Introduksi
Di dalam artikel ini, kita sekalian diajak untuk melihat keunikan relasi antara kita dengan Allah kita, dan implikasi yang perlu kita perhatikan dari relasi yang unik tersebut. Namun keunikan tersebut hanya dapat terlihat dengan lebih sempurna jika sebelumnya kita tahu tentang identitas kita sebelum kita dibenarkan. Maka, artikel ini akan dimulai dengan pembahasan yang singkat tentang pembenaran, sekedar untuk mengingatkan kembali para pembaca akan tema yang sudah disorot oleh Pillar edisi bulan lalu.
Dinyatakan Tidak Bersalah dan Dinyatakan Benar
Di dalam Pillar edisi sebelumnya sudah dibahas tentang doktrin pembenaran (justification). Di sini akan dijelaskan sekali lagi dengan sebaik-baiknya dan dengan singkat berdasarkan pengertian terhadap doktrin tersebut. Diharapkan penjelasan singkat ini dapat melengkapi penjelasan-penjelasan di edisi sebelumnya.
Doktrin pembenaran ini adalah ajaran tentang pembenaran manusia penuh dosa dengan jalan dinyatakan tidak bersalah dan dinyatakan benar. “Dinyatakan tidak bersalah” dan “dinyatakan benar” adalah dua frasa yang sengaja dibedakan dan tidak dianggap redundant karena keduanya memang menekankan dua sisi yang berbeda dari satu tindakan penyelamatan oleh Yesus Kristus. “Dinyatakan tidak bersalah” berarti kesalahan kita diperhitungkan kepada Yesus Kristus, sedangkan “dinyatakan benar” berarti kebenaran-ketaatan (righteousness and obedience) Yesus Kristus diperhitungkan kepada kita.
Mengapa bisa demikian? Bagaimana hal ini dapat terjadi? Memang sulit jika kita ingin mengerti kenyataan di atas dengan menggunakan logika kita sendiri. Masih ingat bagaimana dulu kita, sebelum kita mengerti, suka memprotes tentang dosa asal? Bagaimana mungkin, bukankah Adam yang berdosa? Tetapi mengapa saya juga dianggap berdosa? Untuk mengerti hal ini, kita perlu memakai cara pandang Alkitab. Bagi cara pandang Alkitab, hal di atas sangat logis dan sah karena di dalam Alkitab kita mengenal konsep representasi.
Demikianlah, karena dosa satu orang, semua orang menjadi berdosa:
“Sebab itu, sama seperti dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang, dan oleh dosa itu juga maut, demikianlah maut itu menjalar kepada semua orang, karena semua orang telah berbuat dosa” (Rm. 5:12).
“. . . karena pelanggaran satu orang semua orang telah jatuh di dalam kuasa maut . . .” (ay. 15)
“. . . oleh satu pelanggaran semua orang beroleh penghukuman . . .” (ay. 18)
Demikianlah, karena dosa semua orang, satu Orang dijadikan dosa:
“Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuat-Nya menjadi dosa karena kita . . .” (2Kor. 5:21)
Dan demikianlah, karena kebenaran-ketaatan satu Orang, semua orang menjadi benar:
“. . . oleh ketaatan satu orang semua orang menjadi yang benar . . .” (Rm. 5:19)
Jikalau dosa dari Adam menjalar ke semua orang, maka kebenaran-ketaatan dari Yesus Kristus hanya menjalar ke sejumlah orang yang terbatas. Dan orang-orang yang mewarisi kebenaran-ketaatan dari Anak Tunggal Allah inilah yang disebut anak-anak Allah.
Kesatuan Anak Tunggal Allah dengan Anak-Anak Allah
Perlu disampaikan di sini, anak-anak Allah dapat mewarisi kebenaran-ketaatan dari Anak Tunggal Allah adalah karena Roh Kudus bekerja sebagai penghubungnya. Ini bisa terjadi karena Roh Kudus menyatukan Yesus Kristus dengan umat-Nya. “Sebab dalam satu Roh kita semua, baik orang Yahudi, maupun orang Yunani, baik budak, maupun orang merdeka, telah dibaptis menjadi satu tubuh dan kita semua diberi minum dari satu Roh” (1Kor. 12:13). Yang dimaksud dengan “tubuh” di dalam ayat tersebut pastilah tubuh Kristus. Tubuh Kristus dan Kristus adalah kesatuan yang tak terpisahkan, dan ini adalah karya Roh Kudus.
Roh Kudus menguduskan (dilambangkan dengan baptisan) anak-anak Allah dengan cara membawa mereka bersatu dengan kematian dan kebangkitan Kristus:
“Karena dengan Dia kamu dikuburkan dalam baptisan, dan di dalam Dia kamu turut dibangkitkan juga oleh kepercayaanmu kepada kerja kuasa Allah, yang telah membangkitkan Dia dari orang mati.” (Kol. 2:12)
“Atau tidak tahukah kamu, bahwa kita semua yang telah dibaptis dalam Kristus, telah dibaptis dalam kematian-Nya? Dengan demikian kita telah dikuburkan bersama-sama dengan Dia oleh baptisan dalam kematian, supaya, sama seperti Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh kemuliaan Bapa, demikian juga kita akan hidup dalam hidup yang baru.” (Rm. 6: 3-4)
Di saat-saat paling melankolisnya, Daud berseru, “Apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya?” Dengan rasa takjub, marilah juga kita renungkan, siapakah anak-anak Allah, sehingga mendapat hak untuk mati dan bangkit bersama Anak Tunggal Allah? Seberapa penting anak-anak Allah? Apa yang dikatakan Alkitab tentang ini?
Isi Seluruh Kitab Suci
Isi seluruh kitab suci Kristen adalah tentang pekerjaan dan karya Allah Tritunggal yang mulia untuk menggenapkan rencana-Nya bagi dan melalui anak-anak Allah yang tinggal di dunia. Meskipun demikian, kita tetap menyadari dan mengakui bahwa Alkitab tidak memuat semua kebenaran Tuhan dan yang termuat hanyalah apa yang menurut Roh Kudus perlu kita ketahui sampai waktu yang sudah ditentukan. Lebih jauh, kebenaran yang tidak termuat adalah memang bukan untuk kita, kita mengenalnya sebagai misteri. Meskipun demikian, Alkitab diberikan oleh Allah Tritunggal kepada anak-anak Allah, dengan tujuan yang jelas, yaitu: supaya dibaca anak-anak Allah sehingga mereka mengenal-Nya dengan benar.
Katekismus Singkat Westminster dengan mengesankan menjelaskan tentang apa ajaran seluruh Alkitab dengan kalimat yang singkat dan padat:
Q3: What do the Scriptures principally teach?
A3: The Scriptures principally teach what man is to believe concerning God, and what duty
God requires of man.
Mengembangkan sedikit jawaban yang diberikan oleh katekismus ini, Alkitab memuat deskripsi dan preskripsi (atau dalam bahasa filsafat: “is” dan “ought”) tentang relasi antara Allah dan anak-anak-Nya. Deskripsi artinya Alkitab menggambarkan secara apa adanya bagaimana relasi itu sudah berjalan selama ini. Preskripsi artinya relasi seperti apa yang Tuhan tuntut. Tentu saja, untuk melakukan ini Alkitab juga memberitahu kita siapa itu Allah Tritunggal dan siapa itu anak-anak Allah, serta seperti apa dunia itu karena anak-anak Allah hidup di dalam dunia. Tanpa ada pengetahuan tentang hal-hal ini, relasi tidak mungkin terjadi dengan benar.
Seluruh kerangka dari penyusunan Alkitab dapat kita amati pada tiga ayat berikut:
“Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah. Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara. Dan mereka yang ditentukan-Nya dari semula, mereka itu juga dipanggil-Nya. Dan mereka yang dipanggil-Nya, mereka itu juga dibenarkan-Nya. Dan mereka yang dibenarkan-Nya, mereka itu juga dimuliakan-Nya.” (Rm 8:28-30)
Dari bagian ini kita tahu bahwa relasi yang diinginkan adalah kita menjadi saudara Anak-Nya setelah kita dijadikan serupa dengan gambaran Anak-Nya. Dengan demikian, dari kekekalan kita sebenarnya sudah ditentukan untuk menjadi anak-anak Allah. Menjadi anak-anak Allah adalah panggilan, hak, dan tanggung jawab.
Dari bagian ini juga kita melihat bahwa tidak semua orang akan dijadikan serupa dengan gambaran Anak-Nya. Meskipun semua orang adalah gambar dan rupa Allah, hanya orang-orang yang dipilih-Nya saja yang akan dijadikan serupa dengan gambaran Kristus dan menjadi saudara-Nya. Boleh dikatakan, mereka yang sudah dipilih dan ditentukan ini adalah gambar dan rupa Allah limited edition. Karena mereka dirancang untuk dijadikan serupa dengan Kristus, mereka cocok ketika disatukan secara faktual oleh Roh Kudus menjadi satu tubuh Kristus, melalui kesatuan mereka dengan Kristus di dalam kematian dan kebangkitan-Nya.
Pemeliharaan Anak-Anak Allah di Dalam Sejarah
Kristus adalah yang Sulung dari segala ciptaan. Sebagai saudara yang segambar dengan-Nya, anak-anak Allah pun adalah yang sulung dari semua manusia yang lain, sehingga seluruh sejarah berfokus pada mereka. Sebagaimana yang sudah kita lihat tadi apa yang dituliskan oleh Paulus, “Bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah.” Dari sini, kita dapat melihat bahwa segala kejadian di dalam sejarah dunia hanyalah untuk melayani maksud Tuhan di dalam pemeliharaan-Nya atas umat pilihan-Nya, karena sebagai penyandang rupa Kristus, mereka adalah pusat dari seluruh ciptaan.
Pada mulanya di taman Eden, Adam menjadi wakil bagi seluruh anak Allah yang belum dilahirkan pada saat itu. Adam sendiri adalah anak Allah (Lukas 3:38). Sebagai anak Allah yang mewakili semua anak-anak Allah yang lain, Adam gagal untuk taat dan hidup benar di hadapan Tuhan. Oleh pelanggarannyalah kita semua telah jatuh ke dalam kuasa maut (Roma 5:15), karena kita semua bersekutu di dalam Adam (1Kor. 15:22). Namun demikian, Allah menjanjikan keselamatan bagi umat-Nya melalui seorang benih perempuan yang akan mengalahkan kuasa setan dan maut.
Setelah Adam, umat Allah dilambangkan oleh bangsa Israel. Israel menjadi yang sulung dari antara semua bangsa, “Israel ialah anak-Ku, anak-Ku yang sulung” (Kel. 4:22). Sebagai umat Tuhan, bangsa Israel dipelihara keberadaannya oleh Tuhan. Mereka dibebaskan oleh Tuhan dari tanah Mesir, diangkat menjadi anak, dan menerima Taurat dari Tuhan melalui Musa sehingga mereka tahu apa yang harus mereka lakukan supaya diperkenan oleh Tuhan. “Sebab mereka adalah orang Israel, mereka telah diangkat menjadi anak, dan mereka telah menerima kemuliaan, dan perjanjian-perjanjian, dan hukum Taurat, dan ibadah, dan janji-janji” (Rm. 9:4). Namun demikian, selama beratus-ratus tahun bangsa Israel terbentuk dan beratus-ratus tahun kerajaan Israel berdiri, Israel tetap menunjukkan kegagalannya di dalam menaati Tuhan, sehingga bangsa tersebut dibuang oleh Tuhan.
Ketidaktaatan Israel itu menimbulkan sakit hati yang amat dalam di hati Tuhan, sehingga Tuhan memilih bahasa puitis untuk mengungkapkannya, seperti yang dapat kita lihat di dalam Yehezkiel 16. Inilah salah satu tulisan yang paling jelas melukiskan pedihnya hati Tuhan:
“Asalmu dan kelahiranmu ialah dari tanah Kanaan; ayahmu ialah orang Amori dan ibumu orang Heti. Kelahiranmu begini: Waktu engkau dilahirkan, pusatmu tidak dipotong dan engkau tidak dibasuh dengan air supaya bersih; juga dengan garampun engkau tidak digosok atau dibedungi dengan lampin. Tidak seorangpun merasa sayang kepadamu sehingga diperbuatnya hal-hal itu kepadamu dari rasa belas kasihan; malahan engkau dibuang ke ladang, oleh karena orang pandang enteng kepadamu pada hari lahirmu. Maka Aku lalu dari situ dan Kulihat engkau menendang-nendang dengan kakimu sambil berlumuran darah dan Aku berkata kepadamu dalam keadaan berlumuran darah itu: Engkau harus hidup dan jadilah besar seperti tumbuh-tumbuhan di ladang! Engkau menjadi besar dan sudah cukup umur, bahkan sudah sampai pada masa mudamu. Maka buah dadamu sudah montok, rambutmu sudah tumbuh, tetapi engkau dalam keadaan telanjang bugil. Maka Aku lalu dari situ dan Aku melihat engkau, sungguh, engkau sudah sampai pada masa cinta berahi. Aku menghamparkan kain-Ku kepadamu dan menutupi auratmu. Dengan sumpah Aku mengadakan perjanjian dengan engkau, demikianlah firman Tuhan ALLAH, dan dengan itu engkau Aku punya. Aku membasuh engkau dengan air untuk membersihkan darahmu dari padamu dan Aku mengurapi engkau dengan minyak. Aku mengenakan pakaian berwarna-warna kepadamu dan memberikan engkau sandal-sandal dari kulit lumba-lumba dan tutup kepala dari lenan halus dan selendang dari sutera. Dan Aku menghiasi engkau dengan perhiasan-perhiasan dan mengenakan gelang pada tanganmu dan kalung pada lehermu…. Dan namamu termasyhur di antara bangsa-bangsa karena kecantikanmu, sebab sangat sempurna adanya, oleh karena semarak perhiasan-Ku yang Kuberikan kepadamu…. Tetapi engkau mengandalkan kecantikanmu dan engkau seumpama bersundal dalam menganggarkan ketermasyhuranmu dan engkau menghamburkan persundalanmu kepada setiap orang yang lewat…. Dalam segala perbuatan-perbuatanmu yang keji dan persundalanmu itu engkau tidak teringat lagi kepada masa mudamu, waktu engkau telanjang bugil sambil menendang-nendang dengan kakimu dalam lumuran darahmu… engkau… menjual kecantikanmu menjadi kekejian dengan merenggangkan kedua pahamu bagi setiap orang yang lewat, sehingga persundalanmu bertambah-tambah…. Tetapi engkau tidak seperti sundal biasa, oleh karena engkau menolak upah sundal…. Hai isteri yang berzinah, yang memeluk orang-orang lain ganti suaminya sendiri. Kepada semua perempuan sundal orang memberi upah, tetapi engkau sebaliknya, engkau yang memberi hadiah umpan kepada semua yang mencintai engkau sebagai bujukan, supaya mereka dari sekitarmu datang kepadamu untuk bersundal. Oleh karena itu, hai perempuan sundal, dengarkanlah firman TUHAN! … Oleh karena engkau menghamburkan kemesumanmu dan auratmu disingkapkan dalam persundalanmu dengan orang yang mencintaimu dan dengan berhala-berhalamu yang keji dan oleh karena darah anak-anakmu yang engkau persembahkan kepada mereka, sungguh, oleh karena itu Aku akan mengumpulkan semua kekasihmu, yaitu yang merayu hatimu, baik yang engkau cintai maupun yang engkau benci; Aku akan mengumpulkan mereka dari sekitarmu untuk melawan engkau dan Aku akan menyingkapkan auratmu di hadapan mereka, sehingga mereka melihat seluruh kemaluanmu.”
Adam dan Israel, sebagai anak-anak Allah, sama-sama gagal untuk taat dan menimbulkan sakit hati yang sangat di hati Allah. Empat ratus tahun lamanya Tuhan bungkam terhadap orang Israel, seolah-olah Tuhan sudah meninggalkan umat-Nya. Akan tetapi, Tuhan tidak pernah lupa akan janji-Nya bahwa Dia akan menyediakan keselamatan bagi umat-Nya. Setelah itu, lahirlah benih perempuan yang dijanjikan Tuhan itu ke dalam dunia. Dialah Anak Tunggal Allah, yang akan mengerjakan apa yang gagal dikerjakan oleh Adam dan Israel sebagai anak-anak Allah. Dialah yang diperkenan oleh Tuhan. “Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan” (Mat. 3:17). Ketika hidup di dunia ini, Dia taat sepenuhnya, hidup-Nya benar dan tak bercacat cela. Nantinya, kebenaran-ketaatan-Nya inilah yang akan diperhitungkan kepada anak-anak Allah ketika Roh Kudus membenarkan mereka.
Setelah Yesus Kristus menggenapkan semua rencana Bapa di dunia ini, Ia kembali ke sorga dan mengutus Roh Kudus untuk menggenapkan pekerjaan Allah Tritunggal di dalam sejarah penebusan. Roh Kuduslah yang mengumpulkan orang-orang percaya, melahirbarukan, membenarkan, dan menguduskan mereka, sehingga mereka disebut anak-anak Allah. Sampai saat ketika artikel ini ditulis pun, dua ribu tahun setelah gereja pertama berdiri, kita masih terus menyaksikan bagaimana Roh Kudus bekerja pada hari ini untuk mengumpulkan dan memelihara umat pilihan Tuhan.
Wujud Pemeliharaan: Taurat dan Roh
Jikalau dahulu bangsa Israel ketika diangkat menjadi anak, diberikan Taurat oleh Tuhan, maka anak-anak Allah di dalam gereja diberikan Roh Kudus sebagai pengganti Taurat. Hal ini sangat jelas terlihat di dalam tulisan Paulus.
Roma 7 dan Galatia 3:15-4:31 | Roma 8:1-17 dan Galatia 5:1-26 |
Hidup di bawah Taurat yang mengikat | Hidup oleh Roh yang memerdekakan |
Di dalam dua suratnya, Roma dan Galatia, kita dapat melihat suatu perpindahan atau pergerakan dari yang lama menuju ke yang baru. Di dalam surat Galatia, Paulus menjelaskan bahwa Taurat tidak menghidupkan, tetapi bersifat mengikat dan mengurung. Taurat diberikan sebagai “penuntun bagi kita sampai Kristus datang” (3:24) untuk mengawasi kita dari pelanggaran-pelanggaran. Melalui surat Roma, kita juga menjadi tahu bahwa ketika “penuntun” atau “pengawas” ini diberikan, dosa malah semakin menjadi-jadi di dalam orang yang hidup di bawah Taurat (7:7-11), padahal Taurat itu sendiri tidak bersalah, “hukum Taurat adalah kudus, dan perintah itu juga adalah kudus, benar, dan baik” (ay. 12).
Taurat bukan jalan keluar. Inilah yang hendak dikatakan oleh Paulus. Taurat, meskipun kudus dan dimaksudkan untuk mengekang dosa, malah merangsang dosa untuk bekerja lebih hebat. Jikalau yang mendapat Taurat itu adalah manusia lama yang masih hidup menurut daging, Taurat hanya akan seperti bahan bakar yang disiramkan ke atas api, membuat api itu semakin menyala-nyala. Namun yang salah bukan Taurat-Nya, melainkan manusia berdosa.
Kita tidak akan membahas terlalu mendetail mengenai ketidakberdayaan Taurat karena bukan merupakan fokus pembahasan dari artikel ini. Yang ingin ditekankan melalui pembahasan ini adalah bahwa kita sebagai anak-anak Allah tidak lagi hidup di bawah Taurat yang mengurung, melainkan hidup oleh Roh yang memerdekakan. Jika Taurat adalah identitas orang Yahudi, maka Roh adalah identitas orang Kristen.
Roh: Identitas Manusia Baru
Sebagai orang yang dipimpin oleh Roh, anak-anak Allah tidak lagi hidup di bawah Taurat (Gal. 5:18), karena kita sudah dimerdekakan. Jauhlah kiranya dari kita untuk mengartikan ini sebagai kemerdekaan dari Taurat, seolah-olah Taurat adalah jahat, karena Alkitab tidak pernah mengajarkan demikian. Kristus sendiri datang tidak untuk membatalkan Taurat, tetapi menggenapinya. Ia berseru, “Siapa yang meniadakan salah satu perintah hukum Taurat sekalipun yang paling kecil, dan mengajarkannya demikian kepada orang lain, ia akan menduduki tempat yang paling rendah di dalam Kerajaan Sorga; tetapi siapa yang melakukan dan mengajarkan segala perintah-perintah hukum Taurat, ia akan meduduki tempat yang tinggi di dalam Kerajaan Sorga…. Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga” (Mat. 5:19-20). Yang dimaksud oleh Paulus dengan “tidak lagi hidup di bawah Taurat” harus kita mengerti di dalam terang penjelasan Paulus mengenai Taurat sebagai “wali” dan “pengawas” bagi anak-anak Allah sebelum Kristus datang (Gal. 4:1-5). Artinya, jika kita hidup oleh Roh, kita tidak perlu diawasi lagi oleh huruf yang mati, karena kita akan hidup menuruti keinginan Roh yang hidup. Taurat tidak perlu mengawasi kita, karena Roh akan mencelikkan kita sehingga kita dapat melihat dan membedakan apa yang baik dan yang tidak baik. “Perbuatan daging telah nyata, yaitu: percabulan, kecemaran, hawa nafsu, penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, …. (ay. 19-21). Roh tidak hanya memimpin kita pada ketaatan pasif (tidak melakukan apa yang Taurat larang) tapi juga ketaatan aktif (melakukan apa yang Tuhan perintahkan): “Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri” (ay. 22-23).
Maksudnya di sini, rupa Kristus, yang setelah kejatuhan Adam, telah kabur di dalam manusia-manusia limited edition itu, kembali dinyatakan dan dipulihkan oleh Roh Kudus. Dahulu rupa ini nyata di dalam Adam sebelum ia jatuh ke dalam dosa. Dan ketika rupa itu nyata, Adam tidak perlu diawasi dan dituntun oleh Taurat. Sekarang, Roh Kudus memulihkan kondisi itu, sehingga kita dibebaskan kembali dari huruf yang mati, karena kita sudah dimerdekakan dari dosa.
Anak-anak Allah bukan lagi budak dosa, namun bukan berarti mereka bebas sebebas-bebasnya tanpa ada otoritas di atas mereka. Status mereka sebagai budak tidak berubah, hanya saja tuan mereka berubah. Dulu tuan mereka adalah dosa, sekarang tuan mereka adalah kebenaran (righteousness) (Roma 6:18). Paulus juga mengaku bahwa dia adalah budak Kristus Yesus (1:1), yang kita tahu adalah Diri-Nya Kebenaran (the Truth) (Yoh. 14:6).
Inilah relasi kita dengan Allah yang sudah dipulihkan oleh Roh Kudus. Roh memang memberikan kepada kita relasi yang unik terhadap Bapa dan Anak. Terhadap Bapa, relasi kita adalah umat dan Tuhan/Raja, anak/ahli waris dan Bapa (Roma 8:14, 17), istri dan Suami (Hos. 2:15-18, Yeh. 16:32). Terhadap Anak, relasi kita adalah umat dan Tuhan/Raja, domba dan Gembala (Yoh. 10), sahabat (15:14), budak dan Tuan (Roma 1:1, 6:18), saudara (Roma 8:29), pengantin dan Suami (Why. 21:9). Kelihatannya, bahasa manusia terlalu terbatas untuk menamai relasi kita dengan Allah kita hanya dengan satu istilah. Relasi antara manusia juga terlalu terbatas untuk dipakai sebagai analogi relasi kita dengan Tuhan kita. Di dunia ini, kita tidak dapat menemukan padanan dari relasi yang sekaligus anak sekaligus budak dan mempelai, tetapi itulah relasi kita dengan Tuhan. Relasi kita dengan Tuhan bersifat multi-aspek, sehingga Roh Kudus menggunakan multi-analogi untuk menggambarkannya, karena tidak ada satu relasi antar-manusia yang cukup untuk menganalogikan relasi kita dengan Tuhan kita.
Mungkin kita agak kesulitan memahami relasi seperti ini karena keterbatasan pengalaman kita di dunia ini. Ketika kita berelasi dengan sesama manusia, kita hanya mengalami fragmen-fragmen dari relasi kita yang utuh dengan Tuhan, satu kali dalam satu waktu. Suami ya suami. Sahabat ya sahabat. Ayah ya ayah. Bos ya bos. Tetapi waktu kita berhadapan dengan Allah, relasi kita tidak terpecah-pecah seperti itu. Mungkin kesalahan pemikiran kita selama ini, yang membuat kita berdosa, adalah kita mereduksi relasi yang multi-aspek itu menjadi hanya salah satunya.
Misalnya, ada orang yang merasa dirinya benar-benar tidak layak, sehingga menekan dirinya rendah-rendah ke bawah, dan keminderannya ini menghalangi dia menikmati hubungan yang intim dengan Tuhan. Kita memang adalah budak, tapi ingat: kita tidak hanya budak tapi juga adalah anak yang diberikan hak yang besar untuk menjadi ahli waris bersama-sama dengan Anak Tunggal Allah. “Dan jika kita adalah anak, maka kita juga adalah ahli waris, maksudnya orang-orang yang berhak menerima janji-janji Allah, yang akan menerimanya bersama-sama dengan Kristus” (Roma 8:17). Apa maksudnya menjadi ahli waris? Istilah ini sulit kita mengerti karena manusia mempunyai pengertiannya sendiri tentang ahli waris. Di dalam keluarga manusia, warisan artinya sesuatu yang ditinggal dan diberikan oleh orang yang sudah meninggal kepada orang yang masih hidup, biasanya dari orang tua kepada anak-anaknya. Jika kejadiannya begini, maka anak-anaknya disebut ahli waris orang tua mereka. Ketika kita memakai konsep ini untuk mengerti relasi kita sebagai ahli waris Tuhan, kita akan kesulitan karena Tuhan tidak akan meninggal. Di sini kita berpikir di dalam dunia kejatuhan, karena kita terpikir tentang kematian. Di dalam dunia tanpa kematian, ahli waris artinya seseorang yang diberikan atau diturunkan warisan oleh pewaris, di mana sang pewaris tidak mati, melainkan menyerahkan miliknya untuk dimiliki bersama-sama dengan ahli warisnya. Ahli warisnya diberikan tanggung jawab untuk mengelola warisan yang diserahkan menjadi milik mereka bersama. Di dalam dunia kejatuhan, benda warisan dan otoritas terhadap benda warisan ada secara penuh lepas dari tangan pewaris dan jatuh ke tangan ahli waris. Di dalam dunia kekekalan, benda warisan tidak lepas dari kepemilikan pewaris, tetapi otoritas terhadap benda warisan dipercayakan kepada ahli waris. Di dalam dunia kejatuhan, benda warisannya mungkin adalah sebidang tanah. Di dalam dunia kekekalan, benda warisannya adalah seluruh isi dunia ini. Menjadi ahli waris bersama-sama dengan Kristus artinya memerintah dunia ini bersama-sama dengan Kristus (Why. 20:4, 6).
Sebaliknya, orang yang mereduksi relasinya dengan Tuhan hanya sebagai ahli waris tanpa mengingat bahwa dirinya adalah budak, akan menjadi orang yang manja dan selalu menuntut haknya dipenuhi oleh Tuhan. Orang seperti ini harus mengingat bahwa Roma 8:17 tidak berhenti dengan kita menjadi ahli waris bersama Kristus, tetapi juga mencantumkan syaratnya: “yaitu jika kita menderita bersama-sama dengan Dia, supaya kita juga dipermuliakan bersama-sama dengan Dia” (Roma 8:17).
Di lain pihak, orang yang mereduksi relasinya dengan Tuhan Yesus menjadi hanya sebagai saudara dan sahabat, akan membayangkan dirinya bermain bola dan piting-pitingan dengan Tuhan Yesus. Jangan lupa, kita juga adalah budak Tuhan Yesus. Dia juga adalah Tuhan dan Raja kita.
Semua relasi yang dianalogikan harus dialami sebagai satu kesatuan. Sebagai isteri, sudahkah kita taat, setia, dan mencintai Suami kita? Sebagai budak, sudahkah kita takluk dan taat kepada Tuan kita? Sebagai anak dan ahli waris, sudahkah kita menjalankan perintah Bapa kita untuk menguasai dunia yang akan diwariskan kepada kita? Seberapa dalam kita mengenal dan mengerti dunia ini, tempat di mana kita akan memerintah bersama-sama dengan Kristus? Sebagai sahabat Kristus, sudahkah kita menjalankan perintah-perintah-Nya? Ia berkata, “Kamu adalah sahabat-Ku, jikalau kamu berbuat apa yang Kuperintahkan kepadamu” (Yoh. 15:14). Sebagai sahabat-Nya, tuntutan bagi kita tidaklah mudah dikerjakan. Ia berkata bahwa karena kita adalah terang dan garam dunia, maka hidup keagamaan kita harus lebih benar daripada ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi (Mat. 5:13-20).
Di dalam gerakan Reformed Injili, kita sudah melihat Pdt. Stephen Tong sebagai seorang sosok teladan yang menjalankan semua relasi ini sebagai suatu kesatuan, dengan filsafat pelayanan “squeezing my life”-nya. Apa yang kita kerjakan? Apakah hidup kita mencerminkan bahwa kita adalah anak-anak Allah, yang adalah limited edition dari semua manusia yang diciptakan? Di manakah rupa Kristus di dalam diri kita? Di manakah keunikan kita? Paulus, yang menjadi teladan Pdt. Stephen Tong, meneladani Kristus, dan menghidupi relasinya yang utuh dengan Tuhan ketika dia mengaku,
“Apakah mereka pelayan Kristus? — aku berkata seperti orang gila — aku lebih lagi! Aku lebih banyak berjerih lelah; lebih sering di dalam penjara; didera di luar batas; kerap kali dalam bahaya maut. Lima kali aku disesah orang Yahudi, setiap kali empat puluh kurang satu pukulan, tiga kali aku didera, satu kali aku dilempari dengan batu, tiga kali mengalami karam kapal, sehari semalam aku terkatung-katung di tengah laut. Dalam perjalananku aku sering diancam bahaya banjir dan bahaya penyamun, bahaya dari pihak orang-orang Yahudi dan dari pihak orang-orang bukan Yahudi; bahaya di kota, bahaya di padang gurun, bahaya di tengah laut, dan bahaya dari pihak saudara-saudara palsu. Aku banyak berjerih lelah dan bekerja berat; kerap kali aku tidak tidur; aku lapar dan dahaga; kerap kali aku berpuasa, kedinginan dan tanpa pakaian, dan, dengan tidak menyebut banyak hal lain lagi, urusanku sehari-hari, yaitu untuk memelihara semua jemaat-jemaat. Jika ada orang merasa lemah, tidakkah aku turut merasa lemah? Jika ada orang tersandung, tidakkah hatiku hancur oleh dukacita? Jika aku harus bermegah, maka aku akan bermegah atas kelemahanku. Allah, yaitu Bapa dari Yesus, Tuhan kita, yang terpuji sampai selama-lamanya, tahu, bahwa aku tidak berdusta. Di Damsyik wali negeri raja Aretas menyuruh mengawal kota orang-orang Damsyik untuk menangkap aku. Tetapi dalam sebuah keranjang aku diturunkan dari sebuah tingkap ke luar tembok kota dan dengan demikian aku terluput dari tangannya.” (2Kor. 11:23-33)
Mungkin ketika kita menjalankan relasi yang utuh tersebut, yang akan kita alami akan berbeda dengan yang dialami oleh Rasul Paulus dan Pdt. Stephen Tong. Yang ingin ditunjukkan di sini adalah seperti yang didengungkan di akhir ayat Roma 8:17: kita akan menjadi ahli waris bersama-sama dengan Kristus, “yaitu jika kita menderita bersama-sama dengan Dia, supaya kita juga dipermuliakan bersama-sama dengan Dia”.
Pemeliharaan Tuhan terhadap Gereja-Nya tidak pernah terputus dari Adam hingga zaman kita. Anak-anak Allah di setiap zaman sudah mengerjakan panggilan mereka di dalam bagian yang ditentukan bagi mereka. Sekarang giliran kita. Sebagai anak-anak Allah yang termasuk dalam garis pemeliharaan Tuhan sepanjang sejarah, kita harus menggenapkan rencana Tuhan di dunia ini, dengan menjalankan relasi kita dengan Tuhan kita secara penuh. Soli Deo Gloria.
Erwan
Redaksi Umum PILLAR
Referensi:
Ferguson, S. B. (1989) Children of the Living God. Edinburg: The Banner of Truth Trust.
Hoekema, A. A. (1989) Saved by Grace. Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans Publishing Co.
Murray, J. (1955) Redemption: Accomplished and Applied. Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans Publishing Co.
Rayburn, G. R. (1957) What about Baptism? Grand Rapids: Baker Book House Company.
Ridderbos, H. (1975) Paul: An Outline of His Theology. Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans Publishing Co.