Pemuda Kristen Reformed sering kali identik dengan “kesibukan pelayanan yang tiada henti”. Dari pelayanan mingguan di gereja dan persekutuan, aktif mengajar sekolah minggu, latihan paduan suara, sampai kepanitiaan dalam retret, dan menulis artikel. Tentunya ini semua dikerjakan terlepas dari pekerjaan masing-masing; ada yang masih kuliah, ada yang sudah bekerja, dan bahkan ada yang sudah berkeluarga. Sedemikian cintanya kepada Tuhan sehingga satu per satu pelayanan dikerjakan dengan sepenuh hati. Tidak jarang orang memuji komitmen dan kerja keras setiap pemuda-pemudi yang seakan-akan memiliki energi tidak terbatas dan komitmen yang tidak dapat ditandingi oleh apa pun. Wah, kalau dipuji, rasa capai langsung hilang dan hati rasanya begitu nyaman. Tetapi, bagaimana kalau hanya cercaan yang datang? Bagaimana kalau seseorang mengatakan bahwa yang kita kerjakan itu semuanya salah? Apa yang akan menjadi respons kita? Seperti itulah kira-kira pesan dari Nabi Yoel kepada orang Israel yang kita bisa lihat dari kitab ini.
Ada beberapa perdebatan akan tanggal dari kehidupan Yoel dalam Alkitab. Beberapa menyatakan bahwa latar belakang dari kitab ini merupakan abad ke-9 SM, pada zaman pemerintahan Yoas. Ada yang percaya bahwa Yoel hidup dalam zaman Raja Uzia pada awal abad ke-8 SM, atau dalam dekade terakhir pemerintahan Yehuda sebelum masuk ke dalam pembuangan, dan bahkan ada yang percaya bahwa dia hidup setelah zaman pembuangan. John Calvin sendiri dalam commentary-nya tidak begitu mementingkan latar belakang dari kitab ini. Tetapi satu hal yang kita tahu, berita di kitab ini ditujukan kepada bangsa Israel, umat Tuhan.
Perlu kita cermati bahwa bangsa Israel adalah bangsa yang sangat mementingkan kehidupan beragama mereka. Dari Kitab Keluaran sampai Kitab Ulangan, kita dapat melihat banyaknya dan detailnya ritual yang harus mereka jalani. Misalnya, ada banyak macam peraturan tentang korban bakaran dan setiap halnya tidak boleh sembarangan. “Jikalau persembahannya untuk korban bakaran adalah dari kambing domba, baik dari domba, maupun dari kambing, haruslah ia mempersembahkan seekor jantan yang tidak bercela. Haruslah ia menyembelihnya pada sisi mezbah sebelah utara di hadapan TUHAN, lalu haruslah anak-anak Harun, imam-imam itu, menyiramkan darahnya pada mezbah sekelilingnya” (Im. 1:10-11). Pakaian imam besar pun sudah Tuhan atur ketika Dia berbicara kepada Musa, “Inilah pakaian yang harus dibuat mereka: tutup dada, baju efod, gamis, kemeja yang ada raginya, serban, dan ikat pinggang. Demikianlah mereka harus membuat pakaian kudus bagi Harun, abangmu, dan bagi anak-anaknya, supaya ia memegang jabatan imam bagi-Ku” (Kel. 28:4). Setiap elemen pakaian yang disebut di atas terus dijelaskan secara lebih detail di perikop yang sama. Ini baru masalah korban bakaran dan imam besar. Lalu kalau ada orang yang tidak menjalankan kebiasaan-kebiasaan tersebut dengan benar, hukuman dari Tuhan pasti akan datang. Misalnya, ketika Musa tidak menyunat anak laki-lakinya pada hari ke-8, dia hampir mati! Musa harus berterima kasih kepada istrinya, Zipora, yang menyunatkan anak mereka (Kel. 4:24-26). Orang Israel menaati setiap hal yang diperintahkan kepada mereka. Tentunya mereka akan sangatlah sibuk untuk memenuhi panggilan mereka satu per satu, mirip dengan kehidupan kekristenan kita pada hari ini dengan segala kesibukan pelayanan dan aktivitas yang kita miliki.
Di tengah kehidupan seperti ini, Nabi Yoel menyampaikan pesan yang sangat kontroversial tentang penghakiman Tuhan. Dalam pasal 1 dan 2, Nabi Yoel telah menyatukan dua puisi paralel yang berfokus pada tema ini sehingga pasal 1 adalah tentang Hari Tuhan yang sudah lewat. Dia mulai dengan mengumumkan bencana yang baru yakni tentang segerombolan belalang yang menghancurkan Israel. Hal ini mengingatkan orang Israel tentang tulah kedelapan (Kel. 10) ketika mereka masih diperbudak di Mesir. Tetapi kali ini belalang dikirim bukan untuk menyelamatkan Israel, tetapi untuk menghukum mereka. Karena itu Nabi Yoel memanggil para tua-tua dan imam untuk memimpin pertobatan bangsa Israel dalam doa. Nabi Yoel sendiri pun ikut bertobat bersama dengan mereka semua.
Pasal 2 melanjutkan penghakiman lebih lanjut. Yoel mengumumkan Hari Tuhan yang lain, tetapi kali ini bukan tentang yang sudah lampau, yakni yang akan terjadi di masa depan. Ini adalah bencana yang akan datang di Yerusalem dan Yoel mulai menggambarkan apa yang tampak seperti gelombang belalang tentara Allah menghancurkan segala sesuatu yang ada di hadapan mereka. Matahari menjadi gelap dan gempa bumi terjadi. Yoel mengatakan, “Dan TUHAN memperdengarkan suara-Nya di depan tentara-Nya. Pasukan-Nya sangat banyak dan pelaksana firman-Nya kuat. Betapa hebat dan sangat dahsyat hari TUHAN! Siapakah yang dapat menahannya?” (Yl. 2:11).
Sekali lagi Yoel meminta orang-orang untuk berdoa dan bertobat dan dia mengatakan, “Koyakkanlah hatimu dan jangan pakaianmu, berbaliklah kepada TUHAN, Allahmu …” (Yl. 2:13). Apa arti pesan ini? Bagaimana kalimat ini boleh berbicara kepada kita semua di abad ke-21 ini?
Mengoyakkan baju merupakan ekspresi kesedihan yang paling dramatis. Hal ini juga biasa disebut “keriah” dalam bahasa Ibrani. Ini adalah kebiasaan Yahudi Kuno sejak zaman para leluhur mereka. Yakub mengoyakkan bajunya ketika dia melihat jubah Yusuf yang berlumuran darah (Kej. 37:34). Pakaian yang koyak melambangkan hati yang hancur. Tetapi hal yang dikerjakan di luar belum tentu merefleksikan apa yang ada dalam hati sebenarnya. Dalam lain kata, walaupun mereka tidak begitu sedih, mereka masih bisa mengoyakkan pakaian mereka. Bahkan kalau seseorang tidak sedih, dia tetap bisa memakai baju kabungnya dan mengoyakkannya di depan orang-orang untuk membohongi setiap orang tentang isi hatinya. Lebih gampang untuk mengoyakkan pakaian daripada memiliki hati yang benar-benar koyak di hadapan Tuhan.
Nabi Yoel tahu bahwa pertobatan orang Israel kadang hanya merupakan sebuah pertunjukan yang mereka pakai untuk keluar dari masalah. Buktinya, lebih sering mereka jatuh ke dalam dosa yang sama lagi sehingga Tuhan harus menghukum mereka. Hal ini selalu terjadi di Kitab Hakim-hakim. Yoel berkata bahwa Tuhan tidak tertarik dan bahkan sudah muak akan pertobatan seperti ini dan menginginkan pertobatan tulus dari umat-Nya untuk menghentikan keegoisan dan kejahatan mereka.
Hidup agama kita seharusnya memancarkan apa yang sebenarnya ada dalam hati kita. Akan tetapi, terlalu sering seperti orang Israel yang mementingkan keagamaan mereka dari luar, kita tenggelam dalam kesibukan dan rutinitas hidup keagamaan dan lupa hal yang terpenting, yaitu hati kita. Kita semua pergi ke gereja, memberikan perpuluhan, berdoa, berpuasa, dan pastinya memenuhi setiap waktu luang kita dengan pelayanan. Kita mungkin sibuk mementingkan pelayanan A dan B, atau retret, ataupun hal yang lainnya, tetapi kita tidak mengingat untuk apa dan kepada siapa kita berkeringat melakukan semua ini. Sungguh sangat mudah untuk setiap dari kita untuk jatuh dalam segala kebiasaan ini dan lupa akan Tuhan yang kita sembah dan layani. Nabi Yoel menyatakan hal yang bukan hanya benar pada zaman itu, tetapi juga berlaku sampai pada hari ini. Bertobatlah dan kembalilah kepada Tuhan! Sudahkah kita benar-benar mengenal siapa Tuhan yang kita sembah dan layani selama ini?
Sering kali kita mengenal dan berharap kepada Allah sebagai Allah yang berdaulat hanya ketika kita mengalami kesulitan atau ketidakadilan. Atau ketika kita melihat kejahatan dan ketidakadilan terjadi di sekitar kita, lalu orang-orang yang berbuat jahat itu mendapatkan hukuman, baru kita mengatakan Allah berdaulat. Namun sadarkah kita bahwa Allah yang berdaulat pun bisa menghukum kita yang sering kali mendukakan hati-Nya? Sebagai anak-anak-Nya kita mungkin sekali dihajar Allah, seperti seorang ayah yang menghajar anaknya yang berbuat salah. Di dalam konteks ini, kedaulatan Allah bukan hanya memberikan kita pengharapan di dalam masa-masa susah, tetapi juga memberikan kita kerendahan hati dan kegentaran di dalam hidup sebagai anak-anak-Nya. Kita tidak dapat hidup layaknya seorang munafik dengan mengandalkan aktivitas kerohanian kita. Setiap hal yang kita lakukan bagi Allah haruslah lahir dari kesadaran akan siapa Allah dan siapa diri. Segala ritual atau aktivitas agama tidak dapat menyenangkan hati Allah, karena semua itu hanyalah “pengoyakan pakaian”. Namun yang Allah tuntut dari kita adalah pengoyakan hati kita atas dosa dan kesalahan yang telah kita lakukan di hadapan-Nya.
Jadi bagaimana kita mengoyakkan hati kita di hadapan Tuhan? Bertobat dengan segenap hati, mengakui kesalahan dan kelemahan kita masing-masing, dan meminta belas kasihan dan anugerah Tuhan dalam kehidupan kita masing-masing. Hati yang terkoyak dalam pertobatan akan membongkar semua sampah dalam hidup kita agar Tuhan dapat menumbuhkan hal yang lebih baik. Pertobatan menyingkapkan ego kita, ambisi kita, prioritas kita, nafsu kita, kebencian kita, ketakutan kita — dan bahkan hal-hal yang bahkan tidak dapat kita lihat dalam hidup kita sendiri ataupun yang kita bohongi dalam hidup kita masing-masing. Nabi Yoel berteriak supaya umat Tuhan mengoyakkan hati mereka.
Kita harus terus menjaga hati kita dan terus-menerus mengoyakkannya sehingga kita sadar siapa diri kita. “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan” (Ams. 4:23). Hidup kita adalah hidup yang sepenuhnya bergantung kepada Tuhan. Apakah pelayanan kita dan hidup ibadah kita semua makin membawa kita sadar bahwa Tuhanlah yang bekerja dan Tuhanlah yang aktif dalam semua ini, atau kita makin merasa hidup kita begitu hebat? Apakah kita makin menyembah Tuhan yang begitu mengasihi kita, yang dalam kebesaran-Nya masih mau berelasi dan bahkan mau dilayani oleh orang-orang seperti kita? Sudahkah kita memiliki hati yang hancur yang sadar siapa kita sebenarnya di hadapan Tuhan? Yesus mengatakan, “Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa” (Yoh. 15:5).
Terakhir, kita harus meminta Tuhan akan anugerah-Nya terus-menerus dalam hidup ini. Kalau kita bisa hidup, marilah kita memiliki hati yang hancur di hadapan Tuhan. Biarlah peringatan Yoel boleh menjadi peringatan kepada setiap dari kita dan kiranya seruan Daud juga boleh menjadi seruan kita semua yang memiliki hati yang hancur, “Kasihanilah aku, ya Allah, menurut kasih setia-Mu, hapuskanlah pelanggaranku menurut rahmat-Mu yang besar!” (Mzm. 51:3).
Ezra Tjung
Pemuda PR San Francisco