, ,

Menjadi Seorang (Pemuda) Reformed Injili: Sebuah Refleksi Pribadi

Sebagian besar dari Anda mungkin mengetahui lagu yang berjudul “Dia Pusat Hidupku”, KPRI nomor 99. Dalam teks bahasa Inggrisnya, kalimat “What is that to me?” diulang dua kali. Penulis lagu selalu berusaha untuk mengaitkan pekerjaan Tuhan dengan makna eksistensial bagi dirinya. Ketika saya melihat kebesaran tangan Tuhan dalam alam ciptaan, apa artinya itu bagi saya? Ketika saya melihat pekerjaan Allah Bapa yang mengutus Anak-Nya, Yesus Kristus, turun ke dalam dunia menyelamatkan manusia berdosa, apa artinya bagi saya? Terinspirasi dari hal ini, saya pun menanyakan hal yang sama terhadap Gerakan Reformed Injili: Apa arti Gerakan Reformed Injili bagi saya? Apa artinya menjadi seorang yang disebut “Reformed Injili”, atau lebih tepatnya menjadi seorang pemuda Reformed Injili? Artikel ini sebenarnya bukan hanya ditujukan kepada kaum muda, tetapi bagi semua yang merasa dirinya adalah bagian dari Gerakan Reformed Injili. Bagi saya, menjadi seorang pemuda Reformed Injili berarti:

Menjadi Orang yang 180° Berbalik dari Dunia kepada Tuhan
Ada satu pepatah yang menyatakan, “Anda tidak dapat berdiri di atas dua kapal yang berbeda.” Yesus pun berkata dalam Lukas 16:13, “Seorang hamba tidak dapat mengabdi kepada dua tuan…. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada mamon.” Ketika kita menyatakan percaya kepada Yesus Kristus, bertobat sungguh-sungguh di hadapan Tuhan, maka pada saat itulah kita berbalik 180O – salib di depan, dunia di belakang. Tuntutan ini tentu saja bukan hanya berlaku bagi kita sebagai pemuda/i Gerakan Reformed Injili, namun bagi semua orang percaya. Kita mungkin berpikir “Kristus kupeluk oleh tangan kananku dan dunia kupeluk oleh tangan kiriku.” Jangan pernah sekali-kali berpikir bahwa kita dapat memeluk Kristus dan dunia di saat yang sama. Pdt. Benyamin Intan beberapa kali menekankan dalam khotbahnya, “Kristus tidak bisa dimadu!” Mengapa banyak pemuda-pemudi yang mengaku percaya Kristus dan ada dalam Gerakan Reformed Injili, namun masih mengikuti pola hidup dunia yang hedonis? Karena berpikir bahwa Yesus Kristus hanya untuk urusan keselamatanku di sorga nanti; untuk urusan dunia, ya itu bagianku.

Saya pun pernah mengalami hal ini. Ada satu masa di mana saya dengan bodohnya berpikir, “Ya aku sih percaya Yesus adalah Tuhan dan Juru selamat hidupku, tapi untuk urusan baju ya gak apa-apa lah ikut tren. Apa salahnya sih ikutin tren? Kita kan harus update!” Argumen ini sebetulnya didasarkan pada keinginan diri yang masih ingin berpaut pada dunia: saya masih ingin dunia “melihat saya” dari apa yang saya pakai. Bukan hanya masalah baju, dapat pula berupa kebiasaan-kebiasaan lama kita yang berdosa dan duniawi. Akhirnya pada satu titik tertentu, saya menyadari, hal ini tidak dapat dilanjutkan. Kita tidak dapat berjalan terus ke depan bersama Tuhan apabila kita masih suka menengok ke belakang, kepada “Sodom dan Gomora” kita masing-masing yang berisi segala keberdosaan dan keduniawian itu.

Menjadi Orang yang Rela Taat, Memikul Salib, dan Melewati Jalan yang Sempit
Sering kali ketika kita memilih untuk hanya memandang kepada Tuhan dan meninggalkan segala keduniawian di belakang, yang kita hadapi bukanlah kemudahan namun kesulitan demi kesulitan. Apalagi ketika kita masuk dalam Gerakan Reformed Injili, tuntutan itu semakin banyak dan besar. Khotbah-khotbah Reformed yang baik dan seringkali begitu mengoreksi di satu sisi adalah berkat besar bagi kita yang ada dalam gerakan ini, namun di sisi lain membuat kita harus semakin memerhatikan bagaimana kita hidup: Apakah firman itu sudah dikerjakan? Apakah kita sudah menaati firman yang diberitakan? Saya pernah merasa, “Gila ya jadi orang Reformed hidup malah tambah susah. Gak boleh inilah, gak boleh itu. Musti begitu, musti begitu.”

Salah satu ciri orang yang bertumbuh adalah memiliki kepekaan yang semakin besar terhadap dosa yang makin kecil. Akhirnya kita semakin menyadari bahwa ada banyak kebiasaan-kebiasaan lama yang harus ditinggalkan dan ada banyak hal yang perlu kita lepas dalam hidup kita. Bagi saya, di sinilah salah satu letak kesulitannya. Inilah salib yang kita harus pikul setiap hari. Inilah jalan sempit yang kita harus lewati. Mengapa salib dan jalan yang sempit? Karena natur manusia berdosa selalu mendorong kita untuk melakukan apa yang kita mau, apa yang kita sukai, dan bukan apa yang Tuhan kehendaki. Maka sebagai orang-orang yang ada dalam gerakan ini, yang sudah beribu-ribu kali mendengarkan firman Tuhan dan berkecimpung dalam pelayanan, tidak ada cara lain selain kita menjadi orang yang rela untuk taat. Jangan sekali-kali kita iri dengan orang-orang di luar sana yang sepertinya sangat menikmati hidup dan tidak memiliki beban sama sekali. Ingatlah bahwa jalan yang mereka tempuh adalah kebinasaan (dan ingatlah bahwa kita memiliki tanggung jawab untuk menginjili mereka). Ingat bahwa Yesus Kristus tidak menjanjikan sorga dan jalan yang lebar. Hendaknya kita meminta kepada Tuhan kerelaan hati untuk menaati setiap kehendak-Nya, bahkan untuk urusan yang sifatnya sehari-hari sekalipun.

Menjadi Orang yang “Ekstrem” tetapi Tidak Jatuh pada Satu Ekstrem
Ketika kita memilih untuk menjadi orang yang taat dan hanya taat pada Tuhan, sering kali kita terlihat “ekstrem” di mata dunia. Bahkan mungkin kita akan dicap fanatik dan fundamentalis. Akan tetapi memang itulah yang benar dan sepatutnya dikerjakan oleh setiap orang percaya. Itulah hal yang normal dilakukan, namun dunia ini menganggapnya sebagai suatu hal yang abnormal. Kita perlu mengganti kacamata kita, bukan lagi dengan kacamata dunia melainkan kacamata Tuhan. Orang percaya tidak dipanggil untuk menjadi suam-suam kuku dan mengikuti Tuhan dengan setengah-setengah – tidak ada zona netral. Apalagi kita yang berada dalam gerakan ini. Akan tetapi perlu diingat bahwa “menjadi ekstrem dalam mengikuti Tuhan” dengan “jatuh kepada satu ekstrem” adalah dua hal yang berbeda.

Sebagai orang Reformed Injili, kita tidak dipanggil untuk menjadi orang yang jatuh ke dalam satu ekstrem. Oleh karena itulah, gerakan ini dinamai “Reformed” dan “Injili”. Di satu sisi kita memegang tradisi doktrin yang kuat, di sisi lain kita memiliki api penginjilan yang berkobar-kobar. Kita tidak terlalu kaku, kolot, dan seperti tidak bernyawa, tapi juga tidak terlalu menggebu-gebu tanpa dasar dan pengertian. Kita memegang teguh tradisi dan prinsip-prinsip yang sesuai dengan Alkitab, namun juga dinamis dalam melihat perubahan zaman dan konteks di mana kita berada.

Menjadi Orang yang Berpikir Kritis dan Tajam, namun juga Berhati Hangat dan Lembut
Masih sejalan dengan poin sebelumnya, menjadi seorang Reformed Injili berarti menjadi orang yang rasional sekaligus memiliki hati yang penuh compassion. Otak dan hati harus sama-sama bertumbuh. Sering kali orang-orang Reformed mengisi otaknya dengan begitu banyak seminar, program intensif, kuliah intensif, pendalaman Alkitab, dan sebagainya. Maka dari itu biasanya orang Reformed sangat peka dengan sesuatu yang dirasa tidak benar. Kita sangat peka dengan kesalahan logika berpikir dari lawan debat kita, kita juga mudah mendeteksi pengajaran yang salah atau penafsiran Alkitab yang tidak sesuai. Otak kita sudah diasah dengan begitu baik dan begitu tajam untuk mengkritisi sesuatu. Namun jika kita tidak memiliki kasih, kita akan menjadi “polisi-polisi doktrin”. Yang dikhawatirkan adalah akhirnya kita lebih mirip Farisi daripada Yesus Kristus. Kita menghafal begitu banyak ayat Alkitab, membaca buku-buku yang berat, mengetahui begitu banyak theolog-theolog dan ajarannya. Namun kita tidak memiliki kepekaan terhadap pergumulan orang lain dan tidak mau tahu dengan persoalan yang terjadi dalam satu tubuh Kristus. Kita juga kurang memberikan sambutan yang hangat kepada orang-orang yang baru bergabung misalnya. Jangan sampai sikap kita yang begitu dingin itu menjadi batu sandungan bagi orang lain yang sebenarnya memiliki hati untuk gerakan ini, namun karena melihat kita sebagai orang dalam yang tidak memiliki hati, akhirnya mundur.

Menjadi Orang yang Militan dan Produktif namun juga Kontemplatif
Poin ini pun juga adalah penjabaran dari poin sebelumnya, yaitu tidak jatuh pada satu ekstrem tertentu. Kita mengetahui betapa banyaknya acara, event, dan program yang diadakan dalam Gerakan Reformed Injili setiap tahunnya. Sebagai seorang pemuda-pemudi yang militan, kita begitu giat mengikuti setiap event tersebut. Kita aktif memberi diri masuk ke dalam kepanitiaan-kepanitiaan yang ada. Hari-hari kita begitu dipenuhi dengan kesibukan acara-acara gereja, seminar, konser, KPIN, KKR Regional, belum lagi perayaan-perayaan seperti Natal, Paskah, dan sebagainya. Namun masihkah kita duduk diam di hadapan Tuhan, merenungkan kebenaran firman Tuhan dalam Alkitab, saat teduh pribadi, dan berlutut untuk berdoa syafaat pribadi? Bagaimana dengan kehidupan spiritualitas kita yang ada “di belakang layar” dan tidak menjadi sorotan orang lain?
Jika hidup adalah panggung sandiwara, maka kita adalah aktor-aktor yang begitu terlihat rajin dan aktif di atas panggung, dengan mata penonton yang semua tertuju kepada kita. Akan tetapi ketika kita sudah turun dari panggung itu, kita menjadi pribadi yang berbeda – karena yang tadi hanyalah sebatas “akting”. Sebenarnya dari sedalam-dalamnya hati kita, kita tidak benar-benar tergerak untuk mengikuti event-event tersebut. Kita hanya mengikuti begitu banyak event sebagai perilaku kolektif saja: karena banyak orang yang terlibat dan ikut, maka saya juga mau ikut. Kalau acara-acara yang gede, itu baru namanya pelayanan! Kita terlihat begitu militan dan produktif. Namun sebenarnya kita keropos. Mengapa? Karena kita secara pribadi tidak menjaga relasi intim dengan Tuhan yang kita layani. Ibarat hubungan keluarga, kita hanya melakukan aktivitas-aktivitas bersama, namun sebenarnya tidak memiliki ikatan relasi yang sejati.

Menjadi Orang yang Utuh dan Hidup secara Holistik
Mungkin beberapa dari kita agak alergi dengan kata “holistik” karena mengasosiasikannya dengan pengobatan-pengobatan alternatif dan New Age Movement. Yang saya maksudkan dengan holistik di sini adalah bagaimana menjadi seseorang yang betul-betul utuh, tidak terfragmentasi. Tidak ada satu aspek kehidupan pun dalam hidup kita yang Tuhan tidak bertakhta di atasnya. Aspek rohani, akademis, relasional, dan setiap aspek kehidupan kita menjadi ibadah di hadapan Tuhan. Kita bisa melihat kaitan antara theologi dengan ilmu pengetahuan yang kita pelajari di bangku kuliah. Kita bisa menerapkan prinsip-prinsip theologi dalam bidang pekerjaan kita, dalam relasi antar sesama, dan aspek-aspek hidup lainnya. Hidup kita memiliki kaitan antara satu aspek dengan yang lainnya, di mana theologi dan relasi kita dengan Tuhan menjadi dasar segala sesuatu. Apa yang ada di dalam diri dengan di luar sama, apa yang kita pelajari secara kognitif tidak mandek dalam otak kita saja namun terpancar keluar melalui perkataan dan tindakan kita. Sehingga dalam situasi apa pun, kita tetap adalah seorang “Reformed Injili” yang tidak memiliki “identitas ganda”. Jangan sampai kita terlihat seperti malaikat di gereja, namun lebih mirip setan ketika ada di luar gereja.

Menjadi Orang yang Tidak Terpusat pada Diri tetapi juga Lebih Banyak Menuntut Diri
Dalam gerakan ini, kita diajar untuk tidak memikirkan diri. Diri bukanlah yang terpenting, hanya kehendak dan pekerjaan Tuhanlah yang harus mendapat tempat paling penting. Maka dari itu, menjadi seorang pemuda Reformed Injili berarti menjadi seseorang yang tidak lagi memikirkan keuntunganku, apa yang enak bagiku, apa yang aku sukai, dan apa yang aku mau lakukan. Di pihak lain, kita juga perlu lebih banyak memikirkan diri, dalam artian terus menerus menuntut diri. Berusahalah untuk lebih banyak menuntut diri terlebih dahulu baru menuntut orang lain. Ketika misalnya orang lain datang terlambat dalam ibadah, kita tidak memakai itu sebagai excuse bagi diri kita sendiri, namun juga tidak serta merta menghakimi orang tersebut. Tuntutlah diri terlebih dahulu untuk selalu datang tepat waktu dan disiplin. Lalu ketika misalnya dalam satu kesempatan kita sendiri yang gagal, berusahalah untuk tidak membela diri namun akui dengan rendah hati bahwa memang kita adalah manusia lemah yang senantiasa butuh anugerah Tuhan. Selain itu, kita juga perlu lebih menuntut diri untuk semakin belajar mengenal Tuhan dan tidak ada kata “cukup” dalam kamus hidup kita.

Menjadi Orang yang Berpikir Secara Global bagi Kerajaan Allah
Terakhir, menjadi seorang pemuda dalam Gerakan Reformed Injili adalah menjadi orang-orang yang memiliki cara pandang Kerajaan Allah, yang global, dan tidak antroposentris. Yang perlu ada dalam benak kita adalah apa yang saya bisa berikan bagi gerakan ini, bukan apa yang gerakan bisa berikan bagi saya. Kita perlu senantiasa bertanya pada Tuhan, di mana posisi saya dalam Kerajaan Allah? Apa yang menjadi panggilan saya secara spesifik? Dalam gerakan ini, kita diajarkan untuk menjadi orang-orang Kristen yang senantiasa memikirkan Kerajaan Allah dan kekekalan. Sehingga kita tidak akan memiliki waktu untuk mengerjakan hal-hal yang sama sekali tidak bernilai secara kekekalan.

Penutup
Kiranya melalui refleksi pribadi yang tidak sempurna ini kita dapat sekali lagi mengingat identitas kita sebagai pemuda-pemudi dalam Gerakan Reformed Injili. Bagi saya, berada dalam gerakan ini dan boleh terjun di dalamnya adalah anugerah Tuhan yang terlalu besar. Adalah hal yang sangat disayangkan apabila kita hanya menjadi penonton-penonton yang pasif dan tidak betul-betul mengenal gerakan di mana kita berada sekarang ini. Gerakan ini sesungguhnya terlalu penting dan tidak tentu akan terulang lagi dalam sejarah. Jangan sampai kita seperti tikus mati dalam lumbung padi – kita dikelilingi (bahkan dipenuhi) dengan berbagai macam anugerah, sarana, serta wadah yang baik namun kita tidak sadar dan akhirnya menyia-nyiakannya. Kiranya di tahun yang baru kita boleh sekali lagi menyadari keberadaan diri kita di dalam gerakan yang begitu mulia ini!

Izzaura Abidin
Pemudi GRII Pondok Indah