, ,

Kristus yang Berdaulat atas Segala Sesuatu: Abraham Kuyper dan Penebusan Masyarakat Sosial

Memasuki abad ke-20, dunia memasuki suatu periode yang memerlukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti “Mengapa perdamaian dunia tidak bisa terwujud?” “Mengapa ada kemiskinan?” “Bagaimana mengatasi eksploitasi manusia?” atau “Bagaimanakah sistem pemerintahan yang paling menjamin adanya kebebasan, keadilan, dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat?” Memasuki abad ke-20 jugalah gereja-gereja mulai memberikan sumbangan besar bagi pemikiran-pemikiran ini. Jaroslav Pelikan di dalam bukunya, Christian Doctrine and Modern Culture (The Christian Tradition vol. 5) memberikan beberapa tokoh kunci yang mengantar gereja memasuki diskusi publik abad ke-20. Mereka antara lain adalah William Wilberforce (Practical View of the Prevailing Religious System of Professed Christians) yang membahas mengenai kejahatan bernama perbudakan, Fyodor Dostoevsky yang memberikan pendapatnya bahwa tradisi ortodoks gereja sebenarnya mempunyai sasaran menyebarkan pengaruh ke negara dan seluruh dunia, Paus Leo XIII (Providentissimus Deus dan Rerum Novarum), atau Albrecht Ritschl yang memberikan kritiknya bahwa jika gereja tidak sanggup mengaitkan konsep-konsep tradisional seperti justification atau reconciliation dengan tanggung jawab sosial, maka gereja sudah mendangkalkan konsep “Kerajaan Allah” yang diajarkan oleh Yesus.

Kemungkinan untuk memberikan kontribusi dalam pembahasan untuk membangun kembali moral and social order harus disuarakan dengan unik oleh gereja. Tetapi pada faktanya, suara yang memberikan kontribusi kebanyakan adalah suara yang memecahkan theologi Kristen masuk ke dalam dikotomi spiritual dan sosial. Relasi “saya dan Tuhan saya” tidak boleh diganggu oleh relasi “saya dan relasi sosial saya”. Orang Kristen harus memilih untuk berada dalam theologi “saya dan Tuhan” atau theologi “saya dan relasi sosial”.

Pemikiran Ritschl di atas mewakili suara tersebut. Siapa yang menerima konsep tradisional mengenai “pembenaran oleh iman”, atau “pendamaian oleh darah Kristus”, sedang mendangkalkan konsep “Kerajaan Allah”. Sebab Kerajaan Allah bukanlah mengenai doktrin tradisional (demikian alasan Ritschl, kurang lebih…), tetapi mengenai kasih, pengampunan, dan penerimaan yang dipraktikkan. Apa kaitan doktrin tradisional dengan bertindak berdasarkan kasih? Tetapi Kerajaan Allah (dalam konsep Ritschl) adalah mengenai komunitas manusia yang hadir di dalam sejarah dunia dengan berdasarkan semangat kasih dan moralitas. Jika kita berbagian dalam komunitas seperti ini, maka kita sedang hidup berdasarkan standar Allah.

Apakah klaim doktrin tradisional itu salah? Tidak salah. Tetapi harus dianggap sebagai nilai, bukan fakta. Fakta itu sebenarnya lebih rendah daripada nilai. Misalnya doktrin tradisional tentang natur Allah dari Yesus Kristus. Apakah Yesus adalah Allah? Pernyataan ini harus dilihat secara nilai, bukan fakta. Yesus memiliki nilai ilahi bagi kita karena melalui Dia kita dapat mengenal Allah. Dan melalui Dia kita dapat belajar bagaimana sebenarnya hidup di dalam komunitas Kerajaan Allah itu. Tetapi klaim ini tidak benar secara fakta. Dia bukanlah Allah dalam pengertian tradisional. Tidak ada tempat bagi pengertian tradisional di dalam diskursus modern yang memerhatikan keadaan sosial manusia. Demikian solusi Ritschl untuk membuat Kristen sekali lagi diakui dalam pembahasan-pembahasan sosial modern.

Pemaksaan dikotomi doktrin tradisional dengan kontribusi gereja bagi problema sosial juga mencuat di Belanda. Dikotomi yang akhirnya memecahkan gereja menjadi yang pro pembaruan dengan para tradisionalis. Dalam situasi seperti inilah Abraham Kuyper dipanggil Allah untuk melayani Dia. Abraham Kuyper dilahirkan pada tanggal 29 Oktober 1837. Ayahnya, seorang pendeta di Dutch Reformed Church, menjadi guru pertamanya yang memberikan pengaruh theologi dan kemampuan berbahasa Jerman bagi Abraham. Ibunya turut memberikan sumbangsih pengaruh bahasa dengan mengajarkan dia bahasa Perancis. Jadilah Abraham seorang dengan kemampuan berbahasa Inggris, Jerman, Perancis, dan tentu saja, Belanda. Setelah menerima pendidikan di rumah dari orang tuanya, Kuyper melanjutkan studinya dan akhirnya pada usia 18 tahun dia mempelajari theologi dan filsafat di Universitas Leiden.

Posisi theologis Kuyper, baik dari pengaruh sang ayah, maupun dari studi theologi yang dia lakukan, adalah sangat modern. Dia bahkan mengakui pernah bertepuk tangan setelah mendengarkan argumentasi dari dosennya untuk menolak pengertian tradisional dari kebangkitan tubuh Yesus Kristus. Disertasi theologisnya membahas perbandingan konsep theologi dari John Calvin dengan John a Lasco. Semakin dia mempelajari Calvin, semakin dia menghina Calvin. Terutama setelah dia menyelidiki secara mendalam konsep kedaulatan Allah dari Calvin. Akibatnya, menurut pengakuannya sendiri, dia menjadi seorang yang sombong, penuh keraguan, dan belum sungguh-sungguh dipertobatkan.

Setelah lulus, dia pun menggembalakan salah satu gereja dari Dutch Reformed Church. Ia berusia 26 tahun ketika itu. Setelah berkhotbah Kuyper langsung mendapatkan serangan dari sebagian jemaatnya. Mereka mengatakan kalau khotbahnya sesat karena tidak berdasarkan Alkitab. Ini merupakan anugerah dari Tuhan. Di tengah-tengah Dutch Reformed Church yang sangat dipengaruhi modernisme dan telah meninggalkan kredo-kredo theologi Reformed, Kuyper mendapatkan satu cabang yang diisi oleh banyak orang-orang dengan komitmen Reformed yang tradisional dan ketat. Maka sehari-hari Kuyper mendapatkan penolakan dari jemaatnya.

Tetapi, entah kekuatan dari mana, Kuyper terus mengasihi mereka dan terus membesuk mereka satu per satu. Satu kali dia mengunjungi seorang wanita, dan wanita ini menolak untuk menjabat tangan Kuyper. Kuyper tidak menyerah. Dia terus melakukan tugasnya untuk berbicara dan mengakrabkan diri dengan wanita ini. Akhirnya wanita itu mau menjabat tangan Kuyper, tetapi sambil mengatakan, “Saya jabat tanganmu sebagai sesamaku manusia, tetapi bukan sebagai saudara di dalam Kristus karena, demi Tuhan, engkau bukan saudaraku di dalam Kristus!”

Maka pembicaraan selanjutnya makin membuat Kuyper terkejut karena wanita ini mengingatkan Kuyper bahwa Dutch Reformed Church seharusnya mengikuti tradisi Calvinistik yang ketat. Perempuan ini ternyata menguasai sejarah gereja dan mengerti pengakuan-pengakuan iman seperti Belgic Confession, Heidelberg Catechism, dan juga Canons of Dort. Bahkan wanita ini mulai memperkenalkan penulis-penulis Puritan dan orang-orang seperti Willhelmus a Brakel. Diam-diam Kuyper mengikuti saran wanita itu dan membaca kembali buku-buku yang diceritakan olehnya.

Ternyata wanita ini, dan banyak anggota gereja “pedesaan” yang dia gembalakan, adalah orang yang terdidik dalam sejarah gereja. Peristiwa ini rupanya sangat memengaruhi Kuyper sehingga dia mulai membandingkan dirinya, ataupun golongan-golongan theolog modern, dan orang-orang Kristen modern, dengan sekumpulan keluarga sederhana dari gerejanya yang memegang teguh tradisi Reformed. Dia mulai sadar bahwa baik dirinya, maupun orang-orang Kristen dan theolog-theolog yang dipengaruhi ajaran modernisme, tidak memiliki iman mendalam yang diperlukan untuk menjalani hidup seperti orang-orang di gerejanya tersebut. Dia mulai menyadari kedalaman iman yang semula dianggapnya identik dengan kebodohan dan kedangkalan. Dia mulai menyadari bahwa dunia tidak memerlukan diskursus-diskursus tentang kehidupan sosial, tetapi dunia memerlukan orang-orang yang mampu melewati kesulitan-kesulitan hidup dengan suatu keteguhan hati seperti yang dimiliki jemaatnya. Inilah keunikan panggilan Tuhan. Dia mempertobatkan hamba-Nya dengan memakai jemaatnya untuk menyadarkan dia.

Akhirnya Kuyper mengalami suatu perubahan yang sangat mendalam secara emosi. Dia mulai mengevaluasi kembali pendirian theologinya dan akhirnya memutuskan untuk memeluk tradisi Calvinis ortodoks. Tetapi satu hal yang tidak pernah dia lepaskan dari pergumulan studinya, yaitu keyakinan bahwa kekristenan harus bisa berbicara memberikan suara kepada persoalan-persoalan sosial. Kekristenan harus membentuk masyarakat sosial. Kekristenan bukan sesempit iman pribadi kepada Allah yang tidak berdampak sosial. Tetapi dia juga menyadari bahwa solusi bagi problema sosial tidak berada pada hal yang sesempit gagasan akademik, melainkan berada pada sesuatu yang memengaruhi keseluruhan aspek hidup manusia. Seorang Kristen seharusnya memiliki suatu komitmen iman yang sama ketika dia beribadah pada hari Minggu, atau ketika dia pergi ke kantor pada hari Senin, atau ketika dia berpuasa pada hari Jumat. Kedaulatan Allah, ajaran Alkitab yang dipopulerkan oleh John Calvin, orang yang semula dihina oleh Kuyper justru karena mengajarkan kedaulatan Allah dengan cara yang terlalu ekstrem bagi Kuyper, sekarang menjadi fondasi theologis di mana dia membangun segala konsepnya yang lain. Sekarang konsep Calvinis mengenai kedaulatan Allah diadopsi sepenuhnya oleh Kuyper. Konsep yang memberi tulang punggung bagi pembahasan sosial yang sebelumnya tidak dimiliki oleh pengertian theologisnya.

Pengalaman selanjutnya di dalam diskusi theologis dengan sesama pendeta ataupun theolog Dutch Reformed Church membuatnya sadar bahwa diskusi mereka sulit mencapai pengertian yang sama karena adanya perbedaan yang radikal di dalam cara berpikir mereka. Perbedaan ini bukan hanya perbedaan “kata-kata, tetapi bukan konten”, seperti yang sering didengung-dengungkan oleh liberalisme pada awal kemunculannya di dalam universitas-universitas, tetapi perbedaan ini adalah perbedaan, yang dalam pemikiran Kuyper, antithesis. Mutlak berlawanan. Tetapi di Dutch Reformed Church, dia melihat bahwa golongan-golongan yang ada sudah bercampur. Modern liberal, ortodoks, dan yang kebingungan di tengah-tengah, semua ada di dalam gereja ini. Bagaimana mungkin gereja dengan sekelompok orang dengan cara berpikir yang mutlak berlawanan dengan kelompok yang lain bisa terus bekerja sama dengan harmonis? Kerusakan, kekacauan, dan akhirnya perpecahan hanya tinggal menunggu waktu. Tetapi Kuyper melihat gerakan-gerakan yang pro tradisi Calvinistik kekurangan kemampuan untuk menjadi pemimpin intelektual.

Perpecahan pertama dari Dutch Reformed Church pun hanya menjangkau kelompok orang tak terdidik dan karena itu tidak dianggap sebagai pengaruh yang besar ataupun berguna oleh masyarakat Belanda. Tetapi Kuyper mempunyai proyek raksasa di dalam pikirannya. Proyek yang akan mendorong dia untuk dengan tidak lelah bekerja dengan tenaga yang sepertinya tidak mungkin dimiliki manusia normal. Tulisan-tulisannya yang berjumlah ratusan ditambah dengan kesibukannya dalam bidang politik, pendidikan, dan juga gereja membuat apa yang dicapainya selama hidupnya menjadi sesuatu yang sulit dipercaya.

Kuyper sanggup melakukan semua hal itu dengan disiplin hidup yang sangat tinggi. Dia dikatakan sebagai orang yang telah menentukan tugas setiap jam di dalam setiap hari kehidupannya. Dia sudah tahu apa yang akan dilakukannya hingga sedetail itu dan dia menjalankannya dengan disiplin yang luar biasa. Waktunya benar-benar dirancang dengan sangat ketat. Pagi-pagi dia akan menulis dan tidak seorang pun boleh mengganggunya untuk hal-hal yang tidak darurat. Ada pun proyek raksasa yang dipikirkannya adalah bagaimana kekristenan Calvinistik dapat menjadi pengaruh bukan saja dalam kehidupan gereja, tetapi dalam setiap aspek kehidupan manusia. Kuyper mulai terlibat aktif di dalam politik dan bergabung dengan partai anti revolusi. Konsep yang dimiliki partai ini, menurut pemikiran Kuyper, adalah penolakan revolusi Perancis yang menekankan individu, tetapi juga penolakan terhadap kekuasaan mutlak pemerintah.

Maka Kuyper menawarkan konsep sphere sovereignty di mana kekuasaan tidak berada secara mutlak pada individu. Ini hanya akan merusak seluruh tatanan masyarakat. Kuyper menyebut dorongan revolusi Perancis bermula dari (atau setuju terhadap) teriakan gila Voltaire, “Down with this scoundrel!” yang merupakan seruan untuk menolak otoritas Allah sekalipun. Maka konsep sphere sovereignty memberikan kuasa pada lembaga-lembaga secara independen. Sekolah harus mempunyai kedaulatannya sendiri di dalam wilayahnya. Pemerintah harus mempunyai kedaulatan yang tidak mengintervensi kedaulatan “sphere” yang lain. Demikian juga gereja. Seorang yang doktrinnya tidak beres harus dikoreksi oleh gereja, bukan pemerintah. Seorang Kristen yang mencuri harus ditangkap oleh polisi, bukan pendeta.

Namun yang perlu diingat adalah setiap sphere beroperasi dan memiliki kedaulatan di bawah kedaulatan Allah! Dalam kaitan dengan pengertian ini jugalah Kuyper berjuang untuk kemandirian dunia pendidikan, terutama sekolah theologi, dari dana, kontrol, dan pengaruh pemerintah. Untuk membebaskan sekolah-sekolah theologi (yang merupakan salah satu departemen dari universitas-universitas di Belanda yang dibiayai pemerintah) dari pengaruh liberal, Kuyper memberikan usulan untuk membebaskan sekolah-sekolah theologi tersebut dari pendanaan universitas. Proposal yang sangat ditentang kaum liberal karena mereka tahu bahwa pengaruh yang mereka miliki atas sekolah-sekolah theologi adalah karena ketergantungan sekolah-sekolah tersebut secara finansial kepada mereka. Tetapi proyek ini pun ternyata berkembang dengan pendirian universitas. Free University di Amsterdam berdiri dengan fondasi Calvinistik dan kemandirian dari kontrol pemerintah.

Pada tahun 1886 pertentangan antara kaum liberal dengan ortodoks makin mencuat. Begitu banyak hal yang sangat melanggar firman dikerjakan oleh para hamba Tuhan. Baptisan yang sedianya diajarkan Alkitab dengan nama Bapa, Anak, dan Roh Kudus, bahkan sekarang diganti dengan “iman, pengharapan, dan kasih.” Golongan ortodoks makin gencar melancarkan protes dengan tulisan-tulisan dan pamflet-pamflet. Kuyper sendiri menulis sangat gencar untuk membela posisi ortodoks. Apakah balasan gereja pemerintah? Gereja tersebut mengeluarkan 80 orang kunci dari para pengikut golongan ortodoks. Gereja juga membubarkan konsistori yang sudah banyak “diracuni” oleh aliran ortodoks, yaitu kaum Calvinis tradisional, dan mengganti dengan orang-orang baru. Lalu mereka menekankan slogan “Dilarang bertanya” yang justru membuat wibawa mereka makin rusak di mata jemaat. Maka dengan tulisan-tulisan dan khotbah-khotbahnya akhirnya ada 7.000 orang yang memutuskan perlunya ada gereja baru untuk menjadi tempat mereka bersekutu sebagai umat Tuhan yang sejati.

Gerakan perpindahan inilah yang dikenal sebagai “Doleantie Movement.” Tahun 1880 ini merupakan tahun yang sangat sibuk bagi Kuyper. Selain menjadi pemimpin gereja, dia juga adalah seorang editor dua surat kabar. Selain itu tanggung jawab sebagai pemimpin partai politik dan pemimpin universitas, penulis, dan juga pengajar theologi dengan jadwal mengajar yang sangat padat membuat kita heran. Apa mungkin seorang manusia melakukan semua itu? Atau mungkin pertanyaan yang lain: apa orang ini sempat tidur? Pada tahun 1901 Kuyper diangkat menjadi perdana menteri. Jabatan yang dijalaninya selama lima tahun. Ketika menjabat, Kuyper banyak diserang sebagai orang yang terlalu keras. Dia membuat beberapa peraturan yang banyak mendatangkan kritik, terutama ketika menghadapi pemogokan buruh perusahaan kereta api yang berdampak pada banyaknya kerusuhan pada tahun 1903. Tetapi kontribusinya yang paling penting sebagai perdana menteri adalah penataan ulang peraturan mengenai dunia pendidikan tinggi. Baik mengenai pembiayaan maupun program pendidikan dan standar kelulusan ujian, peraturan ini memberikan banyak kesetaraan antara sekolah-sekolah yang ada.

Tentu mustahil untuk meliput hidup seorang besar seperti Kuyper di dalam tulisan singkat ini. Tetapi biarlah kita kembali kepada aspek utama yang menjadi perhatian kita dalam tulisan ini. Apakah signifikansi iman Kristen bagi masyarakat sosial? Bagaimanakah relasi antara orang beriman dengan orang yang tidak beriman? Kuyper sangat menekankan fakta bahwa Allah Sang Pencipta menyenangi keanekaragaman. Inilah konsep dasar yang membuat kita harus berelasi dengan semua jenis orang di dalam masyarakat kita. Kuyper juga terus mengingatkan tentang keadaan manusia sebelum jatuh ke dalam dosa. Bukankah manusia mempunyai tugas untuk memelihara ciptaan? Richard Mouw menafsirkan pemikiran Kuyper dalam hal ini sebagai perintah untuk menciptakan dari ciptaan. Untuk menggali potensi yang ada di dalam dunia ciptaan. Tuhan tidak menciptakan kota-kota yang maju karena Dia ingin manusia yang melakukannya. Tuhan tidak menciptakan alat-alat elektronik karena Dia menjadikan itu bagian untuk ditemukan oleh manusia.

Dengan demikian tidak ada alasan bagi orang beriman untuk tidak terlibat di dalam dunia. Orang Kristen harus memperbaiki kehidupan sosial. Orang Kristen harus memberikan sumbangan dalam memperbaiki keadaan masyarakat. Tetapi mengapa orang Kristen harus melakukan itu? Kita harus melakukan itu karena Allah yang berdaulat atas segala sesuatu menugaskan kita untuk melakukannya. Inilah kunci mengapa Kuyper dapat menjadi seorang yang sangat terlibat dengan pergumulan gereja, politik negara, dan dunia pendidikan, tanpa mengompromikan iman Kristennya dan kehangatan spiritualitas yang terus mengalami perasaan haus akan Allah. Relasi pietisme dan kerohanian yang merindukan Tuhan ternyata adalah paralel yang sangat tepat untuk adanya keterlibatan sosial yang kuat. Kuyper menemukan bahwa kunci keterlibatan sosial bukanlah pada modernisme, tetapi justru pada sistem Calvinistik tradisional yang ketat dan komprehensif.

Saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan mengutip tulisan Hendrik de Vries yang memaparkan bagian terakhir kehidupan Abraham Kuyper.

“Dr. Kuyper mengambil waktu untuk menulis renungan devosional setiap minggu. Ia menulis lebih dari dua ribu renungan. Semuanya unik dalam karakternya. […] Dengan kekuatan yang hampir tidak pernah kendor, Dr. Kuyper menyelesaikan segala usahanya sampai sedikit waktu sebelum akhir hayatnya. Berdiri di samping tempat tidur kematiannya, seorang kawan dan rekan bertanya kepadanya: “Haruskah saya memberi tahu kepada orang-orang bahwa Allah telah menjadi tempat perlindungan dan kekuatanmu sampai pada akhirnya?” Kuyper menjawab dengan bisikan yang tegas di tengah-tengah kelemahan fisiknya, “Ya! Dalam segala hal!”

Demikianlah kehidupan Abraham Kuyper. Seorang dengan tingkat devosional yang tinggi karena keakraban dan kasihnya kepada Allahnya, tetapi juga seorang dengan tingkat keterlibatan yang tinggi dengan problema sosial di negaranya. Seorang yang dibangkitkan Tuhan untuk menekankan kembali pentingnya iman Kristen yang paradoksikal, bukan dikotomis, di mana keterlibatan di dalam dunia dan relasi mendalam dengan Allah sama-sama terangkum di dalam kalimat, “…tidak ada satu inci persegi pun di dalam keseluruhan domain hidup kita sebagai manusia yang atasnya Kristus, yang berdaulat atas segala sesuatu, tidak berseru: milik-Ku!”

Ev. Jimmy Pardede
Gembala Sidang GRII Bandung

Endnotes:
[1] Abraham Kuyper, Mendekat Kepada Allah, Momentum, 2009.
[2] Abraham Kuyper, Ceramah-ceramah Mengenai Calvinisme, Momentum, 2005.
[3] Jonathan Hill, The History of Christian Thought, IVP Press, 2003.
[4] Jaroslav Pelikan, Christian Doctrine and Modern Culture, Chicago Univ. Press, 1989.
[5] Don Crowe, Salt and Light Ilustrated in History: Abraham Kuyper.
[6] The Life and Legacy of Abraham Kuyper, dapat diakses di: http://kuyperiancommentary.wordpress.com/2012/10/09/the-life-and-legacy-of-abraham-kuyper/
[7] Irving Hexham, Christian Politics According to Abraham Kuyper, CRUX Journal vol. XIX Maret 1983. Dapat diakses di: http://people.ucalgary.ca/~nurelweb/papers/irving/kuyperp.html