Pengantar Wawasan Kristen

Pada bulan Juli sampai November, buletin PILLAR akan secara khusus membahas tema besar mengenai “Wawasan Kristen” atau “Christian Worldview”. Jika pembaca dengan setia mengikuti artikel-artikel PILLAR dalam beberapa tahun terakhir, sebenarnya tema mengenai worldview, presuposisi, wawasan dunia, dan arah hati sudah tersentuh dalam berbagai artikel. Sebut saja judul-judul artikel seperti “Kursi dalam Ruangan” pada edisi Maret 2006, resensi buku Total Truth pada edisi November 2010, dan “Practicing Christian Worldview on Medical Practice” di edisi Juni 2008[1]. Bedanya dengan edisi-edisi ke depan, pembahasan akan lebih terstruktur dan terfokus dalam setiap fase Christian Worldview, yakni Creation, Fall, Redemption, dan Consummation. Semoga dengan pembahasan yang lebih menyeluruh mengenai Christian Worldview, para pembaca buletin PILLAR menjadi lebih terdorong untuk menggumulkan dengan sungguh-sungguh panggilan di hadapan Tuhan. Sehingga akhirnya, dengan anugerah Tuhan dan secara komunal sebagai anggota tubuh Kristus, dapat me-redeem dan mengembalikan segala kemuliaan untuk Tuhan, dalam setiap bidang dan panggilan kita masing-masing.

Definisi dan Signifikansi
Setiap manusia pasti memiliki suatu struktur pikiran dan kumpulan proposisi yang ia percayai. Hal ini bisa terbentuk dari banyak faktor seperti pengalaman hidup, pendidikan, masyarakat sekitar, nilai-nilai yang ditanamkan sejak kecil, pembawaan, dan lain-lain. Alvin Platinga memakai istilah noetic structure dalam bukunya yang berjudul “Reason and Belief in God”. Struktur pikiran ini akhirnya membentuk jaringan yang bersifat saling menopang. Jika kita terus menelusuri struktur-struktur ini, akhirnya sampailah kita pada fondasi yang tidak perlu ditopang lagi oleh proposisi atau struktur apa pun. Inilah yang kita kenal dengan istilah presuposisi. Sedangkan yang disebut worldview adalah suatu cara pandang yang kita gunakan dalam melihat dan menginterpretasi seluruh realitas. Baik secara sadar ataupun tidak, setiap orang pasti memiliki cara pandang tertentu dalam mengartikan segala realitas yang ia lihat dan alami. Yang sering menjadi kesulitan adalah ada begitu banyaknya variasi worldview di dunia ini. Dan lebih rumit lagi, masing-masing worldview menyatakan klaim atau deklarasi bahwa dirinya benar.

Worldview memiliki signifikansi yang sangat luar biasa dalam hidup manusia. Pengaruhnya akan terasa sampai setiap jengkal dan spektrum kehidupan seseorang. Mulai dari cara berpikir, mengambil keputusan, belajar, berelasi, membangun keluarga, bekerja dan sampai kepada hal yang kita anggap sederhana seperti makan, menghabiskan waktu luang, berekreasi, dan mencari hiburan. Tuhan Yesus memberikan ilustrasi yang sangat baik dalam Injil Matius. Orang yang mendengar dan melakukan firman Tuhan adalah bagaikan orang bijaksana yang membangun rumahnya di atas batu. Sedangkan yang tidak melakukannya, adalah bagaikan orang bodoh yang membangun rumah di atas pasir. Pdt. Stephen Tong sendiri menyentuh hal ini dalam penjelasan mengenai tahap-tahap kebangunan yang dikerjakan dalam pelayanannya. Kebangunan tidak bisa serta-merta langsung menyentuh wilayah moral atau etika atau praktika tanpa menyentuh landasan yang lebih dalam. Maka, kebangunan tidak bisa tidak, harus dimulai dari kebangunan iman. Dari iman yang benar, akhirnya berlanjut pada kebangunan epistemologi atau pengetahuan, dan bersambung pada kebangunan etika. Setelah itu, dampak kebangunan rohani baru dapat terpancar dari berbagai aspek kebudayaan (seperti musik, pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan lain-lain).

Keunikan Theologi Reformed
I appeal to you therefore, brothers, by the mercies of God, to present your bodies as a living sacrifice, holy and acceptable to God, which is your spiritual worship. Do not be conformed to this world, but be transformed by the renewal of your mind, that by testing you may discern what is the will of God, what is good and acceptable and perfect. Romans 12:1-2 (ESV)

Di tengah-tengah dunia ini yang dipenuhi dengan begitu banyaknya pemikiran dan ideologi yang sangat bertentangan dengan firman Tuhan, kita sungguh memerlukan suatu pengertian yang komprehensif, yang sanggup menyentuh sampai level worldview, dan harus berpusatkan pada firman Tuhan. Sadar ataupun tidak sadar, kita mungkin sering menyatakan ketidaksetujuan hanya pada hal-hal yang lebih bersifat fenomena saja (misal, film yang penuh dengan adegan sadis, musik yang mengumbar nafsu, semangat kompetisi yang berlebihan dalam dunia pendidikan atau pekerjaan). Namun di balik segala fenomena tersebut, ada cara pandang atau worldview yang begitu rusak, yang terus menopang dan berperan di belakang layar. Di sinilah letak keunikan dan kekuatan dari Theologi Reformed. Dengan semangat untuk setia dan sepenuhnya kembali kepada Alkitab, Theologi Reformed tidak hanya berperang dan menerangi dalam level fenomena saja, melainkan terus masuk sampai level epistemologi dan worldview. Theologi Reformed dengan ketat memberikan tuntunan bahwa segala sesuatu harus dimulai dengan pengenalan Allah yang sejati, Allah Tritunggal. Hanya dengan pengenalan yang sejati ini, akhirnya manusia dapat memiliki pengetahuan yang benar, relasi yang benar dengan antar sesama, dan menjalankan fungsinya untuk menaklukkan dan mengelola alam.

Dalam buku “Gerakan Reformed Injili: Apa? dan Mengapa?”, Pdt. Stephen Tong memaparkan bahwa tokoh-tokoh Reformed seperti Abraham Kuyper, Herman Bavinck, Hendrik Kraemer di Belanda; dan Charles Hodge, Archibald Hodge, B. B. Warfield, Gresham Machen, Cornelius Van Til, John Murray di Amerika telah memperlihatkan semangat tidak berkompromi, yang diturunkan dari John Calvin. Theolog-theolog Reformed dengan gigih berdiri di garis pertempuran yang paling depan untuk melawan ajaran-ajaran yang tidak setia kepada Kitab Suci. Lebih dalam lagi, pengertian mengenai anugerah umum (common grace) dan wahyu umum (general revelation) telah menjadi kekuatan dan ciri khas Theologi Reformed, khususnya dalam memberikan tuntunan dalam menangani kompleksitas masalah kebudayaan. Gereja bukan hanya dipanggil untuk memberitakan Injil (mandat Injil), tetapi juga untuk menjadi terang dan memberikan pengaruh dalam berbagai aspek kebudayaan (mandat budaya).

C-F-R-C vs. Dualisme
Jika kita rangkum secara singkat, Christian Worldview dapat dilihat dengan pola Creation-Fall-Redemption-Consummation (C-F-R-C). Melalui cara pandang ini, kita melihat bahwa dunia pada mulanya adalah baik karena diciptakan oleh Allah Sang Pencipta yang sempurna. Namun setelah itu, manusia jatuh ke dalam dosa. Akibat dari dosa bukan hanya menimpa manusia, melainkan seluruh ciptaan. Di tengah-tengah kondisi tak berpengharapan ini, Kristus datang untuk menebus manusia. Seluruh umat tebusan Allah akhirnya harus memiliki tanggung jawab untuk mengembalikan seluruh ciptaan menuju rencana Allah yang semula. Kepenuhan dari tugas ini akan tercapai pada tahap konsumasi. Melalui perspektif ini, kita minimal memiliki empat pertanyaan krusial dalam melihat setiap realitas: Bagaimana rencana Allah mula-mula terhadap hal tersebut? Di mana letak unsur dosa atau kejatuhannya? Bagaimana cara merestorasi hal tersebut untuk kembali ke status dan maksudnya semula? Bagaimanakah titik atau tujuan akhir dari hal tersebut?

Bahaya besar yang melanda orang Kristen adalah ketidaksadaran bahwa firman Tuhan adalah kebenaran yang mencakup seluruh aspek hidup, bukan hanya untuk aspek spiritual saja. Banyak orang Kristen yang menjadi ragu atau guncang ketika berbenturan dengan worldview lain yang seolah-olah lebih superior, apalagi jika hal itu sudah diterima oleh orang banyak. Kekristenan menjadi semakin terdesak di wilayah spiritual saja. Akhirnya, cara pikir dualisme inilah yang semakin mendominasi orang Kristen. Jika kita sedikit menoleh ke belakang, pemikiran dualisme seperti ini menjadi sangat diterima sejak cetusan dari Immanuel Kant, filsuf yang menjadi simbol idealisme Jerman. Ia membagi dunia ke dalam dua golongan besar, yakni dunia phenomena dan dunia noumena. Segala hal yang bisa dianalisis dan dipikirkan termasuk dalam dunia phenomena. Aspek seperti agama dan moralitas dimasukkan ke dalam dunia noumena. Cara pandang seperti ini memberikan dampak negatif yang luar biasa terhadap iman Kristen. Iman Kristen tidak boleh dibatasi hanya dalam aspek hidup tertentu saja. Iman Kristen harus menjadi pedoman bagi emosi, pikiran, dan kehendak dari setiap orang Kristen. Bukankah Kristus juga yang memberikan perintah untuk mengasihi Allah dengan segenap hati dan dengan segenap jiwa dan dengan segenap akal budi kita?

Dengan Christian Worldview, kita dapat dengan jelas melihat bahwa kekristenan bukan hanya dapat berurusan dan menyelesaikan masalah rohani saja. Iman Kristen mampu menjawab tantangan dari realitas dunia dan menyediakan solusi dari berbagai ragam masalah kebudayaan. Mulai dari sains, etika, moral, dan relasi antar manusia. Penting bagi setiap orang Kristen untuk menyadari bahwa kekristenan bukan hanya urusan masuk sorga atau tidak, tetapi bagaimana seluruh keberadaanya kembali menjadi gambar dan rupa Allah yang menyatakan Allah melalui ketaatannya. Karena itu, setiap orang Kristen harus menggumulkan dan menyadari panggilan, talenta, dan takaran masing-masing untuk dapat merestorasi aspek-aspek ciptaan sesuai dengan kehendak Allah yang semula.

Perspektif dan pergumulan dari berbagai bidang
Dalam edisi PILLAR di tahun-tahun sebelumnya, beberapa penulis telah menggumuli Christian Worldview dalam bidangnya masing-masing. Pada kesempatan ini, saya akan sedikit merangkum dan membagikan buah pikiran mereka dan pertanyaan-pertanyaan yang bisa kita pikirkan dengan lebih dalam lagi. Dalam pergumulan di bidang Dentistry, kita dapat melihat artikel “Spesialisasi: Trinitas dalam Dentistry” edisi Juni 2008[2]. Diceritakan bahwa penulis yang belajar secara mendalam mengenai berbagai penyakit gigi, justru ditanya oleh pasiennya mengenai penyakit di bagian tubuh lain ketika ia sedang praktik. Penulis menjadi begitu terkejut karena baru sadar selama ini ia belajar dengan pendekatan yang begitu terfragmentasi dan ‘terspesialisasi’. Padahal gigi adalah bagian dari tubuh dan tentunya memiliki hubungan timbal balik dengan bagian tubuh lain. Pernahkah pembaca mengalami sakit gigi yang cukup parah? Tentu kepala ikut berdenyut-denyut dan nafsu makan mendadak hilang. Lebih jauh lagi, penyakit jasmani harus kita lihat kaitannya dengan ‘penyakit’ rohani. Secara tidak sadar, kita dengan begitu mudahnya terhanyut dalam pola pikir modern yang begitu terfragmentasi, tanpa mau menggumulkan integrasi atau relasinya dengan bagian atau bidang ilmu lain.

Dalam aspek teknologi, kita bisa melihat artikel mengenai “Tuhan atas Teknologi” pada edisi Juni 2008[3]. Dalam artikel ini, dijelaskan letak dan relasi antara Allah, manusia, alam, dan teknologi. Manusia yang dicipta menurut gambar dan rupa Allah, memang memiliki fungsi rasio untuk mengelola dan menaklukkan alam. Dalam usahanya mengusahakan alam dan memberikan interpretasi, manusia akhirnya menemukan dan memperkembangkan alat (teknologi). Menciptakan alat atau teknologi adalah salah satu keunikan manusia dibandingkan dengan makhluk lain. Meskipun demikian, dalam konteks dunia berdosa ini, teknologi tidak lagi netral dan tidak bisa lepas dari keberdosaan manusia. Kita bisa merenungkan sejenak mengenai trend social media, televisi, smartphone, dan laptop. Banyak orang yang sudah kecanduan Facebook. Bahkan Facebook sendiri harus memberikan batasan umur minimal bagi penggunanya, yakni 13 tahun. Teknologi laptop dan televisi ternyata justru membuat durasi konsentrasi seseorang semakin menurun dan melumpuhkan kemampuan refleksi dan berpikir secara aktif. Berita online sengaja dibuat pendek sebab pembaca tidak lagi ‘sanggup’ untuk membaca berita yang terlalu panjang (maksimum hanya dua halaman). Bukankah sepertinya posisinya menjadi terbalik?Apakah manusia yang menggunakan dan menjadi tuan atas alat? Atau manusia yang diperalat oleh alat? Bagaimanakah peran kita dan sejauh mana kita harus memisahkan nilai kebenaran dan bidat dalam suatu teknologi?

Dalam bagian lain, buah-buah manis dari Christian Worldview, khususnya melalui sayap Calvinisme, dipaparkan dengan lengkap dalam artikel “Calvin dan Calvinisme: Pengaruhnya terhadap Peradaban Manusia” edisi November dan Desember 2012[4]. Dalam artikel ini, dijelaskan bahwa Calvinisme telah memberikan pengaruh positif dalam lingkup sejarah, politik, seni, sosial, dan ekonomi. Mulai dari Glorious Revolution tanpa pertumpahan darah yang terjadi di Inggris, prinsip pemerintah yang melindungi warga negara, desentralisasi otoritas, sistem demokrasi yang stabil di berbagai negara Eropa, prinsip checks and balances, gerakan pendidikan dan pengajaran yang merata dalam seluruh lapisan masyarakat, sampai pada dobrakan mengenai konsep pekerjaan religius dan sekuler. Pada zaman itu, orang menganggap pekerjaan religius saja yang penting dan lebih tinggi. Calvin dengan berani menyatakan bahwa bekerja adalah ibadah. Sehingga bekerja dalam pekerjaan sekuler adalah sama pentingnya dan sucinya dengan pelayanan atau pekerjaan gerejawi.

Penutup
Setelah mengupas beberapa aspek mengenai worldview, penulis mengajak pembaca untuk benar-benar menggumulkan panggilannya di hadapan Tuhan. Apakah kita sudah sungguh-sungguh mengenal firman Tuhan, yang menjadi dasar dan fondasi seluruh hidup kita? Sudahkah kita dengan serius menggali segala talenta dan menggunakan setiap kesempatan untuk dipertanggungjawabkan kembali di hadapan Tuhan dalam segala aspek di dunia ini? Kiranya tuntutan Yesus Kristus bagi kita semua untuk menjadi garam dan terang dapat kita realisasikan melalui kehidupan kita.

Juan Intan Kanggrawan
Redaksi Bahasa PILLAR

Endnotes:
[1] https://www.buletinpillar.org/artikel/kursi-dalam-ruangan, https://www.buletinpillar.org/resensi/total-truth, https://www.buletinpillar.org/artikel/practicing-christian-worldview-on-medical-practice
[2] https://www.buletinpillar.org/artikel/spesialisasi-trinitas-dalam-dentistry
[3] https://www.buletinpillar.org/artikel/tuhan-atas-teknologi
[4] https://www.buletinpillar.org/artikel/calvin-dan-calvinisme-pengaruhnya-terhadap-peradaban-manusia-bagian-1, https://www.buletinpillar.org/artikel/calvin-dan-calvinisme-pengaruhnya-terhadap-peradaban-manusia-bagian-2

Referensi:
1. Abraham Kuyper, Lectures on Calvinism
2. Alvin Platinga, Reason and Belief in God
3. Nancy Pearcey, Total Truth: Liberating Christianity from Its Cultural Captivity
4. Ronald Nash, Faith and Reason
5. Stephen Tong, Gerakan Reformed Injili: Apa? dan Mengapa?