Tidak terasa tahun 2020 akan segera berakhir. Banyak dari kita yang memulai tahun 2020 dengan penuh semangat dan pengharapan akan hari depan yang lebih baik. Namun siapa yang menyangka ada virus yang tidak kasat mata yang mengubah fokus seluruh dunia? Seluruh dunia terdampak. Tidak ada seorang pun yang luput dari efeknya, baik besar maupun kecil. Sebagian besar dari kita jadi mempunyai banyak waktu untuk berpikir, merenung, ataupun meratapi nasib. Di masa pandemi ini, semua orang dipaksa untuk memikirkan ulang apa yang paling penting di dalam hidupnya. Apa sih yang sebenarnya kita cari di dunia ini selama kita hidup? Kesenangan? Kebahagiaan? Kesuksesan? Kesehatan? Atau? Adakah yang mencari kebenaran, atau tepatnya Sang Kebenaran?
Ravi Zacharias di dalam bukunya The Grand Weaver mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang incurably religious. Artinya, sadar atau tidak sadar, mau atau tidak mau, kita semua adalah makhluk yang ingin menyembah (sesuatu) dan bahkan sampai bisa menciptakan sesuatu untuk kita bisa sembah. Kita bisa melihat di bawah kolong langit ini begitu banyak macam adat istiadat, budaya, upacara-upacara, dan ritual-ritual, entah itu adalah bagian dari agama-agama besar sampai kepercayaan suku-suku terpencil.
Lalu, kalau begitu, kepercayaan apa yang benar? Atau siapa yang benar? Mengapa agama Hindu memiliki 330 juta dewa? Apakah sistem kasta dan reinkarnasi adalah kebenaran atau sebenarnya hanya kepercayaan turun-temurun? Apakah iman Kristen itu sejati? Bagaimana dengan Yesus yang lahir dua ribu tahun yang lalu itu? Apakah Dia benar-benar seperti apa yang Dia katakan? Saking seriusnya manusia mencari spiritualitasnya, Paulus mengatakan bahwa orang Yunani memiliki begitu banyak altar dewa-dewa, sampai ada satu altar yang dikatakan, “Kepada Allah Yang Tidak Dikenal” (Kis. 17:23). Mereka takut kalau-kalau ada dewa yang belum dibuatkan altarnya, lalu marah dan mengutuk mereka. Inilah spiritualitas orang-orang hari ini.
Sebenarnya kekristenan sendiri pun juga tidak terlepas dari pencarian spiritualitas ini. Kita masih bisa menemukan relic atau barang “keramat” yang disimpan di gereja-gereja tertentu, seperti gigi orang suci, paku Tuhan Yesus, kayu salib Tuhan Yesus, dan lain-lain. Bagaimana dengan agama Islam yang bisa memengaruhi seluruh umatnya untuk beribadah hanya ke arah Makkah dan harus sebanyak lima kali sehari? Keinginan kita untuk pencarian spiritual ini tidak akan bisa hilang. Manusia selalu ingin sensasi baru yang lebih spektakuler, yang lebih mujarab, dan yang lebih ajaib.
Secara umum kita bisa melihat beberapa jenis spiritualitas di dalam baju yang bermacam-macam, seperti tradisionalisme, legalisme, dan takhayul.
Orang-orang tradisionalis membaktikan diri mereka kepada ajaran atau agama yang dibangun di atas dasar perkataan bijaksana dan juga hukum turun-temurun. Contohnya kita bisa lihat dari orang Farisi dan Saduki. Mereka memiliki ajaran dan peraturan yang begitu ketat, yang pada akhirnya hanya memberatkan pengikutnya saja. Banyak sekali upacara atau tradisi yang masih “mengikat”, entah itu bersifat serius, atau malah ada yang terkesan lucu bagi kita. Tuhan Yesus sendiri berulang kali menegur tentang upacara-upacara ini. Di dalam kekristenan sendiri, kita sudah tidak melakukan upacara korban bakaran. Saya percaya, di Indonesia kita masih cukup sering melihat upacara atau adat yang dilakukan golongan tertentu demi menaati kewajiban agama mereka.
Banyak orang, termasuk kaum intelektual, tidak banyak mempertanyakan basis tradisi dan upacara spiritual mereka. Mereka melakukannya begitu saja dan menganggap telah melakukan bakti kepada Allah. Melaksanakan upacaranya dianggap lebih penting daripada arti atau tujuan upacara tersebut. Padahal telah dikatakan oleh Nabi Mikha, “Dengan apakah aku akan pergi menghadap TUHAN dan tunduk menyembah kepada Allah yang di tempat tinggi? Akan pergikah aku menghadap Dia dengan korban bakaran, dengan anak lembu berumur setahun? Berkenankah TUHAN kepada ribuan domba jantan, kepada puluhan ribu curahan minyak? Akan kupersembahkankah anak sulungku karena pelanggaranku dan buah kandunganku karena dosaku sendiri?” (Mi. 6:6-7). Sampai sejauh mengorbankan keturunan sendiri atau manusia hidup-hidup pun rela dilakukan demi upacara spiritualnya. Apalah arti upacara kita itu di hadapan Allah yang Mahatinggi? Kesalehan kita pun sebenarnya seperti kain kotor di mata Tuhan (Yes. 64:6). Tidak ada ritual, upacara, ataupun usaha apa pun yang dapat menyelamatkan kita, menyelesaikan permasalahan dosa, dan mendamaikan kita dengan Allah. Tetapi ingat, ini bukan artinya kita sama sekali membuang semua tradisi dan upacara. Yang perlu diingat adalah kita harus berhati-hati kepada setan yang bisa menyelewengkan kepercayaan yang terselubung di dalam tradisi dan upacara-upacara seperti yang diperingatkan Rasul Paulus di Roma 1:21-25.
Mari kita lanjut kepada jenis kedua, yaitu legalisme. Tuhan Yesus juga menegur orang yang melakukan spiritualitasnya dengan semangat legalisme, yaitu yang berpikir seolah-olah jika berhasil melaksanakan segala peraturan dan kewajiban moral agamanya dengan ketat dan sempurna, mereka bisa luput dari murka Allah. Ini tidak mungkin terjadi. Hanya dengan anugerah melalui iman kepada Yesus Kristus kita bisa diselamatkan. Kembali lagi, bukan artinya tidak perlu menaati segala macam peraturan keagamaan, karena iman tanpa perbuatan itu mati adanya (Yak. 2:26). Namun yang perlu diperhatikan adalah perbuatan kita, sebaik dan semulia apa pun itu, tidak bisa membawa kita kepada keselamatan. Perbuatan baik, atau lebih tepatnya ketaatan kita, adalah buah dari iman keselamatan kita di dalam Yesus Kristus. Sadar atau tidak sadar, orang yang memiliki semangat legalisme di dalam pencarian spiritualnya biasanya menggunakan kepiawaiannya di dalam hukum dan norma keagamaan untuk menghakimi orang lain, terutama yang kelihatan lebih tidak taat dari dia.
Tipe ekspresi spiritual yang ketiga adalah takhayul. Dari judulnya saja saya kira kita semua sudah pernah mendengarnya dan menebak kira-kira apa arti dan bentuk praktisnya. Begitu banyak orang yang dikontrol oleh suatu takhayul tertentu. Sebagai contoh, ibu saya, walaupun keluarga kami sudah menjadi Kristen begitu lama, masih sulit untuk melepaskan atau melupakan kebiasaan lama turun-temurunnya, seperti tidak boleh menyapu saat Hari Imlek, harus mempunyai sisa makanan yang berlebih di akhir Hari Imlek (walaupun hari itu semua sudah makan di malam hari). Contoh umum lainnya adalah seperti angka 13 yang di dalam masyarakat atau negara-negara tertentu dianggap sebagai angka sial. Saya yakin Anda bisa menyebutkan banyak contoh lainnya. Yang menjadi problem adalah kadang kita tidak peka akan takhayul-takhayul yang ada, dan kita secara tidak sadar menganggapnya sebagai hal yang benar atau mungkin malah memercayainya walaupun sedikit saja.
Perbedaan tradisi dan upacara dari takhayul adalah tradisi dan upacara dibangun di atas dasar norma, perkataan-perkataan bijaksana, dan hukum keagamaan. Sedangkan takhayul tidak memiliki dasar yang kuat dan jelas, dan biasanya berdasarkan perasaan, pengalaman mistis, kesalahpahaman terhadap sains, dan sebagainya. Kehidupan Kristen kita juga rentan terhadap jimat, ritual, atau takhayul. Mungkin kita pernah mendengar cerita dari seorang Kristen yang berkata bahwa jika berdoa kurang dari sekian menit di pagi hari, atau lupa membaca Alkitab di hari itu, segala hal buruk yang terjadi di hari itu adalah karena melewatkan “ritual-ritual” ini. Atau juga misalnya seperti jika selalu datang gereja tepat waktu dan tidak pernah absen, mengikuti pelayanan-pelayanan tertentu, akan lebih memastikan berkat Tuhan turun ke atas kita. Semua disiplin akan aktivitas ini tidaklah buruk, bahkan sangat baik, kecuali pendekatannya adalah sebagai pious superstition (takhayul saleh). Seolah-olah kita bisa mengontrol Tuhan untuk memberikan berkat dengan ritual-ritual yang kita tekuni ini.
Tuhan Yesus di Markus 7 membahas dengan dalam tentang tradisi, upacara, kebiasaan, dan hukum ini. Secara khusus membahas tentang mencuci tangan. Peringatan yang keras dari Tuhan Yesus datang di ayat ke-6 dan 7. Mengutip Nabi Yesaya, Yesus mengatakan, “Benarlah nubuat Yesaya tentang kamu, hai orang-orang munafik! Sebab ada tertulis: Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku. Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia.” Di dalam Matius 12, Yesus juga membahas tentang murid-murid yang memetik gandum di hari Sabat. Kita bisa belajar bagaimana Tuhan Yesus sendiri menangani spiritualitas legalistik dan seremonial di dalam dua bagian Alkitab ini. Pada hakikatnya, orang-orang dan para imam juga melanggar hukum-hukum Allah setiap waktu, karena tidak ada yang bisa melaksanakannya dengan sempurna kecuali Tuhan Yesus sendiri. Yesus Kristuslah yang menjadi Tuhan atas hari Sabat. Bukan upacaranya itu yang menjadi tujuan akhir. Semua arti ritual, hukum, dan upacara ini kosong jika hatinya saat melakukannya tidak tertuju dan berpusat kepada Allah.
Di dalam bukunya, R. Zacharias mengatakan ada jenis keempat, yaitu spiritualis “zaman now”. Orang-orang ini mengatakan bahwa mereka percaya terhadap hal-hal yang pokoknya rohani. Sebenarnya, mereka hanya sebatas percaya hal-hal yang berbau mistis saja, yang di luar hal-hal yang bersifat fisik. Hal-hal ini seperti “makanan organik untuk jiwa” mereka. Mereka tidak benar-benar mengerti apa yang sebenarnya mereka percayai. Contohnya seperti orang yang menempel stiker bertulisan “Jesus is my co-pilot” atau “Chant om for peace”, dan juga seperti orang-orang Kristen polos yang mengikuti KKR Kesembuhan Ilahi demi mendapatkan kesembuhan dari Allah. Godaan spiritual adalah godaan yang paling mematikan karena yang dibarter adalah jiwa kita.
Lalu pencarian spiritualitas seperti apa yang benar? Kita harus mengejar kebenaran. Kita tidak bisa hidup tanpa kebenaran. Coba bayangkan saja jika tidak ada kebenaran di pengadilan atau di dalam kehidupan pernikahan. Tidak terbayangkan, bukan? Seberapa pandai kita menyembunyikan atau menyelewengkan kebenaran, cepat ataupun lambat kebenaran itu akan terkuak. Di dalam sejarah pemikiran, kita bisa melihat manusia berayun dari satu ekstrem ke ekstrem lainnya. Terminologi-terminologinya besar seperti rasionalisme, empirisisme, eksistensialisme, postmodernisme, dan sebagainya. Dari mana datangnya kebenaran? Rasionalisme meninggikan rasio di atas segalanya. Empirisisme membutuhkan pembuktian di laboratorium atau pengalaman untuk menentukan sesuatu benar atau tidak. Eksistensialisme meninggikan kehendak manusia. Dan di postmodernisme, ketiadaan kebenaran yang absolut. Jika tidak ada kebenaran, manusia hanya akan hilang dan tenggelam di dalam segala permainan kata-kata dan paham-paham dunia.
Hanya ada satu orang di dalam sejarah manusia yang pernah mengatakan, “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku” (Yoh. 14:6). Kita akan segera memperingati hari kelahiran-Nya. Dialah Sang Kebenaran itu yaitu Firman yang menjadi daging dan diam di antara kita (Yoh. 1:14), yaitu Yesus Kristus, Sang Kebenaran yang inkarnasi.
Jadi, pertanyaan yang paling penting adalah, “Apa itu kebenaran?” Pilatus juga menanyakan hal yang sama saat dia menghakimi Tuhan Yesus (Yoh. 18:38). Namun dia tidak benar-benar ingin tahu jawabannya. Kita sering kali hanya mau bertanya tanpa mau benar-benar mendengar dan menerima jawaban Tuhan. Tuhan Yesus mengatakan, “Jikalau kamu tetap dalam firman-Ku, kamu benar-benar adalah murid-Ku dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu” (Yoh. 8:31-32). Kita adalah hamba-hamba kebenaran, bukan hamba yang dibelenggu dosa, namun yang bebas di dalam ikat pinggang kebenaran. Kebenaran inilah yang membedakan spiritualitas sejati dan yang palsu. Spiritualitas tidak membuat hidup menjadi berarti tetapi kebenaranlah yang membuat spiritualitas berarti. Kita jangan sampai menyeleweng hanya kepada upacara-upacara dan legalisme saja. Spiritualitas kita haruslah berdasarkan kebenaran dan dijalani dari anugerah Allah semata.
Kiranya selagi kita menyongsong Hari Natal di tahun ini, kita bisa kembali merenungkan pencarian spiritualitas kita. Apakah sudah berpusat kepada Sang Kebenaran sejati nan kekal? Atau spiritualitas kita hanya berfokus kepada hal-hal duniawi saja?
Steven Abdinegara
Pemuda MRII PIK
Referensi:
– Zacharias, Ravi (2007). The Grand Weaver. Zondervan.
– Redd, Scott (2017). Don’t Be a Superstitious Christian. The Gospel Coalition. Retrieved from https://www.thegospelcoalition.org/article/dont-be-a-superstitious-christian/.