Tahun lalu kita merayakan 500 tahun Reformasi. Perayaan ini sekaligus menjadi sebuah peringatan akan masa kekelaman gereja, namun juga mengingatkan kita akan janji Tuhan yang akan menjaga Gereja-Nya. Hal ini dilakukan-Nya dengan membangkitkan Martin Luther. Luther memakukan 95 tesis di pintu gerbang Gereja Istana (Schlosskirche) di Wittenberg sebagai bentuk penolakan terhadap pengajaran Gereja Katolik Roma yang telah menyimpang dari Alkitab. Namun, semangat memperjuangkan kebenaran seperti ini sudah tidak lagi populer pada zaman ini, bahkan semangat seperti ini sudah ditinggalkan dan dilupakan oleh banyak gereja. Reformasi dianggap sebagai peninggalan dari masa lalu yang telah kehilangan relevansi dan signifikansinya pada zaman sekarang. Benarkah Reformasi tidak lagi relevan bagi zaman ini? Atau justru ketidaksadaran akan relevansi ini merupakan tanda bahwa ada sesuatu yang salah pada gereja-gereja zaman ini?
Jika kita perhatikan baik-baik, Reformasi merupakan sebuah gerakan yang begitu agung, suatu bentuk intervensi Tuhan di dalam sejarah umat manusia. Demikian juga semangat yang dikobarkan oleh gerakan ini, sangatlah krusial bagi keberlangsungan dan keutuhan sejarah keselamatan. Secara singkat, semangat gerakan ini salah satunya tercermin dalam “Lima Sola” (sola gratia, sola fide, sola scriptura, solus Christus, soli Deo gloria). Artikel ini hanya akan mengajak pembaca PILLAR bersama-sama merenungkan konsep soli Deo gloria.
Soli Deo gloria dapat diartikan bahwa segala hal yang dilakukan oleh manusia harus dilakukan dengan motivasi untuk mengembalikan kemuliaan bagi Allah. Semangat ini begitu kontras dengan konsep self-glorification yang sangat diidolakan pada zaman ini, seperti narsisisme, positive thinking, self-image, self-confidence, hingga konsep praktik seperti selfie. Dasar dari perbedaan ini dapat ditelusuri sampai kepada konsep tentang identitas manusia. Identitas manusia pada zaman Reformasi ditekankan dan digambarkan melalui konsep “gambar dan rupa Allah” (imago Dei). Pemikiran ini berbeda total dengan pemikiran pada zaman ini; identitas manusia sering kali dibangun di atas pendapat sosial atau pandangan diri sendiri. Untuk lebih jelasnya, kita akan sedikit menelusuri pandangan-pandangan pada zaman Reformasi, seperti pemikiran Katolik, dan membandingkannya dengan pandangan para Reformator tentang imago Dei dan juga implikasinya pada zaman sekarang.
Humanism, Imago Dei, and Soli Deo Gloria
Munculnya Reformasi tidak terlepas dari sebuah semangat zaman yang dinamakan humanisme dengan salah satu tokohnya bernama Desiderius Erasmus. Inti dari filsafat humanisme adalah menjunjung tinggi nilai dan martabat manusia. Melalui pengaruh humanisme, orang mulai menentang otoritarianisme Gereja Katolik Roma yang mengontrol seluruh bidang kehidupan manusia dari hal spiritual sampai budaya. Gereja pada zaman itu menilai bahwa hanya gereja yang berhak menentukan seluruh kehidupan manusia. Penilaian ini bertentangan dengan semangat humanisme yang mendukung kebebasan manusia untuk berkarya. Selain itu, pemikiran humanisme juga mendorong orang untuk boleh secara bebas menerjemahkan Alkitab sesuai dengan hati nurani mereka tanpa dikekang oleh Gereja Katolik Roma.
Sampai tingkatan tertentu, pemikiran humanisme merupakan sesuatu yang baik dan dapat membangun masyarakat. Namun, ketika pemikiran ini dibangun di luar otoritas firman Tuhan, penyimpangan ke ekstrem lain menjadi tak terelakkan. Salah satu ekstremnya adalah mendorong manusia untuk berpikir sebagai tuan atas hidup mereka sendiri (I am the captain of my soul). Berbeda dengan humanisme sekuler, Christian humanism melihat manusia bernilai dan penuh potensi karena diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Potensi, nilai, kemuliaan, dan segala property yang ada pada manusia bersumber semata-mata dari Allah dan karena keberadaannya yang bergantung pada Allah sebagai gambar dan rupa Allah.
Di dalam konteks budaya Alkitab, “gambar dan rupa” sering dipakai di dalam keadaan perang. Ketika seorang raja berhasil menaklukkan bangsa lain, maka cara untuk menegakkan dominasinya di wilayah yang ditaklukkan adalah dengan membuat patung raja tersebut. Patung tersebut bertindak sebagai “gambar dan rupa” raja tersebut yang mewakili keberadaannya berkuasa di wilayah jajahan tersebut.
Demikian juga konsep manusia sebagai gambar dan rupa Allah, keberadaan manusia di dunia ini berarti kita adalah wakil Allah di tengah dunia ini. Keberadaan kita seluruhnya adalah untuk menyatakan kuasa dan kebesaran dari Raja yang berkuasa atas langit dan bumi. Maka, konsep humanisme biblical adalah menggali potensi manusia dan mengapresiasi nilai manusia sebagai bentuk penyembahan dan kemuliaan kepada Allah.
Imago Dei in Reformation
Theologi Katolik Roma mengenai imago Dei sangat dipengaruhi oleh konsep dualisme dari neoplatonisme. Konsep ini mengajarkan bahwa hal-hal spiritual/supernatural lebih tinggi secara kualitas dibanding hal-hal jasmani/natural. Theologi yang demikian, rentan untuk jatuh kepada pemikiran yang menganggap segala hal yang bersifat gerejawi lebih baik dan kudus dari pekerjaan atau studi kita sehari-hari. Ide ini menjadi sesuatu yang tak terelakkan. Maka konsep soli Deo gloria di dalam segala aspek kehidupan menjadi sesuatu yang asing karenahanya ditekankan dalam hal-hal yang bersifat spiritual atau gerejawi saja.
Konsep dualisme ini sangat ditentang oleh para Reformator, khususnya John Calvin ketika dia membahas konsep imago Dei. John Calvin menolak pemisahan ini karena memiliki implikasi seolah-olah tubuh jasmani manusia diciptakan oleh Tuhan kurang sempurna, sehingga memerlukan supernatural gift yang lain agar dapat berfungsi sesuai dengan kehendak Tuhan. Kejadian 1:31 menyatakan bahwa setelah Allah menciptakan segala sesuatu, termasuk manusia, Allah menilai semua itu sangatlah baik. Penilaian yang diberikan oleh Tuhan meliputi seluruh aspek baik secara lahiriah maupun batiniah. Bahkan setelah manusia jatuh di dalam dosa, mereka tetap disebut sebagai gambar dan rupa Allah meski sudah rusak (Kej. 1:27, 5:1, 9:6; Yak. 3:9). Herman Bavinck memberikan ilustrasi manusia berdosa seperti orang buta atau orang tuli. Mereka kehilangan sesuatu yang menjadi natur mereka sejak awal (penglihatan dan pendengaran) namun mereka tetap disebut sebagai manusia.
John Calvin membagi imago Dei di dalam dua perspektif yaitu broader and narrow sense. Broader sense merujuk kepada aspek gambar dan rupa Allah di manusia yang masih ada setelah jatuh ke dalam dosa meski sudah rusak, misalnya seperti kemampuan rasional dan hati nurani. Di sisi lain, narrow sense merujuk kepada aspek gambar dan rupa Allah yang sudah hilang karena dosa seperti true righteousness, true holiness, and true knowledge. Ketika Kristus datang untuk menebus manusia dari dosa, bukan hanya imago Dei di dalam narrow sense saja yang dipulihkan tetapi aspek di dalam broader sense juga mengalami pemulihan. Di buku Institutes of the Christian Religion (I.XV.III), Calvin menulis demikian, “And though the primary seat of the divine image was in the mind and the heart, or in the soul and its powers, there was no part even of the body in which some rays of glory did not shine.”
Jelas bahwa konsep Calvin mengenai imago Dei adalah salah satu pilar yang mendorong untuk memuliakan Tuhan dengan seluruh keberadaan kita sebagai manusia. Bukan hanya ketika berdoa atau berpartisipasi di dalam hal spiritual saja, tetapi juga ketika melakukan hal lahiriah, kita harus memuliakan Tuhan. Di 1 Korintus 10:31, Rasul Paulus mengatakan, “Aku menjawab: Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah.” Makan dan minum merupakan kebutuhan dasar dari tubuh manusia dan Alkitab mengajarkan bahwa itu pun harus dilakukan untuk kemuliaan Tuhan. Maka, doktrin imago Dei pada zaman Reformasi, mendorong setiap orang sebagai gambar dan rupa Allah untuk membawa kemuliaan bagi Allah di dalam apa pun yang mereka lakukan.
Humanisme di Zaman Ini
Di zaman ini, humanisme berkembang dengan sangat cepat khususnya karena munculnya humanistic psychology yang dipelopori oleh Carl Rogers dan Abraham Maslow. Humanistic psychology merupakan teori humanis mengenai psikologi manusia mengenai self-fulfilment dan self-actualisation yang merupakan jalan bagi manusia untuk mendapatkan keberhasilan dan kebahagiaan yang sejati. Self-actualisation merupakan kondisi manusia yang terbaik dan hanya bisa dicapai melalui pengembangan diri dan penggalian potensi. Kedua tokoh tersebut melihat bahwa potensi yang dimiliki manusia adalah pemicu dan dorongan seorang manusia untuk berusaha dengan lebih baik. Abraham Maslow mengatakan, “What a man can be, he must be.” Artinya manusia harus terus mengembangkan potensi mereka, menjadi lebih baik sehingga dapat menjadi individu yang sesuai dengan keinginan mereka sendiri. Pemikiran ini mengajarkan bahwa kebahagiaan dan kehendak manusialah yang menjadi subjek dan juga objek dari segala usaha manusia. Bandingkan dengan semangat humanisme yang ditekankan oleh para Reformator bahwa Allahlah yang menjadi subjek dan objek dari segala usaha manusia.
Dari konsep humanisme yang demikian, muncullah budaya atau tren yang perlahan-lahan semakin mempertuhankan manusia dan membuang Tuhan yang sejati. Ide-ide seperti self-esteem dan self-confidence menjadi sebuah topik pembahasan yang sangat disukai oleh masyarakat luas. Ambil contoh, motivator-motivator yang selalu mengajak pendengarnya untuk percaya kepada kemampuan dan potensi diri sendiri. Bukan hanya itu, sistem edukasi dan pendidikan anak terus menanamkan kepada setiap anak bahwa mereka memiliki potensi yang besar dan harus terus percaya kepada kemampuan sendiri. Hal ini juga didukung oleh sains yang bergerak ke arah tersebut. Banyak penemuan ilmiah yang menyatakan bahwa kepercayaan diri dapat memengaruhi kesehatan maupun kesejahteraan seseorang.
Sebuah artikel dengan judul Who cares if Christ is risen menjelaskan tren humanisme pada zaman ini, “Being yourself is the thing to be, as if your self was automatically interesting and good. The consequence of this is that what was once called selfishness is now called fulfilment. The word “love” is used just as much as it ever was, but it means something else. For a Christian, the measure of love is what one is willing to give up for it. For the post-Christian, love is the most exciting state of the ego.” Filsafat humanisme bukan hanya telah memengaruhi cara manusia melihat diri sendiri tetapi juga motivasi di dalam melakukan segala sesuatu. Sebagai contoh, banyak orang ketika ditanya mengenai alasan atau motivasi mereka untuk menerima pendidikan setinggi mungkin, akan menjawab “agar mendapatkan masa depan yang cerah” yang sebenarnya berarti “mendapatkan pekerjaan yang baik dengan gaji yang besar”. Pada akhirnya, kemuliaan Tuhan bukanlah tujuan akhir dari usaha manusia melainkan diri mereka sendirilah tujuan akhirnya. Mereka tidak lagi menggali potensi untuk Tuhan tetapi untuk memenuhi keinginan mereka atau untuk mencapai self-actualisation. Maka, perkembangan humanisme modern berakibat kepada pergeseran dari soli Deo gloria menjadi soli homos gloria.
Sayangnya, fenomena ini bukan hanya terjadi di dalam dunia sekitar, namun gereja pun tidak terlepas dari pengaruh humanisme ini. Ambil contoh konsep doktrin keselamatan yang semakin lama semakin antroposentris (berpusat pada manusia). Di dalam gereja, kita sering mendengar kalimat seperti “Allah sangat mengasihi manusia meski telah berdosa”, “undanglah Yesus ke dalam hatimu”, dan “Tuhan selalu siap untuk memberkatimu”. Hal ini memang tidak salah dan bahkan Alkitab banyak berbicara mengenai hal-hal tersebut. Roma 10:9 mengajarkan jika kita percaya dan mengaku kalau Kristus adalah Tuhan kita akan diselamatkan. Tetapi yang kita tidak sadari adalah di dalam konteks surat Roma ditulis, barang siapa yang percaya bahwa Yesus adalah Tuhan akan disiksa dan dibunuh. Berbeda dengan konteks zaman sekarang, yang mengajarkan untuk percaya maka hidupmu akan semakin lancar dan sukses.
David Platt di dalam bukunya Radical: Taking Back Your Faith from the American Dream menjelaskan demikian, “God loves me is not the essence of Biblical Christianity. Because if ‘God loves me’ is the message of Christianity, then who is the object of Christianity? Me. Christianity’s object is me.” Tanpa disadari, kita pun sering bersikap seperti ini. Mengapa kita bergereja di tempat ini? Mengapa kita mau melayani di bidang ini? Mengapa kita mau mendengarkan khotbah ini? Jawaban dari semua pertanyaan tersebut adalah karena sesuai dengan yang saya sukai atau karena cocok dengan saya. Tanpa disadari, orang Kristen sendiri secara perlahan telah menggeser Allah sebagai titik pusat dari kekristenan dan menggantinya dengan manusia.
Inilah realitas manusia pada zaman ini. Sejak muda, manusia telah mengindoktrinasi diri untuk terus menggali potensi mereka bagi diri sendiri dan menjunjung tinggi nilai manusia tanpa menyadari arti menjadi seorang manusia yang sesungguhnya. Alkitab mengajarkan bahwa Allah menciptakan manusia secara total sebagai gambar dan rupa-Nya, sehingga manusia memiliki nilai. Sayangnya, banyak orang menjunjung tinggi nilai dan martabat manusia dan lupa bahwa Tuhanlah yang memberikan nilai pada manusia.
Kisah Menara Babel seolah-olah terulang kembali pada zaman ini. Manusia yang berkumpul, bersama-sama menggali potensi mereka dengan membangun Menara Babel yang ditujukan untuk membawa kemuliaan bagi mereka sendiri. Inilah spirit humanisme pada zaman ini. Manusia berlomba-lomba untuk memperbaiki diri dan menggali potensi mereka agar mereka mendapat kemuliaan bagi diri sendiri.
Alih-alih mengajarkan antroposentrisme, Alkitab justru menekankan pemikiran theosentris. Pemikiran yang menjadikan Allah pusat dari segala sesuatu. Paulus di dalam Kolose 3:23 berkata, “Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.” Pada zaman Reformasi, para Reformator terus menjunjung tinggi nilai dan potensi manusia. Namun, ini semua dilakukan di dalam kesadaran bahwa nilai dan potensi manusia pada akhirnya digali hanya untuk kemuliaan Tuhan. Hal inilah yang telah hilang pada zaman ini. Kesadaran sebagai gambar dan rupa Allah yang seluruh hidupnya adalah bagi kemuliaan-Nya. Tanpa kesadaran yang demikian, maka manusia akan selalu meleset dari tujuan awal penciptaan yaitu untuk kemuliaan Tuhan. Bagaikan sebuah benda yang dipakai tidak sesuai dengan tujuan awal diciptakan, demikianlah kondisi manusia yang membuang Tuhan dan terus menuhankan diri sendiri.
Semangat soli Deo gloria yang dikumandangkan pada masa Reformasi adalah salah satu kunci kembalinya kemanusiaan yang sejati. Manusia yang sejati diciptakan untuk kemuliaan Allah. Jikalau hal ini tidak ada di dalam diri manusia, maka manusia tidak lagi menjadi manusia yang sejati. Oleh karena itu, manusia yang mengejar kemuliaan diri adalah manusia yang sedang merusak gambaran dirinya. Usaha manusia untuk menjadi tuhan atas dirinya adalah usaha manusia untuk mengarahkan dirinya kepada kehancuran. Jangan sampai kehidupan kita disia-siakan hanya untuk mencapai apa yang kita kehendaki. Tetapi biarlah kita kembali kepada kesejatian kita sebagai manusia, yaitu memuliakan Tuhan. Kita belajar untuk menyerahkan seluruh hidup kita tunduk di bawah kehendak Allah dan setia sampai mati memuliakan Dia.
Semangat Reformasi masih sangat relevan bahkan sangat diperlukan bagi zaman ini. Gereja-gereja yang meninggalkan semangat ini adalah gereja-gereja yang sedang menjual hak kesulungannya kepada konsep humanisme dunia. Mereka berpikir dengan mengadopsi konsep humanisme dunia, gereja akan semakin digandrungi. Mungkin jumlah jemaat bisa bertambah tetapi apa gunanya jumlah pengikut yang besar jika sudah tidak ada lagi iman yang sejati di dalamnya? Biarlah peringatan hari Reformasi pada tahun lalu menyadarkan kita kembali akan makna semangat soli Deo gloria yang telah ditegakkan oleh para Reformator. Semua ini agar kita menjadi manusia yang sejati, membangun komunitas anak-anak Allah yang sejati dan menjadi gereja yang sejati sehingga kita menjadi garam dan terang bagi dunia yang berdosa ini.
Kenneth Hartanto
Pemuda GRII Melbourne