Suasana kebaktian penyegaran rohani di hari Sabtu malam itu begitu mengharukan. Song leader dan singer di panggung terlihat benar-benar menghayati pujian yang dipimpinnya, melodi dari pujian tersebut pun begitu lembut dan menggetarkan hati setiap orang yang hadir yang membawa mereka untuk merasakan cinta Tuhan Yesus yang besar kepada mereka. Dan ketika pengkhotbah maju ke depan, beliau menegaskan bahwa setiap orang harus menghadap pengadilan Tuhan. Ketika ibadah telah mencapai klimaks dan tantangan diberikan oleh hamba Tuhan di depan, hati tak dapat lagi menolak dan dengan air mata yang bercucuran, Bobby pun bangkit berdiri dari tempat duduknya, dan ia maju ke depan untuk didoakan.
Tiga tahun telah berlalu sejak kejadian itu, dan Bobby sekarang telah menduduki bangku kuliah di sebuah universitas terkemuka di Singapura. Dan tak disangka-sangka, di hari Sabtu siang yang cerah, di bus nomor 179 yang biasa dinaikinya untuk menuju ke stasiun MRT terdekat, ia bertemu dengan teman lamanya, Iwan.
Bobby : “Wah, elu kok bisa di sini, Wan? Gua kira elu kerja di Indonesia?
Iwan : “Eh Bobby, ngga sangka bisa ketemu elu di sini. Gua lagi kunjungin adik gua. Dia kuliah di sini. Mumpung kerjaan di kantor ngga gitu banyak, gua pikir gua cuti aja untuk lihat gimana kehidupan adik gua di sini.”
Bobby : “Oh gitu. Kebetulan juga yah kita bisa ketemu di sini. By the way, elu kayaknya tadi lagi asyik baca buku, gua ngga ganggu kan?… Lagi baca buku apa?”
Iwan : “Oh gua lagi baca satu buku yang cukup bagus, judulnya Repentance.”
Bobby : “Repentance? Hmm… Pertobatan yah maksudnya? Memang elu Kristen? Wah, gua juga tuh.”
Iwan : “Oya? Gua ngga pernah tau elu sudah percaya Kristus. Gimana ceritanya elu bisa bertobat?”
Bobby : “Hmm… gua ngga pernah bener-bener mikirin tentang itu sih. Yang gua tahu persis… kejadiannya pas tiga tahun yang lalu, gua bener-bener tersentuh sama kebaktian penyegaran rohani yang gua ikutin. Kayaknya waktu itu gua bertobat deh.”
Iwan : “Oh gitu yah. Semoga elu ngga tersinggung kalo gua tanya lebih detail tentang cerita elu tadi. Jadi menurut elu, elu bertobat waktu kebaktian itu yah? Apa sih yang bikin elu yakin elu sudah bertobat?”
Bobby : “Waduh, pertanyaan elu dalem juga yah! Tapi gua yakin banget kok. Waktu di kebaktian itu, gua merasa takut banget kalo nanti gua masuk neraka and gua nangis habis-habisan di sana, terus gua dipimpin pendetanya untuk berdoa terima Tuhan, sejak saat itu gua jadi Kristen deh. Gua pergi ke gereja yang dipimpin sama pendeta itu sampai sekarang. Gua termasuk pengurus lho… di bidang musik, elu kalau ada waktu dateng aja ke gereja gua. Deket sini kok.”
Iwan : “Ohh I see… sori yah, bukannya gua meragukan elu. Cuma gua tersentak aja waktu baca buku ini. Gua baru tahu kita seringkali punya pengertian yang salah atau dangkal mengenai pertobatan. Dan gua pikir menyedihkan sekali kalau orang yang sebenarnya belum bertobat mengira dirinya sudah bertobat. Dia akan sangat kaget kalau nanti Tuhan bilang di zaman akhir nanti, ‘Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari pada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan!’. Ngeri kan yah?”
Bobby : “Wah memangnya selama ini orang pada umumnya gimana salah mengerti mengenai pertobatan? Gua jadi penasaran nih.”
Iwan : “Elu beneran mau tahu? Begini lho… banyak orang menganggap gampang sekali pertobatan itu. Bahkan ada orang yang sembarangan kutip dan tafsir Roma 10:9 dan klaim asal orang pernah doa mengakui terima Tuhan, maka orang itu pasti diselamatkan. Itu kan betul-betul menganggap enteng pertobatan. Sampai waktu itu ada temen juga paksa-paksa gua untuk saat itu ikutin dia untuk berdoa terima Tuhan supaya gua selamat, padahal waktu itu gua ngga ngerti apa-apa.”
Bobby : “Wah… iya juga yah… terus gimana…?”
Iwan :“Iya, buku ini juga membahas macam-macam mitos yang salah tentang pertobatan. Banyak orang yang salah mengaitkan antara dukacita dan pertobatan. Memang ngga bisa dipungkiri kalau di dalam pertobatan yang sejati pasti ada dukacita yang disebabkan karena adanya kesadaran kalau selama ini dia sudah menjadi orang yang berdosa dan melawan Tuhan. Tapi juga bukanlah ngga mungkin kalau seseorang dipenuhi oleh kesedihan dan menangis begitu rupa, tapi dia ngga pernah mengalami pertobatan sama sekali. Kadang orang bisa sedih luar biasa karena ketangkap basah berdosa atau merasa sangat guilty feeling, tapi itu hanyalah dukacita dunia.”
Bobby : “Wah ternyata ada bedanya yah antara dukacita yang sesungguhnya dengan dukacita dunia?”
Iwan : “Iya, makanya Tuhan Yesus pernah menegaskan, ‘Bukan orang-orang yang memanggil ‘Tuhan, Tuhan’ akan masuk kedalam kerajaan sorga.’ Banyak orang yang mengira mereka sudah cukup religious dengan banyaknya pelayanan yang mereka lakukan atau terlibat dalam perdebatan theologis yang lumayan dalam, ataupun begitu antusias dalam memuji Tuhan, tapi sebenarnya mereka masih terhilang. Itu sangat menyedihkan kan?”
Bobby : “Iya…” (dengan suara pelan) “Hmm… I’ve never thought about that. Kalau gitu sulit juga yah. Memangnya apa sih cirri-ciri pertobatan yang sejati? Kok kayaknya jadi rumit banget?”
Iwan : “Sebenarnya ngga rumit kok. Pertobatan yang sejati bisa terjadi cuma karena anugerah Tuhan, bukan karena pekerjaan atau usaha manusia sendiri. Thomas Watson, seorang bapa gereja, pernah bahas tentang doktrin pertobatan ini dengan sangat komprehensif dan dia membagi repentance ini dalam enam ciri.”
Bobby : “Apa aja tuh?”
Iwan : “Ciri yang paling pertama itu adalah kesadaran akan dosa, di mana seseorang mencapai suatu titik di mana dia diiluminasikan akan dosa-dosanya dan dia melihat dirinya sebagai seorang pendosa. Tanpa kesadaran akan adanya dosa, ngga akan mungkin terjadi pertobatan. Sebab gimana mungkin seseorang bisa merasakan dia butuh pertobatan kalau dia sendiri ngga tahu seberapa serius dosa-dosanya?”
Bobby : “Hmm…”
Iwan : “Iya, gua lanjutin dulu yah. Ketika dia sadar kalau dia cuma seorang pendosa di hadapan Tuhan, dia pasti akan berduka cita akan dosa-dosanya. Seperti yang gua bilang tadi, dukacitanya itu berbeda dengan dukacita dunia. Dukacitanya bukan superficial karena takut akan penghukuman Tuhan, tetapi dia bener-bener mengalami dukacita yang dalam di hatinya. Orang-orang yang berdukacita secara superficial mungkin pinter dalam mengubah raut wajahnya, tapi kesedihan mereka cuma kesedihan yang dangkal, dan ngga terjadi di dalam hati mereka yang terdalam. Kesedihan mereka seperti embun yang cuma membasahi daun tetapi tidak masuk ke dalam akar[1]. Beda halnya dengan dukacita yang sejati. Dukacita yang sejati masuk ke dalam hati terdalam, di mana orang yang bertobat bisa merasakan seakan-akan hatinya berdarah-darah karena dosanya. Bukan itu aja yang membedakan dukacita superficial dan dukacita sejati. Dukacita sejati adalah dukacita yang terjadi karena ‘offence’ yang dia lakukan bukan karena takut akan ‘punishment’. Orang yang bertobat begitu sedih karena dia sadar dia sudah kembali mendukakan Tuhan, dan mengkhianati cinta-Nya yang tak pernah berubah. Orang yang belum sungguh-sungguh mengerti tentang pertobatan yang sesungguhnya mungkin cuma merasa sedih atau menyesal, seperti seorang pencuri yang merasa menyesal ketika dia tertangkap, bukan menyesal karena sadar bahwa mencuri adalah perbuatan yang keji di hadapan Tuhan, tapi menyesal karena harus membayar penalti. Orang-orang munafik hanya bersedih karena takut akan konsekuensi dari dosa-dosa yang mereka lakukan, hingga mereka akan banyak meneteskan air mata, hanya kalau penghakiman Tuhan sudah dekat. Seperti contoh dalam Kitab Suci, Firaun lebih takut dan khawatir karena katak-katak dan sungai yang mengalirkan darah di Mesir lebih daripada dosa-dosanya. Beda dengan dukacita yang sejati, Thomas Watson pernah menegaskan, andai kata, jikalau, tak ada neraka untuk menghukum dosa-dosanya, jiwa orang yang bertobat akan tetap bersedih karena ia sadar dirinya telah memberontak dan melawan Tuhan. By the way, elu ngga bosen kan dengerin ginian?”
Bobby : “Engga, Wan. Ini pertama kalinya gua ngomongin ginian. Terus terang aja gua ngga pernah bener–bener mikirin tentang ini sama sekali. Gua kira gua selama ini Kristen karena gua aktif banget di gereja, ternyata hal yang sepenting ini aja gua ngga tahu. Mending elu lanjut dulu. Gua ngga mau lewatin hal yang penting ini.”
Iwan : “Ok. Iya sesudah orang tersebut menyadari akan dosa-dosanya dan berduka akan hal itu, maka perlu adanya pengakuan dosa atau confession of sin. Tapi pengakuan dosa ini ngga boleh seperti cerita gua tadi di mana orang dipaksa-paksa untuk doa terima Tuhan, tapi ini harus dilakukan secara voluntary, di mana orang tersebut mengakui akan dosanya dari hatinya yang terdalam. Dan untuk orang yang bener-bener bertobat, pengakuan dosa ini akan mengalir dengan sewajarnya, seperti dalam Lukas 15:18, ketika si bungsu telah menyadari akan dosanya, dengan spontan ia mengaku, ‘Aku telah berdosa terhadap sorga dan kepada Bapa.’ Dilakukan dengan spontan, tapi bukan berarti dengan tidak tulus. Ketika orang bertobat mengakui akan dosa-dosanya, hatinya pun harus selaras dengan pengakuan itu. Itu yang membedakan orang yang bertobat sungguh-sungguh dengan orang yang munafik. Orang munafik ‘mengakui’ dosa mereka dengan mulut mereka, tapi sebenarnya hati mereka masih mencintai dosa-dosa mereka, seperti pencuri yang mengakui dengan mulutnya kepada polisi kalau mereka telah mencuri perhiasan. Tapi pengakuan mereka hanya di mulut, karena di dalam hatinya mereka masih suka mencuri. Pengakuan dosa adalah ciri yang penting dalam pertobatan. Karena dalam pengakuan dosa, orang tersebut direndahkan hatinya untuk kembali diingatkan, ia tak punya apa-apa yang harus dibanggakan dari dirinya karena ia hanyalah pendosa yang layak ditimpa hukuman kekal.
Bobby : “Gua ngga pernah tahu kalau dosa itu bener-bener sesuatu yang serius dan mengerikan selama ini lho…”
Iwan : “Wah itu yang bahaya, Bob. Kalau kita bener-bener sudah bertobat, kita pasti akan malu dan benci akan dosa-dosa yang selama ini telah kita perbuat. Masih inget cerita si anak yang hilang? Ketika dia kembali kepada bapanya, dia benar-benar merasa malu akan dosa-dosa yang pernah diperbuatnya, hingga dia mengatakan bahwa dia tak layak dipanggil sebagai anak oleh Bapanya (Luk. 15:21). Bukan hanya sampai di tahap malu, kita yang sudah bertobat pun pasti membenci dosa-dosa tersebut. Dosa sangat dibenci oleh Allah. Dan orang yang bertobat pasti juga harus membenci apa yang dibenci oleh Allah.”
Bobby : “Malu dan benci yah. Gua kayaknya ngga pernah bener-bener ngalamin ini. Gua kira selama ini bertobat itu yah berarti hidup baik-baik, percaya Tuhan Yesus aja, dan ke gereja dengan aktif. Ternyata gua udah salah selama ini.”
Iwan : “Masih belum terlambat kok Bob untuk merefleksi kehidupan elu selama ini. Gua yakin gua ketemu elu hari ini bukan kebetulan, tapi pasti ada kehendak Tuhan yang perlu digenapi. Oya, gua selesaiin yah dengan ciri terakhir pertobatan yang sejati dari Thomas Watson. Yang terakhir itu adalah berbalik dari dosa. Tentu saja kalau kita sungguh-sungguh bertobat, menyadari akan dosa kita yang menjijikkan di mata Tuhan, kita ngga akan mau berkajang terlalu lama lagi di dalam dosa itu. Kita mau berbalik untuk meninggalkan kehidupan yang penuh dengan dosa menuju pada hidup di dalam kehendak dan rencana Allah. Berpaling dari dosa akan mengakibatkan perubahan hati hidup kita secara total.”
Bobby : “Yang elu jelasin hari ini adalah sesuatu yang berharga untuk gua, Wan. Gua merasa selama ini udah salah ngerti tentang pertobatan. Gua bersyukur ketemu elu hari ini. Kalo ngga, seumur hidup gua akan kira gua udah sungguh-sungguh bertobat tapi ternyata gua tuh cuma orang Kristen nominal, yang mungkin belum sungguh-sungguh mengenal diri dan Tuhan. Semua yang elu jelasin tadi, gua belum sungguh-sungguh melakukannya ataupun mengalaminya. Tiga tahun lalu gua nangis kayaknya cuma terbawa suasana aja.”
Iwan : “Kok elu jadi ragu-ragu gitu, Bob?”
Bobby : “Soalnya gua merasa gua yang sekarang itu ngga gitu beda jauh sama gua sebelum jadi Kristen. Bedanya cuma secara fenomena. Gua sih sekarang memang ngga ke diskotek lagi dan jauh dari mabok-mabokan, gua juga udah jarang bohong ke orang-orang, dan gua sekarang memang lebih sering hang out sama anak anak gereja, soalnya gua pikir mendingan temen-temen gua itu dari lingkungan baik-baik. Tapi secara hati gua yang terdalam, gua ngga pernah tuh bener-bener bergumul mengenai dosa dan fight untuk hidup bagi Tuhan. Gua juga ngga pernah bener-bener berduka karena dosa-dosa gua, gua pikir gua cukup baik di hadapan Tuhan. Tapi gua baru sadar, yang gua pikir and rasa selama ini salah total. Thanks a lot untuk sharing yang sangat berharga ini. Gua akan renungkan baik-baik.”
Iwan : “Sama-sama, Bob. Gua juga udah harus turun sebentar lagi. Gua bakal doain elu, Bob, supaya elu juga bisa bener-bener bertemu dengan Tuhan dan mengalami hidup berkelimpahan di dalam Dia.”
Yenny Djohan
Pemudi GRII Singapura
Endnotes:
[1] Watson, T. The Doctrine of Repentance.