Di dalam pernikahan gerejawi, ada sebuah janji yang diucapkan dan diakhiri dengan kalimat ‘… till death do us part’ atau ‘… sampai kematian memisahkan kita’. Bagaimanakah kedua mempelai dapat menjalani kehidupan sesudah pernikahan dalam pengertian janji demikian, memulai suatu lembaran kehidupan baru yang diperhadapkan langsung dengan kematian? Makna apakah yang tersimpan di balik janji ini? Lalu janji sampai mati ini sebenarnya ditujukan kepada siapa, suami atau istri, para jemaat yang hadir ataukah Allah? Hal ini penting untuk disadari karena kepada siapa janji ini diucapkan, kepada dialah kedua mempelai itu harus mempertanggung jawabkan pernikahan mereka. Maka, selain kedua mempelai tersebut saling berjanji satu sama lain, lalu berjanji kepada jemaat Tuhan, kedua mempelai sedang berjanji kepada Allah Tritunggal yang mendasari seluruh relasi manusia, terutama pernikahan. Dari point ini kita mengerti bahwa pernikahan berakar di dalam kekekalan, yakni Sang Pencipta. Inilah alasannya mengapa pernikahan dapat menjadi ‘cicipan sorgawi’ ataupun ‘siksaan neraka’ di dunia.
Lalu, Alkitab mengatakan, ‘Jikalau bukan Tuhan yang membangun rumah, sia-sialah usaha orang yang membangunnya.’ Dalam kaitannya dengan pernikahan, prinsip ini juga mengajarkan kepada kita hal yang sama bahwa pernikahan harus dimulai dari Allah, Allahlah yang membangun pernikahan tersebut, bukan manusia. Artinya, Allah harus menjadi Inisiator dan Tuan atas pernikahan manusia, sehingga memang seharusnyalah janji pernikahan ditujukan kepada Dia yang menetapkan, merancang, membangun dan menopang pernikahan.
Di sini kita mengerti bahwa pernikahan yang benar hanya ada satu, yaitu pernikahan yang dirancang oleh Allah sendiri. Oleh sebab itu, kita akan menyingkirkan pandangan-pandangan lain yang tidak sesuai mengenai pernikahan di dalam interpretasi dan perkembangannya, baik di dalam agama-agama maupun dalam lingkup kebudayaan. Interpretasi konsep pernikahan yang telah terdistorsi sejak kejatuhan manusia. Kecuali kembali kepada design awal Allah, kita hanya akan berputar-putar di dalam problema sosial masyarakat yang tidak habis-habisnya. Problema ini dimulai kerusakan unit sosial yang paling kecil, yaitu keluarga yang diawali dengan pernikahan.
Kejadian pasal 2 mencatat pernikahan pertama di dunia yaitu antara Adam dan Hawa. Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Asia Kecil melukiskan kedatangan Kristus kedua kalinya dengan pernikahan Kristus dengan mempelaiNya, yaitu gereja. Inilah pernikahan terakhir. Baik pernikahan pertama maupun yang terakhir, semuanya berawal dari inisiatif Tuhan Allah sendiri. Dengan demikian, ‘marriage is a solemnly serious matter’ karena Allah sendiri yang menginisiatifkan dan merancangnya. Semua alasan atau sumber inisiatif lainnya tidak memadai untuk memulai sebuah pernikahan. Baik keinginan diri, desakan orang tua maupun tekanan sistem sosial tidak dapat menjadi dasar sebuah pernikahan. Apalagi ketika pernikahan dipakai sebagai jalan pintas penyelesaian perbuatan dosa manusia, seperti yang dikenal dengan MBA (Marriage By Accident), atau sekedar sebagai legalisasi pemenuhan nafsu birahi manusia berdosa atau sebagai asuransi masa depan dan lain sebagainya.
Allah berfirman, ‘Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.’ Manusia yang hidup seorang diri saja, tidaklah baik. Manusia yang adalah gambar dan rupa Allah, diciptakan untuk menjalin relasi. Diantaranya ada satu relasi, dimana Allah menciptakannya khusus dan unik yang di dalamnya kesatuan boleh terjadi. Di sini hubungan pernikahan menjadi eksklusif. Eksklusifitas hubungan pernikahan membuat suatu garis batasan yang jelas untuk memisahkan relasi suami-istri dengan relasi lain di luar itu. Kalau garis pembatas itu dikaburkan, maka penikahan menjadi kehilangan maknanya. Eksklusifitas pernikahan menentukan eksistansi suatu pernikahan. Ini adalah pengertian yang hanya dapat dimengerti dari relasi Allah Tritunggal. Persekutuan Allah Tritunggal adalah persekutuan yang eksklusif di antara pribadi-pribadi Allah Tritunggal. Dari kekekalan, tidak ada satu keberadaan apapun yang pernah masuk ke dalam keeksklusifan persekutuan Allah. Tidak terkecuali bagi malaikat. Keeksklusifan pernikahan dijelaskan dalam Firman Tuhan, ‘Sebab seorang pria akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.’ Bahkan hubungan secara darah-dagingpun dalam kesatuan keluarga harus diputuskan (ditinggalkan) dan masuk ke dalam suatu hubungan yang baru, satu kesatuan dan keintiman yang utuh, yakni menjadi satu daging. Kesatuan keintiman relasi ini hanya mungkin jika Hawa merupakan satu-satunya penolong yang sepadan bagi Adam. Hawa di dalam posisinya sebagai penolong tidak lebih rendah dari Adam, demikian juga Adam yang ditentukan sebagai kepala keluarga tidaklah lebih tinggi dari Hawa. Kebenaran yang bersifat paradoks ini dihidupi secara harmonis oleh Adam dan Hawa sebelum kejatuhan dalam dosa. Masing-masing menghidupi panggilan yang Allah tetapkan bagi mereka. Suatu keindahan relasi yang baru bisa terlihat ketika kedua mempelai meninggalkan ayahnya dan ibunya serta menghidupi tugas panggilan masing-masing. Suami sebagai kepala keluarga, bukan orang tua atau relasi lainnya yang ikut menentukan arah dari keluarga tersebut, dan istri sebagai penolong yang sepadan, bukan orang tua atau relasi lainnya yang memberikan pertolongan yang tidak pada tempatnya. Di dalam hal inilah sebuah pernikahan sedang mengakui Allah sebagai Tuan atas pernikahan tersebut karena pernikahan dijalankan sesuai dengan original design Allah. Dengan demikian, kemuliaan Allah akan terpancar melalui kehidupan pernikahan tersebut karena pernikahan merupakan mirror image dari relasi Allah Tritunggal.
Doktrin Allah Tritunggal seringkali dianggap sebagai doktrin yang tidak ada kaitannya dengan realita kehidupan sehari-hari, lebih merupakan satu pengetahuan belaka. Padahal pengenalan akan Allah Tritunggal memberikan pengharapan akan boleh adanya suatu persekutuan yang sejati, suatu pernikahan yang kokoh dan persatuan yang tidak semu. Allah yang Esa, tidak Tritunggal, tidak dapat menjamin karakter kasihnya karena kasih membutuhkan obyek kasih. Allah yang banyak tidak mempunyai kesatuan seperti di dalam Allah Tritunggal. Hanya Allah Tritunggal yang sungguh-sungguh Esa dan sekaligus berbeda pribadi dapat menjamin kesatuan utuh dalam kasih dari dua manusia yang berbeda. Kesatuan yang tidak menghilangkan keunikan masing-masing pribadi, Allah Bapa tetap adalah Allah Bapa, Allah Anak adalah Allah Anak dan Allah Roh Kudus tetap Allah Roh Kudus. Keunikan masing-masing pribadi yang juga tidak merusak kesatuan yang utuh, Allah Bapa adalah Allah yang utuh, Allah Anak adalah Allah yang utuh, dan Allah Roh Kudus adalah Allah yang utuh. Inilah kebenaran paradoks yang kedua dalam pernikahan. Secara fisik, kesatuan ini berpuncak ketika keduanya telanjang tetapi tidak merasa malu. Di sinilah perayaan akan kesatuan perbedaan terjadi, karena ketelanjangan dan rasa tidak malu mengekspresikan kebenaran, kesucian, dan kasih dalam relasi. Suatu kesatuan kasih dalam relasi eksklusif yang suci di dalam kebebasan kebenaran yang sejati.
Sebagaimana hakekat keberadaan diri Allah Tritunggal yang juga adalah terang, maka hanya di dalam terang Tuhan Allah saja, kesatuan yang sejati dapat terjadi. Dua sumber terang tidak perlu beradu atau saling meniadakan. Persekutuan antara terang dengan terang adalah persekutuan yang saling menggenapkan. Ketika tiga macam sumber terang yang bercorak warna tertentu dipersatukan, setiap warna di dalam spektrum yang terlihat boleh terpancar melalui berbagai kombinasi dan menghasilkan kekayaan warna. Prinsip inilah yang merevolusikan perkembangan TV hitam putih menjadi TV berwarna. Demikian juga kehidupan kesatuan dalam pernikahan anak-anak terang akan memancarkan kesaksian kekayaan warna kehidupan bagi orang lain yang melihatnya. Maka suramlah kehidupan pernikahan yang merupakan percampuran antara terang dan gelap, karena bagaimana mungkin dua keberadaan yang tidak mungkin bisa berada bersama dalam waktu yang sama bersatu? Keberadaan yang satu akan melenyapkan atau menghancurkan yang lain. Kepada jemaat di Korintus rasul Paulus menuliskan, “Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap?”
Terakhir, pernikahan merupakan wadah yang diberikan Allah untuk memahami misteri Allah yang besar yakni the Grand Wedding. The Grand Wedding dalam Master plan Allah belum tiba waktunya, tetapi pernikahan dalam dunia ini sudah diberikan untuk menikmati kehadiran Anak Domba Allah dalam Wedding yang sesuai dengan original design Allah. Kepenuhan kesempurnaan pernikahan pasti akan kita nikmati dalam kesatuan yang ultimat ketika mempelai perempuan bertemu dengan Sang Anak Domba Allah. Inilah sukacita yang sempurna dan abadi. Seperti dikatakan di atas, pernikahan di dunia adalah pernikahan yang till death do us part. Sebelum kematian tiba, pernikahan adalah kesempatan menikmati relasi yang benar yang merupakan image daripada relasi Allah Tritunggal. Ketika kematian tiba, pernikahan di dunia berakhir, proses pembelajaran berelasi berakhir di dunia ini. Kita masuk ke era pernikahan yang sesungguhnya, pernikahan yang kekal. Maka, pernikahan yang akan datang merupakan pernikahan yang death can have no part. Tidak akan ada lagi perpisahan karena kematian telah ditelan kuasanya di dalam kebangkitan Anak Domba Allah, Sang Mempelai laki-laki. Inilah pengharapan dan penghiburan tertinggi bagi kedua mempelai dalam menjalani kehidupan penikahan di dunia ini. Kiranya Kristus boleh cepat kembali membawa mempelai-Nya masuk ke dalam kebahagiaan kesatuan relasi abadi. Till death have no part!
Audy Santoso
Pemuda GRII Singapure