Martin Bucer: Dialog dan Rekonsiliasi

Biografi Singkat
Martin Bucer lahir pada tahun 1491. Pada umur yang masih muda, 16 tahun, dia telah menyelesaikan studi Latin dan masuk ke dalam Dominican Order (institusi religius gereja Katolik) sebagai seorang calon biarawan. Dalam beberapa tahun, ia diangkat menjadi asisten, diaken, dan akhirnya menjadi seorang pastor. Pada masa-masa inilah Bucer terpengaruh oleh tradisi skolastik Abad Pertengahan yang sangat menekankan rasio dan argumentasi dalam theologi[1]. Selain itu, Bucer juga terpengaruh oleh pemikiran Humanisme Kristen dari Desiderius Erasmus (1466–1536). Humanisme Kristen yang dimaksud sangatlah berbeda dari Humanisme Sekuler yang marak pada zaman ini. Humanisme Kristen adalah kepercayaan bahwa martabat, kebebasan manusia itu berasal dari Tuhan; manusia adalah peta dan teladan Allah, maka perlulah kita menghargai setiap manusia sebagaimana selayaknya. Dengan prinsip ini, maka Humanisme Kristen lebih cenderung menekankan pendidikan Alkitab untuk semua orang agar gereja dapat menjadi lebih baik[2].

Pada tahun 1518 di Heidelberg, ketika ia berusia 27 tahun, Bucer bertemu dengan Martin Luther dan mendengarkan ceramahnya tentang 95 tesis. Dia sangat terpengaruh oleh ceramah ini dan menyetujui ide-ide Luther. Ia pun mulai mengubah banyak pemikirannya dan akhirnya dalam disputasi theologi di hadapan fakultas sekolahnya ia memaparkan perpisahannya dengan pemikiran skolastik Abad Pertengahan. Karena perubahan ini, beberapa tahun kemudian ia diekskomunikasi oleh gereja karena terlalu banyak reaksi dari publik di kota di mana ia melayani. Setelah diekskomunikasi, dia pergi ke Strasbourg dan menetap di sana, kota di mana kelak ia bertemu dan melayani bersama John Calvin[3]. Dalam kehidupan pelayanannya, ia sangat mementingkan aspek penggembalaan dan juga mengembangkan pembelajaran Alkitab dalam kelompok-kelompok kecil.

Meskipun dia berkhotbah mengkritik praktik-praktik gereja Roma Katolik, sebenarnya Bucer tidak suka keterpisahan gereja. Kebanyakan dari pekerjaan di hidupnya pada akhirnya sering menyangkut rekonsiliasi, baik antara Protestan dan Roma Katolik, atau bahkan antara cabang-cabang pemikiran di dalam gerakan Protestan sendiri. Dia sangat merindukan kesatuan gereja dalam firman yang benar. Tetapi ini mengakibatkan ia sering disalah mengerti karena dipandang terlalu berkompromi. Di tahun-tahun terakhir kehidupannya, Bucer harus pergi ke Inggris karena pengaruh konflik dari perang dan juga berbagai serangan terhadap ide-idenya. Di sana ia bergerak dengan Reformasi Inggris, dan tetap bekerja meskipun ia sering sakit keras[4]. Kelemahan badan Bucer akhirnya mengakibatkan kematiannya, ia dikuburkan di Cambridge pada tahun 1551.

Refleksi
Bucer yang senantiasa membuka dialog dan rekonsiliasi telah mendorong majunya Gerakan Reformasi yang berkembang dan meluas. Kemampuannya merendahkan dirinya dalam mendengarkan pihak-pihak terkait dengan jujur, terbuka, serta konstruktif telah membuka dialog-dialog yang memungkinkan rekonsiliasi yang juga dapat dimengerti sebagai perkembangan dari Gerakan Reformasi pada masa itu. Semangat membawa setiap pihak untuk lebih mengenal Tuhan serta lebih lagi setia kepada firman Tuhan merupakan ciri Reformasi dalam diri Bucer.

Bukankah hal ini telah dituliskan Rasul Paulus dalam Surat Efesus? Kesatuan tubuh Kristus dengan Kristus sebagai kepala yang juga merupakan teladan ultimat bagi umat Allah. Dia telah rela mengosongkan diri-Nya inkarnasi ke dalam dunia ini, berkorban demi penggenapan rencana dan kehendak Bapa di sorga. Dia rela menjalankan jalan salib demi penyatuan seluruh umat pilihan Bapa dan membawanya kembali kepada Bapa. Setiap anggota yang berbeda disatukan di dalam diri-Nya sesuai kehendak Bapa.

Kiranya kita dapat selalu mengingat hal ini; jika pada dasarnya semua jemaat menerima pengorbanan Kristus, menerima bahwa kita semua dalam keberbedaan kita yang tidak layak ini telah diberikan anugerah keselamatan secara cuma-cuma dan dipersatukan di dalam diri-Nya, maka dialog antar umat Allah, antar aliran denominasi pun dapat dijalankan di dalam Dia[5].

Prinsip kesatuan dalam Kristus dan keselamatan oleh anugerah adalah prinsip-prinsip utama yang diperjuangkan mati-matian dalam zaman Reformasi. Masihkah gereja Tuhan hari ini dengan pelbagai aliran denominasinya memperjuangkannya? Masihkah kita sebagai gereja Tuhan merindukan kesatuan dalam Kristus? Di manakah kerelaan pengorbanan kita demi membawa seluruh umat Allah kembali kepada-Nya dalam firman-Nya? Apakah kita cukup puas dengan keberadaan gereja lokal kita sendiri tanpa memikirkan keseluruhan tubuh Kristus yang perlu bertumbuh melalui dialog dan rekonsiliasi seperti yang dilakukan Bucer? Kiranya Tuhan sendiri yang terus memimpin kehidupan dan kesaksian kita dalam saling mendorong kepada pengenalan yang benar akan Allah melalui firman-Nya.

Albert Lowis
Pemuda GRII Singapura

Endnotes:
1. Tradisi skolastik adalah tradisi yang berusaha menggabungkan pemikiran Kristen dan pemikiran filsuf Gerika Aristoteles (384-322 BC). Orang yang paling penting mengukuhkan tradisi ini adalah Thomas Aquinas, yang dapat dikatakan karya-karyanya menjadi dasar dari Theologi Roma Katolik pada zaman itu.
2. Humanisme Kristen juga nanti memengaruhi John Calvin. Konsep mendidik semua orang tentang firman Tuhan akhirnya mengakibatkan banyaknya upaya untuk menerjemahkan Alkitab dari Latin ke dalam bahasa-bahasa lain yang dimengerti oleh orang awam.
3. Banyak yang mengatakan bahwa Bucer adalah Bapa dari Calvinisme karena pengaruhnya yang besar kepada Calvin. Salah satunya adalah dalam usaha merekonsiliasi perbedaan pandangan Luther dan Zwingli tentang sakramen Perjamuan Kudus. Ia juga sangat memengaruhi karya Calvin “Institutes of Christian Religion” di dalam banyak hal.
4. Ketika ia tinggal di Inggris, dia juga memengaruhi Theologi Anglican dan juga buku doanya “Book of Common Prayer”.
5. Untuk penjelasan lebih lengkap dapat membaca “The Reformed Pastor and Ecumenism” oleh Cornelius Van Til di http://www.the-highway.com/ecumenism_VanTil.html atau tulisan yang sama di dalam bukunya “The Reformed Pastor and Modern Thought” Bab 6.