“Ya TUHAN, Tuhan kami, betapa mulianya nama-Mu di seluruh bumi! Keagungan-Mu yang mengatasi langit dinyanyikan. Dari mulut bayi-bayi dan anak-anak yang menyusu telah Kauletakkan dasar kekuatan” – Mazmur 8:1-3
Introduksi
Allah memberikan kepada sebagian orang karunia untuk menikah dan hidup berkeluarga dan kepada sebagian yang lain tidak[1]. Sebagaimana semua hal lain di dalam dunia, salah satu tujuan Allah memberikan kehidupan berkeluarga kepada seseorang adalah agar orang tersebut dapat belajar untuk makin mengenal-Nya. Salah satu keunikan dalam pengenalan akan Allah yang didapat di dalam kehidupan berkeluarga adalah perubahan paradigma yang dihasilkan melalui kehidupan berkeluarga. Sebelum seseorang menikah dan memiliki keluarga sendiri, ia melihat suatu keluarga dari perspektif seorang anak—yaitu ketika ia melihat keluarga yang dipimpin oleh ayah ibunya—atau dari perspektif seorang luar—yaitu ketika ia melihat keluarga orang lain. Namun ketika seseorang akhirnya menikah dan hidup berkeluarga, ia melihat sebuah keluarga dari perspektif pemilik, suami atau istri, dan orang tua. Perubahan sudut pandang ini dapat memberikan ilham yang mendalam mengenai karakter Allah, oleh sebab bahasa utama yang kita gunakan untuk memanggil Allah sebagaimana dinyatakan di dalam Alkitab adalah sebagai Bapa—yaitu Pemimpin dan Pemilik sebuah keluarga. Pada tulisan ini, penulis hendak membagikan perenungannya mengenai pengenalan akan karakter Allah yang didapat melalui kehadiran anak-anak, khususnya ketika mereka masih kecil, di dalam keluarga.
Melahirkan Anak
Anak merupakan pemberian besar Allah kepada kita. Alkitab menyebutkan anak-anak sebagai milik pusaka yang diberikan Allah kepada kita[2]. Proses memiliki anak sendiri merupakan suatu yang didesain secara ajaib. Oleh sebab dua orang yang menikah dan saling mengasihi, di dalam kepenuhan kasih mereka, dapat melahirkan seorang manusia yang lain. Tetapi bukan sekadar seorang manusia lain semata, melainkan juga suatu pribadi yang merupakan “gambar dan rupa” dari orang tuanya.
Demikian kita melihat anak-anak manusia yang diciptakan oleh Allah Tritunggal menurut gambar dan rupa-Nya di dalam kasih. Allah tidak harus menciptakan sesuatu menurut gambar dan rupa-Nya. Binatang, misalnya, tidak diciptakan di dalam gambar dan rupa Allah. Dan ketika Allah menciptakan sesuatu, Ia tidak harus mendasarinya dengan kasih. Benda-benda angkasa tidak diciptakan-Nya berdasarkan kasih. Akan tetapi Allah yang kita kenal di dalam Alkitab menciptakan manusia di dalam gambar dan rupa-Nya[3] dan memperhatikan manusia dengan sedemikian dalam, serta memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat, kendati manusia merupakan sesuatu yang sangat tidak signifikan dibandingkan Allah[4]. Ia menciptakan manusia pada hari yang terakhir, setelah segala sesuatu dipersiapkan bagi manusia[5], seumpama orang tua yang mempersiapkan dan membelikan semua barang-barang keperluan bayi sebelum ia melahirkan bayinya. Melalui proses memiliki anak, kita diajar untuk melihat Allah yang menciptakan manusia di dalam kepenuhan kasih-Nya dan membuat manusia tersebut serupa dengan-Nya, sebagaimana anak-anak yang dilahirkan menyerupai orang tuanya. Dengan demikian, kita bersyukur bahwa kehidupan kita di dunia ini adalah kehidupan yang berasal dari kasih, bukan suatu kehidupan yang kebetulan ada dan tanpa alasan.
Adopsi
Tidak semua pasangan yang menikah dikaruniai anak oleh Allah. Hal ini terkadang mengakibatkan sebagian pasangan yang tidak dikaruniai anak untuk melakukan adopsi. Untuk pasangan yang demikian, mereka mengadopsi atas dasar keinginan untuk memiliki anak. Dengan demikian mereka memperlakukan anak adopsi tersebut layaknya anak kandung mereka sendiri di dalam segala hal. Mereka merawat anak tersebut dengan usaha mereka sendiri, layaknya anak kandungnya. Mereka membiayai kehidupan anak tersebut sebagaimana layaknya jika anak tersebut merupakan buah kandungan mereka sendiri. Mereka mendidik anak tersebut dan menaruh harapan kepadanya, sebagaimana jika anak tersebut bukan anak adopsi, tetapi berasal dari darah dan daging mereka sendiri.
Bagi pasangan semacam ini, mereka mengalami sendiri apa yang dikerjakan oleh Allah kepada kita, yaitu mengadopsi kita. Alkitab memiliki tempat yang spesial bagi adopsi oleh sebab Allah hanya memiliki satu Anak Allah namun mengadopsi anak-anak manusia menjadi anak-anak-Nya. Anak-anak manusia yang diadopsi-Nya, diberikan warisan dan kemuliaan bersama dengan Anak tunggal-Nya[6]. Sebagaimana Allah memperlakukan dan mengasihi Anak tunggal-Nya, demikian Allah meluapkan kasih-Nya dan memperlakukan anak-anak adopsi-Nya sebagaimana Ia memperlakukan Anak-Nya. Itulah sebabnya adopsi bukan merupakan sesuatu yang tabu bagi iman Kristen, melainkan cermin dari apa yang dikerjakan oleh Allah sendiri kepada anak-anak manusia yang diangkatnya menjadi anak-anak Allah[7].
Kasih Tak Bersyarat
Anak-anak seringkali membuat kehidupan orang tua yang merawatnya jauh lebih sulit dibandingkan ketika mereka belum memiliki anak-anak. Ketika seseorang sudah menikah namun belum memiliki anak, ia hanya perlu berinteraksi dengan satu orang lain yang dikasihinya di dalam keluarganya, yaitu pasangannya yang juga sudah dewasa sebagaimana dirinya. Dalam banyak hal, pasangan dapat saling menolong dan membahagiakan seorang yang lain sebagai seorang dewasa yang tahu bagaimana untuk saling mengasihi.
Keadaan ini berubah secara drastis ketika seorang anak masuk ke dalam kehidupan mereka. Anak bayi memerlukan perhatian orang tua di dalam hampir segala hal: bagaimana mereka makan atau minum, bagaimana mereka buang air kecil atau buang air besar, bagaimana mereka dibersihkan tubuhnya, bagaimana mereka dikenakan pakaian, bagaimana mereka ditidurkan, dan lain sebagainya. Tetapi anak-anak bayi tidak dapat membalas jasa atau membantu memenuhi kebutuhan orang tua mereka.
Dan ketika si bayi menginjak masa kanak-kanak, tidak berarti kebutuhan mereka akan berkurang, malahan mungkin akan bertambah. Dalam masa kanak-kanak, seseorang perlu mendapatkan disiplin guna membentuk kebiasaan yang baik, perlu diajarkan tentang benar dan salah, perlu mendapatkan teladan yang baik dalam kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan, juga perlu mendapatkan pelbagai pelajaran tentang dunia, seperti melalui sains. Jika semuanya ini tidak tersedia, anak akan tumbuh secara sembarangan dan tidak dapat berkembang dengan benar.
Semuanya ini, jika dilihat sepintas, mungkin membuat seseorang untuk berpikir bahwa memiliki anak adalah hal yang merugikan bagi seseorang, sebagaimana paham yang diterima oleh banyak orang pada zaman ini. Akan tetapi, tidak demikian hal yang sesungguhnya terjadi bagi para orang tua, oleh sebab ketika mereka memiliki anak, keadaan jiwa mereka pun berubah secara drastis sehingga mereka memiliki kekayaan rohani yang jauh melampaui keadaan sebelum mereka memiliki seorang anak: mereka sekarang memiliki kasih tak bersyarat yang tumbuh secara alamiah di dalam jiwa mereka.
Di dalam dunia yang sudah jatuh ke dalam dosa, banyak hal tidak terjadi dengan sebagaimana seharusnya. Akan tetapi, kasih orang tua kepada anak merupakan hal yang bahkan di dalam dunia yang sudah jatuh ke dalam dosa sekalipun masih begitu umum dan begitu lumrah. Sedemikian alamiahnya kasih tak bersyarat yang tumbuh dari diri orang tua kepada anak-anak mereka sehingga Yesus Kristus sendiri pernah menanyakan suatu pertanyaan retorik, “Adakah seorang dari padamu yang memberi batu kepada anaknya, jika ia meminta roti, atau memberi ular, jika ia meminta ikan?”[8] Bahkan di dalam dunia yang sudah jatuh ke dalam dosa sekalipun, kasih orang tua kepada anak-anaknya masih merupakan suatu hal yang begitu umum dan begitu lumrah.
Demikianlah orang tua melihat proses di dalam membesarkan anaknya, yaitu di dalam keadaan jiwa yang memiliki kasih tak bersyarat yang tumbuh secara alamiah kepada anak-anak mereka. Ketika anak-anaknya membutuhkan sesuatu dan ia dapat memenuhi kebutuhan anak tersebut, seperti ketika ia memberikan susu atau memandikan anaknya, ia menganggapnya sebagai suatu kebahagiaan bahwa kebutuhan anaknya terpuaskan, dan ia lupa akan jerih lelahnya[9]. Ketika anak-anaknya berbuat kesalahan, ia bersusah hati, akan tetapi ketika anak-anaknya berubah dari tingkah lakunya yang buruk, ia bersukacita karenanya[10]. Kesulitan yang ia alami karena anaknya mungkin membuat kehidupannya lebih sulit berlipat ganda dibandingkan ketika ia belum memiliki anak. Akan tetapi, sukacita yang didapatkannya melalui kasih tak bersyarat kepada anak-anaknya dan dalam melihat pertumbuhan anak-anaknya adalah berpuluh-puluh kali lipat dibandingkan ketika ia belum memiliki seseorang yang secara alamiah memerlukan kasih tak bersyarat seperti darah dagingnya sendiri.
Demikian pula kita mengenal bagaimana Tuhan berelasi dengan kita ketika kita menjadi anak-anak-Nya. Tuhan tidak keberatan merawat kita dengan lengan-Nya, oleh karena Ia menaruh kasih kepada kita. Bagi-Nya, pemenuhan kebutuhan kita melalui anugerah-Nya adalah hal yang memuaskan hati-Nya[11]. Tuhan tidak bersukacita ketika kita berbuat jahat, akan tetapi sedemikian bersuka hati atas pertobatan-pertobatan kita[12]. Tuhan menikmati setiap pertumbuhan dalam diri kita dan menjaga kita seperti biji mata-Nya[13], sekalipun kita bukan anak-anak yang taat dan telah berdosa kepada-Nya. Kita mungkin berpikir bahwa sebagai Allah, mungkin lebih baik bagi-Nya untuk tidak menciptakan manusia yang memberontak kepada-Nya, sebagaimana seseorang akan hidup lebih nyaman tanpa anak jika dibandingkan hidup merawat anaknya. Akan tetapi, Allah adalah kasih itu sendiri[14]. Ia, sebagaimana orang tua melihat anak-anaknya, tidak menganggap sebagai suatu beban untuk hidup berelasi dengan anak-anak manusia yang diangkat-Nya menjadi anak-anak-Nya, oleh pengorbanan Yesus Kristus. Demikian kita dapat belajar mengenal karakter Allah yang mengasihi kita dengan kasih ilahi melalui kehidupan sebagai orang tua yang memiliki anak.
Kata-Kata yang Terbatas
Ketika seorang anak mulai belajar mendengar dan berbicara, ia berbicara dengan bahasa yang sangat sederhana. Terkadang ia berkata dengan kata tanpa arti, terkadang ia berkata dengan satu suku kata saja, terkadang ia salah melakukan pengucapan kata, terkadang ia memakai kata yang salah untuk merujuk pada sesuatu yang bukan dimaksudkan oleh kata tersebut, dan tidak jarang seorang anak kecil hanya menangis tanpa berkata-kata untuk mengutarakan maksud hatinya. Walaupun demikian, orang tua dari anak tersebut mengerti maksud dari anak tersebut. Orang tua mungkin menggendong anaknya, memberikan susu, menidurkan, atau mengajaknya bermain, hanya dengan mendengarkan kata-kata yang terbatas atau tangisan dari seorang anak, dan anak tersebut segera berhenti dari keluhannya, menandakan bahwa kebutuhannya dimengerti dan dipenuhi oleh orang tuanya.
Walaupun hal ini sering sekali kita lihat, apa yang baru saja kita bahas adalah tidak kurang dari suatu gambaran ilahi. Sebagaimana orang tua mengerti maksud anak-anaknya yang berkata-kata dengan bahasa yang terbatas, demikian Allah memahami kebutuhan terdalam manusia yang berkata-kata hanya dengan bahasa yang terbatas, yang salah, yang tidak lengkap, yang ia sendiri tidak selalu mengerti apa yang sesungguhnya dimaksudkannya atau dimintakannya. Allah mengerti dan mengenal kita secara jauh lebih dalam dibandingkan dengan kita mengerti dan mengenal diri kita sendiri. Ia mengerti secara sempurna maksud ucapan-ucapan kita yang tidak terkatakan dan Ia menjawab dengan sempurna doa seorang percaya menurut kebutuhan orang tersebut[15].
Seorang anak juga harus diajar untuk dapat berkata-kata dan mengerti arti dari kata-kata tersebut dengan benar. Orang tua yang berkomunikasi dengan anaknya dengan berkata-kata, memulainya dengan mengajarkan anak-anaknya kata-kata yang sangat sederhana. Untuk setiap kata yang dimaksudkan oleh orang tua tersebut, ia tidak jarang langsung menunjukkan benda atau aksi atau sifat yang dimaksud oleh kata tersebut. Anak-anak yang memperhatikan pengajaran kata-kata tersebut dari orang tuanya, belajar untuk mengenal arti kata yang diajarkan melalui apa yang ditunjukkan oleh orang tuanya. Tidak lama, ia kemudian mulai belajar untuk mengucapkan kata-kata yang sama untuk merujuk kepada arti yang sama pula. Ketika orang tua melihat bahwa anak-anaknya mengerti arti kata yang telah diajarkan sebelumnya, barulah mereka mulai mengajarkan kata yang lebih kompleks yang hanya dapat dimengerti melalui mengenal arti kata yang sudah diajarkan sebelumnya (misalnya, seorang anak seringkali perlu mengenal maksud kata “banyak” dan “sedikit” lebih dahulu sebelum mengerti arti kata “sering” dan “jarang”). Dengan demikian, seorang anak belajar berkata-kata dengan mengenal dunia dari orang tuanya tidak secara sekaligus, melainkan secara setahap demi setahap.
Demikian pula halnya dengan Allah yang berkomunikasi dengan kita, yaitu melalui bahasa dan kata-kata yang kita mengerti, selangkah demi selangkah. Allah melakukannya, agar kita dapat mengenal-Nya dan mengerti apa yang menjadi maksud pikiran-Nya. Sekalipun perbedaan kualitas antara Allah dan manusia jauh melampaui perbedaan kualitas orang tua dengan anak-anaknya, Allah rela membatasi diri-Nya begitu rupa dan memperkenalkan diri-Nya kepada kita dengan sangat sederhana, setahap demi setahap. Ketika seseorang baru percaya, Allah mengajarkan kepadanya pokok-pokok dasar iman dengan sangat sederhana. Ia tidak jarang mengabulkan doa mereka yang sepele, namun tidak salah, dari orang-orang yang baru percaya. Akan tetapi, ketika kita sudah makin mengenal-Nya, Ia mulai memberikan makanan keras dan pelatihan-pelatihan iman yang tidak mudah[16].
Dalam semuanya itu, Allah, sebagaimana orang tua bagi anak-anaknya, melakukannya berdasarkan kasih, guna mendidik kita agar kita dapat hidup menjadi penghuni surga yang layak. Sama dengan seorang orang tua yang mendidik anak-anaknya agar suatu kali anak-anaknya dapat menjadi penghuni bumi yang layak, yaitu orang-orang yang berguna bagi masyarakat. Kita bersyukur karena kita memiliki Allah yang mengasihi kita dan mengakomodasi keadaan kita yang terbatas agar kita dapat bertumbuh makin sempurna menyerupai Anak-Nya, mau mengajar kita setahap demi setahap di dalam perjalanan kehidupan iman kita.
Penutup
Penulis percaya bahwa masih banyak lagi hal-hal yang dapat kita pelajari mengenai karakter Allah melalui kehadiran anak di dalam keluarga yang tidak mungkin dibahas satu per satu. Akan tetapi, penulis berharap bahwa renungan yang ditulisnya cukup untuk memberikan rangsangan kepada para pembaca untuk mengenal keagungan karakter Allah yang mungkin dikenal melalui kehadiran anak-anak di dalam keluarga. Kita bersyukur, karena Allah yang kita kenal adalah Allah yang menyebut diri-Nya sebagai Bapa bagi orang-orang percaya. Oleh karena itu, sebagai Bapa pula Ia seharusnya kita kenal. Dan kita bersyukur kita dapat dengan lebih jelas mengerti karakter semacam apa Bapa tersebut, ketika kita sendiri dikaruniakan untuk menjadi bapa bagi anak-anak kita!
Ian Kamajaya
Jemaat GRII Singapura
[1] 1Kor. 7:7-9
[2] Mzm. 127:3
[3] Kej. 1:26-27
[4] Mzm. 8:4-10
[5] Kej. 1:24:31
[6] Rm. 8:17
[7] Yoh. 1:12
[8] Mat. 7:9-11
[9] 1Kor. 13:5
[10] 1Kor. 13:6
[11] Yak. 1:5
[12] Yeh. 33:11
[13] Mzm. 17:7-8
[14] 1Yoh. 4:8
[15] Rm. 8:26-27
[16] Ibr. 5:14, Yak. 1:2-4