,

Menjadi Manusia: Mengenal Pendidikan Klasik

“Waktu adalah penguji yang paling ketat”, demikian ujar Pdt. Stephen Tong di dalam satu khotbahnya. Sejalan dengan diktum tersebut, maka ketika kita menemukan di dalam sejarah satu hal yang teruji untuk masa yang amat panjang, selayaknyalah kita mempelajari hal tersebut. Dalam bidang pendidikan, satu sistem yang telah teruji selama lebih dari 2.000 tahun adalah pendidikan klasik (classical education). Mulai dari kurikulum ἐγκύκλιος παιδεία (enkyklios paideia) dari pendidikan Yunani klasik, liberal artes dari pendidikan Romawi, adaptasinya di dalam pendidikan Kristen pada zaman Bapa-bapa Gereja dan kelahirannya kembali di zaman Renaissance, bahkan sampai kepada sistem pendidikan Barat di Abad Pencerahan, pendidikan klasik telah menjadi sistem pendidikan dasar yang solid untuk membentuk kemanusiaan dan memperkembangkan kebudayaan manusia. Namun sayangnya, pendidikan klasik telah dianggap kuno dan tersingkirkan oleh pendidikan modern yang lebih menekankan keuntungan ekonomis atau kepentingan politik.

Artikel ini ditulis dengan tujuan untuk memperkenalkan secara singkat tentang pendidikan klasik dan kemudian menganalisis secara singkat kelebihan dan kekurangannya dari perspektif Theologi Reformed. Adalah harapan penulis bahwa aspek-aspek positif dari pendidikan klasik dapat dipertahankan di dalam pendidikan Kristen saat ini, sebagai harta yang TUHAN Allah berikan kepada umat-Nya di dalam anugerah umum.

Tujuan Pendidikan Klasik
Tujuan pendidikan klasik dapat dirangkum oleh satu kata Latin: humanitas, yang artinya kemanusiaan. Pendidikan klasik bertujuan untuk memperkembangkan potensi manusia dalam setiap kelimpahan aspeknya sehingga dapat berkontribusi terhadap perkembangan kebudayaan manusia di dalam sejarah. Cicero, seorang orator Romawi dan pendidik besar di Republik Roma, mengatakan, “Kita semua disebut ‘manusia’, tetapi hanyalah yang telah terdidik melalui pembelajaran peradaban manusia yang selayaknya disebut ‘manusia’” (“Republik”, buku I, 28.5). Tujuan pendidikan klasik ini juga ditekankan oleh Erasmus, seorang humanis Kristen di zaman Renaissance yang menjadi sumber inspirasi bagi Luther dan Calvin. Ia berkata, “Adalah satu hal yang tidak terbantahkan bahwa seorang manusia yang tidak terdidik akal budinya melalui filsafat dan pembelajaran yang sehat adalah satu makhluk yang lebih rendah daripada binatang, karena tidak ada binatang yang lebih liar atau berbahaya dibandingkan dengan seorang manusia yang diombang-ambingkan ke sana ke mari oleh ambisi, nafsu, kemarahan, iri hati, atau watak yang liar” (“Tentang Pendidikan Anak-Anak”, 493B).

Kita tentu sering mendengar kalimat: “Kamu harus sekolah, supaya bisa jadi orang.” Frasa “jadi orang” ini memiliki berbagai macam penafsiran. Kebanyakan orang menafsirkan frasa “jadi orang” dari perspektif kesuksesan finansial: “Kamu harus sekolah, supaya nanti bisa bekerja dan dapat uang banyak.” Jadi, menurut interpretasi ini, jika kita tidak bisa meraih kesuksesan finansial, kita tidak layak disebut manusia. Namun frasa “menjadi manusia” diartikan secara lain oleh para pendidik dalam tradisi pendidikan klasik. Teori pendidikan klasik berkata bahwa setiap manusia memiliki tanggung jawab untuk memperkembangkan dirinya menuju keutuhan kemanusiaannya.

Di dalam penekanannya akan pengembangan potensi individual melalui pembelajaran kebudayaan manusia, pendidikan klasik tidak mengenal dikotomi antara individu dan komunitas. Individu hanya dapat berkembang secara penuh di dalam komunitas, dan komunitas berkembang ketika individu berkembang. Hal ini sangat bertentangan dengan semangat individualisme modern yang menempatkan individu ke dalam sistem kompetisi di komunitasnya. Dalam pendidikan klasik, perkembangan individu dan perkembangan komunitas berjalan secara harmonis. Humanitas adalah kesempurnaan kemanusiaan di dalam satu individu yang mengakibatkan kepada kemajuan kebudayaan di dalam komunitasnya.

Pendidikan Klasik di Zaman Yunani dan Romawi Kuno
Di dalam konteks hidup Cicero, terdapat perdebatan teori pendidikan, antara pendidikan yang menekankan pengetahuan dengan pendidikan yang menekankan kemampuan berorasi. Perdebatan ini bermula dari konflik antara Socrates dengan kaum Sophis. Bagi Socrates, kemampuan retorika tidaklah penting; yang penting adalah pengetahuan, yang dia definisikan sebagai opini yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan (a justified true belief)[1]. Bagi kaum Sophis, tidak ada yang disebut kebenaran. Yang paling penting adalah bagaimana memenangkan perdebatan publik dengan cara meyakinkan orang sebanyak-banyaknya di dalam musyawarah publik melalui kemampuan retorika. Maka para pengikut Socrates menekankan filsafat, sedangkan para pengikut kaum Sophis menekankan retorika. Perdebatan ini berlangsung turun-temurun hingga pada zaman Cicero hidup.

Bagi Cicero, filsafat dan retorika adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Pendidikan humanitas mencakup dua hal tersebut. Filsafat merupakan isi, dan retorika adalah wadahnya: harus ada koherensi antara isi dengan wadah. Percuma jika seseorang mengerti suatu kebenaran tapi tidak dapat meyakinkan orang lain mengenai kebenaran tersebut. Percuma jugalah jika seseorang dapat meyakinkan orang lain, tetapi ia sendiri tidak tahu apakah yang disampaikannya itu benar adanya. Maka, bagi Cicero, pendidikan haruslah bersifat utuh, mencakup isi (content) dan pewadahannya (form). Filsafat dan retorika sangat penting di dalam pendidikan.

Namun, yang menarik dari pandangan Cicero adalah bahwa filsafat di sini tidak dimengerti sebagai ide-ide intelektual yang abstrak. Filsafat, bagi Cicero, adalah seluruh aspek perkembangan kebudayaan manusia, baik literatur, sejarah, moral, maupun ide. Seorang yang terdidik adalah dia yang mengerti hal-hal yang terbaik dalam peradaban manusia dalam segala keutuhannya dan mampu mengajarkannya secara meyakinkan kepada orang lain di dalam aktivitas publik. Keutuhan pembentukan manusia inilah yang disebut oleh Cicero sebagai pendidikan humanitas.

Quintilian, seorang pendidik besar Romawi lain yang hidup di zaman kekaisaran Roma, juga menekankan bahwa filsafat dan retorika tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Bagi Quintilian, seseorang tidak mungkin dapat menjadi orator yang baik tanpa memiliki moralitas kemanusiaan yang baik. Ia berkata, “Orator yang kita ingin didik adalah seorang orator yang sempurna, yang pastinya adalah seorang manusia yang baik: dan maka kita menuntut dia, bukan saja untuk menjadi sempurna di dalam kemampuan berbicara, tetapi juga sempurna dalam segala kebajikan moral” (“Pendidikan Orator”, Kata Pengantar). Kualitas moral seseorang terpancar di dalam bagaimana orang tersebut berpidato: keyakinannya, isi pidatonya, maupun gerak-gerik tubuhnya. Maka pendidikan seorang orator harus mencakup pengertian filsafat moral yang tertinggi. Pendidikan seorang orator adalah pendidikan yang membentuk humanitas seseorang, bukan hanya sekadar memoles kemampuan luar seseorang dalam beretorika.

Pendidikan klasik sering disebut sebagai pendidikan seni kebebasan (liberal arts education). Pemikiran ini berasal dari Plato, yang berpendapat bahwa orang-orang yang belajar hanya untuk sekadar memenuhi kebutuhan ekonominya adalah orang-orang yang bermental budak. Budak belajar untuk bekerja, dan bekerja untuk mendapatkan uang. Namun, bagi Plato, orang bebas belajar untuk memperoleh pengetahuan yang melampaui pemenuhan kebutuhan jasmani semata. Dari konsepsi pendidikan yang demikianlah frasa liberal arts education digunakan.

Adaptasi Pendidikan Klasik di dalam Sejarah Gereja Mula-Mula sampai Abad Pertengahan
Pendidikan klasik juga adalah pendidikan yang dikecap oleh Bapa-bapa Gereja. Origen dari Alexandria, Yohanes Chrysostom, Augustinus: mereka semua dididik dalam metode pendidikan klasik. Mereka mendalami sejarah dan literatur-literatur Yunani dan Romawi dan mempergunakan kemampuan mereka untuk melayani di dalam Kerajaan Allah. Augustinus melihat pendidikan klasik seperti harta orang Mesir yang diberikan oleh Allah kepada orang Israel untuk dijadikan perabotan di dalam kemah Allah (“Tentang Pengajaran Kristen”, Buku II, 40). Sekalipun banyak pemikiran Yunani dan Romawi yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip firman Allah, para Bapa Gereja bergumul untuk menginterpretasi ulang pemikiran-pemikiran tersebut dari kerangka wahyu Allah.

Di dalam awal Abad Pertengahan, pendidikan klasik dibakukan oleh Cassiodorus menjadi dua bagian: pendidikan dasar yang disebut trivium dan pendidikan lanjutan yang disebut quadrivium – keseluruhannya disebut sebagai septem liberal artes. Trivium mencakup pendidikan grammar (tata bahasa dan literatur), dialectics (kemampuan berargumentasi dengan alur logika yang tepat), dan rhetorics (kemampuan menyampaikan argumentasi dengan elok). Augustinus mengatakan bahwa retorika mencakup tiga unsur: docere (mengajarkan kebenaran), delectare (menyampaikan keindahan), dan movere (menggerakkan seseorang kepada satu pengambilan keputusan). Quadrivium mencakup aritmetika, geometri, musik, dan astronomi. Inti dari pembagian trivium dan quadrivium adalah bahwa ketepatan dan kekayaan penggunaan bahasa merupakan modal dasar yang terpenting untuk memajukan bidang-bidang kebudayaan yang lain.

Kelahiran Kembali Pendidikan Klasik melalui Para Humanis Kristen di Zaman Renaissance
Pendidikan klasik sempat dirundung awan gelap skolastisisme di akhir Abad Pertengahan, namun pendidikan klasik ditemukan kembali oleh para humanis Kristen di abad ke-15 M. Humanisme di sini dimengerti bukan sebagai arus sekuler atheistik yang meninggikan manusia, tetapi sebagai gerakan yang menghidupkan kembali pengertian tentang humanitas dari teori pendidikan klasik. Jika para skolastik mempelajari berbagai pemikiran berdasarkan komentar-komentar yang turun-temurun tentang pemikir tersebut, para humanis ingin mengecap nikmatnya air segar yang memancar langsung dari mata air humanitas. Moto pembelajaran mereka adalah “ad fontes”, yang artinya, “menuju ke sumber”. Para humanis berhasrat untuk mempelajari literatur-literatur klasik Yunani-Romawi dan menghidupkan kembali potensi, kelincahan, dan keanekaragaman pemikiran dan budaya manusia.

Dengan penekanan semangat ad fontes ini, maka pendidikan klasik memiliki keunikannya sendiri dalam pembentukan kurikulum. Keunikan kurikulum pendidikan klasik adalah penekanannya terhadap historisitas dari setiap subjek pembelajaran, baik Trivium maupun Quadrivium. Misalnya, geometri atau astronomi dipelajari bukan hanya secara pengkategorian logis, tetapi juga dalam perspektif perkembangan bidang tersebut sepanjang sejarah, seperti air yang mengalir secara berkesinambungan dari sumbernya ke cabang-cabang sungai. Dengan demikian, para siswa dapat mengerti geometri atau astronomi sebagai hasil kontribusi banyak manusia yang bersifat kumulatif sepanjang sejarah untuk menemukan kebenaran-kebenaran matematis ataupun alamiah.

Tokoh humanis yang terkenal adalah Erasmus dari Rotterdam. Sekalipun di zamannya tengah muncul semangat nasionalisme yang mempertajam batasan budaya antarbangsa, Erasmus memilih untuk menjadi seorang kosmopolitan: ia memilih untuk mempelajari berbagai kekayaan peradaban manusia dan tidak mau dikungkung oleh kesempitan pengetahuan suatu bangsa saja. Ia ingin menjadi warga negara dunia (the citizen of the world).

Dalam esainya mengenai pendidikan anak, “De Pueris Instituendis” (Tentang Pendidikan Anak-Anak), Erasmus mengangkat berbagai ide pendidikan humanitas dari Cicero. Erasmus sangat memerhatikan perkembangan psikologi anak, pentingnya penguasaan bahasa Yunani dan Latin sejak kecil, pentingnya teladan moral dan perilaku dari orang tua, dan mengangkat banyak aspek relasional yang terkubur di dalam teori pendidikan skolastik. Misalnya, Erasmus mengangkat pentingnya kasih di dalam pendidikan anak. Ia menulis, “Ketakutan tidaklah mungkin manjur di dalam pendidikan: bahkan orang tua pun tidak bisa melatih anak mereka dengan motif ini. Kasih haruslah menjadi pengaruh mula-mula dalam diri anak; lalu diikuti dan diakhiri dengan rasa hormat yang penuh kepercayaan dan rasa sayang. Semua ini menghasilkan ketaatan dengan jauh lebih pasti daripada pendidikan melalui ancaman” (Erasmus, 504A).

Satu hal yang membedakan ide pendidikan klasik Erasmus dibandingkan dengan Cicero adalah penekanan Erasmus tentang kewajiban terhadap Allah. Bagi Cicero, kewajiban terhadap negara adalah kewajiban tertinggi dari tiap individu. Namun bagi Erasmus, tidak ada konflik antara kewajiban terhadap Allah, negara, maupun terhadap diri. William H. Woodward, dalam bukunya, “Erasmus – Tujuan dan Metode Pendidikan”, menulis tentang ideal pendidikan humanis menurut Erasmus, “Tujuan akhir humanisme tercapai ketika rasa tanggung jawab terhadap diri, terhadap komunitas, dan terhadap Allah, dinyatakan sebagai tiga aspek dari ideal yang satu dan sama” (“Erasmus – Mengenai Tujuan dan Metode Pendidikan, hlm. 160).

Di dalam atmosfer pendidikan jenis humanis inilah para reformator seperti Luther, Zwingli, dan Calvin bertumbuh. Mereka mendapatkan berkah dari buah karya Erasmus untuk mempelajari literatur-literatur Yunani-Romawi secara langsung, dan dari keahlian tersebut mereka juga dapat mempelajari firman Tuhan di dalam bahasa aslinya dan dengan metode interpretasi yang lebih tepat. Martin Luther menulis dalam satu suratnya kepada seorang humanis Jerman yang bernama Eobanus Hessus, “Saya sendiri yakin bahwa tanpa pembelajaran humanitas, theologi yang murni tidak mungkin dapat berdiri, seperti halnya telah terjadi sepanjang sejarah sampai sekarang ini: ketika pembelajaran humanitas lemah dan rusak, theologi juga merosot dan terabaikan. Saya menyadari bahwa tidak ada pengertian yang limpah akan firman Allah kecuali Allah mempersiapkan terlebih dahulu kebangkitan pengertian akan bahasa-bahasa dan pembelajaran, sama seperti persiapan yang dilakukan oleh Yohanes Pembaptis. … Saya tentu mengharapkan adanya kebangkitan penyair-penyair maupun orator-orator, karena saya menyadari bahwa hanya melalui pembelajaran yang demikianlah orang-orang dipersiapkan secara luar biasa untuk mengerti kebenaran-kebenaran sakral, dan juga untuk mengaplikasikannya dengan terampil dan sukses.”

Bagi para humanis, tidak ada kontradiksi antara kasih terhadap Allah dan kasih terhadap manusia, maupun antara Kristus dengan kebudayaan. Kasih yang benar terhadap Allah terekspresikan di dalam kasih terhadap manusia. Meninggikan Kristus berarti mengejar kesempurnaan di dalam kebudayaan manusia di dalam kerangka pengertian kerajaan Allah. Jika para pendidik skolastik meninggikan pengertian logika dan kemampuan analisis deduksi manusia, pendidik humanis merangkum tujuan pendidikan sebagai sapiens atque eloquens pietas (kesalehan yang bijak dan elok) yang berpusat kepada pembentukan kemanusiaan yang utuh.

Senja Pendidikan Klasik
Pendidikan humanis ini, di dalam segala keterbatasan pengaplikasiannya, terus berkembang, sampai realitas Revolusi Industri memojokkan keberadaannya. Revolusi Industri membutuhkan banyak tenaga kerja yang siap untuk menjalankan mesin, dan tekanan ekonomi mendorong banyak orang untuk belajar supaya mereka dapat menjadi buruh pabrik. Pendidikan kejuruan muncul sebagai jawaban terhadap kebutuhan tersebut. Di negara-negara berkembang, jurusan teknik diagungkan oleh pemerintah dan dibutuhkan oleh pabrik, sehingga dianggap lebih penting daripada pembentukan manusia yang utuh seperti dalam pendidikan humanitas. Namun Karl Marx melihat kejahatan dehumanisasi dari sistem kapitalisme seperti ini. Manusia tidak lagi dianggap sebagai manusia, tapi sebagai modal untuk memperbesar keuntungan pemilik modal. Banyak orang terkungkung di dalam pabrik dan terpisah dari potensi alamiahnya untuk memperkembangkan kekayaan kebudayaan manusia. Di dalam situasi yang demikian, tidak banyak orang yang sadar bahwa mereka telah kehilangan dignitas kemanusiaannya. Mereka terjebak dalam sistem ekonomi yang demikian dan tidak sadar bahwa “manusia hidup bukan dari roti saja”. Hal ini membuat pendidikan klasik sulit untuk berkembang di masa sekarang ini. Pendidikan klasik yang bertujuan untuk memanusiakan manusia akhirnya terkubur oleh pragmatisme zaman yang mengesampingkan humanitas.

Analisis Theologis terhadap Tujuan Pendidikan Klasik
Teori pendidikan klasik memiliki ketahanan uji di dalam sejarah karena teori ini mengandung banyak unsur anugerah umum (common grace) di dalamnya. Penekanan pendidikan klasik tentang humanitas, harmonisasi antara individu dan komunitas, perhatian terhadap perkembangan kebudayaan manusia: semua ini adalah hal-hal yang baik yang Allah inginkan di dalam ciptaan-Nya.

Firman Tuhan berkata bahwa manusia adalah gambar dan rupa Allah, ciptaan dengan kemuliaan yang tertinggi melampaui segala ciptaan Allah yang lain. Manusia diberikan potensi oleh Allah untuk berkembang secara intelektual, estetika, dan etika. Secara intelektual, manusia diberikan kapasitas dan kehausan untuk mengejar kebenaran (truth). Secara estetika, manusia diberikan kapasitas dan kehausan untuk mengejar keindahan (beauty). Secara etika, manusia diberikan kapasitas dan kehausan untuk mengejar kebaikan (goodness). Kebenaran, keindahan, dan kebaikan adalah tiga aspek transendental yang hanya dapat ditemukan di dalam diri Allah. Ketika manusia mengejar kebenaran, keindahan, dan kebaikan, manusia mengaktualisasikan potensinya dan mendapatkan kenikmatan yang tertinggi. Bapa Gereja Augustinus mengatakan, “Engkau menciptakan kami untuk Diri-Mu, oh Tuhan, dan hati kami terus-menerus gelisah sampai kami mendapatkan peristirahatan di dalam-Mu” (Pengakuan-Pengakuan, Buku I). Pendidikan Kristen tidak terbatas kepada kepentingan-kepentingan duniawi saja, tapi berujung kepada diri Allah sendiri sebagai Sang Kebenaran, Sang Keindahan, dan Sang Kebaikan. Dan humanitas yang sejati ini hanya dapat kita dapatkan di dalam Kristus, Allah yang menjadi manusia dan membawa kita kepada Bapa.

Pendidikan yang menekankan kemanusiaan secara utuh lebih baik daripada pendidikan yang menekankan satu sisi kehidupan manusia saja (misalnya, seperti penekanan aspek intelektual saja dalam pendidikan versi Platonis atau Skolastik). TUHAN Allah sendiri menciptakan jiwa manusia yang memiliki tri-fungsi cognition (pengertian), affection (perasaan), dan volition (kehendak), yang ketiganya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. G. I. Williamson, dalam penjelasannya mengenai Katekismus Singkat Westminster, menghubungkan tri-fungsi dari jiwa manusia ini dengan fungsi nabi, imam, dan raja di dalam Theologi Reformed. Ketika fungsi cognition saja yang ditekankan di dalam pendidikan, maka pendidikan tersebut sedang melakukan dehumanisasi, karena menekan aspek-aspek lain dari jiwa manusia sebagai gambar Allah.

Penekanan tentang humanitas juga membuat pembelajaran manusia bersifat universal dan tidak terkotak-kotakkan oleh nasionalisme, politik, ras, ataupun status ekonomi. Hal ini kontras dengan perspektif pendidikan pedagogi kritis (critical pedagogy) yang dikembangkan oleh seorang pemikir dan pendidik Marxist, Paulo Freire, di abad ke-20. Freire menulis satu buku pendidikan yang terkenal yang berjudul “Pedagogy of the Oppressed” (Pedagogi dari Kaum yang Tertindas). Di dalam buku itu, Freire terlalu menekankan bahwa setiap pengetahuan bersifat politis, dikontrol oleh dinamika konflik antarkelas di dalam sistem dialektika antara the oppressor (si penindas) and the oppressed (si tertindas). Dengan penekanan bahwa knowledge is power (pengetahuan adalah kuasa), setiap subjek pembelajaran dilihat dengan kecurigaan akan tindakan penindasan dari sang pengajar. Dengan semangat yang demikian, pembelajaran kehilangan universalitasnya dan direduksi sebagai permainan kekuasaan. Padahal Alkitab mengajarkan bahwa Allah menyatakan kebenaran kepada setiap manusia, baik Kristen maupun non-Kristen, sekalipun setiap orang merespons kebenaran-kebenaran yang Allah wahyukan secara berbeda. Di dalam perspektif Kristen, kebenaran memiliki objektivitas yang melampaui permainan kekuasaan manusia. 1+1=2 itu benar, sekalipun diajarkan oleh penjajah maupun oleh orang yang tertindas.

Salah satu hal yang menjadi potensi kebahayaan dalam pendidikan klasik adalah penekanan tentang humanitas tanpa referensi kepada Allah, yang adalah pemberhalaan manusia. John Calvin berkata bahwa memang “natur manusia adalah pabrik berhala” (Pendidikan Kesalehan Kristen, Buku I, 11.8). Pemberhalaan terjadi ketika gambar Allah dijadikan Allah. Bagi orang Kristen, tidak ada kontradiksi antara perintah “mengasihi Allah” dengan “mengasihi manusia”. Jika kita mengasihi Allah, maka kita pasti mengasihi manusia yang adalah gambar Allah. Secara logika kontraposisi, maka ketika kita tidak mengasihi manusia, itu artinya kita sedang tidak mengasihi Allah. Namun ketika kita mengasihi manusia tanpa referensi kepada Allah, kita sedang melakukan pemberhalaan. Inilah pendidikan klasik versi Yunani-Romawi. Mereka meninggikan manusia dan kebudayaan manusia di dalam semangat pembangunan menara Babel.

Di sisi lain, adalah suatu kesalahan fatal ketika orang Kristen membuang sama sekali prinsip-prinsip yang baik dari pendidikan klasik hanya karena asal-muasalnya yang bersifat non-Kristen. Pdt. Billy Kristanto, mengutip satu peribahasa, mengatakan, “Jam yang mati saja bisa betul dua kali di dalam satu hari.” Ketika orang Kristen tidak dengan rendah hati belajar dari anugerah umum yang berada di dalam kebudayaan-kebudayaan dunia yang lain, orang Kristen sedang menggali kuburan sendiri di dalam isolasinya dari dunia. Jika kita percaya doktrin providensia Allah, maka kita harus percaya bahwa Allah pun sedang bekerja di dalam kebudayaan-kebudayaan non-Kristen untuk menyatakan kebenaran-Nya secara tidak langsung kepada kita. Tentu yang menjadi penting bagi kita adalah bagaimana kita mengenal (to discern) kebenaran-kebenaran umum tersebut melalui otoritas ultimat Alkitab sebagai firman Tuhan.

Alkitab juga menekankan bahwa perkembangan manusia terjadi di dalam harmonisasi individu dan komunitas. Dasar theologis dari prinsip penting ini adalah Allah Tritunggal. Di dalam kekekalan, Allah adalah satu komunitas dengan tiga Pribadi yang berbeda (distinct) satu dengan yang lain: Sang Bapa, Sang Anak, dan Sang Roh Kudus. Sekalipun ketiga Pribadi Allah berbeda satu dengan yang lainnya, setiap Pribadi tinggal di dalam Pribadi yang lain (mutually indwell), sehingga terdapat ikatan kasih yang erat antara satu dengan yang lain. Ketiga Pribadi tersebut memiliki tujuan yang satu, karena Dia memiliki esensi yang satu.

Ketika Allah menciptakan manusia, maka manusia sebagai gambar Allah juga diciptakan untuk hidup sebagai individu-individu yang berbeda, tetapi harmonis satu dengan yang lainnya. TUHAN Allah berkata bahwa “tidak baik manusia itu hidup seorang diri saja” (Kej. 2:18). Setiap individu bertumbuh dengan baik hanya jika individu tersebut bertumbuh di dalam komunitas, dan komunitas hanya dapat berkembang dengan baik ketika individu-individu yang ada di dalamnya bertumbuh dengan baik. Individu tidak ditelan di dalam komunitas seperti konsep Republik Plato yang bersifat otoritarianisme, dan komunitas juga tidak diabaikan seperti dalam kehidupan individualisme modern yang bersifat otonom dan independen sejak Abad Pencerahan.

Perhatian pendidikan klasik terhadap perkembangan kebudayaan manusia juga merupakan satu hal yang sangat didukung oleh prinsip Alkitab. Di dalam taman Eden, sebelum jatuh ke dalam dosa, manusia sudah diperintahkan oleh TUHAN Allah untuk “memelihara dan mengusahakan taman itu”. Artinya, manusia memiliki kewajiban untuk bekerja di dalam pembudidayaan ciptaan Allah melalui berbagai potensi yang TUHAN Allah berikan sebagai respons ibadahnya kepada-Nya. Jika sekalipun Adam tidak jatuh ke dalam dosa, TUHAN Allah memang menginginkan perkembangan kebudayaan manusia untuk kemuliaan Nama-Nya. TUHAN Allah menginginkan manusia mengelola taman Eden untuk dijadikan kota Yerusalem yang kaya dengan kebudayaan manusia. Dan sekalipun sekarang manusia telah jatuh ke dalam dosa, perintah TUHAN Allah di dalam Kejadian 1 dan 2 tidaklah terbatalkan. Penebusan adalah proses pemutarbalikan kutuk terhadap ciptaan akibat dosa, sehingga perkembangan kebudayaan dapat kembali kepada posisinya yang semula: bukan sebagai kebanggaan Babel yang melawan TUHAN Allah, tetapi sebagai wujud ibadah manusia untuk memuliakan Allah. Maka setiap bentuk perkembangan kebudayaan, baik di dalam lingkungan Kristen maupun non-Kristen, harus menjadi minat bagi kita untuk membawanya kembali kepada posisi dan perspektif yang benar dalam kaitan dengan Kerajaan Allah. Di akhir zaman nanti, ketika Tuhan Yesus Kristus datang kembali sebagai Raja dunia, “Kerajaan-kerajaan dunia” tidak dimusnahkan, tetapi ditaklukkan “menjadi Kerajaan Allah dan Sang Kristus, dan Ia akan memerintah sebagai Raja selama-lamanya” (Why. 11:15). Segala bentuk kebudayaan manusia ditebus kembali menjadi milik Kristus, Sang Pencipta dan Penebus, untuk kemuliaan Allah Bapa.

Dalam hal perkembangan kebudayaan, pendidikan klasik sangat kontras dengan pendidikan modern yang cenderung menghina hal-hal penting di dalam sejarah kebudayaan. Kata ‘jadul’ (singkatan dari ‘zaman dahulu’) dalam bahasa populer memiliki konotasi yang negatif, digunakan untuk mengejek orang yang tidak mengikuti perkembangan zaman. Manusia modern mengasumsikan bahwa sejarah selalu berkembang dengan progresif, padahal perubahan-perubahan dalam sejarah bisa saja bersifat progresif maupun regresif. Darwinisme telah menjadi worldview (pandangan dunia) yang menganggap bahwa yang baru selalu lebih baik dari yang lama. Padahal, Salomo dalam kitab Pengkhotbah mengajarkan bahwa justru sering kali perubahan dalam kebudayaan terlihat siklikal, karena manusia mengulang-ngulang kesalahan yang terjadi di dalam sejarah. Baru atau lama tidak bisa menjadi patokan kebenaran.

Namun pendidikan klasik menghargai tradisi dari masa lampau karena pendidikan klasik mau belajar dari kesalahan masa lalu dan mau membangun masa depan yang lebih baik. Prinsip ini sejalan dengan prinsip Reformasi ecclesia reformata semper reformanda, yang artinya gereja reformasi selalu direformasi. Kritik terhadap diri yang belum sempurna, untuk berkembang menuju kesempurnaan, adalah satu prinsip Alkitabiah, karena Allah pun menginginkan kesempurnaan kita di dalam Kristus. Paulus berkata bahwa “Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia … untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya” (Rm. 8:28-29). Adalah ketetapan TUHAN Allah sejak dalam kekekalan, “sesuai rencana kerelaan-Nya, … untuk mempersatukan di dalam Kristus sebagai Kepala segala sesuatu, baik yang di sorga maupun yang di bumi” (Ef. 1:9-10).

Penutup
Artikel ini telah membahas dengan sekilas sejarah singkat tentang pendidikan klasik dan mengangkat beberapa hal positif yang patut dipertahankan di dalam pendidikan Kristen. Hal-hal positif tersebut membuat pendidikan klasik bertahan lama di dalam sejarah. Jika dibandingkan dengan pendidikan modern yang mereduksi manusia, cenderung pragmatis, dan terlalu banyak terkotak-kotak oleh urusan politik, pendidikan klasik bersifat superior dengan penekanannya akan humanitas. Namun demikian, kita juga perlu mewaspadai kecenderungan semangat menara Babel yang memberhalakan manusia di dalam pendidikan klasik.

Penulis merekomendasikan beberapa bacaan di bawah ini untuk pembaca dapat mempelajari lebih lanjut mengenai pendidikan klasik. Adalah harapan penulis yang terdalam bahwa pendidikan klasik dapat ditemukan dan dihidupkan kembali di dalam pendidikan Kristen di Indonesia.

Bacaan yang direkomendasikan, diurutkan berdasarkan prioritas subjektif penulis:

  • Classical Education”, oleh Herman Bavinck di dalam buku “Essays on Religion, Science and Society”, penerbit Baker, 2008.
  • Lutheran Education: From Wittenberg to the Future”, oleh Thomas Korcok, penerbit Concordia, 2011.
  • On Christian Doctrine”, oleh Augustinus, http://www9.georgetown.edu/faculty/jod/augustine/ddc.html.
  • Institutio Oratoria”, oleh Marcus Fabius Quintilianus, http://rhetoric.eserver.org/quintilian/.
  • De Pueris Instituendis”, oleh Desiderius Erasmus, dalam buku “Erasmus: Concerning the Aim and Method of Education”, oleh W. H. Woodward, penerbit Cambridge University Press, 1904.
  • On the Ideal Orator”, oleh Cicero, penerbit Oxford University Press, 2001.
  • Roman Education”, oleh Aubrey Gwynn S. J., penerbit Russel and Russell, 1964.

Andi S. Rasak
Jemaat GRII Bandung
Guru di Cahaya Bangsa Classical School

Endnotes:
[1] Baca dialog “Meno” karangan Plato (Terjemahan: Adam Beresford dan Lesley Brown, Penguin 2006).