Perang

Perang, inilah suatu hal yang kerap kali mewarnai kehidupan manusia di dunia berdosa ini. Hampir setiap bangsa memiliki kisah peperangan dalam lembaran sejarahnya. Mulai dari peperangan yang hanya berskala antar daerah, sampai yang berskala global seperti perang dunia. Apa yang sebenarnya diketahui manusia tentang akibat yang pasti dari peperangan? Satu hal yang pasti, semua orang tahu dengan pasti bahwa peperangan hanya akan menimbulkan luka menganga yang sulit untuk disembuhkan. Sampai saat ini, ranjau darat di Kamboja masih begitu banyak bertebaran dan terus memakan korban jiwa dari rakyat sipil. Daya rusak bom atom di Hiroshima dan Nagasaki pun masih bisa dirasakan sampai beberapa generasi, baik secara fisik maupun mental. Tetapi apa daya, sampai detik ini, realitas peperangan masih terus bergulir. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari pun, prinsip-prinsip peperangan dapat dengan mudah kita jumpai. Mulai dari perkawinan strategi bisnis dengan taktik militer Sun Tzu sampai dengan kelicikan yang kelihatan sepele di dunia akademis seperti menyembunyikan buku perpustakaan sehingga tidak bisa ditemukan oleh orang lain.

Memang mengherankan, seolah memang ada ruang kosong dalam diri manusia untuk diisi dengan peperangan. Di negara-negara modern dengan teknologi maju dan tata ruang kota yang begitu asri, ternyata masih ada jiwa yang haus akan peperangan. Tidak heran, film-film action terus-menerus bermunculan. Game-game dengan tema perang terus-menerus digandrungi. Mulai dari yang sekadar tembak-menembak semacam Counter Strike, sampai kepada peperangan antar bangsa seperti Command and Conquer ataupun War Craft. Sebenarnya apa sih yang dicari dari hal-hal tadi? Sesuatu yang seru? Pengalaman menjadi pahlawan? Sekadar menghilangkan kebosanan? Apakah karena ada sesuatu yang seharusnya kita kerjakan, namun kenyataannya tidak, dan remah-remah dari hal tersebut akhirnya yang kita cari di dalam film ataupun game?

Namun demikian, peperangan memang memiliki tempatnya sendiri. Ada juga peperangan yang memiliki makna yang tinggi dan agung. Peperangan melawan perbudakan, penjajahan, dan diskriminasi adalah segelintir contoh mengenai perang yang lebih bermakna daripada sekadar tindak kekerasan yang tidak jelas. Bahkan peperangan melawan peperangan (baca: kekerasan) pun termasuk dalam kategori ini. Tidak heran tokoh-tokoh seperti Abraham Lincoln, Nelson Mandela, dan Mahatma Gandhi terus dikenang dalam sejarah. Dalam Perjanjian Lama pun Allah memerintahkan bangsa Israel untuk memerangi bangsa Kanaan. Jika demikian, ternyata memang ada ruang tersendiri untuk peperangan. Hanya saja hal yang perlu dipikirkan matang-matang adalah signifikansi, alasan untuk berperang, siapa kawan, dan siapa lawan.

Dalam kitab Kejadian, Allah memang sudah menetapkan bahwa akan ada peperangan antara keturunan perempuan dengan keturunan ular. Hal ini akhirnya dilihat dengan jelas melalui keturunan-keturunan Adam dan Hawa. Mulai dari perang pertama antara Kain dan Habel sampai kepada keturunan Ismael yang melahirkan dua belas orang raja. Juga keturunan dari anak-anak perempuan Lot yang menjadi orang-orang Moab dan Amon. Kemudian keturunan Esau yang menjadi orang-orang Edom. Peperangan dari keturunan-keturunan tersebut dengan garis umat pilihan dari keturunan Abraham, Ishak, dan Yakub terus berlangsung sampai kepada zaman Yesus Kristus.

Namun jika melihat kehidupan mayoritas orang Kristen, sepertinya realitas peperangan itu sudah menjadi tidak begitu relevan. Apakah karena memang benar-benar tidak relevan ataukah kita sebagai orang Kristen yang tidak lagi sadar, tidak peduli, dan sudah tidur begitu lelap? Padahal musuh sudah mengepung kita begitu rupa dan siap menyerang setiap saat. Sepertinya kalimat “ignorance is a bliss” yang dilayangkan Cypher dalam film The Matrix menjadi lebih mengena. Ia lebih memilih sesuatu yang sudah jelas-jelas hanyalah kenikmatan semu dari dunia matrix daripada perjuangan dalam dunia nyata. Hal ini digambarkan lebih jelas oleh pengintai Kanaan yang memilih untuk kembali ke Mesir daripada berperang dalam pimpinan Tuhan. Perbuatan Allah yang dahsyat, realitas penyertaan dan pemeliharaan Tuhan, semuanya dibuang. Sementara itu makanan di tanah perbudakan yang berujung pada kematian sebagai budak lebih dipilih oleh mereka. Jika dipikir-pikir, kadang kita juga tidak jauh berbeda. Tidak usah jauh-jauh menjadi misionaris ataupun pergi ke tempat-tempat sulit. Berdoa bersama dengan tubuh Kristus kita anggap tidak lebih penting daripada jam tidur yang lebih lama, jalan-jalan, ataupun hang-out. Memiliki hati untuk mendoakan teman-teman kita yang sedang berperang di garis depan penginjilan pun tidak.

Alkitab dengan jelas memaparkan begitu banyak kisah mengenai orang-orang yang begitu setia di dalam suatu peperangan. Salah satu kisah yang menggerakkan saya adalah ketika Absalom memberontak kepada Daud. Saat itu kondisi begitu kritis dan Yerusalem akan segera diambil alih oleh Absalom. Namun para pegawai Daud dengan begitu setia tetap mengikuti Daud dan siap melakukan segala hal yang diperintahkan sang raja. Bahkan seorang yang bernama Itai, yang bukan orang Israel (orang Gat) tetap bersikeras mengikuti Daud. Padahal Daud sudah menyuruhnya pulang agar tidak menyusahkan Itai. Tetapi Itai menjawab, “Demi TUHAN yang hidup, dan demi hidup tuanku raja, di mana tuanku raja ada, baik hidup atau mati, di situ hambamu juga ada”. Kisah heroik ini juga ditunjukkan oleh seorang pahlawan Daud yang bernama Sama. Saat bangsa Israel sudah melarikan diri, ia tetap berdiri tegak di suatu ladang yang penuh dengan kacang merah. Barisan tentara Filistin pun menyerbu bagaikan ombak. Namun ia seorang diri tetap berdiri di sana, membunuh bangsa Filistin dan mempertahankan daerah tersebut. Kesetiaan seperti inilah yang juga ditunjukkan oleh Sadrakh, Mesakh, dan Abednego ketika diperhadapkan dengan dapur api yang menyala-nyala. “Jika Allah kami yang kami puja sanggup melepaskan kami, maka Ia akan melepaskan kami dari perapian yang menyala-nyala itu, dan dari dalam tanganmu, ya raja; tetapi seandainya tidak, hendaklah tuanku mengetahui, ya raja, bahwa kami tidak akan memuja dewa tuanku, dan tidak akan menyembah patung emas yang tuanku dirikan itu”. Inilah pernyataan kesetiaan penuh dan iman kemenangan yang keluar dari mulut mereka.

Kisah peperangan ini pun terus berlanjut sampai ke Perjanjian Baru. Mulai dari para rasul yang diancam dan dianiaya, namun justru menjadi bersukacita karena dianggap layak untuk menderita bagi Tuhan. Stefanus yang akhirnya benar-benar mati mengalirkan darah karena dirajam. Sampai kepada penyiksaan dari Kerajaan Romawi kepada orang-orang yang berani membuka mulut dan mengakui Kristus sebagai Tuhan. Peperangan bukan hanya sekadar dalam bentuk serbuan-serbuan dan derap langkah tentara-tentara musuh, tetapi juga melalui tatapan tajam, penghinaan, ancaman, dan penyiksaan kepada orang yang mendengar, melakukan, dan berjuang untuk Firman. Namun demikian, sebenarnya siapakah yang menjadi musuh kita? Apakah para penentang-penentang tersebut? Nyatanya Tuhan juga bisa memakai orang yang tadinya begitu menentang Injil seperti Saulus. Perjuangan kita bukanlah melawan darah dan daging, tetapi melawan pemerintah-pemerintah, melawan penguasa-penguasa, melawan penghulu-penghulu dunia yang gelap ini, melawan roh-roh jahat di udara. Jangan sampai kita sudah tertidur sedemikian lelap, kemudian yang seharusnya menjadi kawan kita lawan, sementara musuh yang sejati kita biarkan bersarang dengan nyamannya. Jangan sampai kita menghakimi dan berargumentasi antar saudara seiman dengan begitu rupa dan sengit, tetapi tipuan Iblis yang bersalut gula kita sambut dengan tangan lebar. Lebih parah lagi, jangan sampai kita dipakai Iblis menjadi musuh bagi saudara seiman kita dengan menertawakan, menghina, atau bahkan melecehkan kehidupan mereka yang ingin taat dan takluk kepada Firman.

Begitu mengerikannyakah peperangan ini? Ya! Dari sisi manusia, hal ini begitu menakutkan. Bukankah Tuhan Yesus sendiri sudah mengatakan bahwa pengutusan itu sama seperti domba yang diutus ke tengah kawanan serigala? Jika hanya mengandalkan diri sendiri, tidak mungkin kita dapat bertahan. Dalam hitungan detik, domba akan dicabik-cabik serigala dan seluruh isi perut akan menjadi santapan mereka. Kita dapat melihat Petrus yang tadinya begitu yakin akan mengikut Tuhan sampai mati, ternyata akhirnya menyangkali Tuhan di hadapan pertanyaan yang dilontarkan hanya oleh seorang hamba perempuan. Kita hanyalah manusia yang begitu rapuh dan sangat mudah untuk mengkhianati Tuhan. Berulang kali arus dunia telah mendefinisi hidup kita. Sepertinya panggilan untuk menjadi garam dan terang sudah menjadi begitu jauh. Kita harus benar-benar memohon anugerah Tuhan agar kita tidak menjadi tawar sehingga akhirnya dibuang dan diinjak orang.

Ya Tuhan, aku berdoa agar kiranya Engkau memampukan kami untuk dapat mengikut Engkau dengan sungguh-sungguh. Ajarlah kami untuk menghidupi identitas kami sebagai orang Kristen, umat pilihan-Mu, yang sudah Engkau tebus dengan darah-Mu yang begitu mahal. Biarlah kelakuan kami layak dan sesuai dengan Firman-Mu. Berikanlah kepada kami ketaatan dan penyerahan diri yang penuh kepada-Mu. Sama seperti Abraham yang langsung keluar dari Mesopotamia ketika mendengar panggilan-Mu. Ataupun Matius yang langsung meninggalkan pekerjaannya sebagai pemungut cukai ketika Engkau memanggilnya saat ia sedang duduk di kantor pajak. Ajarlah kami untuk mau mengikut Engkau, menyangkal diri, dan memikul salib kami setiap hari. Biarlah kami memikul kuk yang Kau pasang dan belajar dari pada-Mu, karena Engkau lemah lembut dan rendah hati. Biarlah melalui hal itu, kami justru mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kau pasang itu enak dan beban itu ringan.

Bentuklah aku agar selalu sadar bahwa setiap detik dalam hidupku adalah peperangan. Ajar aku agar dalam setiap hal yang kulakukan dan dalam setiap pelayanan, tidak ada ruang untuk menonjolkan diri. Tidak dapat kubayangkan seseorang yang maju ke medan peperangan hanya untuk memamerkan diri. Dalam hitungan detik ia pasti sudah langsung ditebas mati oleh musuh. Bukankah kesalahan ini juga sudah dilakukan oleh Hizkia ketika ia memamerkan seluruh harta bendanya dan gudang senjatanya kepada utusan Babel? Sehingga akhirnya semua yang ia pamerkan dirampas ke Babel. Bukankah inilah alasan Engkau pada akhirnya hanya memilih tiga ratus dari tiga puluh dua ribu tentara Israel yang akan berperang di bawah pimpinan Gideon untuk melawan orang Midian dan Amalek yang seperti pasir di laut banyaknya? Sehingga pada akhirnya tidak ada lagi ruang bagi manusia untuk memegahkan diri. Biarlah segala kemuliaan hanya bagi Engkau, Sang Raja di atas segala raja.

Ya, Rajaku, biarlah hanya Engkau yang kucari dalam hidupku ini. Biarlah penyertaan-Mu saja yang memuaskanku. Ajar aku agar bersikap seperti Musa yang menolak kehormatan dan kemenangan atas bangsa Kanaan jika bukan Engkau sendiri yang berjalan dan menyertai. Bukankah hanya semata-mata karena Engkau sehingga satu orang bangsa Israel akhirnya mampu mengejar seribu orang musuh? Berikanlah kepadaku kerelaan untuk menderita sebagai seorang prajurit yang baik. Seorang prajurit yang sedang berjuang tidak memusingkan dirinya dengan soal-soal penghidupannya. Biar dengan demikian ia berkenan kepada atasannya. Biarlah aku terus berlari dengan begitu rupa menuju panggilan sorgawi dalam Engkau. Biarlah ketika kami masih hidup di dalam dunia, kami tidak berjuang secara duniawi. Karena senjata kami dalam perjuangan bukanlah senjata duniawi, melainkan senjata yang diperlengkapi dengan kuasa Allah, yang sanggup untuk meruntuhkan benteng-benteng. Biarlah karena penyertaan-Mu saja kami dapat mematahkan setiap siasat orang dan merubuhkan setiap kubu yang dibangun oleh keangkuhan manusia untuk menentang pengenalan akan Engkau. Kami menawan segala pikiran dan menaklukkannya kepada Kristus. Kiranya Engkau rela memakai kami yang hina ini. Janganlah membuang kami. Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna. Biarlah kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan. Amin.

Juan Intan Kanggrawan

Pemuda GRII Singapura