Dua orang anak sedang bercengkerama di pinggir jalan sehabis pulang sekolah sambil menikmati es podeng. Ana, seorang anak yang bersekolah di sekolah swasta dan Ani, yang bersekolah di sekolah rumah (homeschooling).
Ana: Duh pusing nih gw Ni, sekolah gw banyak banget tugas-tugasnya. Belom termasuk banyak ekstrakurikuler pulang sekolah. Lu kan homeschooling tuh, pasti enak banget belajarnya di rumah.
Ani: Siapa bilang enak, Na. Gw belajar di rumah, lu kate enak. Ini sama enyak babe gw malah lebih banyak tugas, dari pagi sampe sore belajar mulu.
Ana: Tapi mendinglah, tetep lebih enak sama mama papa sendiri, di sekolah gw banyak guru-guru yang ga jelas ngasi tugas doank banyak, pas ditanya, kaga ngerti apa-apa.
Ani: Ini di rumah enyak gw juga galak Na, yang ada gw dibentak-bentak kalo kaga ngerjain PR. Belom ditambah gw ada les macem-macem malah bisa lebih padet dari jadwal sekolah lu.
Ana: Oh gitu ya Ni. Tapi gw pengen nyobain sih homeschooling, kayaknya lebih cocok buat gw.
Ani: Gw malah mau nyoba sekolah swasta kayak lu Na, enak banyak temennya. Kan gw mah paling temenan ama beberapa orang aja di rumah sama tempat les.
Berbicara mengenai pendidikan Kristen, berarti berbicara mengenai prinsip kekristenan yang memengaruhi pendidikan. Prinsip hidup orang percaya yang berlawanan total dengan prinsip hidup orang tidak percaya. Van Til dan Berkhof memiliki pemikiran yang begitu penting dan sangat menarik mengenai pendidikan Kristen dalam bukunya.1 Mereka berusaha menjelaskan pertimbangan yang lebih mendalam dan mengakar mengenai pendidikan Kristen. Kita sebagai orang Kristen, kita harus sungguh-sungguh mengerti kepentingan dan kekhususan pendidikan berdasarkan iman Kristen, khususnya dalam perspektif Reformed. Percakapan Ana dan Ani di atas adalah aplikasi sistem pendidikan yang berkembang saat ini. Tetapi di dalam artikel ini penulis akan membahas lebih kepada prinsip pendidikan Kristen. Mari kita lihat hal-hal yang menjadi akar pendidikan Kristen itu sendiri. Hal apa yang begitu penting dan yang harus kita perhatikan sebagai seorang pendidik (orang tua dan guru) Kristen.
Antitesis dalam Filsafat Pendidikan
Semua program pendidikan berusaha membawa setiap pribadi yang bertumbuh, untuk dididik dalam relasi terbaik dengan lingkungannya. Namun istilah lingkungan sendiri sangatlah kabur. Jadi, jika kita mendefinisikan pendidikan sebagai “penyesuaian suatu pribadi yang bertumbuh dengan lingkungannya”, maka definisi tersebut tidak mempunyai signifikansi apa pun jika kita tidak dapat mengerti apa itu lingkungan yang dimaksudkan di sini. Dan ketika kita tiba pada arti dari “lingkungan”, segera terlihat bahwa teori realitas theistik Kristen dan teori realitas non-theistik saling berlawanan satu dengan lainnya. Kristen menyatakan bahwa lingkungan di mana pribadi manusia bertumbuh adalah lingkungan yang bersifat personal, sementara yang lain menyangkalnya. Pemikiran Kristen menekankan adanya Pribadi yang absolut dan ultimat, di mana kita sebagai manusia – dan bahkan segala sesuatunya termasuk alam semesta – bergantung sepenuhnya pada-Nya.
Berbeda 180 derajat dengan pemikiran non-theistik yang tidak bergantung kepada Pribadi absolut, walaupun terlihat seperti memercayai adanya pribadi, namun tidak melihat-Nya sebagai Pribadi yang absolut. Monotheisme dengan bentuk yang seperti ini, mirip dengan politheisme yang terang-terangan. Filsafat seperti demikian mengatakan bahwa anak harus disesuaikan dengan nasib, alam semesta, realitas, atau hal apa pun yang dianggap sebagai yang paling ultimat. Sebagai contoh, menurut filsafat pendidikan modern, anak harus menyesuaikan diri terhadap alam semesta. Proses penyesuaian diri inilah yang menentukan pendidikannya.
Sebagai orang percaya kita harus mengerti apa yang menjadi standpoint kita di dalam konteks pendidikan. Keberadaan kita dan keberadaan sistem pemikiran dunia adalah keberadaan yang antitesis. Kita belum sepenuhnya memahami kedalaman antitesis pendidikan jika kita belum menelusuri antitesis yang sebenarnya antara lingkungan yang bersifat personal dan yang bersifat impersonal. Seluruh program pendidikan yang dibangun di atas dasar pemahaman impersonal pasti berlawanan total dengan program pendidikan yang dibangun di atas dasar yang personal. Perbedaan yang paling mendasar adalah di dalam pengenalan akan Allah, Sang Pribadi Absolut.
Van Til memberikan contoh yang menarik untuk kita mengerti perbedaan orang percaya dan tidak percaya dengan lebih jelas. Fakta “3×3=9” tidak berarti sama bagi orang percaya dan orang tidak percaya. Ketika kita berpikir “3×3=9”, kita menghubungkan fakta ini dengan hukum numerik. Dan waktu menghubungkannya dengan hukum numerik, kita harus menghubungkan hukum numerik dengan seluruh hukum yang ada. Maka, pertanyaan yang kita hadapi adalah apakah hukum itu berada pada dirinya sendiri atau merupakan ekspresi dari kehendak dan natur Allah. Jadi, fakta “3×3=9” membuat kita mengaitkan diri lebih dalam kepada natur dan kehendak Allah. Sebaliknya, ketika seorang tidak percaya mengatakan bahwa “3×3=9”, ia juga akan mengaitkan fakta ini dengan keseluruhan ide tentang hukum; tetapi ia akan melihat hukum ini sebagai sesuatu yang terpisah dari Allah atau bahkan sesuatu yang berdiri sendiri tanpa Allah. Maka, fakta “3×3=9” dapat membuat dia semakin menjauhi Allah. Dari contoh tersebut kita bisa melihat bahwa dalam lingkup pemikiran impersonalistik, tidak ada kaitan hubungan antara manusia dan lingkungannya. Sedangkan struktur etika Kristen mempresuposisikan dan mengaitkan kedua hal ini.
Pendidikan Humanistik
Di sini orang Kristen dapat menyadari realisasi rencana dan maksud Iblis dalam sejarah filsafat. Iblis sejak awal menyerang filsafat atau akar pemikiran manusia. Iblis mengatakan kepada Hawa bahwa tidak akan terjadi apa-apa bila Hawa mengabaikan apa yang dianggapnya sebagai hukum Allah. Iblis menanamkan dalam pikiran Hawa bahwa alam semesta bersifat netral, tidak ada antitesis di dalamnya. Iblis bahkan berusaha memengaruhi Hawa dengan menyatakan ada sesuatu yang lebih besar dari Allah. Ada hukum impersonal di atas Allah dan dirinya. Ia tidak menyangkal pribadi Allah secara terbuka, tetapi menyangkal pribadi Allah yang mutlak secara implisit. Sehingga seluruh realitas bersifat relatif dan tidak ada kemutlakan di dalamnya.
Jika kurikulum pendidikan sekolah didasarkan pada filsafat pendidikan yang relatif, maka anak-anak pasti belajar bahwa apa pun yang ia lakukan sebenarnya tidak menjadi masalah. Benarkah ini tidak menjadi masalah? Tentu saja akan menjadi masalah. Misalnya saja, sikap jujur ataupun tidak jujur tidak apa-apa asal kita dapat “mengatasinya”. Maka setiap ucapan seseorang tidak lagi dapat kita ketahui kebenarannya, yang penting masalah yang dihadapi selesai. Jikalau pengajaran ini yang berlaku maka “tuhan” tidak lagi memiliki signifikansi secara moral. “Tuhan” hanya menjadi ekspresi simbolis dari hukum-hukum alam yang impersonal.
Pendidikan yang Berpusat kepada Allah
Menghadapi konteks seperti ini, tugas pertama orang tua atau kita sebagai pendidik Kristen adalah melawan “pendidikan tanpa antitesis” dengan bersikap antitesis total terhadapnya, melawan filsafat pendidikan modern yang sangat menghina Tuhan dan Juruselamat kita. Bagaimana mungkin kita dapat membangun sesuatu yang sungguh-sungguh Kristen atau theistik di atas dasar yang menolak kekristenan dan theisme? Kita harus menolak semua penyangkalan yang terkandung dalam filsafat pendidikan sekitar kita supaya setelahnya kita benar-benar bisa membangun filsafat pendidikan yang benar. Semua konstruksi dan sintesis yang telah gagal menolak penolakan filsafat modern ini, pada dirinya sendiri akan menjadi negatif dan menghancurkan. Di sinilah letak antitesis dalam pendidikan.
Antitesis mengenai Anak
Filsafat pendidikan modern memiliki pandangannya sendiri mengenai pendidikan anak. Mereka memandang pendidikan anak sebagai demikian, dari kekosongan yang kacau dan kedalaman irasionalitas yang tak terbatas, terbitlah bercak-bercak rasionalitas di dunia; bercak-bercak ini bernama manusia. Bercak-bercak kecil rasionalitas yang berkembang harus belajar menyesuaikan diri dengan hal-hal temporal, meskipun banyak kabut di sekelilingnya. Istilah yang sering digunakan untuk proses ini adalah “pengintegrasian pribadi” ke dalam lingkungannya, atau mencoba beradaptasi dengan lingkungan atau hal-hal sekitarnya. Di dalam konteks ini seluruh pendidikan disebut sebagai pengembangan kepribadian.
Pandangan Non-Kristen tentang Pribadi
Pada bagian ini kita membicarakan mengenai pribadi dan kemungkinan perkembangannya, kita akan melihat perbedaan antara theistik dan non-theistik. Menurut non-theistik, jenis kurikulum theistik menyebabkan pribadi tidak dapat berkembang sama sekali. Ada beberapa alasan mereka.
Dibesarkan dengan Makanan Tak Bergizi. Ketika membahas filsafat pendidikan, lawan kita (non-theistik) menganggap posisi kita (theistik) benar-benar lemah, sedangkan kita menganggap posisi lawan kita juga hanya kekacauan belaka. Yang menjadi masalah sebenarnya apakah ada yang dapat diajarkan dengan dasar non-theistik? Dan kita yakin tidak ada yang dapat diajarkan berdasarkan pendidikan lawan. Jawaban kita terhadap tuduhan bahwa kepribadian tidak dapat berkembang dengan baik dalam sistem pendidikan kita tidak lain karena kepribadian sama sekali tidak dapat berkembang dalam sistem pendidikan mereka yang impersonal. Lawan kita hanya memberikan makanan yang tidak bergizi, sehingga tidak memiliki nutrisi apa pun untuk mengembangkan anak-anak yang dididik. Dengan kata lain, pendidikan lawan kita hanya menumbuhkan anak-anak yang tidak sehat karena kekurangan nutrisi pengajaran yang sehat. Kita harus mulai dengan negasi mutlak sebelum dapat menjadi positif dan konstruktif.
Pembimbingan Sejati. Alasan kita untuk berpegang bahwa kepribadian tidak dapat berkembang dalam sistem pendidikan lawan adalah bahwa dalam pandangan mereka, pribadi yang terbatas ditempatkan di tengah atmosfer impersonal yang absolut. Klaim kita adalah bahwa pribadi yang terbatas tidak dapat berkembang kecuali ditempatkan di hadapan Pribadi absolut. Kita yakin bahwa tidak ada fakta ruang-waktu yang secara umum memiliki signifikansi kecuali ditempatkan dalam relasi yang tepat dengan Allah. Impersonalisme dalam filsafat pendidikan non-Kristen mereduksi semua antitesis menjadi tidak ada dan mereduksi alam semesta menjadi alam semesta netral, di mana tidak akan ada yang terjadi. Impersonalisme ultimat ini juga mereduksi pribadi yang terbatas menjadi tidak ada. Akibatnya, tidak ada yang akan terjadi dalam perkembangan kepribadian. Jika pribadi yang terbatas ini tidak ditempatkan di hadapan Allah, dan jika “fakta” yang mengenainya pribadi yang terbatas ini harus belajar atau lingkungan yang terhadapnya pribadi harus menyesuaikan diri tidak ditempatkan di hadapan Allah, maka tidak mungkin ada kontak yang berhasil antara subjek dan objek pengetahuan. Sederhananya, jikalau pendidikan tidak bisa membawa anak-anak untuk berelasi dengan Allah, maka perkembangan pribadi ini tidak akan menjadi perkembangan yang berhasil baik dari segi pribadi itu sendiri maupun pengetahuan yang ia pelajari. Karena hanya Allah sumber pengetahuan sejati dan kebijaksanaan yang dapat memberikan bimbingan pertumbuhan yang sehat.
Penyangkalan Non-Kristen terhadap Otoritas
Relasi antarpribadi yang mengajar dan pribadi yang diajar memunculkan pertanyaan apakah seseorang memiliki otoritas untuk mempresentasikan penafsirannya sebagai kebenaran yang mutlak? Apa ada otoritas yang demikian? Bukankah otoritas malah menekan dan menghambat kebebasan orang lain? Para lawan kita (non-theistik) berpandangan bahwa otoritas berbicara dan kemerdekaan bersifat saling bergantung. Mereka mengakui otoritas ahli dalam pengertian bahwa seseorang dapat lebih mengetahui tentang tingkah laku alam semesta dibanding yang lain; tetapi mereka menolak otoritas dalam pengertian ultimat. Kita sebagai orang Kristen memiliki pandangan lain.
Otoritas Ahli. Apa yang kita yakini adalah bahwa pada fondasi lawan kita sama sekali tidak ada otoritas. Dan tanpa otoritas tidak mungkin ada pengajaran dan pengetahuan. Jika tidak ada pengetahuan, tidak mungkin ada pengetahuan asli.
Otoritas Sejati. Otoritas tidak lebih dari menempatkan pribadi Allah yang mutlak di hadapan pribadi manusia yang terbatas. Jika tidak ada yang dapat diajarkan kecuali diajarkan dalam relasi dengan Allah, maka tidak ada yang dapat diajarkan kecuali diajarkan dengan otoritas Allah. Hal ini membuat posisi orang tua dan pendidik menjadi sangat sulit sekaligus bernilai. Pada posisi lawan, posisi pendidik sama sekali tidak ada harapan. Seorang pendidik tahu bahwa ia tidak tahu apa pun, namun ia harus tetap mengajar. Ia tahu bahwa tanpa otoritas ia tidak dapat mengajar, namun tidak ada otoritas yang dipakainya. Ia hanya menempatkan anak didik dalam kemungkinan dan berpura-pura mengetahui dan memberikan penganjuran dari berbagai kemungkinan tersebut. Hasilnya, anak tidak diberi atmosfer di mana ia dapat tumbuh dan berkembang. Sebaliknya, orang tua atau pendidik Kristen mengenal dirinya, mengetahui subjek yang diajarkan, dan mengenal anaknya. Ia memiliki keyakinan penuh tentang buah pekerjaannya. Ia berjerih lelah untuk menghasilkan buah yang kekal dengan tujuan dan makna yang sesungguhnya. Dengan demikian, perjuangan dalam pendidikan menjadi bermakna di dalam kesementaraan.
Pendidikan dari Seorang Ibu dalam Alkitab
Kita telah membahas mengenai antitesis pendidikan dan kita harus mengakui bahwa hanya pendidikan theistik yang dapat memberikan pengharapan sejati. Di dalam anugerah umum, Allah telah menunjukkan siapa menjadi pendidik yang bertanggung jawab dari anak. Alam semesta menyatakan hal ini. Dalam dunia binatang, Yeremia bahkan mengambil gambaran serigala sebagai contoh untuk Israel, ketika ia berkata, “Serigala pun memberikan teteknya dan menyusui anak-anaknya, tetapi putri bangsaku telah menjadi kejam seperti burung unta di padang pasir” (Rat. 4:3). Di atas itu bahkan orang-orang kafir juga tidak mengejutkan kita ketika bisa melihat orang tua adalah yang paling bertanggung jawab terhadap anak-anaknya, karena alam sendiri pun menunjukkan hal itu. Kota Atena, Kerajaan Romawi, dengan serius menempatkan tanggung jawab pendidikan dalam keluarga.
Wahyu khusus Allah mengajarkan kita kebenaran yang sama bahkan lebih jelas. Perjanjian Lama (PL) selalu mengacu atau menunjuk orang tua sebagai penanggung jawab pendidikan. Dalam PL Allah berinteraksi lebih dengan bangsa Israel daripada individu-individu dari bangsa itu sehingga sering kali berbicara dalam konteks bangsa. Perjanjian Baru (PB) juga jelas menyatakan peran pemerintah yang harus mementingkan kepentingan rakyat (Rm. 13:1-7). Tetapi ketika berbicara tentang pendidikan anak-anak, hal tersebut langsung ditujukan kepada orang tua, “Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan” (Ef. 6:4). Hal ini karena peran orang tua sangat penting di dalam kehidupan seorang anak. Secara khusus kita akan melihat peran ibu, yang dapat begitu besar memengaruhi kehidupan seorang anak, perkembangan kepribadian dan karakternya. Kita akan sama-sama melihat contohnya di dalam Alkitab, yang diceritakan di dalam 1Sam. 1:1-11. Perempuan itu adalah Hana, seorang perempuan dan seorang ibu yang dapat memberikan kita teladan yang indah.2
Teladan pertama (1Sam. 1:8) Hana adalah wanita yang mencintai suami, yaitu Elkana. Ia memiliki hati bagi suami. Elkana ditulis mempunyai dua istri, Hana dan Penina. Poligami pada waktu itu menjadi hal yang dapat diterima dengan alasan budaya setempat yang menjamin adanya pekerja. Untuk bekerja di lahan yang luas perlu orang, karena itu perlu keturunan. Bila istri tidak memiliki keturunan, akan dipaksa untuk mencari istri lain. Selain itu, perang dengan bangsa Filistin membuat banyak orang meninggal. Tentu poligami bukan rencana asli Tuhan (Kej. 2:24), sehingga dalam rumah tangga hal ini dapat menimbulkan konflik. Kendati poligami, Hana tetap dikasihi oleh suaminya. Sang suami memberikan bagian istimewa kepada Hana. Meskipun Hana dipandang tidak istimewa di masyarakat karena tidak mempunyai keturunan tetapi Elkana tetap mengasihinya. Kunci keharmonisan mereka adalah mereka saling mengasihi di dalam ibadah bersama. Hana selalu menemani Elkana dalam perjalanannya.
Teladan kedua (1Sam. 1:12) Hana seorang wanita yang memiliki hati kepada Allah. Soal kehamilannya, Hana tidak menyalahkan siapa-siapa, karena dia tahu ini adalah campur tangan Tuhan yang membuat dia tidak hamil. Dia menjadi seorang wanita yang memiliki hati bagi Allah. Penina menyakiti Hana, ia tidak membalas. Imam mengatakan dia mabuk, juga tidak dibalasnya. Hana berdoa, berseru, dan menyampaikan isi hatinya hanya kepada Tuhan. Ekspresi hati Hana kepada Tuhan dapat kita lihat di dalam Kitab 1 Samuel 2, Hana bersukacita dan memuji Tuhan. Hana begitu bersukacita terhadap apa yang Tuhan berikan dalam hidup dia, dan sukacitanya ini mengalahkan perasaan disakiti oleh Penina dan masyarakat. Pengenalannya akan Tuhan melampaui situasi dan apa yang dilakukan oleh masyarakat sekitar terhadapnya. Hal yang menjadi begitu penting yang dilakukan Hana adalah ia melihat pekerjaan Tuhan. Ia melihat bangsanya dan zamannya di mana banyak orang yang berbuat semena-mena (Hak. 21:25). Hana sadar apabila Tuhan memberikan anak, ia harus memberikan yang terbaik yang ia bisa untuk Tuhan. Di dalam proses doa, Tuhan ubahkan hati dan pikirannya sehingga ia berkata akan mempersembahkan anaknya dan supaya Tuhan pakai untuk kepentingan-Nya. Baginya mempersembahkan anak menjadi hamba Tuhan bukanlah suatu kebodohan. Ia akan mendidik anaknya dengan sebaik mungkin dan siap apabila Tuhan mau memakai sesuai dengan maksud dan rencana-Nya. Berapa banyak ibu yang berpikir seperti Hana hari ini? Bukankah tidak sedikit yang mungkin begitu terlihat rajin melayani di gereja tapi ketika anaknya mau menjadi hamba Tuhan, ibu tersebut malah menjadi marah dan tidak bisa menerima kenyataan itu? Hana yang sepertinya mengalami kemustahilan, melihat kebutuhan yang ada, dia berdoa dan menyerahkan kepada Tuhan dan Tuhan pun menjawab doanya.
Teladan ketiga, 1 Samuel 1:22 menyatakan Hana seorang wanita yang memiliki hati untuk anak. Hana sadar ketika Tuhan memberikan ia anak, ia harus mendidik secara khusus karena anak ini akan dipersembahkan untuk Tuhan. Dr. Basil Jackson3, seorang genius yang memiliki 11 gelar di bidang theologi, medis, hukum, literatur, psikologi, dan filsafat mendapat 6 gelar Doktor honoris causa. Beliau pernah mengatakan seorang anak tidak akan memiliki perkembangan psikologis dan kedewasaan yang penuh kecuali dia memiliki masa kecil dengan seorang ibu di rumah. Peran ibu begitu penting dalam perkembangan pribadi anak. Science Daily juga mengungkapkan riset, mengenai relasi ibu dan anak yang memengaruhi emosi anak. Seorang ibu membantu membuat anak menangkap emosi orang yang berbicara. Ibu mengajarkan anak menguasai perbendaharaan kata, berkomunikasi, berusaha mengerti gerak tubuh, wajah, intonasi. Anak bisa berelasi karena belajar dari seorang ibu yang memerhatikannya sejak kecil. Hana memerhatikan hal ini. Samuel dikatakan dalam Alkitab semakin besar dan disukai baik di hadapan Tuhan maupun manusia. Samuel semakin besar semakin mengenal Tuhan dan firman-Nya. Kebanggaan seorang ibu adalah ketika seorang anak tumbuh dengan etika dan moral yang baik, serta dapat berdampak bagi orang lain melalui kehadirannya, itu menjadi kebanggaan orang tua yang mendidiknya. Dalam kitab yang sama, Tuhan menyatakan bagaimana didikan yang tidak baik dari Imam Eli. Di dalam kasus ini, Alkitab tidak mencatat peran ibu dari anak-anaknya, sehingga membuat kedua anaknya, Hofni dan Pinehas, berdosa dan dihukum Tuhan. Bukan hanya anak-anak yang berdosa merugikan diri mereka sendiri, lebih dari itu, anak yang tidak baik akan merusak sebuah keluarga dan bahkan bangsanya.
Peran Ibu dan Pengaruhnya
Kisah Hana merupakan salah satu kisah seorang ibu dalam Alkitab yang akhir kisahnya dapat menjadi pembelajaran untuk umat Tuhan. Hana adalah seorang perempuan sederhana yang diceritakan dalam Alkitab. Perempuan yang memiliki hati untuk Tuhan sehingga akhirnya ia dipakai Tuhan. Ia bukanlah seorang Sir Ken Robinson, seorang profesor pendidikan ternama yang pengajarannya diperkirakan didengar lebih dari 250 juta orang di lebih dari 150 negara.4 Hana bukan seorang dengan gelar pendidikan tinggi, bukan seorang dengan kemampuan mengajarkan tentang edukasi kepada banyak orang. Tapi mampu mendidik anaknya, menjadi anak yang dipakai untuk pekerjaan Tuhan yang besar. Dicatat dalam Kitab Suci, anak dari Hana menjadi orang penting dan besar yang namanya tidak dilupakan sejarah. Apa yang diinginkan oleh seorang ibu kepada anak kandungnya sendiri? Bukankah setiap ibu ingin anaknya menjadi orang yang berguna? Samuel bukan hanya berguna, tetapi namanya bahkan tidak dilupakan hingga akhir zaman. Ia menjadi orang yang dikasihi dan mengasihi Tuhan. Samuel menjadi teladan bagi umat Tuhan di sepanjang zaman.
Sir Ken Robinson mengatakan, pendidikan sesungguhnya menjadi suatu hal yang menarik bagi setiap orang. Pendidikan adalah hal yang dalam dan penting sama seperti membicarakan mengenai agama atau uang. Mengapa? Pendidikan membawa kita kepada masa depan yang belum dapat kita tangkap. Menurutnya, seorang anak kecil mempunyai potensi dan kapasitas yang begitu besar, mempunyai kreativitas dan inovasi. Ungkapan yang terkenal darinya adalah, “If you’re not prepared to be wrong, you’ll never come up with anything original.” Picasso mengatakan semua anak (orang) dilahirkan sebagai seniman, masalahnya adalah bagaimana mempertahankannya hingga ia bertumbuh dewasa. Dari pernyataan orang-orang ini ingin menunjukkan bahwa seorang anak itu mampu, saya tidak mengatakan semua berpotensi besar karena kita tahu Tuhan menciptakan kita masing-masing dengan kapasitas berbeda, untuk menjadi seorang yang besar (dalam arti sama seperti Sir Ken Robinson mengatakan ada masa depan yang belum dapat kita tahu di dalam pendidikan seorang anak, akan menjadi apa seorang anak itu nantinya). Alkitab juga menyatakan bahwa Allah mempunyai rencana indah atas semua manusia, setiap orang dilahirkan dengan rancangan damai sejahtera dari Allah bagi dirinya. Setiap orang sesuai dengan rancangan Allah unik di hadapan-Nya.
Penutup
Melihat zaman ini begitu mengerikan. Pengaruh teknologi dapat membunuh relasi antara ibu dan anak. Handphone, tablet, iPad, sekarang menggantikan perhatian orang tua ke anak. Anak tidak lagi peka terhadap orang tua karena komunikasi yang diganti dengan kesenangan virtual. Kita telah mempelajari bahwa pendidikan anak yang benar adalah saat anak dibesarkan di dalam relasi personal dengan Allah. Kita, sebagai orang tua atau calon orang tua di masa mendatang, adalah representasi Allah di dalam keluarga. Bagaimana anak berelasi dengan kita sebagai orang tua akan memengaruhi pengenalan mereka akan Allah yang berujung pada kepribadian yang terbentuk dalam anak ini. Karena itu peranan orang tua sangatlah krusial di dalam membentuk pribadi anak yang cinta Tuhan.
Awang Satya, seorang ahli geologi ternama di Indonesia sudah menggeluti Kitab Suci dalam terang ilmu pengetahuan, dan sebaliknya, sejak SMA. Beliau mempelajari ilmu pengetahuan garis keras, begitu juga mempelajari fundamentalisme kristiani garis keras. Ia percaya Tuhan, ia juga percaya ilmu pengetahuan. Sungguhpun demikian, beliau tahu seluas apa jangkauan Kitab Suci menjadi prinsip dasar bagi ilmu pengetahuan dan di mana batas ilmu pengetahuan bicara tentang Tuhan. Orang yang rendah hati mau belajar hingga akhirnya dapat menjawab dan menjelaskan berbagai kaitan pengetahuan alam (geologi) dengan firman Tuhan dalam tulisan-tulisannya5 yang menggemparkan kalangan intelektual.
Sebagai pemuda Kristen yang menjadi pendidik dan nantinya orang tua Kristen, anak seperti apakah yang kita inginkan? Bukankah orang-orang yang mampu menjadi saksi Kristus di berbagai bidang dengan mempertanggungjawabkan imannya bak Awang Satyana dan Gubernur Jakarta saat ini? Atau dalam bayangan kita sebagai ibu dan orang tua anak kita, kita hanya berharap dia mampu mencari uang yang banyak untuk memuaskan nafsunya sendiri dan bukan Tuhan? Potensi manusia, kemampuan anak yang dapat menjadi begitu besar, diarahkan kepada apa oleh kita sebagai pendidik dan orang tua Kristen? Di manakah Hana-Hana yang bermunculan di zaman ini? Kiranya Tuhan terus memimpin hidup kita boleh terus diperkenan oleh-Nya.
Hansen Wiguna
Pemuda GRII Bandung
Referensi:
1. Foundations of Christian Education, by Louis Berkhof and Cornelius Van Til.
2. Insight (khotbah) dari Ev. Pieters Pin.
3. http://christianuniversity.org/professors/dr-e-basil-jackson/.
4. http://sirkenrobinson.com/about-2/.
5. Awang Satyana (BANJIR BESAR NABI NUH 2900 BC: KATASTROFI GEOLOGI – TEKTONIK LEMPENG, ARKEOLOGI PERJANJIAN LAMA, LINGUISTIK IBRANI KITAB KEJADIAN).