Pacaran dan Pernikahan: Tuntutan Sosial Semata? (Suatu Refleksi atas SPIK Keluarga 2019)

Urusan pacaran dan percintaan menjadi “tren” tersendiri di kalangan remaja seusia saya, seorang siswa SMA berusia 16-18 tahun. Bahkan, beberapa siswa sudah melakukannya sejak jenjang SMP! Berbagai latar belakang memengaruhi keinginan seseorang untuk berpacaran. Kebanyakan dari mereka (dan saya dulu) mungkin berpacaran karena sakit hati menerima tekanan sosial: dibilang jomblo, atau mencari tempat bernaung untuk mendapat perhatian. Itu semua tampaknya benar dan baik-baik saja di dalam ranah umum—it’s totally fine! Tampaknya tidak ada sanggahan ataupun bantahan yang cukup kuat untuk mengalahkan alasan-alasan tersebut. It’s normal and natural!

Isu ini kemudian mengganggu pemikiran saya, sehingga saya mencoba untuk menggali dan memahami lebih dalam agar dapat menemukan apa yang seharusnya dipikirkan oleh anak-anak seusia kami (dan orang-orang yang belum serius) sebelum berpacaran. Hal tersebut saya kaitkan dengan topik bahasan dalam sesi Vik. Heru Lin yang membahas kekeliruan konsep relasi pacaran dan pernikahan. Orang yang asal-asalan dalam berpacaran tidak mengerti makna relasi pacaran yang seharusnya menjadi pintu gerbang bagi jenjang pernikahan yang sesungguhnya. Mereka memberanikan diri mengikuti tren serta tuntutan sosial. Lingkup pemikiran yang pendek dan sempit menjadi salah satu alasan begitu mudahnya mereka terjerumus dalam konsep yang salah: nekat “berkomitmen” untuk pacaran demi memenuhi tuntutan sosial, psikologis, atau biologis semata.

Berbicara soal pacaran dan pernikahan, tidak jauh-jauh dari relasi. Yesus Kristus dalam Matius 22:34-40 membahas dengan sangat mendalam bahwa substansi utama Hukum Taurat dan kitab para nabi adalah relasi—relasi Allah dengan manusia dan manusia dengan sesamanya. Pacaran dan pernikahan sendiri merupakan relasi sesama manusia. Karena Kristus menyejajarkannya dengan relasi Allah dan manusia, pernikahan sebagai salah satu bentuk relasi sesama manusia tidak dapat dipandang sebagai sesuatu yang remeh. Keduanya, baik relasi vertikal (Allah dengan manusia) dan horizontal (manusia dengan sesamanya), sama-sama penting dan tidak dapat disegregasikan. Mengasihi Allah berarti mengasihi manusia, dan mengasihi manusia juga mengasihi Allah. Inilah sebabnya mengapa dalam menjalin relasi pacaran dan pernikahan, hal terpenting adalah hubungan tersebut harus didasarkan pada firman Tuhan.

Pacaran dan pernikahan: ditetapkan oleh Allah sendiri, menggenapi visi Allah
Dalam memandang pacaran dan pernikahan, Alkitab memiliki cara pandang yang begitu berbeda dengan cara pandang dunia. Alkitab menyatakan bahwa pernikahan merupakan bentuk relasi yang sangat serius: ditetapkan oleh Allah sendiri dan merefleksikan kemuliaan Allah.

Dalam pernikahan Adam dan Hawa, Tuhan sendiri yang mendampingi Hawa untuk bertemu dengan Adam. Apakah Anda dapat membayangkan, betapa agungnya pernikahan pertama tersebut? Saya membayangkan bagaikan dalam sebuah acara pernikahan, Allah sendiri yang menuntun Hawa, sang mempelai perempuan, untuk bertemu dengan Adam—pasangan sepadannya yang telah ditetapkan oleh Allah. Pernikahan Adam dan Hawa menjadi representasi persatuan laki-laki dan perempuan yang diciptakan sama tetapi berbeda secara ordo. Sama seperti Allah Tritunggal yang setiap pribadi-Nya memiliki kedudukan yang setara atau sama tetapi memiliki perbedaan di dalam ordo relasional.

Di balik semuanya ini, manusia mempunyai misi yang ditetapkan oleh Allah. Tujuan utama pernikahan adalah untuk menggenapi visi Allah. Visi Allah dikerjakan secara bersama-sama oleh laki-laki dan perempuan dalam pernikahan dengan serius karena menyatakan Allah Tritunggal, menggambarkan relasi Kristus dengan jemaat-Nya, karena itulah pertanggungjawabannya juga langsung di hadapan Tuhan.

Pacaran dan pernikahan: bukan mencari compatible soulmate
Sementara itu, salah satu survei yang dilakukan di Amerika Serikat menyebutkan bahwa persentase para single meningkat karena mereka merasa tidak pernah menemukan pasangan hidup yang sempurna. Namun, Alkitab dalam Roma 3:23 telah menyatakan dengan jelas bahwa setiap manusia telah berdosa dan kehilangan kemuliaan Allah. Relasi manusia dengan Allah telah tercemar oleh dosa, termasuk relasi sesama manusia. Namun, tidak hanya mencemari relasi sesama manusia, dosa juga menyebabkan konsep relasi itu sendiri ikut tercemar! Relasi antarmanusia yang seharusnya saling melengkapi satu dengan lainnya menjadi relasi yang cenderung mengarah kepada keegoisan. Jika relasi tersebut tidak dapat “menguntungkan diri”, kebanyakan manusia saat ini lebih memilih untuk menjaga jarak di dalam relasi tersebut. Akibatnya, relasi menjadi sebuah sarana di mana manusia berusaha untuk mencari keuntungan dari sesamanya.

Dalam zaman yang berbeda seperti saat ini, keluarga hampir tidak terlalu banyak ikut campur dalam pemilihan pasangan, sehingga perjodohan dalam pernikahan sudah sangat jarang ditemui dalam zaman ini. Ada begitu banyak pilihan! Banyaknya pilihan justru menimbulkan kegalauan: di antara ribuan orang yang ada, who is the most perfect soulmate for me? Konsep yang sangat bertolak belakang dengan Alkitab, mencari mana yang paling sempurna—konsep compatible soulmate—digaungkan oleh kebudayaan populer dan film-film Hollywood—your life will be perfect and you will live happily ever after if you find your soulmate! Namun, pada kenyataannya, tidak ada pasangan yang benar-benar sempurna, karena semua orang telah jatuh dalam dosa. Konsep yang salah ini menyebabkan orang begitu mudah menceraikan pasangannya, karena pasangannya jauh dari ekspektasinya—sebuah kesempurnaan yang mustahil dicapai oleh manusia yang sudah jatuh ke dalam dosa, temasuk dirinya sendiri. Pengharapan pernikahan yang nihil permasalahan dan pergumulan adalah angan-angan kosong belaka!

Sebagai orang Kristen, kita harusnya menyadari bahwa kesempurnaan itu hanya bisa dijalankan oleh Sang Juruselamat itu sendiri, bukannya oleh pasangan hidup kita. Alkitab menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan sejak awal diciptakan terpisah, sehingga problem antara laki-laki dan perempuan tidak terletak pada perbedaan ini. Problem utamanya adalah manusia terpisah dari Tuhan, Sang Sumber hidupnya. Manusia hanya bisa menjadi utuh kembali ketika kita bersekutu dengan Allah. Problem akan terjadi dengan sendirinya karena keduanya merupakan manusia berdosa, sehingga respons kita bukan tentang mencari who is the right one, tetapi justru mempersiapkan diri menjadi the right one sesuai dengan kebenaran firman Tuhan. Bukan menyalahkan pasangan kita, melainkan berefleksi pada diri sendiri terlebih dahulu. 

Pacaran dan pernikahan: refleksi kemuliaan Allah
Hubungan pacaran dan pernikahan—urusan relasional dalam hati yang serius—pasti terpancar keluar dan dapat diamati oleh orang-orang secara kasat mata. Pertanyaan yang terpenting dan harus terus-menerus direnungkan adalah, “Apakah melalui pacaran/pernikahan kita, orang lain makin kagum dan melihat kemuliaan Allah, atau justru sebaliknya, mempermalukan nama Tuhan? Apakah konsep relasi yang kita pegang sudah benar-benar berlandaskan firman Tuhan?”

Banyak sekali kisah pacaran atau pernikahan yang melalui pergumulan yang begitu berat, tetapi dalam relasi yang berat itu mereka tetap menggenapi pekerjaan Tuhan, karena konsep jelas yang mereka pegang: relasi pernikahan dilandaskan pada firman Tuhan. Melalui jatuh bangun relasi tersebut, Tuhan membentuk kita dan pasangan kita. Tuhan akan membentuk kita melalui proses yang diizinkan-Nya sehingga kesulitan ini layak diperjuangkan agar menjadi pengharapan yang indah. Melalui semangat bersandar kepada Tuhan, kita belajar survive dan bertahan baik dalam relasi pacaran maupun pernikahan yang fluktuatif. Selama kita terus berpegang pada prinsip utama, yakni Sang Kebenaran itu sendiri, ada sebuah kepastian yang kita pegang, yakni janji Allah Sang Pencipta yang senantiasa mengasihi kita. Ingatlah senantiasa bahwa marriage is from God and for God’s glory! Jadi, bagaimana? Masihkah kita mau bermain-main dan tidak memiliki keseriusan dalam menjalin relasi pacaran dan pernikahan?

Jason Axellino
Siswa SMAK Calvin