group of people playing on beach

Sabat = Istirahat = Liburan?

Siapa yang tidak senang bila liburan tiba? Dari anak kecil yang baru masuk playgroup sampai profesor yang sudah berakar di kampus, dari tukang sapu jalanan hingga mereka yang duduk di puncak kekuasaan, semua menantikan datangnya liburan itu. Bahkan sejak jauh-jauh hari, apa saja yang akan dilakukan di dalam masa liburan sudah direncanakan dengan seksama. Liburan dinantikan dengan sungguh tidak sabar. Bahkan di hari-hari mendekati masa liburan, penantian itu sudah mengganggu konsentrasi kita dalam melakukan aktivitas yang lain. Bau liburan itu terlalu kuat….

Bukan hanya itu saja, ke mana-mana kita sudah dibuat untuk mencium bau liburan tersebut. Masuk mal? Dari jauh saja kita sudah mencium berbagai tawaran harga khusus liburan. Diskon baju, sepatu, alat-alat rumah tangga, alat-alat sekolah, HP, apa saja. Semua orang berbondong-bondon memborong barang-barang diskon tersebut tanpa memikirkan dan mempertimbangkan apakah barang itu diperlukan atau tidak. Yang ada adalah pemikiran bahwa barang-barang tersebut suatu hari mungkin akan saya butuhkan maka saya perlu beli sekarang, wong mumpung diskon. Atau, kita mencuci otak kita sendiri dengan mengatakan bahwa yang di rumah itu sudah selayaknya diganti, makanya mumpung diskon ya beli ajakan rugi kalau sudah tidak ada diskon lagi. Maka, jadilah rumah kita sebagai gudang penampungan barang-barang diskon yang dengan bangga kita tunjukkan kepada teman-teman kita, betapa “pintarnya” kita mendapatkan barang diskon.

Demikian juga dengan tempat-tempat hiburan, hotel, restoran, dan segala macam lainnya. Di mana-mana kita melihat tawaran diskon piknik keluarga. Sekian macam permainan, bungalow, tempat menginap, tempat pemandian, dan sebagainya, semuanya diskon. Semuanya berlomba untuk membuat mereka yang ingin memanjakan dirinya, menyenangkan dirinya, dan memuaskan dirinya tertarik. Dan lagi-lagi kita menganggap sayang kalau hal tersebut diabaikan. Mumpung diskon… kapan lagi dapat diskon dan bisa berkumpul bersama keluarga untuk bersenang-senang.

Bukan hanya itu, bahkan tempat-tempat kursus pun menawarkan diskon. Ingin lebih cantik? Ingin cepat kurus? Ingin cepat menguasai bahasa asing? Ingin cepat menguasai komputer? Dan sebagainya…. Semuanya ikut meramaikan program dalam liburan yang memberikan kesan “sayang untuk dilewatkan”. Tidak lupa pula, waktu tidur juga sayang untuk dilewatkan. Hari menjadi panjang untuk waktu tidur. Hari libur adalah hari tidur. Kita tidak segan-segan menghabiskan waktu untuk semua itu dan justru merasa sayang kalau dilewatkan. Sehingga kita pun rela mengambil cuti untuk itu bila hendak berlibur bersama keluarga. Tapi kita tidak merasa sayang kalau telah menyia-nyiakan waktu pelayanan dan waktu untuk belajar mengenal kebenaran. Justru kalau fokusnya ke pelayanan kita malah merasa rugi. Kita tidak merasa “sayang untuk dilewatkan” karena kita menganggap kesempatan pelayanan (apalagi yang sudah rutin) dan kesempatan belajar kebenaran (apalagi tiap minggu rajin ke gereja dan ikut PA atau KTB) masih banyak sedangkan kesempatan berlibur sangat langka. Itulah yang sering kita pikirkan. Apalagi kalau kita menganggap bahwa sehari-harinya hidup kita sudah penuh diisi dengan pelayanan, seperti di GRII yang tidak pernah berhenti dari event ke event. Maka, kita merasa pantas-pantas saja untuk menarik diri sejenak dari seluruh aktivitas pelayanan untuk memanjakan diri (yang kita anggap sebentar saja itu). Alasannya adalah jenuh dan kita perlu untuk melepaskan kejenuhan itu. Jenuh kerja, jenuh sekolah, jenuh kuliah, dan bahkan jenuh pelayanan serta jenuh dengan ‘firman melulu’ sehingga perlu liburan.

Kita pun mulai menyusun apa-apa saja yang akan kita lakukan selama liburan. Ke mana saja kita “perlu” pergi. Apa saja yang kita “perlu” nikmati. Semuanya dengan satu bayangan yaitu agar kepenatan hidup ini menjadi hilang untuk sementara, dengan menikmatinya bersama teman atau keluarga. Dan ironisnya adalah kita sama sekali tidak keberatan untuk mengeluarkan uang beratus-ratus ribu, berjuta-juta, berpuluhan juta, bahkan ratusan juta demi kepuasan diri tersebut. Tetapi anehnya, ketika uang sebesar itu diperuntukkan bagi pelayanan, rasanya uang itu ada lemnya, susah dilepaskan dari kantong kita.

Sesungguhnya, sebagai orang Kristen bagaimanakah kita menyikapi hari libur? Ikut serta mengatur kesibukan liburan? Ikut serta berbaur dalam liburan? Ikut serta menikmati liburan? Ataukah menganggap liburan itu tidak ada? Apa yang diajarkan Alkitab soal liburan?

Dari kitab Kejadian sampai Wahyu, Alkitab tidak pernah dan tidak ada membicarakan soal liburan seperti yang kita bayangkan. Yang ada adalah dalam Kejadian 1, kita membaca bahwa Allah menciptakan langit, bumi, dan segala isinya termasuk manusia dari hari pertama hingga hari keenam dan dikatakan bahwa pada hari ketujuh Allah berhenti dari pekerjaan penciptaan-Nya. Apakah Allah berhenti pada hari ketujuh itu dapat kita ambil sebagai dasar acuan bahwa itu adalah masa istirahat dari segala kesibukan? Sehingga dengan alasan itu pula kita mengadopsinya dan mempraktekkannya dalam kehidupan dengan merencanakan dan memakai hari-hari libur untuk beristirahat sejenak dari kesibukan kita sehari-hari?

Konsep “berhenti” atau Sabat pada hari ketujuh jika diinterpretasikan dari seluruh PL dan PB berarti kembali kepada diri Allah. Di dalam Keluaran 35:2 dikatakan, “Enam hari lamanya boleh dilakukan pekerjaan, tetapi pada hari yang ketujuh haruslah ada perhentian kudus bagimu, yakni sabat, hari perhentian penuh bagi TUHAN; setiap orang yang melakukan pekerjaan pada hari itu, haruslah dihukum mati.” Dengan demikian, istirahat tidak bisa kita artikan berhenti dari segala aktivitas kita lalu melampiaskan aktivitas yang lain (liburan) untuk pemuasan diri kita. Istirahat yang benar adalah ketika kehidupan kita semuanya kembali kepada Allah. Maka sesungguhnya, tidak ada yang namanya istirahat tanpa melakukan kegiatan apapun lalu menghabiskan waktu hanya untuk menyenangkan diri dan melampiaskan kepuasan diri. Bila kita memahami hal ini maka sesungguhnya dalam hidup kita tidak ada yang namanya meliburkan diri dan melampiaskan kenikmatan dan kepuasan yang berhenti pada diri.

Dalam suatu master class oleh Pdt. Stephen Tong, ia mengatakan bahwa hidup ini sangat singkat, oleh karena itu hidup perlu kebijaksanaan dalam melayani dengan sepenuh hati, sepenuh keinginan, sepenuh waspada, dan sepenuh aktualisasi. Ia mempunyai prinsip “squeezing your time”, peraslah hidup sampai keluar sari-sarinya untuk dipersembahkan kepada Tuhan. Ia sungguh menyadari bahwa waktu-waktu ini adalah jahat. Waktu adalah milik Tuhan bukan milik diri atau Iblis maka dari itu waktu harus ditebus kembali kepada Tuhan (Ef. 5:16). Orang bijak tahu memakai waktu dengan benar.

Yang menjadi pertanyaan adalah waktu libur itu siapa yang bikin? Jelas bukan Tuhan seperti sudah dijelaskan di atas. Manusia membuat waktu libur karena manusia tidak pernah selesai dalam mencari istirahat itu. Semakin banyak hari libur namun manusia tidak pernah semakin puas dalam liburnya. Mengapa? Karena memang dunia tidak pernah bisa mengisi kekosongan jiwa manusia. Manusia perlu peristirahatan yang sejati yaitu peristirahatan dalam Tuhan. Oleh karena itu, seharusnya kita tidak ikut terbawa dalam “waktu libur” itu. Karena seluruh hari dan setiap hari adalah milik Tuhan, tidak ada satu detik pun dimana kita berhak untuk mengambilnya sebagai milik kita untuk kita pakai sesuai maunya kita. Seharusnya, waktu libur di mana tidak ada aktivitas rutin, kita gunakan untuk memikirkan hal atau kegiatan yang perlu kita lakukan untuk semakin mengenal kebenaran, yang pada hari-hari biasa kita tidak memiliki kesempatan untuk itu. Tetapi sering kali hal itu sama sekali tidak ada dalam pikiran prioritas kita. Yang ada adalah kita peras otak, peras konsentrasi, peras mata dan telinga, info apa yang bisa kita dapat mengenai berbagai hal yang menyangkut liburan. Dan untuk itu, kita bisa siapkan jauh-jauh hari dan kalau perlu di-booking terlebih dahulu karena takut ketinggalan atau kehabisan. Tetapi kita tidak pernah punya rasa takut kehabisan kebenaran atau ketinggalan tidak mengerti kebenaran. Kita merasa sangat sayang jikalau tidak menghabiskan liburan dengan bersantai dan bersenang-senang. Tetapi kita tidak pernah merasa sayang kalau kita tidak memperoleh kehidupan yang utuh dalam kebenaran dan menikmati kedamaian dan sukacita yang utuh meskipun situasi tidak pernah menunjang. Inikah kehidupan Kristen yang “bagi kemuliaan Tuhan saja”?

Jika demikian, bagaimana seharusnya orang Kristen menyikapi waktu libur? Pertama, seluruh waktu kita adalah milik Tuhan. Maka, baik waktu libur maupun bukan semuanya untuk Tuhan. Kita tidak berhak mengambil satu waktu pun untuk diri sendiri. Karena ketika terjadi pengambilan waktu untuk diri sendiri, di situ kita sedang mencuri milik Tuhan (waktu). Selain itu, pengambilan waktu bagi diri tidak pernah membawa kita semakin dekat kepada Tuhan dan mengenal Tuhan serta merespons-Nya dengan benar. Yang ada adalah penarikan diri jauh dari Tuhan, menjadikan diri sebagai allah yang menjadi penentu untuk kepuasan diri. 

Kedua, beristirahat bukanlah berarti waktu kita pakai untuk menikmati dan memanjakan diri tetapi beristirahat yang sejati adalah di mana seluruh kegiatan pergerakan hidup kita dikembalikan kepada Tuhan. Itulah Sabat sejati. Dan Sabat yang tidak kelihatan ini direfleksikan ke dalam Sabat yang keliatan, yang kita kenal dengan ibadah pada hari Minggu. Jadi, bila kita hanya mengutamakan yang kelihatan tetapi mengabaikan yang tidak kelihatan, itu tidak ada gunanya. Sama seperti bila kita hanya menekankan yang kelihatan yaitu berpakaian yang indah, mewah, tetapi sesungguhnya organ dalam tubuh kita rusak. Kata Tuhan Yesus, “Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu sama seperti kuburan yang dilabur putih, yang sebelah luarnya memang bersih tampaknya, tetapi yang sebelah dalamnya penuh tulang belulang dan pelbagai jenis kotoran.” (Mat. 23:27)

Ketiga, Bapa Gereja, Agustinus berkata bahwa waktu itu linear. Waktu tidak pernah bisa kembali lagi, dia akan terus berjalan ke depan. Kita tidak pernah bisa menebus kembali waktu yang telah lewat. Apa yang kita kerjakan di dalam waktu yang sementara ini akan kita bawa untuk dipertanggungjawabkan dalam kekekalan ketika bertemu dengan Tuhan. Kesadaran akan waktu yang tidak bisa kembali dan kesadaran waktu yang terkait dengan kekekalan membuat kita tidak akan sembarangan memakai waktu yang ada. Dalam buku “Waktu dan Hikmat”, Pdt. Stephen Tong mengatakan, “Di dalam kesementaraan mengandung kekekalan dan dalam kekekalan mengandung kesementaraan. Di dalam waktu hidup kita yang sementara kita menuju kekekalan; apakah yang kita persiapkan untuk itu? Kalau kita hanya melihat dunia sekarang ini dan menikmati segala sesuatu di dalam hidup kita, seolah-olah sesudah mati kita selesai, apakah bedanya kita dengan semua binatang?”

Keempat, istirahat terakhir adalah istirahat dalam Tuhan. Dalam Ibrani 4:11 dikatakan, “Karena itu baiklah kita berusaha untuk masuk ke dalam perhentian itu, supaya jangan seorangpun jatuh karena mengikuti contoh ketidaktaatan itu juga.” Perhentian abadi kelak akan kita nikmati bersama Tuhan. Oleh karena itu, kita harus menyadari bahwa seluruh yang kembali kepada Allah (istirahat sejati) selama kita hidup akan kita bawa ketika bertemu dengan Dia. Waktu itu, seluruhnya akan berhenti dan terpuaskan di dalam Allah.

Jadi, ketika liburan itu datang, bagaimana seharusnya sikap kita? Selamat merenungkan dan menggumulkan….

 

Diana Samara

Pembina FIRES