Kembali!

Celaka! Benar-benar celaka! Kenapa aku baru tahu sekarang dan tidak kusadari lebih awal?! Kenapa selama ini aku merasa baik-baik saja seolah tidak ada masalah? Padahal kesalahan yang begitu besar sudah kerap kali kulakukan tanpa sadar. Bahkan bukan hanya aku yang melakukannya, tetapi juga anggota keluarga, teman-teman, dan seluruh lingkunganku. Sepertinya murka yang benar-benar panas membara dan hukuman yang sungguh berat tidak dapat lagi terhindarkan. Celakalah aku!!! (Seraya mengerang, meratap, dan merobek-robek pakaian). Inilah kira-kira gambaran singkat mengenai peristiwa ketika kitab Taurat kembali ditemukan dan dibacakan di hadapan Raja Yosia.[1] Yosia yang begitu terkejut langsung merobek pakaiannya dan meratap. Ia menyadari bahwa ia dan nenek moyangnya sudah tidak lagi memperhatikan Taurat dan bahkan kerap kali melanggarnya. Yosia begitu gentar menghadapi murka Tuhan yang sudah begitu menyala dan dahsyat.

Penggalan kisah ini membuatku gemetar. Betapa banyak kesalahan yang juga sudah aku lakukan, tetapi aku mungkin tidak sadar. Salah satu alasannya adalah karena lingkungan di sekitar kita juga sudah begitu dicemari oleh dosa, sehingga sensitivitas akan dosa sudah menjadi begitu tumpul. Maka sesuatu yang seharusnya adalah dosa, kita tidak anggap lagi sebagai dosa karena budaya sekitar sudah menoleransinya begitu rupa. Ambil contoh saja kasus ‘jam karet’ di Indonesia. Bagi mayoritas bangsa Indonesia, ini adalah hal yang lumrah dan menjadi kebiasaan yang begitu melekat. Padahal hal ini akan dianggap sebagai kesalahan yang begitu fatal bagi budaya Jerman yang sangat menekankan akurasi. Contoh lain adalah mengenai keramahtamahan. Budaya Singapura mungkin sudah menjadi begitu cuek dan kurang begitu tertarik untuk secara aktif menyatakan perasaan compassion atau menolong orang lain. Apalagi jika dengan melakukan hal tersebut akhirnya dapat membahayakan atau mendatangkan resiko bagi diri sendiri. Ini sangat kontras dengan budaya Timur-Tengah yang secara aktif menyatakan pertolongan/keramahtamahan, khususnya kepada orang asing atau tamu.

PERTOBATAN RAJA YOSIA

Dalam Perjanjian Lama, doa penyesalan dan ratapan seperti di atas tidak hanya terjadi pada Raja Yosia. Nehemia pun pernah menunjukan sikap yang senada.[2] Ia duduk menangis, berpuasa, dan berkabung selama beberapa hari. Nehemia begitu sadar bahwa orang Israel dan segenap kaum keluarganya sudah begitu berbuat salah kepada Allah. Mereka tidak lagi mengindahkan perintah-perintah dan ketetapan-ketetapan Allah. Mulut nabi Yesaya juga meneriakkan hal yang sama.[3] Ia tahu betul bahwa dirinya begitu celaka dan binasa, sebab ia tinggal di tengah-tengah bangsa yang najis bibir. Dalam kisah Perjanjian Baru, kita juga dapat melihat Petrus yang tersungkur di depan Kristus seraya berkata, “Tuhan, pergilah dari padaku, karena aku ini seorang berdosa.”[4]

Dari kisah-kisah di atas, kita dapat melihat bahwa kesadaran akan dosa (bukan hanya dosa diri sendiri, tetapi juga dosa secara komunal) adalah suatu titik yang begitu krusial. Suatu pengertian akan diri yang begitu najis, begitu melukai hati Allah, dan layak menerima hukuman dan murka Allah. Suatu pengertian akan ketetapan dan tuntutan Allah yang begitu tinggi, dan kondisi manusia berdosa yang begitu jauh dari tuntutan tersebut. Dan akhirnya dari sana timbul keinginan yang begitu kuat untuk kembali kepada Allah dengan segenap hati. Sungguh mengharukan melihat Raja Yosia yang langsung memerintahkan seluruh penduduk Yerusalem, para imam, para nabi, dan termasuk semua orang awam, dari yang kecil sampai yang besar untuk sama-sama mendengarkan pembacaan kitab Taurat dan berjanji untuk mengikuti ketetapan-ketetapan tersebut. Setelah itu langsung terjadi langkah konkrit dan dobrakan terhadap tradisi-tradisi lama yang menyesatkan tetapi sekaligus sudah begitu mengikat. Yosia mengeluarkan dari Bait Allah segala perkakas yang telah dibuat untuk Baal dan Asyera. Tidak hanya sampai di sana, ia juga memberhentikan imam dewa asing yang telah diangkat oleh raja-raja Yehuda sebelumnya. Ia benar-benar melakukan pembersihan atas penyembahan-penyembahan berhala dalam segala bentuknya. Perayaan Paskah yang sudah begitu lama ditinggalkan, akhirnya kembali dirayakan pada masa pemerintahan Raja Yosia. Tidak heran, Alkitab mencatat bahwa sebelum Yosia, tidak ada raja seperti dia yang berbalik kepada Tuhan dengan segenap hatinya, jiwanya, dan kekuatannya. Dan sesudah dia, tidak ada bangkit lagi yang seperti dia.[5] Namun demikian, kita juga harus benar-benar mengerti betapa seriusnya murka Allah dan konsekuensi dosa. Walaupun Raja Yosia dan segenap rakyatnya sudah berbalik kepada Tuhan dengan begitu rupa, tetapi Tuhan tidak beralih dari murka-Nya yang sangat bernyala-nyala. Akibat dosa tetap harus ditanggung. Allah tetap berfirman bahwa Ia akan membuang kota yang sudah dipilih-Nya, Yerusalem. Di sisi lain, Allah tetap adalah Allah yang adil dan menunjukkan belas kasihan. Allah berjanji bahwa Raja Yosia akan dikebumikan dengan damai, dan matanya tidak akan melihat segala malapetaka yang akan menimpa Yerusalem.

KEMBALI KEPADA KEBENARAN

Motivasi yang murni untuk kembali kepada Tuhan dengan sepenuh hati, inilah suatu sikap hati yang begitu berharga di hadapan Allah. Seperti yang Pemazmur nyatakan bahwa korban sembelihan kepada Allah ialah jiwa yang hancur; hati yang patah dan remuk tidak akan Allah pandang hina.[6] Suatu sikap hati yang mengerang dan ingin kembali kepada Allah. Suatu sikap hati yang menyadari ketidakberdayaan manusia berdosa dan semata hanya bisa mengemis kepada anugerah Allah. Bukankah dalam sejarah kita juga sudah mendapatkan anugerah gerakan dengan motivasi yang murni seperti ini? Gerakan reformasi, suatu ajakan yang begitu agung kepada seluruh gereja untuk kembali kepada seluruh kebenaran firman Tuhan. Seperti halnya Raja Yosia yang melibatkan seluruh lapisan rakyatnya, ajakan ini bukan hanya untuk golongan atau denominasi tertentu saja. Inilah ajakan kepada seluruh gereja dari segala tempat dan segala zaman untuk kembali kepada ketetapan-ketetapan Allah.

“Kembali”, inilah kata kunci yang harus kita sama-sama renungkan. Kembali ke mana? Kembali kepada seluruh kebenaran Allah yang sudah Ia wahyukan dalam Alkitab. Kebenaran yang melampaui segala akal pikiran manusia. Kebenaran yang seharusnya menjadi dasar dan mempengaruhi keseluruhan hidup kita. Namun jika aku ditanya, “Sudahkah aku benar-benar kembali?”, mulutku terkatup rapat. Aku teringat betapa mudahnya hati ini bercabang dan menempatkan Tuhan di urutan kesekian dalam hidupku. Betapa dahulu aku tidak terlalu memikirkan kehendak Tuhan atas hidupku ketika aku sedang mempertimbangkan jurusan kuliahku. Hutang waktuku kepada Tuhan sepertinya juga sudah sangat menggunung. Sedih rasanya ketika mengingat bahwa waktu liburan yang 1 bulan penuh pernah kulewati hanya dengan makan, bermain, dan tidur. Bagaimana mungkin ketika aku bertemu dengan Tuhan, aku mampu mempertanggungjawabkan seluruh hal ini di hadapan-Nya? Bukankah Sang Raja menugaskan kita menjadi juru kunci-Nya? Sehingga setiap detik yang kita lewati, dan setiap rupiah yang kita gunakan, akan Ia minta pertanggungjawaban dari kita. Betapa aku sering kali merencanakan sesuatu seolah-olah aku dapat mengendalikan segala sesuatu, tanpa pertolongan Tuhan. Padahal hal-hal sepele dan kecil yang berada di luar perencanaan kita, akhirnya mampu menghancurkan secara total rencana-rencana yang tadinya aku anggap sudah begitu matang dan kokoh.

Tuhan, aku ingin kembali, tetapi aku sadar aku tidak mampu. Kiranya Engkau rela menarikku dan memampukan aku. Amin.

Juan Intan Kanggrawan
Redaksi Bahasa PILLAR

Endnotes

  1. 2 Raja-Raja 22
  2. Nehemia 1
  3. Yesaya 6:5
  4. Lukas 5:8
  5. 2 Raja-Raja 23:25
  6. Mazmur 51:19