Menjadi Kudus karena Sang Kudus

“Kuduslah kamu, sebab AKU kudus.” Kalimat ini dinyatakan Allah kepada Israel, bangsa yang Tuhan pilih untuk menjadi umat-Nya. Hari ini, melalui Kristus, status umat pilihan telah dibukakan kepada banyak bangsa. Maka, kalimat tersebut pun ditujukan kepada kita yang mengakui Kristus sebagai Juruselamat. Mengapa kita harus menjadi kudus karena Allah kudus? Jelas dikatakan bahwa kita adalah umat pilihan-Nya. Hal ini mengandung arti bahwa kita adalah milik-Nya. Pengertian ini menjadi dasar untuk memulai pembahasan hidup kudus yang sering kita pertanyakan hari ini. Bagaimana saya mampu mempertahankan hidup kudus di tengah dunia yang semakin rusak? Mari kita memulainya dari fakta kepemilikan hidup kita.

Kita tidak pernah benar-benar bisa memilih untuk menjadi milik kita sendiri, sebab pada hakikatnya kita adalah ciptaan. Sayangnya, ciptaan yang memilih melawan Penciptanya harus menjadi “milik” si Jahat (yang kepemilikannya pun tidak di luar kedaulatan Sang Pencipta). Tetapi Pencipta itu rela “memilih” kita untuk menjadi milik-Nya. Saya menggunakan kata “rela” karena untuk menjalani “pilihan itu”, ada harga yang harus dibayar. Kini kita semakin sadar mengapa “pilihan itu” disebut “penebusan”. Kita semua telah dibayar lunas dengan darah Kristus. Sampai di sini, apakah masih ada yang berpikir bahwa dirimu adalah milikmu sendiri? Bagi banyak orang, apalagi pemuda masa kini, ide ini mungkin mencengangkan dan mengerikan. Slogan yang lebih diminati mungkin adalah “my life, my way” (hidupku, caraku). Pembahasan tentang hidup kudus hanya akan dinilai kolot, kuno, berat, cenderung munafik, dan akhirnya dipandang dengan skeptis, pesimis, atau antipati.

Katekismus Heidelberg dimulai dengan ucapan syukur bahwa “diriku bukan milikku sendiri”. Bahwa Tuhan memilih kita untuk menjadi milik-Nya adalah sebuah fakta yang melegakan dan menguatkan. Bukankah melegakan jika satu kali masa hidupmu, yang dimulai tanpa bekal pengalaman hidup sebelumnya, ditopang oleh Pemilik kita? Bukankah menguatkan jika hidup kita dijamin oleh Pemilik kita, sekaligus melalui tanggung jawab terhadap Dia?

Hormat – Kasih
Poin kepemilikan ini penting untuk diterima terlebih dulu sebelum kita masuk dalam pembahasan hidup kudus. Tanpa mengerti “mengapa”, jawaban tentang “bagaimana” tidak akan ada artinya lagi. Dari penjelasan sebelumnya, kita mengerti kepada siapa kita mempertanggungjawabkan hidup kita. Tetapi Dia yang memiliki kita juga memilih dengan kerelaan untuk melakukan pengorbanan. Di satu sisi kita melihat aspek penghormatan dan di sisi lain kita melihat aspek kasih dari relasi kepemilikan ini. Maka, hal selanjutnya yang akan menambah pengertian hidup kudus adalah kedatangan Kristus yang kedua dan kebangkitan tubuh.

Sebelumnya, mari kita sedikit berandai-andai. Andaikan kamu bisa mengulang hidupmu berkali-kali untuk memperbaiki kesalahanmu, kapan kamu tahu “kekudusanmu” sudah cukup untuk membayar semua kegagalanmu di kehidupan-kehidupan sebelumnya? Andaikan kehidupan yang kita jaga sedemikian kudus hanyalah untuk membuka akses kepada sorga, pernahkah kamu bertanya, untuk apa semua hasil yang telah kamu upayakan untuk kemajuan kebudayaan atau kemajuan apa pun untuk dunia ini? Andaikan dunia ini hanya diatur oleh sebuah sistem pembalasan, kepada siapa kita mengadu di tengah kekejian dan bersyukur di dalam anugerah? Andaikan tidak ada otoritas apa pun yang layak membuat kita bertanggung jawab kepadanya, untuk apa kita peduli dengan nasib dunia ini? Bersenang-senanglah hari ini jika besok kita mati dan selesai!

Dengan sedikit pengandaian di atas, kita melihat betapa kedatangan Kristus dan kebangkitan tubuh memiliki makna yang luas dan dalam. Pesan kedatangan Kristus menyatakan bahwa akan ada penghakiman tetapi juga sukacita penyempurnaan. Sementara pesan kebangkitan tubuh memberi pengharapan bahwa apa yang baik yang kita kerjakan akan terus berlangsung nanti. Kita tahu siapa Pemilik rencana terbaik akan dunia. Ketika kita tidak tahan melihat penguasa yang sewenang-wenang di dunia, kita tahu ada Penguasa tertinggi yang akan menghakimi dan berkuasa mewujudkan rencana baik-Nya. Kita tahu kita bisa berdoa dan berelasi dengan-Nya.

Maka kitalah, kepunyaan-Nya, yang akan menyambut kedatangan Kristus sebagai Raja sekaligus Mempelai, dengan sukacita yang penuh penghormatan dan cinta. Sementara bagi semua orang yang bukan kepunyaan-Nya, hari itu adalah suatu malapetaka besar. Posisi kita sebagai umat kepunyaan Allah dan kaitannya dengan kedatangan Kristus akan menolong kita menjalani hidup kudus. Masih ingatkah akan istilah hamba yang setia (Luk. 12:42) dan mempelai perempuan (Why. 21:9)?

Hamba – Mempelai
Poin pertama dalam menjalani hidup kudus adalah menjalani hidup sebagai seorang hamba. Menjadi seorang hamba memiliki arti sesederhana menjalani setiap kehendak majikannya. Sering kali kita bukan tidak tahu kehendak Sang Tuan, melainkan kita meletakkan diri di posisi tidak mau (atau lebih parah lagi, tidak mau tahu). Kebenaran-Nya telah dibeberkan dengan jelas dalam Alkitab, dan kita memiliki pengharapan dari kebangkitan yang menjamin bahwa pekerjaan baik di dunia ini akan terus berlangsung, sehingga yang kita upayakan untuk pekerjaan Sang Tuan tidak akan sia-sia.

Sebagai hamba yang melihat kekacauan di dunia ini, kita akan berfokus pada membereskan tanggung jawab kita sesuai panggilan dan talenta masing-masing. Kita menjaga hidup kudus melalui menjalani tugas sebagai hamba. Hamba ini menantikan kedatangan Tuannya dengan mempersiapkan hasil yang terbaik bagi Tuannya. Entah itu membereskan masalah keadilan sosial, atau mengeksplorasi nilai estetika yang memperkaya kehidupan manusia, atau menyediakan informasi yang benar bagi banyak orang. Ketika kita tahu apa yang harus kita lakukan, ketika kita punya alasan krusial untuk melakukannya, dan ketika kita mengenal Tuan yang kepada-Nya kita bertanggung jawab, semua akan mengarahkan kita kepada hidup kudus.

Hidup kudus bukan sekadar hidup yang tidak melakukan dosa, melainkan memiliki hidup selayaknya umat kepunyaan Tuhan. Semua orang di dunia bekerja, tetapi kita bekerja untuk Tuhan. Banyak orang di dunia berjuang untuk “kebenaran”, tetapi kita dimiliki oleh Kebenaran yang sejati. Ada orang-orang yang mempunyai kehidupan yang saleh, tetapi mungkin dedikasi itu ditujukan kepada yang bukan Sang Tuan.

Di sisi lain, pengharapan yang kita miliki sebagai gereja pada momen kedatangan Kristus adalah bahwa kita akan bertemu dengan Sang Mempelai Laki-laki. Apakah momen penantian ini akan kita lalui dengan mencemarkan diri kita dengan pikiran atau perbuatan yang tidak menumbuhkan iman kita? Apakah kita akan membiarkan relasi dalam doa-doa pribadi kita menjadi kendur? Apakah kita akan menjadikan pemikiran dunia yang terlihat canggih untuk menghindarkan kita dari bertanggung jawab kepada Mempelai kita?

Menyadari posisi gereja sebagai umat kepunyaan-Nya yang akan dipersatukan secara sempurna dengan Kristus membuat kita mengerti dua hal: menghindari kecemaran dan mengusahakan pertumbuhan. Para pria, tanyakanlah kepada wanita yang menanti hari pernikahannya, mulai dari merawat tubuh, belajar berbagai keterampilan, bahkan dipingit! Bagaimana kita mempersiapkan hari kedatangan Sang Mempelai Gereja? Bukankah dengan menjauhi perzinahan dengan dosa dan terus bertumbuh dalam mengenali Kristus yang kita kasihi?

Bagian ini bermaksud menjelaskan bagaimana hidup kudus dibangun dari dalam ranah motivasi. Tidak ada panduan langkah praktis tentang hal-hal yang harus kita kerjakan untuk bisa mencapai hidup kudus. Tanpa pengertian tentang hal-hal di atas, kita akan melakukan hal yang “rasanya” benar untuk hal sepele seperti “nama baik”, dan kehilangan harapan karena kemanusiaan yang terlalu mengecewakan untuk diperjuangkan. Menanamkan pengertian hamba dan mempelai juga tidak dapat dipisahkan dalam hidup kita. Hal ini sama seperti kita tidak dapat memisahkan penghormatan dan kasih kepada Tuhan sebagai Tuan dan Mempelai kita.

Hidup kudus adalah seperti selayaknya hamba yang mengerjakan yang terbaik sampai Tuannya datang dan seperti seorang mempelai perempuan yang merindukan Mempelai Pria tiba. Keduanya didorong oleh rasa hormat dan kasih, serta didasarkan pada pengharapan akan kedatangan Kristus dan kebangkitan tubuh. Bersyukurlah sebab kita adalah milik-Nya yang mendapat pengharapan ini.

Kalibrasi
Ada sebuah kalimat dari Pdt. Dr. Stephen Tong yang menyatakan bahwa ketika seseorang fokus mengerjakan tugasnya, ia tak akan ada kesempatan untuk berbuat dosa. Tentu saja hal ini benar, tetapi mengapa tetap sulit untuk menghidupi hidup yang kudus?

Dosa telah sedemikian merusak sehingga kadang kita berpikir bagaimana kita bisa hidup dengan cara yang sangat melawan arus. Perbuatan yang jelas melanggar norma susila telah dianggap wajar di ranah profesional sekalipun. Terkadang relasi bisnis dibangun dengan melibatkan daya tarik sensual. Untuk hal-hal seperti ini, seharusnya tidak ada pertanyaan, tidak ada kompromi. Kita tahu kita harus menghindarkan diri dari dosa dan menanggung konsekuensinya.
Tetapi kesulitan yang besar adalah ketika ada benturan-benturan yang membuat kita sulit menghindari perbuatan yang berlawanan dengan kekudusan. Hidup kita bukan dijalankan dengan memilih di antara pilihan ganda. Terkadang kita baru sadar bahwa kebenaran itu seperti memilih spektrum yang tepat.

Mungkin ada di antara kita yang berpikir, bagaimana mungkin kita diharapkan untuk menyelesaikan tanggung jawab kita dalam pekerjaan, relasi, mengorbankan waktu istirahat, dan tetap punya waktu untuk saat teduh?

Bagaimana jika keadaan memaksa kita untuk seolah mendukung hal yang salah karena kita ditekan? Jika kita sedang memperjuangkan hal yang benar untuk banyak orang dan telah memenuhi berbagai ketentuan dari semua pihak, namun ada oknum yang masih mempersulit langkah kita dan meminta tambahan-tambahan yang tidak ada dalam ketentuan, apa yang harus kita lakukan?

Para polisi yang menangani kasus asusila terkadang harus menyelidiki konten-konten yang tidak pantas. Bagaimana mereka menghindarkan diri dari godaan untuk menikmati hal itu?

Kamu memiliki keluarga yang tidak mengerti imanmu dan menuntutmu untuk menghabiskan waktu lebih untuk mereka. Apa yang akan kamu lakukan?

Bagaimana dengan white lies?

Ini hanyalah sebagian daftar yang sering menjadi kesulitan dalam menjalani hidup kudus. Di dalam dunia yang masih penuh dosa, kita tidak bisa berharap bahwa kita dapat menjalani hidup kudus tanpa menemui kesulitan. Tetapi ada pengharapan yang dijanjikan melalui kedatangan-Nya dan kebangkitan umat-Nya. Jaminannya adalah Roh Kudus yang membimbing kita melalui firman, sehingga kita semakin peka dan berhikmat dalam menjalani hidup dengan tepat.

Mungkin kita harus berkorban lebih besar untuk menjalankan hal yang ideal di dunia yang berdosa. Mungkin sudah saatnya kita mengasah diri kita untuk mengerjakan pekerjaan kita lebih cepat. Mungkin ada saatnya kita harus memenuhi keinginan oknum-oknum yang menindas kita untuk kepentingan yang lebih besar, selama kita tidak melakukan itu untuk mengambil jalan pintas dari persyaratan yang legal. Mungkin kamu harus mempertimbangkan kemampuanmu dalam mengatasi godaan-godaan yang ada dalam pekerjaanmu. Jika kamu belum mampu mengendalikan hatimu, mungkin ini saatnya kamu mengorbankan pekerjaanmu demi menjaga kekudusanmu.

Bagian ini mau menekankan bahwa menghidupi hidup kudus tidak terlepas dari bergantung kepada Tuhan. Jangan sampai kita sibuk mempertanyakan bagaimana menjaga kekudusan, tetapi lupa untuk meminta topangan dan meminta pimpinan dari Yang Kudus. Kita ini adalah hamba dan mempelai kepunyaan-Nya. Biarlah kita mengejar kekudusan, karena kita menghormati dan mengasihi Pemilik kita. Biarlah kita mengejar kekudusan, bukan karena kita mampu, tetapi karena Dia menolong kita dengan Roh Kudus-Nya sampai Ia datang kembali. Biarlah kita semakin hidup kudus, sebab Tuhan, Pemilik kita, adalah kudus.

Yinni Lauly
Pemudi GRII Bandung