Pada edisi yang lalu sudah dibahas panjang lebar tentang situasi Abad Pertengahan yang menjadi konteks di mana Reformasi menetas. Abad Pertengahan didominasi oleh gereja sebagai jantung kehidupan masyarakat yang mengontrol kehidupan beragama, pendidikan, sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya. Secara akal manusia hampir tidak mungkin seorang biarawan yang tanpa pengaruh besar bisa memulai suatu gerakan yang mengguncangkan dominasi gereja yang begitu kuat dan mengakar bahkan hingga menggegerkan seluruh Eropa. Tidak dipungkiri peran Martin Luther sebagai aktor utama dalam panggung sejarah Reformasi. Namun ternyata Tuhan dengan campur tangan-Nya yang menguasai sejarah manusia juga memakai banyak sekali aktor dan juga situasi zaman untuk memulai Reformasi, yang akan kita lihat secara garis besar. Akan lebih kaya dan limpah ketika kita melihat dari kacamata multi-perspektif dibandingkan mono-perspektif yang melulu melihat hanya Luther yang jadi jagoannya.
Gerakan Reformasi tidak dimulai pada tahun 1517, bibit Reformasi sudah ditanam jauhhhh ratusan tahun sebelum buah Reformasi itu akhirnya muncul. Martin Luther bukan yang pertama dan juga bukan satu-satunya aktor dalam drama Reformasi. Genderang perang tuntutan Reformasi sendiri sudah ditabuh beberapa abad sebelumnya. Sebagai contoh, reformasi pernah dilakukan dalam tatanan monastik di Cluny di abad 10 dan 11 dengan tujuan menuntaskan korupsi dan juga mengurangi pengaruh campur tangan penguasa sekuler/feudal dalam hal monastik.
Kemudian di abad ke-12, muncul Gerakan Para Waldensia (juga dikenal sebagai Waldenses) mengambil nama mereka dari Peter Waldo, seorang pengkhotbah awam di Perancis. Bantahan dan oposisi mereka atas beberapa ajaran gereja saat itu adalah antara lain menentang doktrin api penyucian, doa untuk orang mati, dan juga membantah kewenangan penuh dari gereja untuk menafsirkan Alkitab. Gereja tidak tinggal diam, gerakan ini mengalami penganiayaan besar-besaran hingga habis lenyap di Perancis. Waldensia layu sebelum sempat berkembang.
Nama Peter Waldo ataupun Gerakan Waldensia mungkin terdengar asing bagi kebanyakan kita namun dua abad kemudian di Inggris, Tuhan membangkitkan seorang pendahulu Reformasi bernama John Wycliffe, yang sekarang dikenal sebagai Surya Fajar Reformasi (the morning star of Reformation). Ia lahir di Yorkshire sekitar 1324. Ia dididik di Oxford University dan menerima gelar doktor dalam theologi. Wycliffe mulai menyangkali otoritas Paus dan juga Transubstansiasi (doktrin Roma Katolik tentang Perjamuan Kudus bahwa roti dan anggur benar-benar berubah menjadi tubuh dan darah Yesus yang sebenarnya setelah diberkati pastor). Namun lebih dari itu tindakannya yang lebih terkenal adalah Wycliffe menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Inggris. Tindakan yang sangat membangkang pada saat itu. Saat itu semua orang hanya boleh membaca Alkitab dalam bahasa Latin, bahasa kaum terpelajar yang kebanyakan orang saat itu tidak mengerti. Seperti yang kita dapat duga, terjemahan itu ditolak oleh gereja sebagai tidak sah. Dia juga mulai mengumpulkan sekelompok pengikut di sekelilingnya, yang dikenal sebagai Lollards yang dilabeli sebagai gerakan pemberontak yang mengabarkan reformasi yang berpusat pada Alkitab. Konsili Constance (1415) menyatakan Wycliffe sesat serta memutuskan bahwa buku-bukunya harus dibakar. Seakan tidak cukup, pada tahun 1428 atas perintah Paus Martin V, jenazahnya yang sudah terkubur 44 tahun digali, dibakar, dan abunya dibuang ke sungai. Arus sungai tersebut membawa bukan hanya abunya namun juga semangat reformasi Wycliffe ke seluruh pelosok ke mana air mengalir.
Tuhan menguburkan hamba-Nya John Wycliffe dan saat bersamaan Tuhan membangkitkan seorang John lainnya: John Hus (atau dikenal juga Jan Hus). Ia dilahirkan tahun 1370 di Bohemia (sekarang disebut Republik Ceko). Seperti Wycliffe, nasib Hus tidak jauh berbeda. Dia dibakar hidup-hidup karena dianggap sesat melawan banyak doktrin gereja. Tulisan John Wycliffe membangkitkan minatnya dalam Alkitab, dan tulisan-tulisan yang sama yang menyebabkan kegemparan di Bohemia. Kecintaan Hus terhadap Kitab Suci ditulisnya sebagai, “ingin terus memeluk, percaya, dan menegaskan apa pun yang terkandung di dalamnya selama nafas dalam diriku.” Dan kalimat terakhirnya sebelum ia dibakar pada tahun 1415, ia “bernubuat”, “Dalam 100 tahun, Allah akan membangkitkan seorang pria yang panggilan untuk reformasinya tidak bisa ditekan.” Seratus tahun kemudian, seorang biarawan muda ratusan kilometer dari Bohemia dalam perpustakaan sedang mengobrak-abrik tumpukan buku menjadi sangat takjub ketika dia membaca kumpulan khotbah Hus, yang dikutuk sebagai bidat. Nama biarawan muda tersebut adalah Martin Luther. Luther kemudian menulis, “Saya tidak bisa memahami apa yang menyebabkan mereka membakar seorang pria yang menjelaskan Alkitab dengan gravitasi begitu banyak dan keterampilan.”
Kondisi zaman di mana Martin Luther hidup adalah kondisi yang sangat berbeda dari zaman kita sekarang. Bukan hanya nasib keselamatan kekal kita ditentukan oleh gereja, namun nasib hidup sehari-hari kita juga sangat ditentukan oleh pandangan dan aksi gereja terhadap kita. Kita tahu setelah runtuhnya Roman Empire, satu-satunya institusi yang memberikan stabilitas bagi masyarakat dalam bidang kehidupan adalah institusi gereja. Lalu dalam perkembangannya kita melihat peran paus menjadi semakin dominan bukan hanya dalam bidang keagamaan namun juga dalam politik. Dalam periode Abad Pertengahan dalam kancah politik, kita dapat melihat adanya dinamika tarik-tambang adu kekuatan antara kekuasaan raja sebagai penguasa politik dan kekuasaan paus sebagai penguasa agama. Mungkin puncak dari kekuatan kepausan ditunjukkan pada masa Paus Innocent III (1198-1216) yang berpendapat bahwa kuasa negara harus seluruhnya takluk di bawah kuasa gereja.
Namun supremasi kepausan yang nyaris mutlak itu bukan tanpa halangan dan pertentangan. Supremasi tersebut dalam sejarah juga telah mendapatkan beberapa goncangan. Sebuah contoh yang sering dikutip adalah ‘Avignon Captivity’ (1309-1378), yang mengacu pada periode dalam sejarah gereja Katolik Roma ketika takhta paus dipindahkan dari Roma ke Avignon, Perancis. Periode ini kadang disindir oleh Luther sebagai Babilonian Captivity di mana gereja makmur luar biasa tapi kekuasaan gereja dan kepausan dikompromikan di bawah subordinarsi dari ambisi Kaisar Frank. Ketika akhirnya kepausan kembali ke Roma, timbul perpecahan yang menimbulkan adanya tiga paus pada saat bersamaan yang saling bersaing. Hal tersebut menimbulkan beberapa pendapat untuk doktrin konsiliarisme ditegakkan kembali, di mana paus tunduk kepada konsili gereja.
Meskipun sengketa ini telah diselesaikan oleh Konsili Constance (1414-1418) yang menegaskan kembali supremasi kepausan dan dengan demikian menolak teori konsili, rasa nasionalisme di kalangan penguasa sekuler mulai bertumbuh. Hal ini berarti bahwa kepausan telah kehilangan beberapa kekuasaan dan pengaruhnya. Upaya dilakukan dengan memulai reformasi di Constance dan juga di Florence (1439), tetapi akhirnya reformasi ini tidak berhasil.
Di tengah mulai melemahnya pengaruh kepausan secara lembaga, periode yang sama mulai muncul suatu gerakan zaman yang akan sangat berpengaruh terhadap munculnya reformasi. Renaisans (dari Perancis: ‘kelahiran kembali’), yang secara luas mencakup periode dari abad ke-14 hingga ke-16, adalah sebuah gerakan yang kuat yang memiliki efek mendalam di ranah politik, filsafat, seni, dan agama. Humanisme dapat dianggap sebagai pandangan dunia yang mendasari Renaisans. Kaum humanis percaya bahwa model terbaik dari pembelajaran berasal dari peradaban Yunani dan Romawi klasik dengan membaca sumber pertama secara langsung (ad fonts atau first source).
Dalam bidang agama, gerakan yang dikenal sebagai Moderna Devotio (Devosi Modern) dimulai pada abad ke-14 dengan ide-ide dari Geert Groote di Belanda. Groote mendirikan sebuah komunitas yang dikenal sebagai the Brethren of the Common Life di mana penekanan ditempatkan pada studi Kitab Suci, meditasi pribadi, dan keinginan untuk meniru Kristus dalam kesederhanaan dan kemurnian hidup. Gerakan ini menyebar ke Jerman dan bagian lain Eropa. Sebuah karya klasik oleh Thomas Kempis The Imitation of Christ, diterbitkan pada tahun 1418 menjadi semacam perwakilan dari spirit gerakan ini. Gerakan ini lebih menekankan aspek diri sebagai seorang diri dibandingkan pengabdian komunal dan juga pembacaan pribadi atas tulisan-tulisan religius. Secara tidak langsung, beberapa hal tersebut merupakan ciri pendahulu dari Reformasi.
Ketika dua hal tersebut, semangat ad fontes dan juga ide Kristen dalam Moderna Devotio, dikombinasikan, kombinasi ide Kristen dan humanis menjadi gerakan yang dikenal sebagai gerakan humanisme Kristen. Gerakan ini menekankan bahwa kita harus membaca Alkitab maupun tulisan-tulisan para Bapa Gereja mula-mula secara langsung dan juga dalam bahasa aslinya. Tokoh humanisme Kristen yang sangat ternama seperti Erasmus Rotterdam (c. 1466-1536) dididik di Moderna Devotio, dan berkomitmen untuk menggunakan ad fontes untuk menjalankan reformasi damai dari dalam gereja. Erasmus menghasilkan versi Perjanjian Baru dalam bahasa Yunani yang muncul tahun 1516, yang sebelumnya hanya dalam edisi Vulgate Latin. Visi Erasmus adalah Kitab Suci harus tersedia untuk dibaca oleh semua (meskipun tingkat buta huruf masih sangat tinggi). Program reformasinya akan menjadi berguna untuk perkembangan reformasi yang akan dimatangkan oleh Luther dalam cara yang berbeda. Beberapa berpendapat bahwa “Luther menetaskan telur yang ditaruh oleh Erasmus.”
Secara sosial juga ada pergerakan kekuatan sosial yang timbul seperti tumbuhnya rasa nasionalisme dan juga timbulnya konsep kota. Salah satu penyebabnya adalah perang salib (Crusades). Karena banyak orang direkrut dari berbagai komunitas dan daerah untuk pergi menjadi tentara Crusades, itu membuat Crusades juga menjadi kekuatan penyatu — punya tujuan dan tantangan yang sama. Perasaan tersebut menjadi suatu awal dari kesadaran berbangsa. Crusades ini mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap situasi sosial dan keagamaan. Dahulu orang-orang kaum pekerja hanya mempunyai pilihan untuk bekerja pada tuan tanah yang memiliki tanah dan sumber daya. Mereka terus miskin sedangkan kaum tuan tanah yang aristrokrat semakin kaya dan berkuasa. Dengan timbulnya kota-kota sebagai pusat kehidupan bermasyarakat, kekuatan aristokrasi tradisional semakin ditantang oleh munculnya kelas wirausaha yang pada gilirannya memupuk sikap identitas individu: posisi sosial dan status bisa ditentukan sendiri oleh individu.
Dalam perkembangannya, Crusades bukan hanya berjuang mengambil kembali Tanah Suci (mereka merasa seperti tentara Perjanjian Lama yang berjuang untuk Tuhan dan bersifat rohani) namun kemudian motivasi yang lebih besar dan lebih mendasari adalah mengejar dan mengambil kembali Relics. Apakah itu relics? Relics adalah bagian dari tubuh, baju, atau barang pribadi dari seorang kudus (santo) atau orang yang dihormati yang dengan hati-hati diawetkan untuk tujuan penghormatan. Namun tujuan menghormati tersebut tanpa dasar Alkitab yang kuat, maka mereka jatuh pada takhayul (superstition). Mereka mulai percaya ada anugerah melalui relics-relics ini. Maka jasad Petrus (yang dipercaya sebagai paus pertama) yang di Roma, menjadi inti dari sumber anugerah. Hal ini pula yang menyebabkan bishop Roma menempati posisi terpenting saat itu melebihi bishop-bishop dari kota lainnya. Konsili Nicaea II tahun 787 menetapkan bahwa setiap altar harus mempunyai relics, sehingga hal ini menjadi norma tetap yang tetap berlaku hingga hari ini.
Namun kepercayaan akan relics ini bukan satu-satunya takhayul yang bertentangan dengan firman Tuhan yang dipercaya oleh gereja saat itu. Masih banyak lagi hal-hal yang sangat bertentangan yang kemudian menjadi bahan kritik bagi para Reformator. Salah satunya yang paling keras ditentang adalah praktik penjualan surat penghapusan dosa (indulgensia) yang menjadi latar belakang aksi Reformasi Luther.
Latar belakang 95 tesis dari Luther adalah mengacu pada pada praktik dalam gereja Katolik mengenai baptisan dan pengampunan. Luther menolak keabsahan indulgensia sekaligus menyerang praktik indulgensia yang dijual, dan dengan demikian pertobatan lebih dilihat dari transaksi keuangan daripada penyesalan yang tulus. Luther berpendapat bahwa penjualan indulgensia adalah pelanggaran berat dari maksud asli pengakuan dan penebusan dosa, dan bahwa orang Kristen sedang dikelabui. Mereka dibuat percaya bahwa mereka bisa mendapatkan pengampunan dosa melalui pembelian indulgensia.
Alasan gereja memperjualbelikan indulgensia adalah sebagai bagian dari kampanye penggalangan dana yang ditugaskan oleh Paus Leo X untuk membiayai renovasi gereja St. Peter’s Basilica di Roma yang memerlukan dana yang sangat besar. Johann Tetzel, seorang imam Dominican, ditugaskan untuk memulai penjualan indulgensia di tanah Jerman. Penjualan tersebut laku keras. Salah satu akibatnya adalah ketika jemaat Luther datang dalam sesi pengakuan dosa, mereka menyodorkan surat indulgensia mereka. Mereka telah membayar uang untuk surat tersebut dan sekarang mereka mengklaim mereka tidak lagi harus bertobat dari dosa-dosa mereka, karena melalui surat tersebut mereka sudah menerima janji atas pengampunan segala dosa mereka. Luther marah besar bahwa mereka telah membayar uang untuk apa yang seharusnya adalah hadiah gratis dari Tuhan. Dia merasa terdorong untuk mengekspos penipuan yang dilakukan kepada jemaat Tuhan. Paparan ini adalah untuk mengambil tempat dalam bentuk debat publik ilmiah di Universitas Wittenberg. Tanggal 31 Oktober 1517, Luther memantek 95 tesisnya, yang telah disusun dalam bahasa Latin, di pintu Gereja Kastil (Schloßkirche) Wittenberg, menurut tradisi universitas saat itu.
Pada hari yang sama, Luther mengirimkan salinan tulisan tangan, disertai dengan komentar terhormat dengan Albert, Uskup Agung Mainz yang bertanggung jawab atas praktik penjualan indulgensia, dan uskup dari Brandenburg, yang adalah atasan Luther. Dalam waktu dua minggu, salinan 95 tesis tersebut telah menyebar ke seluruh Jerman, dalam waktu dua bulan seluruh Eropa. Kecepatan penyebaran informasi tersebut adalah karena adanya suatu inovasi teknologi baru. Penemuan mesin cetak bergerak oleh Johannes Gutenberg (1398-1468) menjadi sangat penting untuk penyebaran ide-ide secara cepat. Sebelumnya orang harus menyalin buku dengan tulisan tangan yang memakan waktu sangat lama. Sekarang buku dan pamflet menjadi jauh lebih banyak tersedia dalam waktu yang sangat cepat terutama di kota-kota, yang mulai tumbuh menjadi pusat intelektual dan ekonomi. Hal ini juga berarti sirkulasi ide-ide dan konsep lebih sulit dikontrol oleh pihak otoritas.
95 tesis itu hanyalah percikan api kecil namun percikan tersebut langsung menjadi lautan api yang tidak bisa dipadamkan karena animo masyarakat yang begitu antusias menyambutnya. Kegelisahan yang bisu selama ini mendapatkan mulut untuk meneriakkan jeritan hati mereka.
Luther memang pemeran utama dalam drama Reformasi, namun seperti yang kita lihat, dia bukan satu-satunya hero. Bagaikan dalam sebuah simfoni, setiap orang atau setiap kejadian berjalan seiiring gerakan tangan sang conductor, yang tidak kelihatan namun nyata.
Reformasi abad ke-16 merupakan gerakan yang sangat mulia dan murni. Ecclesia semper reformanda est (the church is always to be reformed) merupakan slogan Reformasi yang terus relevan. Reformasi belum usai, semangat dunia yang menolak Kristus tidak lebih surut dari zaman Luther dan masih tetap merajalela di segala bidang. Reformasi belum usai, Gereja masih memerlukan Waldo, Wycliffe, Hus, dan Luther zaman modern yang berani menentang segala kezaliman dan rela dibakar hidup-hidup demi memercikkan api Reformasi. Engkau berkata, saya bukan Luther… jangan-jangan peranmu justru untuk yang merancang mesin cetak. Engkau berkata, saya bukan Erasmus, saya tidak bisa bahasa Yunani… jangan-jangan memang bukan untuk bahasa Yunani melainkan tugasmu untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa suku tertentu. Engkau berkata, saya tidak ada kemampuan apa-apa… Reformasi belum usai, Tuhan masih bisa memakai orang-orang yang namanya tidak tercantum seperti para Reformator tersebut dalam peranan mereka yang kecil ataupun besar namun tidak terlihat untuk menyelesaikan seluruh movement simfoni agung dalam panggung Tuhan. Reformasi belum usai!
Heruarto Salim
Redaksi Pelaksana PILLAR
Endnotes:
1. A History of the Christian Church – Walker,Norris, Lotz & Handy.
2. http://christianityinview.com/protestant/background.html
3. http://www.christianitytoday.com/ch/131christians/martyrs/huss.html
4. http://en.wikipedia.org/wiki/John_Wycliffe#Last_days