grayscale photo of concrete staircase

There is No Room: Sebuah Refleksi Pribadi tentang Kehidupan

Bulan November-Desember 2014 kemungkinan adalah masa-masa terpadat dan tersibuk dalam sejarah Gerakan Reformed Injili. Bulan November dimulai dengan Konser Anak, perayaan HUT Gereja ke-25, Wisuda Master STTRII, MoU dengan Vrije Universiteit, Konser Khusus, dan Konser “Mendelssohn Night”. Kita juga baru melewati tiga acara besar sekaligus: Konvensi Injil Nasional (KIN) bagi Guru Sekolah Minggu dan Guru Pendidikan Agama Kristen, KKR Anak dan Remaja, dan KKR Umum. Bersyukur ketiga acara besar ini boleh kita lewati dengan kekuatan dan pertolongan Tuhan. Salut untuk panitia yang telah membanting tulang bekerja siang malam dan tidak tidur demi berjalannya acara-acara ini! Setelahnya masih ada lagi acara-acara STEMI lain seperti KPIN Australia dan KPIN Tangerang.

Sudah selesai? Belum. Hanya berselang satu hari saja, pada tanggal 1-3 Desember ada KPIN Aceh. Tanggal 6 Desember dilanjutkan dengan SPIK bagi Generasi Baru dengan tema “Allah Tritunggal”. Lalu apa selanjutnya? Tentu saja persiapan acara Natal. Saya tidak perlu menyebutkan satu per satu jadwal KKR Natal Pdt. Stephen Tong di banyak kota, Anda tentu bisa membayangkannya sendiri. Di GRII Pusat akan ada Kebaktian Natal Akbar, ditambah dengan Konser Natal, belum lagi dengan KKR-KKR Natal di setiap cabang. Setelah Natal apakah sudah boleh liburan? Dalam kamus GRII, liburan akhir tahun kemungkinan besar tidak akan ada. Akhir tahun seperti biasa akan ditutup dengan NREC, Sidang Sinode GRII, dan Kebaktian Akhir Tahun.

Jujur saja, membaca ini saja sudah membuat kita kelelahan. Di satu sisi, kesibukan adalah hal yang baik demi mencegah kemalasan kita dan memaksimalkan waktu anugerah Tuhan. Kesibukan “gerejawi” dalam Gerakan Reformed Injili ini telah menyelamatkan banyak orang dari waktu yang terbuang untuk melakukan hal-hal remeh seperti bermain game seharianatau menongkrong di mal. Tetapi apakah sibuk itu sama dengan pelayanan? Apakah sibuk itu selalu baik? Apakah dengan menjadi orang yang sibuk sudah pasti kita memperkenan Tuhan?

Pada kesempatan kali ini, saya tidak akan secara langsung membicarakan tentang Natal, peristiwanya, maupun original meaning-nya. Saya percaya artikel-artikel PILLAR bulan Desember terdahulu sudah banyak membicarakan tentang topik ini. Saya akan “mencomot” satu frasa saja dari Lukas 2:7 yaitu “tidak ada tempat” – there was no room.

Yesus Kristus, oknum kedua Allah Tritunggal, yang bertakhta di sorga mahatinggi, disembah sujud oleh para malaikat di sorga, ketika berinkarnasi menjadi manusia, masuk ke dalam sejarah yang temporer, ternyata tidak memiliki tempat untuk kelahiran-Nya! Tidakkah hal ini luar biasa bagi kita? Tidak ada satu pun manusia yang menyadari bahwa yang akan lahir adalah Sang Mesias yang dinanti-nantikan selama berabad-abad itu. Mereka semua terlalu sibuk dengan urusannya masing-masing, rumah mereka penuh dengan properti mereka sendiri, namun tidak ada tempat bagi-Nya.

Bila dikaitkan secara alegoris dengan gagasan yang sudah dikemukakan pada bagian awal, ada beberapa pemikiran yang muncul: Jangan-jangan kesibukan pelayanan kita yang sebegitu rupa telah membuat ruangan dalam hati kita terlalu penuh untuk Kristus masuk ke dalamnya. Jangan-jangan acara-acara yang begitu padat selama ini telah membuat ruangan dalam pikiran kita sudah tidak muat untuk diisi oleh perenungan akan Kristus. Jangan-jangan di dalam diri kita sudah tidak ada lagi tempat bagi takhta Kristus, karena yang bertakhta di sana sekarang adalah “tuhan-pelayanan” atau “tuhan-aktivitas”!

Tentu saja banyak hal positif yang kita dapatkan dari kesibukan pelayanan. Selain menebus waktu, kesibukan pelayanan dapat membuat kita semakin bertumbuh lebih dekat kepada Tuhan. Kesibukan pelayanan juga dapat menambah pengalaman spiritual kita dan membuat kita dapat melihat bagaimana Tuhan bekerja. Kesibukan pelayanan dapat membuka cakrawala kita dalam bekerja sama dengan orang lain dan berhadapan dengan berbagai macam situasi di lapangan. Kesibukan pelayanan juga dapat mengasah talenta dan kemampuan kita. Kesibukan pelayanan menyingkapkan siapa diri kita sebenarnya dan siapa diri orang lain yang sebenarnya. Kesibukan pelayanan juga membuat kita menjadi orang yang dinamis dalam bekerja dan melihat peluang baru dalam ladang pelayanan. Namun di sisi lain, ada beberapa ekses negatif dari kesibukan pelayanan:
Tidak Ada Tempat untuk Perenungan Pribadi akan Alkitab
Dalam kesibukan pelayanan, memang kita tetap bisa mendengar firman Tuhan, misalnya dari sesi-sesi dalam KIN, NREC, Kebaktian Natal, dan sebagainya. Tetapi kita sebagai orang-orang Kristen yang sudah “melek-Alkitab” juga dituntut untuk merenungkan firman itu secara pribadi. Kita terlalu banyak mendengar firman, namun kurang banyak merenungkan firman. Kamus perbendaharaan firman dalam otak kita sudah sangat lengkap. Istilah-istilah theologis, mulai dari total depravity, kedaulatan Allah, dan lain-lain, sudah menancap dalam otak kita. Kita mengingat khotbah (sampai ilustrasinya) dari pendeta A, penginjil B, mahasiswa praktik C, dan yang perlu kita lakukan adalah klik Ctrl+O kemudian mencari file khotbah yang sesuai dengan problem yang sedang kita hadapi. Namun sudahkah kita sungguh-sungguh menerapkan “the priesthood of all believers”?

Yang dikhawatirkan adalah kita hanya puas dengan mengikuti banyak acara dan mendengarkan firman dari sana. Namun ketika sampai di rumah, Alkitab itu hanya menjadi pajangan yang indah di lemari kita. Kita hanya puas disuapi dan mengunyah makanan yang sudah dikunyah oleh para hamba Tuhan karena kita terlalu malas untuk mengunyahnya sendiri. Biarlah kesibukan pelayanan tidak membuat kita terlalu lelah untuk membuka Alkitab, sambil membaca commentary atau buku panduan saat teduh, dan merenungkan setiap kata dari firman itu. Jangan sampai kekaguman kita kepada hamba-hamba Tuhan menutupi kekaguman kita akan firman hidup yang ditulis oleh Allah sendiri. Biarlah kita dapat berseru seperti Daud dalam Mazmur 1:2, “Taurat-Mu adalah kesukaanku dan aku merenungkannya siang dan malam.”

Tidak Ada Tempat untuk “Pelayanan yang Tersembunyi”
Salah satu ciri khas Injil Lukas adalah menampilkan Yesus sebagai Yesus yang senantiasa berdoa. Ada banyak perikop dalam Lukas yang menunjukkan bagaimana Yesus memulai atau mengakhiri pelayanan-Nya dengan berdoa – suatu informasi yang tidak ditonjolkan dalam Injil-Injil sinoptik lainnya. Contoh yang pertama ada dalam Lukas 5:12-16, yaitu ketika Yesus menyembuhkan seorang yang sakit kusta. Di ayat yang ke-15 dikatakan bahwa tersiarlah kabar mengenai kesembuhan orang kusta tersebut dan banyak orang yang berbondong-bondong datang kepada Yesus untuk mendengarkan Dia dan disembuhkan. Namun Yesus tidak silau dengan massa yang besar. Ia tidak merasa tersanjung dengan popularitas. Ia tidak tergiur untuk melakukan pelayanan yang luar biasa. Di ayat ke-17 dikatakan, “Akan tetapi Ia mengundurkan diri ke tempat-tempat yang sunyi dan berdoa.” Yesus tidak melihat banyaknya orang berbondong-bondong sebagai kesempatan untuk melayani dan menunjukkan kuasa-Nya dengan lebih hebat lagi, tetapi Ia memilih untuk mengasingkan diri dan berdoa.

Pada bagian lain, Lukas juga mencatat bagaimana ketika Yesus hendak memulai suatu langkah yang besar – yaitu memilih kedua belas murid, Ia memulainya dengan doa. Lukas tidak hanya mencatat Ia berdoa, tetapi juga “semalam-malaman Ia berdoa kepada Allah” (Luk. 6:12). Kemudian dalam Lukas 9:28-36, Yesus dicatat naik ke atas gunung bersama dengan Petrus, Yohanes, dan Yakobus untuk berdoa. Pada saat itu terjadilah peristiwa yang besar, yaitu Yesus dimuliakan di atas gunung. Di antara ketiga Injil sinoptik, hanya Lukas saja yang mencatat Yesus berdoa ketika transfigurasi itu terjadi. Terakhir, sebelum Yesus mengakhiri hidup-Nya di dunia yang sementara ini untuk menghadapi sengsara salib, Ia berlutut dan berdoa di Taman Getsemani dan berseru, “tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi.”

Doa adalah salah satu pelayanan yang sering kali diabaikan. Mengapa? Karena doa adalah pelayanan yang tersembunyi. Pelayanan sering kali diidentikkan dengan suatu aktivitas eksternal yang dilihat oleh orang lain. Doa itu sendiri adalah pelayanan – tentu saja yang dimaksud di sini adalah doa pribadi, bukan doa secara komunal yang diorganisasi atau rutin dilakukan. Kesibukan pelayanan yang begitu padat terkadang menyedot begitu banyak energi dan waktu kita sehingga kita tidak lagi sempat melakukan pelayanan yang tersembunyi, yaitu doa pribadi. Kita begitu senang berada dalam tempat ramai di mana orang ramai berbondong-bondong, namun kita kurang menyukai tempat-tempat yang sepi dan sunyi. Kita lebih peduli terhadap kinerja pelayanan kita dan akhirnya orang lain menjadi pendorong kita untuk giat melayani. Biarlah hal ini tidak terjadi, melainkan kita juga boleh meneladani Kristus yang tidak silau dengan kemuliaan dari pengakuan orang banyak dan tidak melupakan pelayanan yang tersembunyi – yaitu doa pribadi – di tengah-tengah keramaian dan kesibukan menjelang akhir tahun.

Tidak Ada Tempat untuk Pemulihan Relasi
Pelayanan yang terlalu sibuk terkadang membuat kita tidak sempat memerhatikan kebutuhan relasional dengan orang-orang yang kita kasihi. Kristus memang pernah berkata dalam Lukas 14:26, “Jikalau seorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku.” Di satu sisi kasih kita kepada Tuhan harus mendapat prioritas utama di atas kasih kita kepada sesama. Namun Kristus sendiri juga pernah berkata dalam Matius 5:23-24:
“Sebab itu jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu.”

Tentu saja ayat ini tidak perlu dimengerti secara harfiah, misalnya dengan tiba-tiba pergi di tengah ibadah untuk meminta maaf kepada saudara atau rekan kita. Akan tetapi, sering kali akhirnya kita terlalu mementingkan pelayanan-pelayanan seremonial maupun aktivitas-aktivitas gerejawi dan mengabaikan relasi dengan sesama, terutama mereka yang dekat. Kita fokus untuk melayani mereka yang jauh, orang-orang yang tidak kita kenal, namun bagaimana dengan keluarga kita, tetangga, sahabat kita? Akan sangat disayangkan apabila pelayanan kita yang banyak itu justru menjadi batu sandungan bagi orang lain. Orang lain tidak melihat diri kita yang dipenuhi oleh kasih Kristus, tetapi hanya dipenuhi oleh kesibukan. Ketika mereka misalnya membutuhkan telinga kita untuk mendengarkan keluh kesah mereka, ada di manakah kita? Ketika ada konflik yang terjadi dengan orang-orang yang kita kasihi, sudahkah kita berdamai dengan mereka? Ketika ada keluarga dekat kita yang masih belum percaya, sudahkah kita melayani mereka?

Akan sangat disayangkan apabila orang-orang di gereja menilai kita 100, “Wah puji Tuhan ya, dia rajin sekali pelayanan. Wah puji Tuhan ya, ia kerja lebih keras dari kita semua!” Tetapi istri, suami, anak, saudara, atau sahabat kita justru menilai kita 0. Kita perlu berhati-hati karena tak jarang kesibukan pelayanan kita juga membuat karakter kita menjadi lebih sensitif (dalam artian mudah tersinggung) dan kurang peka dengan kebutuhan orang lain. Maka mintalah kepekaan kepada Tuhan agar kita juga dapat melihat kebutuhan dari sesama kita. Mintalah pula hikmat untuk tahu bagaimana memprioritaskan pelayanan tanpa menjadi tumpul dalam bersaksi bagi keluarga serta sahabat-sahabat terdekat kita.

Tidak Ada Tempat untuk Berkata “Tidak”
Orang-orang yang berada dalam Gerakan Reformed Injili memiliki seorang pemimpin yang menjadi teladan bagi kehidupan pelayanan kita, yaitu Pdt. Dr. Stephen Tong. Dalam pelayanan sering kali kita mulai merasa lelah, namun ketika kita melihat sosok Pdt. Stephen Tong, biasanya kita akan merasa sungkan dan akhirnya termotivasi lagi untuk bekerja. Prinsip “squeeze-ism” mewarnai pelayanan kita. Hal ini sungguh amat baik. Namun di sisi lain, ada satu hal yang perlu kita pikirkan juga. Apakah berarti semua pelayanan harus kita lakukan? Apakah kita harus berkata “ya” kepada semua jenis tawaran pelayanan? Apakah dengan mengerjakan banyak pelayanan dalam waktu yang bersamaan membuat kita diacungi jempol oleh Tuhan? Pdt. Stephen Tong sendiri pasti pernah menolak pelayanan tertentu, dan adakalanya Tuhan Yesus juga menolak pelayanan. Seperti yang sudah disinggung pada poin sebelumnya, Yesus bahkan bisa menolak untuk melayani orang yang berbondong-bondong kepada-Nya untuk mendengarkan Dia dan disembuhkan.

Tidak semua dari kita terlahir seperti Pdt. Stephen Tong yang dikaruniai banyak talenta. Adakalanya kita merasa diri kita mampu mengimitasi beliau sehingga kita tidak dapat mengukur diri kita sendiri. Akhirnya semua pelayanan mau diambil, tidak lagi melihat: Apakah pelayanan ini Tuhan kehendaki untuk saya kerjakan? Apakah dengan saya melayani akhirnya saya mengabaikan relasi pribadi saya dengan Tuhan? Apakah dengan mengambil pelayanan yang begitu banyak saya akhirnya meninggalkan tanggung jawab lain? Apakah dengan melakukan pelayanan ini dan itu saya akhirnya merasa diri saya berjasa bagi Tuhan? Apakah dengan mengerjakan pelayanan yang begitu banyak membuat saya merasa diri mampu melakukan banyak hal dan akhirnya tidak lagi bergantung pada Tuhan?

Biarlah Tuhan boleh memberi kita hikmat untuk sesekali berkata “tidak” terhadap pelayanan atau tawaran posisi tertentu dalam pelayanan. Kenalilah diri sendiri, agar kita akhirnya tidak melakukan pelayanan karena hanya ingin membuktikan kemampuan diri atau karena motivasi yang lain. Tidak mengenal diri sendiri ketika pelayanan akan membuat kita sering kali akhirnya tidak mempertimbangkan talenta atau kemampuan yang Tuhan berikan, kekuatan fisik, dan aspek-aspek lainnya. Kita dapat mengalami kelelahan yang luar biasa, atau biasa disebut sebagai “burned out”. Di sisi lain, salah mengenal diri juga dapat membuat kita merasa diri begitu kuat dan mampu untuk mengerjakan banyak hal sehingga kita tidak lagi bergantung pada belas kasihan Tuhan. Pelayanan adalah anugerah, bukan ajang untuk membuktikan diri dan aktualisasi diri.

Yeremia 17:9 mengatakan, “Betapa liciknya hati, lebih licik dari pada segala sesuatu…” Hati manusia yang sudah tercemar ini begitu mudah berubah. Mungkin pada awalnya motivasi kita melayani adalah murni semata-mata untuk kemuliaan Tuhan. Namun akhirnya ketika pelayanan kita dipuji banyak orang, motivasi kita bergeser kepada kemuliaan diri. Ketika pertama kali melayani mungkin hati kita begitu gentar dan kita sungguh-sungguh berdoa meminta pertolongan Tuhan. Namun ketika kita sudah begitu terbiasa melayani (dan pelayanan kita selalu berhasil), kita tidak lagi merasa butuh pertolongan Tuhan dan bersandar pada pengalaman. Ketika hal itu terjadi, mungkin sebaiknya kita mengatakan “tidak” kepada keberdosaan diri, berhenti sejenak meminta kekuatan kepada-Nya, dan kembali meluruskan hati kita di hadapan Tuhan untuk melayani-Nya.

Penutup
Seperti halnya Kristus yang tidak mendapatkan tempat ketika lahir-Nya, apakah Kristus juga tidak lagi mendapatkan tempat dalam hati kita? Biarlah kesibukan pelayanan dan aktivitas-aktivitas gerejawi tidak membuat kita semakin jauh daripada Tuhan, melainkan sebaliknya. Sediakanlah tempat bagi perenungan pribadi akan Alkitab, pelayanan tersembunyi yaitu doa pribadi, dan pemulihan relasi dalam kehidupan Anda. Tentu saja hal ini tidak mudah dan tidak dapat dilakukan dalam semalam. Namun Tuhan tentu akan memampukan ketika kita sungguh-sungguh menyatakan ketidakmampuan kita di hadapan-Nya. Kiranya dalam momen Natal di akhir tahun ini kita boleh melihat ke belakang, mengevaluasi kembali pelayanan-pelayanan yang sudah kita lakukan, dan meminta Tuhan yang menyelidiki hati kita: Masih adakah tempat bagi Kristus di dalamnya?

Izzaura Abidin
Mahasiswi STT Reformed Injili Internasional