupi ketiga “kaki Injil” di atas masih dapat kita temukan saat ini? Jawabannya, tentu saja masih. Saya mengambil contoh misalnya pada gerakan The Gospel Coalition (TGC) yang dicetuskan oleh sekelompok tokoh Injili di Amerika Serikat. TGC merupakan kelompok kekristenan yang terdiri dari berbagai denominasi gereja Injili yang bertumbuh dalam tradisi Reformasi, dan yang berkomitmen untuk terus memperbarui iman dan pelayanan mereka seturut dengan Injil Kristus dan Kitab Suci[11]. Dengan mengacu pada komitmen atas Injil, kelompok ini mewujudkan peran kolektif kekristenan, salah satunya, melalui penggalian dan perluasan nilai-nilai Alkitab demi memperlengkapi orang-orang Kristen dalam menghadapi konteks-konteks kehidupan mereka. Dari hal tersebut lahirlah thegospelcoalition.org yang ribuan artikel, esai, publikasi, podcast, video, dan sebagainya, telah menjadi berkat besar bagi masyarakat kristiani dunia. Hal semacam demikian tentu saja tidak dapat dimungkinkan bila tidak terjadi kerja sama kolektif pada tubuh kekristenan, dengan berorientasi pada panggilan Ilahi untuk kembali memenuhi dunia ini dengan narasi Injil yang utuh.
Contoh lain, misalnya pada sektor publik, adalah bagaimana orang Kristen yang dipanggil ke sana boleh memiliki peran dalam mengupayakan kebijakan-kebijakan yang “memanusiakan” manusia seturut gambar dan rupa Allah. Dalam hal ini misalnya mengusahakan lahirnya legislasi (legislatif) atau implementasi program (eksekutif) yang mengangkat masyarakat kelas bawah dari penjara kemiskinan struktural, sebab tidak semua orang miskin itu karena malas! Orang-orang Kristen yang dipanggil kepada sektor publik tentu juga merupakan hamba Allah untuk melayani Tuhan di ranah publik. Panggilan mereka sama mulianya dengan rohaniwan, karena mereka juga dipanggil untuk menghadirkan kebenaran, keadilan, belas kasihan, pemeliharaan, perlindungan, dan seterusnya, dari Allah bagi dunia (anugerah umum).
Untuk menjalankan panggilan yang semacam demikian, tidak mungkin hanya dikerjakan oleh seorang diri. Orang-orang Kristen perlu tim, “think tank”, rekan-rekan, untuk saling mendoakan, memikirkan, dan bekerja sama dalam mewujudkan cicipan “syalom” yang “… di bumi, seperti di sorga”. Tentu untuk mewujudkan hal semacam demikian, orang-orang Kristen perlu memiliki kompetensi, bukan saja secara spiritual, melainkan juga secara praktikal (baik perihal pengetahuan atas ruang lingkup pekerjaan, kapabilitas kinerja, etika, dan seterusnya). Ini pun bagian dari pergumulan kelompok kristiani dalam menghidupi narasi Injil (Gospel Story) yang utuh. Sekali lagi, hal semacam contoh di atas hanya akan mendapatkan kekuatannya bila ia dikerjakan secara kolektif. Kalau tidak, orang Kristen bisa “babak belur” karena dihajar dunia dan “rupa-rupa penguasa angkasa”. Yah, setidaknya kalau tidak sendiri kan babak belurnya bisa dibagi-bagi (bercanda :p).
Menjadi Relevan: Refleksi atas Panggilan untuk Tetap Setia
Dengan melihat uraian di atas, sekali lagi kita perlu menyadari betul bahwa jangan sampai gereja/persekutuan/kelompok Kristen terjebak pada eksklusivisme, merasa elite, dan sektarian. Eksklusivisme yang dimaksud di sini bukanlah soal Injil. Bahwa keselamatan satu-satunya hanya ada di dalam Tuhan Yesus Kristus, hal tersebut adalah hal pokok yang mendasar. Tidak perlu berdebat soal itu. Eksklusivisme yang bermasalah adalah ketika kelompok Kristen hanya berorientasi pada ambisi keberdosaan untuk memegahkan diri sendiri, namun dengan mengatasnamakan Tuhan, pelayanan, ataupun Kerajaan Tuhan. Apakah kita tidak bisa belajar dari bagaimana rusaknya kekristenan pada masa lampau ketika banyak faksi berteriak atas nama Tuhan Yesus sambil merampas, membunuh, memerkosa orang Kristen lain? Yang dimaksud sebagai “yang lain” itu bahkan bukan orang Kristen yang imannya berbeda, melainkan yang masih sama-sama berada dalam koridor iman yang ortodoks (ajaran yang diwariskan dari para rasul dan Bapa-bapa Gereja); kan gila. Tetapi apa yang lebih gila lagi adalah kita ternyata mengulangi kegilaan yang sama pada abad 21.
Karena itulah, ketika keberadaan pelayanan kita sudah tidak lagi berorientasi pada visi dan misi mula-mula, lambat laun signifikansi dari wadah kekristenan akan terus tergerus oleh zaman. Ritus dan kegiatan institusi keagamaannya mungkin saja masih tetap eksis, sama seperti G7 saat ini, tetapi peranan dan fungsinya telah bergeser jauh dari yang tadinya memikirkan dan mengusahakan perkembangan/perluasan Kerajaan Allah, kini bisa saja malah menjadi mesin kontestasi, agenda, ataupun kenyamanan dari kerajaan pribadi/golongan.
Bercermin dari isu G7, tentu komunitas-komunitas kristiani jangan sampai terjebak pada kesalahan yang sama di dalam tubuh kekristenan. Panggilan umat Allah bukanlah untuk membesarkan diri (atas nama Tuhan), melainkan benar-benar membesarkan Kristus. Jangan sampai pula keberadaan persekutuan kita hanya menjadi wadah untuk menampung elitisme dan eksklusivisme dari our sinful ambition and pride. Kalau tidak, Tuhan pasti akan menggeser signifikansi pelayanan kita bersama dengan semangat dunia ini.
Bila kita menemukan wajah pelayanan kita malah makin mirip dengan wajah dunia, sesungguhnya panggilan Tuhan bagi kita adalah bertobat, bukan malah memeliharanya. Pengharapan dan penghiburan kita yang tak pernah habis dalam dunia pelayanan adalah bahwa Ia tak akan pernah mematahkan buluh yang terkulai. Setiap pertobatan tidak dibuang Tuhan, dan bahkan sesungguhnya pertobatan dimungkinkan karena penerimaan sudah diberikan oleh Tuhan. Konsekuensi pasti tetap ada, sama seperti Daud dengan perbuatannya atas Batsyeba. Bagaimanapun juga, Allah kita yang Maha Pemurah adalah juga Allah yang Maha Adil.
Pelayanan kelompok Kristen hanya akan dapat kembali relevan ketika ia kembali kepada panggilan dan kasihnya yang mula-mula kepada Allah dan sesama. Ia bukan menjadi relevan dengan cara menjadi sama seperti dunia, baik itu dengan cara mengadopsi nilai-nilai duniawi, maupun mengeksklusifkan diri dan terjerumus dalam kesombongan yang bodoh dengan merasa sebagai yang paling murni dan paling rohani, padahal banyak pula kemunafikannya yang ditutupi. Keduanya sesungguhnya hanya mencerminkan perilaku yang sama-sama berasal dari dunia. Yang satu mengikuti jalan “Romawi”, dan yang lain mewakili jalan Farisi, dan keduanya sama-sama hostile terhadap Kristus dan murid-murid-Nya sebagai perwakilan dari Gereja Allah yang sejati, yang kudus, dan yang am.
“In order to be big, what do you compromise?” – Pdt. Stephen Tong.
Nikki Tirta
Pemuda GRII Kebon Jeruk
Pemuda Cultura Anima, OSG GRII Pusat
[1] (Editorial Kompas, 2023).
[2] Ibid.
[3] Amsal 8:1-25.
[4] Matius 5:45.
[5] Efesus 2:10.
[6] Matius 23.
[7] https://www.youtube.com/watch?v=DMrx2caWvBQ&ab_channel=GRIIKebonJeruk, diakses pada 12 Agustus 2023.
[8] Materi katekisasi yang diterbitkan oleh Gereja Reformed Injili Indonesia.
[9] Dickson, J. (2021). Bullies and Saints: An Honest Look at the Good and Evil of Christian History. Michigan: Zondervan Reflective.
[10] Efesus 6:12.
[11] https://www.thegospelcoalition.org/about/foundation-documents/#preamble, diakses pada 17 Agustus 2023.