Introduksi
Dalam siaran pers Komnas Perempuan di akhir tahun 2022, dipublikasikan laporan bahwa ada sekurang-kurangnya 3.014 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan sepanjang tahun 2022[1]. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bahkan merilis resmi jumlah kasus yang tercatat sejak 1 Januari 2023[2] sebanyak 7.068 kasus (80% korban perempuan, 20% korban laki-laki) dengan rentang usia korban dewasa sebanyak 43% dan anak-anak sebanyak 57%.
Angka ini sungguh menghancurkan hati, mengingat laporan yang masuk belum tentu menunjukkan jumlah riil kasus kekerasan yang terjadi. Banyak kasus yang tak terdeteksi karena kurangnya pengetahuan dan keberanian korban untuk melaporkan penganiayaan dan pelecehan yang dialaminya. Belum lagi adanya tekanan sosial yang dirasakan korban dari stigma yang berlaku di masyarakat Indonesia, yang seringkali tidak berpihak pada korban.
Pelecehan terjadi ketika seseorang direnggut haknya melalui perbuatan yang tidak pantas, dengan menyakiti korban secara fisik dan psikis. Oleh adanya batasan nilai dan norma kemasyarakatan, pelecehan ini secara figuratif merampas kehormatan dan harga diri korban, sehingga membekas di dalam benak korban sebagai suatu trauma yang memengaruhi perkembangan mental dan jati dirinya.
Kasus pelecehan dan penganiayaan ini tidak terelakkan dapat terjadi dalam kehidupan orang Kristen. Kita makin sering menemukan kasus ini terjadi kepada orang-orang di sekitar kita, bahkan mungkin kita sendiri pernah mengalaminya. Sebagai orang percaya, kita perlu memahami, berempati, dan tahu bagaimana menempatkan diri dalam kasus ini. Bagaimana kita menganalisa kasus-kasus ini dari kacamata Kristen? Bagaimana kita mendampingi korban pelecehan dengan bijaksana Kristus?
Menghadapi Trauma
Dalam menghadapi masalah trauma, konseling dibutuhkan sebagai bentuk terapi, pemulihan, dan pendampingan korban. Sebagai orang Kristen, kita diperhadapkan kepada dua opsi metode konseling:
- Konseling psikologi sekuler, di mana korban bertemu dengan psikolog atau psikiater untuk mengobati trauma psikis melalui terapi-terapi klinis; atau
- Konseling alkitabiah (biblical counseling), di mana gereja berperan sebagai penuntun dan pembimbing korban dan menggembalakannya dengan konteks Alkitab.
Psikologi sekuler berisikan metode-metode terapi yang dikembangkan oleh para psikolog, peneliti, dan filsuf yang sepanjang sejarah berusaha mencari solusi untuk mengobati masalah kejiwaan dan pengembangan diri. Saat ini, ada begitu banyak buku, video, album, kelas retret, maupun terapi self-healing yang ditawarkan untuk dapat digunakan oleh orang-orang untuk mengobati trauma dan luka yang dialaminya. Salah satu metode utama yang digunakan psikolog secara ekstensif adalah penggalian alam bawah sadar, di mana konselor menggali trauma masa lalu korban. Idenya adalah, psikolog menemukan bongkahan-bongkahan luka di masa lalu korban, untuk kemudian dianalisis. Terapi kemudian ditawarkan melalui meditasi, jurnal, buku dan pendampingan lain, yang berpusat pada harga diri (self-worth), mengasihi diri (self-love), dan penerimaan diri (self-acceptance). Langkah-langkah yang diambil berpusat pada kontrol diri (inner) yang secara resiprokal memengaruhi lingkungan luar (outer). Abraham Maslow, seorang psikolog sekuler, mengatakan bahwa analisis diri dan pengambilan langkah-langkah untuk mengidentifikasi segala kekurangan diri ini membantu seseorang untuk meraih aktualisasi diri (self-actualization) dengan mengisi segala kebutuhan dirinya.
Sementara itu, ruang konseling Kristen mengambil jalan yang sangat berbeda. Ketika dunia mengobati luka dengan menawarkan langkah yang berpusat kepada “diriku”, maka penggembalaan gereja akan mengajak kita untuk kembali kepada Entitas yang mendasari segala sesuatu: Tuhan Allah. Alih-alih berpusat kepada “aku”, konseling Kristen justru mengajak kita untuk merendahkan hati, melepas segala pemikiran egosentris sekuler yang menganggap bahwa pada dasarnya kita semua adalah baik. Padahal, Alkitab menyatakan bahwa pada dasarnya kita semua telah berdosa dan kehilangan kemuliaan Allah (Rm. 3:23). Kita telah mati oleh dosa, dan tidak dapat menyelamatkan diri sendiri. Maka dalam ruang konseling gereja, kita diajak untuk menyangkal diri, sebab diri kita tidak luput dari dosa.
Konsekuensinya adalah: konseling Kristen sulit diterima oleh korban pelecehan.
“Hak-ku sudah dirampas, martabatku direnggut, reputasiku dihancurkan. Bukankah sudah semestinya pemulihan berfokus pada diriku?” tanya korban.
Sekarang mari kita bedah lebih jauh standpoint korban yang berangkat dari konteks dosa. Bila kita menempatkan diri sebagai korban, kita diperhadapkan pada kenyataan bahwa hak dan harga diri kita direnggut secara paksa, lewat tindakan yang melukai diri secara fisik dan psikis oleh pelaku. Pengalaman ini begitu sulit dilupakan, sebab korban tidak pernah mengharapkan hal tersebut terjadi pada dirinya. Korban pelecehan berhadapan pada kenyataan bahwa dirinya harus menanggung beban dua bagasi dosa: (1) dosa si pelaku, dan (2) dosa dirinya sendiri.
Sekarang, secara serta-merta penulis perlu menggarisbawahi bahwa mendefinisikan bagasi dosa korban sendiri ini bukan berarti malah menyetujui argumen publik sekuler yang sering melakukan victim-blaming kepada korban pelecehan, seperti: “Ah, pantas saja dia dilecehkan, pakaiannya selalu terbuka” (kenyataannya, banyak korban pelecehan seksual yang berpakaian sopan dan tertutup saat pelecehan terjadi), atau, “Kenapa tidak langsung tampar atau teriak pas hal itu terjadi? Jangan-jangan kamu juga menikmati” (pelaku pelecehan seringkali merupakan orang terdekat atau terpercaya sehingga korban mengalami banyak kebingungan dan manipulasi, sehingga butuh waktu panjang untuk mencerna apa yang terjadi), dst. Bukan dosa korban yang seperti ini yang dirujuk dalam konseling Kristen.
Edward T. Welch dalam bukunya When People are Big and God is Small mengontraskan perasaan korban yang menghadapi beban dosa ganda ini. Dalam proses konseling Kristen, korban harus menerima kenyataan bahwa ia adalah korban dosa sang pelaku. Ia tidak dapat mengontrol pelaku yang berbuat dosa, dan apakah kemudian pelaku merasa bersalah, bertobat atau tidak, itu semua di luar kendalinya. Dibutuhkan kebesaran hati total untuk dapat berserah pada kenyataan ini. Di atas semua itu, korban juga harus mengakui bahwa dirinya pun tak luput dari kuasa dosa. Oleh karena semua orang sudah berdosa, maka tidak seorang pun dapat lari dari kenyataan bahwa aspek dosa dalam dirinya mampu untuk melarutkan realitasnya lewat kegiatan dosa yang aktif dan berkesinambungan. Inilah bagasi dosa korban, yang apabila ia abaikan, dapat dengan mudah menghanyutkan dirinya dalam perbuatan yang tidak beres: menyakiti tubuh sendiri, bunuh diri, atau terus mencari kesenangan semu lewat tindakan-tindakan candu (alkohol, obat-obatan, seks, belanja, dll). Hanya dengan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, melalui pengakuan dosa dan pertobatan dalam karya penyelamatan Yesus, pemulihan dan restorasi diri yang sejati dapat terjadi.
Di lain sisi, psikologi sekuler menciptakan suasana yang mendukung korban untuk terus menyalahkan situasi sepenuhnya pada pelaku. Budaya victimization begitu berkembang dan sering kita temui di zaman ini. Tentu saja pelaku bersalah atas pelecehan yang dilakukannya, dan ia perlu bertanggungjawab akan dosanya. Namun, psikologi sekuler gagal memberikan solusi bahwa di atas semuanya itu, korban juga tak luput dari kecenderungan dosa. Ia perlu dipulihkan, bukan malah dijustifikasi. Justifikasi atau pembenaran diri korban akan menciptakan realitas diri yang egosentris dengan terus menerus menyalahkan situasi, terus merasa dirinya korban yang perlu dikasihani, dan tanpa sadar merasa hampa oleh tiadanya pemulihan diri yang sejati. Mereka terjebak dalam ruang gema realitas palsu (echo chamber), terus mencari kesenangan semu untuk mengisi kehampaan rohani. Inilah lingkaran setan yang tidak berujung.
Dari sinilah kita melihat bahwa dunia terdengar fantastis dan solutif dengan berbagai penawaran metode pemulihan jiwa, namun pada hakikatnya dunia tidak pernah memberikan solusi sejati. Sebagai orang Kristen, kita percaya penuh akan karya Allah dalam merestorasi kehidupan manusia yang berdosa. Di tengah realitas hidup yang begitu absurd dan tidak adil, korban perlu melakukan loncatan iman (qualitative leap of faith), seperti apa yang dibahas oleh filsuf eksistensialisme asal Denmark, Søren Kierkegaard. Dengan pengakuan dosa dan pertobatan penuh, kita beroleh anugerah iman. Iman memampukan kita untuk melihat peran Kristus, yang dengan jelas memberi teladan penuh: Yesus pun dipermalukan, disiksa, dilecehkan – bukan karena dosa yang diperbuat-Nya, melainkan dosa orang lain yang ditanggungkan atas diri-Nya. Tentu Yesus yang mengalami, juga Yesus yang mengerti!
Fokus kepada Kristus
Dalam mengatasi trauma kasus pelecehan, perlu kebesaran hati dan pengampunan dari korban. Dalam situasi tertentu, seringkali korban bahkan tidak mendapat permintaan maaf. Pelaku bisa saja bertobat, namun juga bisa tidak merasa bersalah dan terus berburu dan menyakiti korban lain. Situasi ini memberikan rasa sakit dan kehampaan yang luar biasa mendalam bagi jiwa korban.
Kebesaran hati dan pengampunan ini perlu memandang teladan Kristus, Kristus yang juga pernah dilecehkan, Kristus yang juga pernah menjadi subjek kekerasan. Ia bahkan menderita sampai mati. Namun teladan yang Kristus bawa ialah bahwa penderitaan yang membawa-Nya sampai pada kematian tidak membelenggu-Nya sepanjang masa. Ia bangkit, dan oleh kebangkitan-Nya, Ia menyatakan kuasa-Nya.
Ketika manusia berada dalam situasi hidup yang absurd, kosong, dan tanpa harapan, Allah hadir untuk memberi pengharapan itu. Apa yang dialami korban adalah suatu rasa malu dan beban dosa yang harus ia hadapi, akui, dan tetap bertobat di hadapan Allah. Penerimaan, pengampunan, dan iman di balik situasi absurd dan tak masuk di akal inilah yang disebut leap of faith. Dengan menyadari karya penebusan Kristus, korban dapat menghancurkan rantai lingkaran dosa yang membelenggu, sehingga segala perasaan malu dan trauma itu tidak lagi menguasainya. Di dalam dunia, korban tidak akan menemukan pengharapan lain yang dapat memerdekakan dirinya selain iman kepada Kristus.
Pemulihan oleh Kristus tak serta-merta berhenti di kebangkitan-Nya. Sebuah pendekatan indah, saat Kristus menampakkan diri setelah kebangkitan-Nya, Ia menunjukkan bekas luka-Nya kepada para murid (Yoh. 20:19-20). Bekas paku di tangan dan kaki-Nya, bekas tikaman di lambung-Nya, menjadi saksi dan harapan bagi kita semua, bahwa di balik penderitaan, kegelapan, bahkan maut, Kristus memiliki kuasa kebangkitan, dan anugerah hidup yang baru. Bekas penderitaan kita menjadi suatu kesaksian hidup, untuk memberi sorotan Injil, bahwa Kristus yang menyembuhkan dan memulihkan. Kita dapat menerobos kuasa kegelapan yang menarik, sehingga kita tidak lagi terus menganggap diri sebagai korban, namun lahir baru sebagai anak-anak Allah.
Mendampingi korban pelecehan perlu kebijaksanaan Kristus. Sebagai orang Kristen, jangan sampai kita larut akan stigma negatif dangkal yang menyudutkan korban. Pendampingan korban harus penuh dengan belas kasih, seperti Kristus yang datang bukan untuk menghakimi, tetapi untuk menyelamatkan. Dilecehkan atau tidak; pendamping atau korban; kita semua tidak luput dari dosa. Maka konsep loncatan iman ini dapat digunakan bagi semua orang percaya untuk bertumbuh dalam Kristus.
Kita juga perlu mempertajam kesadaran kita untuk memilah solusi-solusi yang ditawarkan dunia. Seperti yang dipaparkan Welch, orang Kristen jangan sampai terlarut pada buku-buku, atau teori-teori psikologi sekuler yang tidak akan pernah benar-benar membawa kita keluar dari narsisisme, melainkan arahkanlah pengharapan kita hanya pada Kristus. Pandangan Kristen yang benar terhadap masalah pelecehan apa pun hendaklah selalu berpusat kepada Allah, karena hanya Kristuslah satu-satunya jalan keluar.
Tentu, jalan pemulihan ini tidak sebentar, dan tidak mudah. Namun bagi korban, keluarga, maupun orang-orang sekitar yang mendampingi, kita percaya dan berserah bahwa kuasa Allah akan terus bekerja merestorasi setiap aspek kehidupan umat-Nya.
Soli Deo gloria.
Christine Atmodjo Morton
Jemaat GRII Pusat
[1] Siaran Pers Komnas Perempuan tentang Peringatan Kampanye Internasional Hari 16 Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Jakarta, 23 November 2022. Dilansir dari situs resmi https://komnasperempuan.go.id/
[2] Ringkasan Data SIMFONI-PPA, Persentase Korban dan Pelaku. Dilansir dari situs resmi KEMENPPPA https://kekerasan.kemenpppa.go.id/ringkasan