Tentu saja bukan Yesus dari Nazaret yang memiliki tinggi badan sekian, berat badan sekian, warna kulit tertentu, yang entah dengan cara bagaimana ‘masuk’ ke dalam salah satu organ tubuhku yang disebut ‘liver’ oleh orang-orang berbahasa Inggris, atau ‘leb’ oleh orang-orang Ibrani. Beberapa orang mengatakan bahwa peristiwa ‘masuknya Yesus ke dalam hati orang percaya’ itu bukan terjadi secara ‘fisik’ (tentu saja!) melainkan terjadi secara ‘rohaniah’ atau ‘spiritual’ (apa pun artinya hal itu!). Ekspresi semacam ini sangat sering kita dengar dalam percakapan orang-orang Kristen, khususnya dalam kalangan Injili. Ekspresi ini juga kita dapati dalam pengalaman orang-orang dari komunitas bukan Kristen. Mereka pun memiliki gambaran mengenai ‘sang ilahi’ yang ‘masuk’ ke dalam ‘tubuh’ atau ‘kehidupan’ dari para pengikutnya. Kita memiliki catatan mengenai peristiwa-peristiwa di mana para dewa ‘merasuki’ tubuh para pengikutnya, mulai dari ‘merasuki’ secara fisik seperti Karna yang lahir dari tindakan Dewa Surya yang menyebabkan Kunti hamil, atau Polydeuces yang lahir dari Leda dalam perjumpaannya dengan Dewa Zeus; sampai dengan peristiwa ‘kerasukan’ atau ‘kepenuhan’ yang dialami para cenayang atau dukun Sparta, Yunani, sampai para penganut agama animisme-dinamisme yang lain dari berbagai penjuru dunia. Di dalam artikel ini saya akan menelusuri apakah bedanya ‘kepenuhan’ Roh Kudus atau ‘menerima Kristus Yesus masuk dalam hati’ dengan peristiwa ‘trance’ atau perjumpaan-perjumpaan dengan sang ilahi dalam berbagai tataran sebagaimana kita jumpai di dalam agama-agama lain.
Pertama-tama kita akan meninjau pemakaian istilah ‘hati’ dalam ungkapan ‘Tuhan masuk ke dalam hati’. David Steinberg dalam artikel “Where is Your Heart? Some Body Part Metaphors and Euphemisms in Biblical Hebrew”[1] mengatakan bahwa ‘hati’ (Ibrani: hati ) tidaklah mengacu kepada organ fisik, entah itu ‘hati’ maupun ‘ginjal’, atau apa pun, melainkan harus dipahami sebagai suatu metafora. Di dalam Perjanjian Lama hati dipakai dalam pengertian:
Total kepribadian seseorang. Khususnya bagian dalam dari diri – yaitu arti dari menjadi seorang manusia – personalitas/inklinasi (orientasi).
Intelek, pemikiran rasional (atau secara metaforis ‘otak’),
ingatan,
perasaan,
gairah, keinginan, determinasi,
keberanian/nyali.
Jadi ‘hati’ di dalam Alkitab tidak hanya menyangkut ‘perasaan’ – seperti yang kita kesankan ketika kita memakainya dalam ungkapan seperti: “Khotbahnya bukan hanya membesarkan kepala dengan berbagai teori yang muluk, tetapi juga menggerakkan ‘hati’” – tetapi mencakup keseluruhan dari kepribadian seseorang, termasuk juga intelek, ingatan, keberanian, dan lain-lain. Jadi ketika kita mengatakan bahwa ‘Yesus masuk ke dalam hatiku’ di dalam penggunaan istilah ‘hati’ sebagaimana dipakai di dalam Alkitab, kita seharusnya memaksudkan bahwa Yesus Kristus secara aktif kita taati sebagai Tuan atas segala sesuatu yang menjadikan kita suatu pribadi yang unik: intelektualitas, ingatan, perasaan, gairah, keberanian, dan saya harus tegaskan – juga tubuh, dan seterusnya.
And how shall I call upon my God, my God and Lord, since, when I call for Him, I shall be calling Him to myself? and what room is there within me, whither my God can come into me?[2]
Hal kedua yang ingin saya bicarakan di dalam artikel ini adalah urusan ‘masuk’ di dalam ungkapan ‘Tuhan masuk ke dalam hati’ itu. Apakah kita cukup besar untuk menampung Tuhan? Apakah yang cukup besar untuk menampung-Nya? Jika tidak, maka apakah yang terjadi ketika Allah ‘masuk’ dan ‘memenuhi’ hidup seseorang? Jika bejana itu tidak muat, luber oleh keberadaan Allah, ke manakah ‘luberan’ itu tertumpah? Augustine mengatakan ini dalam perenungannya mengenai keberadaan Allah, manusia, dan alam semesta.
Do the heaven and earth then contain Thee, since Thou fillest them? or dost Thou fill them and yet overflow, since they do not contain Thee? And whither, when the heaven and the earth are filled, pourest Thou forth the remainder of Thyself?[3]
Ketika kita mengatakan ‘masuk’ berarti ada bagian ‘dalam’ dan ‘luar’. Pendekatan yang saya pakai dalam mendiskusikan persoalan ini adalah melalui konsep ‘interioritas’ dan ‘eksterioritas’. Augustine di dalam buku Confessions yang terkenal itu berbicara mengenai poin ini:
Ataukah tak perlu kau dimuat oleh apa pun, Kau yang memuat segala sesuatu, sebab apa yang Kaupenuhi, Kaupenuhi sambil Kaumuat? Memang bukan bejana yang Kaupenuhi itulah yang memberi-Mu kemantapan, sebab sekalipun bejana pecah, Kau tak tumpah. Dan bila Kau menumpahi kami, bukan Kau yang tertumpah, tapi kami yang Kautegakkan, bukan Kau yang berserakan, tapi kami yang Kaukumpulkan.[4]
Pertanyaannya adalah apakah tidak lebih tepat jika kita katakan segala sesuatu ada di dalam Allah (karena Allah lebih besar daripada apa pun) sehingga kita tidak terjebak dalam absurditas pertanyaan paradoksal di atas? Augustine memperingatkan agar ketika kita mengatakan ‘Tuhan masuk ke dalam X’ jangan sampai kita menganggap bahwa keberadaan Allah akan berubah karena Ia ‘memasuki’ sesuatu seperti air memasuki suatu gelas. Ia yang Tidak-Menyerupai-Apa-Pun memang tak dapat disandingkan dengan apapun dalam ciptaan ini. Janganlah kita secara salah mengartikan ungkapan ‘Allah masuk ke dalam diri kita’ seperti air masuk ke dalam suatu bejana. Seperti kita ketahui dalam ilmu Fisika, golongan benda-benda cair tidak memiliki bentuk yang tetap. Air mengambil bentuknya dari bejana yang ditempatinya. Tidaklah demikian dengan Allah, “… bukan bejana yang Kaupenuhi itulah yang memberi-Mu kemantapan, sebab sekalipun bejana pecah, Kau tak tumpah. Dan bila Kau menumpahi kami, bukan Kau yang tertumpah, tapi kami yang Kautegakkan.” Ketika Allah ‘masuk’ ke dalam hidup kita, bukan hidup kita, diri kita, ambisi kita, cerita perjuangan kita, yang menetapkan suatu bentuk dari peranan Allah di dalamnya, tetapi Allah akan membentuk itu semua sedemikian sehingga kita menemukan tempat kita yang sejati di dalam cerita datangnya Kerajaan Allah, di dalam sejarah keselamatan yang berpusat pada pekerjaan Allah di tengah umat-Nya. Jadi, lebih tepat dikatakan bahwa kitalah yang dimasukkan Allah ke dalam-Nya dan bukan Allah yang masuk ke dalam cerita hidup kita untuk menjadi Deus ex machina yang menyelesaikan segala kekusutan yang kita alami akibat segala kebebalan dan kepongahan kita sendiri.
Poin ketiga sehubungan dengan poin kedua di atas yaitu bahwa mengatakan, “Aku mengundang Kristus masuk dalam hatiku, dalam hidupku,” dapat mengesankan bahwa kitalah si tuan rumah yang membukakan pintu, memberikan residence permit kepada Allah untuk masuk ke dalam hidup kita – pendek kata kita tetap memegang kendalinya – setidaknya kitalah yang memiliki hak-hak primordial bagi diri kita. Sesungguhnya jauh daripada begitu bukan? Segala sesuatu berasal dari Allah, ditopang oleh pemeliharaan-Nya – oleh anugerah umum-Nya – dan segala sesuatu adalah milik-Nya bagi kemuliaan-Nya. Memang ada benarnya juga ungkapan “Sejak Kristus masuk ke dalam hidup kita” kalau yang kita maksudkan adalah ada masa-masa di mana kita tidak mengakui Kristus sebagai Tuan atas kita dan sekarang kita mencoba untuk dalam segala sesuatu mengakui kepemilikan Kristus atas segala aspek hidup kita. Tetapi kita juga harus hati-hati dengan metafora yang diasumsikan ungkapan kita ‘Mengundang Yesus masuk ke dalam hati’, karena bisa-bisa kita lupa bahwa sesungguhnya ‘di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada’ (Kis. 17:28). Kita semua, orang percaya dan orang tidak percaya, manusia dan hewan-hewan, dan segala tumbuh-tumbuhan dan bakteri dan cacing-cacing dan galaksi Bima Sakti dan Andromeda – segala sesuatu – ada di dalam Allah. Augustine menyadari suatu kebenaran yang sangat penting, yaitu: Keberadaan segala sesuatu itu sendiri tidak dapat dilepaskan dari keberadaan Allah. Segala sesuatu ini adalah ciptaan yang keberadaannya bergantung, senantiasa, kepada Penciptanya. Seperti disadari penulis Mazmur, “Ke manakah aku dapat pergi dan Engkau tidak ada di sana?” Seperti seorang Sufi ketika ditegur seseorang karena beribadah dengan kiblat sembarangan sehingga mungkin saja ia telah memantati Allah, si Sufi berkilah, “Sebutkanlah di mana Allah tidak ada agar aku dapat mengarahkan pantatku ke sana.” Kita harus memegang dengan serius ke-Maha-Ada-an Allah ini ketika kita memakai ungkapan semacam “Yesus masuk ke dalam hatiku”, atau “Allah masuk ke dalam hidupku”, dan seterusnya. Hati kita, hidup kita, sudah tentu tidak bisa ada kecuali ia ada di dalam Allah. Kita tidak dapat ‘melarikan diri’ dari keberadaan Allah. Orang-orang Puritan sangat menyadari hal ini, mereka hidup coram Deo – di hadapan wajah Allah. Apakah kita dapat menjauhi Allah? Ke manakah kita dapat pergi untuk bersembunyi dari kehadiran Allah? Seperti dikatakan Paulus, apakah yang dapat memisahkan orang percaya dari kasih Kristus? (Rm. 8:35). Demikian kita dapat mengamini bahwa ‘bukan kita yang telah memilih, memanggil, dan mengundang Allah’ untuk masuk dan berbagian dalam hidup kita, tetapi Allah-lah yang telah ternyata terlebih dahulu ‘menetapkan dan memilih orang percaya sebelum dunia dijadikan’ (Ef. 1: 4-5), Allah jugalah yang memberikan kita iman agar kita dapat memanggil Dia, karena ‘bagaimanakah kita dapat memanggil Dia yang tidak kita kenal dan percaya?’ Augustine mengatakan,
for who can call on Thee, not knowing Thee? for he that knoweth Thee not, may call on Thee as other than Thou art. Or, is it rather, that we call on Thee that we may know Thee? but how shall they call on Him in whom they have not believed?
Sesungguhnya Allah ada dan kita ada di dalam Allah. Kehadiran Allah memenuhi segala sesuatu, walaupun Allah itu tidaklah dapat dibandingkan dengan apa pun juga dalam ciptaan. Dalam tradisi gereja Barat, bagian kedua dari kalimat ini sering kali ditekankan lebih daripada bagian yang pertama. Allah itu Wholly Other – Allah itu Kudus, Allah itu Esa. Kekristenan adalah agama monotheistik, anti-tesis dari segala paham animisme, dinamisme, pantheisme, panentheisme, dan politheisme. Tetapi di sisi yang lain kita tidak boleh lupa juga bahwa kekristenan bukanlah agama deisme. Allah terlibat secara intim dan hadir secara penuh, tidak kurang apa pun, di dalam segala aspek ciptaan, bahkan ciptaan itu ada di dalam Allah. Sering kali kita kurang menekankan hal ini karena kita khawatir akan tergelincir kepada pantheisme atau panentheisme, Allah ada di mana-mana, bahkan ‘mana-mana’ adalah ada di dalam Allah dapat tergelincir kepada ‘apa-apa’ mengandung Allah atau ‘adalah’ Allah. Pantheisme dan panentheisme cukup dekat dengan kita di Indonesia. Sampai hari ini masih cukup umum bagi beberapa orang ketika mendaki gunung, melintasi hutan, bahkan ketika masuk ke dalam terowongan di kota Jakarta, untuk ‘menyapa’ para ‘penunggu’ atau ‘penghuni’ dari pojok-pojok tertentu entah dengan mengatakan, “Permisi, anak babi mau numpang pipis,” atau membunyikan klakson sekali ketika mau memasuki suatu terowongan atau hutan yang dianggap angker. Tentu saja sikap seperti ini salah secara theologis. Tetapi Augustine mengingatkan kita, bukan hanya pantheisme dan panentheisme yang salah, tapi juga deisme yang mengusir kehadiran Tuhan dari ciptaan – sampai saat kita membutuhkan pertolongan-Nya barulah Ia sebagai Deus ex machina akan mendadak intervensi ke dalam sejarah dan membereskan penderitaan kita. Sesungguhnya ke manapun kita melangkahkan kaki kita, ketika mendengar desir angin, titik-titik air hujan, kicau burung, gemerisik rumput di kaki kita, saat itulah kita berjumpa dengan kehadiran Sang Pencipta dan Pemelihara yang dengan aktif menopang ciptaan setiap detiknya. Kita berjumpa dengan kehadiran-Nya di mana-mana. Bukan di Gunung Gerizim, bukan di Sungai Yordan, bukan di Yerusalem, tetapi di mana-mana. Seperti dikatakan penulis lagu This is My Father’s World:
This is my Father’s world
I rest me in the thought
of rocks and trees,
of skies and seas
his hands the wondrous wrought
…
in the rustling grass, I hear Him pass He speaks to me everywhere.
Yadi S. Lima
Hamba Tuhan GRII
Endnotes
[1] Lihat http://www.adath-shalom.ca/body_methapors_bib_hebrew.htm (diakses pada Juli 2012).
[2] St. Augustine, The Confessions of Saint Augustine, terj. Edward Bouverie Pusey, book I, p. 3.
[3] Ibid.
[4] St. Augustine, Pengakuan-Pengakuan (Yogyakarta: Kanisius, 1997) buku pertama, hal. 30.