“Pranggg..!!” Jumat itu begitu kelam.. Sedari pukul dua belas siang hingga pukul tiga sore, kegelapan meliputi Golgota dan sekitarnya. Bukit batu terbelah, gempa dan langit bergemuruh.. Dan lihatlah, tabir Bait Suci itu terbelah dua dari atas sampai ke bawah. Para prajurit Romawi pun akhirnya turut mengakui bahwa, Engkau adalah Anak Allah, Yesus.. Dan kini, Anak Allah itu mati tergantung di kayu salib.
Ketika membaca kembali saat-saat akhir hingga Yesus mati, tertegunlah saya. “Pranggg..!!” Bagaikan gelas kaca yang jatuh hancur berkeping-keping, seperti itulah pengharapan yang hancur, melihat Tuhanku yang menjadi pengharapan mati tergantung di kayu salib..lambang terkutuk. Di manakah Yesus yang mengajar banyak orang? Di manakah Yesus yang mengajari banyak orang melalui perumpamaan dan pengajaran-pengajaran-Nya? Di manakah Yesus yang mengecam ahli Taurat dan orang Farisi? Yesus yang berbelas kasihan itu, di manakah Ia? Yesus yang dikenal para murid-Nya, kini pun terbaring di dalam kubur. Ke manakah janji-Nya? Apakah yang kudapatkan saat mengikut-Nya, bukankah telah kutinggalkan semua? Ke manakah dapat kutaruh pengharapanku? Murid yang dikasihi-Nya mencatat bahwa Ia pun berdoa untuk para murid-Nya, dan kini..?
Yesus telah mati dan dikubur, Jumat yang kelam itu pun berganti menjadi Sabtu. Hari di mana matahari masih bersinar dan setiap orang sedang bersiap-siap memasuki Sabat. Sabtu yang begitu tenang… Sabtu yang diam, sepi, dan tak ada lagi harapan.
Sementara para murid ketakutan dan terpencar, masing-masing mencari perlindungan karena Guru mereka telah mati, ahli Taurat dan orang Farisi tentulah sedang merayakannya. Maria, ibu Yesus, kehilangan anak, anak yang tiga puluh tiga tahun yang lalu disebut Immanuel. “Lalu Simeon memberkati mereka dan berkata kepada Maria, ibu Anak itu: “Sesungguhnya Anak ini ditentukan untuk menjatuhkan dan membangkitkan banyak orang di Israel dan untuk menjadi suatu tanda yang menimbulkan perbantahan dan suatu pedang akan menembus jiwamu sendiri, supaya menjadi nyata pikiran hati banyak orang”.” Pedang yang dikatakan oleh Simeon itu, kini menembus jiwanya, menembus jiwa Maria. Inilah yang terjadi, ada yang begitu tertusuk dan ada yang bergembira karena kematian-Nya. Inilah dua respons manusia akan kematian Yesus, akan hari Jumat dan Sabtu. Kini Sabat segera tiba, setiap orang Yahudi harus mempersiapkan diri, menyucikan diri untuk memasuki Sabat, dan tidak lagi tercengang dengan kematian Yesus. Tidak ada lagi waktu untuk itu.
Para murid telah hidup bersama Yesus selama kurang lebih tiga setengah tahun, dan Maria, ibu Yesus, lebih dari tiga puluh tiga tahun. Mereka adalah orang-orang dekat Yesus yang mengenal-Nya lebih dari orang kebanyakan. Dan saat Yesus mati dan dikubur pun, mereka turut merasa hilang pengharapan dan ketakutan. Ajaran yang Yesus ajarkan selama kurang lebih tiga setengah tahun dan pengenalan akan pribadi Yesus yang adalah Allah itu sendiri, ke manakah itu? Sesegera itukah menjadi tak bermakna karena kematian-Nya?
Banyak dari kita lahir dan dibesarkan dalam keluarga Kristen, bahkan kita berani mengatakan bahwa kita masuk dalam Gerakan Reformed Injili yang dididik secara ketat dalam pengenalan firman Tuhan. Theologi Reformed Injili yang mengakui kedaulatan Allah. Akan tetapi, saat pergumulan demi pergumulan yang Tuhan izinkan terjadi, tidakkah pertanyaan-pertanyaan serupa juga muncul? Saat Allah diam, apakah yang menjadi respons kita? Ke manakah kita lari? Kepada siapakah kita berharap saat terlihat tidak ada lagi kepastian, saat semuanya begitu meragukan? Mengapa sesering pergumulan itu muncul, sesering itu pula kita menjadi seperti domba yang tak tentu arah? Bukankah Tuhan Yesus sendiri mengatakan bahwa Ia mengutus kita seperti anak domba ke tengah-tengah serigala? Mengapa pertanyaan-pertanyaan problem of evil tak lekang dimakan zaman?
Saat ada pergumulan yang Tuhan izinkan terjadi, dengan begitu cepat kita ingin tiba pada solusi. Semangat zaman ini menarik kita kepada segala sesuatu yang bersifat instant. Zaman yang mengatakan bahwa yang penting masalahku cepat selesai, yang penting aku damai, tidak peduli yang lain seperti apa, apalagi kehendak Allah. Zaman ini mengajarkan bagaimana kita menyatakan diri kita, bukan pada bagaimana dan apa yang Allah nyatakan dan kehendaki untuk kita, Gereja-Nya, bergumul.
Zaman ini juga menyerukan akan hak asasi manusia dan menjunjung tinggi toleransi yang sesungguhnya intolerant – the intolerant tolerance. Humanisme dan utilitarian merajalela, akan tetapi kita tetap menemukan adanya penganiayaan akan umat Allah di belahan bumi ini. Saat mendengar berita, membaca koran ataupun buku, kita terus menemukan penderitaan-penderitaan umat manusia di bawah matahari. Ada yang berjuang mati-matian untuk hidup hingga mengorbankan hidup orang lain, tapi ada juga yang menyia-nyiakan hidupnya dan angka bunuh diri terus bertambah. Gempa dan tsunami yang melanda di Jepang tak pelik membuat orang bertanya-tanya.
Di manakah Allah? Mengapa Ia diam saja? Tidakkah Allah mengasihi Jepang? Saat begitu banyak orang bahkan dunia mempertanyakan di manakah Allah, sudahkah kita bersama bertanya kepada diri sendiri, bertanya kepada pribadi kita masing-masing yang sering mengagungkan diri bahwa saya adalah umat pilihan, saya adalah Gereja, saya adalah orang Kristen, tapi… di manakah saya? Jika saya tetap begitu tenang, tidak terpikirkah oleh kita bahwa jangan-jangan kita pun turut terguncang dan tersapu oleh gempa dan tsunami tak terlihat yang lebih mematikan? Sungguhlah memilukan… diperlukan gempa dan tsunami untuk membuat kita sadar, dan bahkan itu pun tidak cukup karena sering tidak bersentuhan dengan kehidupan kita sehari-hari. Perlu sesuatu yang terkesan ‘wah…’ untuk membuat saya bergumul kembali, diperlukan sense of wonder untuk membuat saya mempelajari firman Tuhan dan belum lagi mengaplikasikannya. Ironis sekali hidup manusia di bawah matahari. Kehidupan macam apakah yang kita hidupi hari demi hari, menjaring anginkah hidup kita?
Kita mengatakan bahwa kita adalah Church, umat Allah, akan tetapi kenalkah kita pada Allah, akan kehendak-Nya? Yesus pun menanyakan kepada murid-murid-Nya, siapakah Anak Manusia, siapakah Ia. Apakah kita dapat lebih menjelaskan siapa yang menjadi idola kita daripada menjelaskan kepada orang, siapakah Allah kita? Cornelius Van Til mengatakan bahwa all creation is revelational. Revelation ini sendiri terbagi menjadi dua, yaitu revelation of grace dan revelation of wrath. Bagi umat-Nya, Allah menyatakan sebagai revelation of grace. Saat Allah menjalankan hukuman kepada bangsa Israel yang tegar tengkuk (revelation of wrath), kita boleh belajar untuk taat kepada Allah sehingga revelation of wrath itu pun menjadi revelation of grace bagi umat Allah. Bagi Iblis, revelation of wrath-lah yang dikenal. Baik revelation of grace maupun revelation of wrath membawa kita untuk mengenal Allah, karena melalui keduanya Allah menyatakan diri-Nya. Maka saat pergumulan macam apa pun yang Tuhan nyatakan, apakah fokus kita terdapat pada bagaimana secepat mungkin keluar dari pergumulan ini? Selekas-lekasnya keluar dari pergumulan tidaklah menjadi fokus kita. Lantas, apa yang harus menjadi fokus kita?
Firman Tuhan dalam Yakobus 1:2 mengatakan bahwa anggaplah sebagai suatu kebahagiaan jika kita jatuh dalam berbagai pencobaan. Firman Tuhan boleh sekali lagi mengajar kita untuk bertelut, meminta hikmat untuk boleh mengenal Allah, mengenal kehendak-Nya. Firman Tuhan mengajarkan kepada kita untuk bukan bertanya, “Tuhan, kapan masalahku selesai, bagaimana jalan keluarnya, mengapa Engkau diam saja, ya Tuhan?” melainkan, “Tuhan, apa yang hendak Engkau nyatakan, bagaimana aku boleh lebih lagi mengenal-Mu, apa yang Engkau mau aku lakukan?” Inilah yang harus tetap kita kerjakan, bahkan di Sabtu yang sepi dan mencekam itu, bahkan ketika Allah tampak diam, tak berkutik mengerjakan apa pun. Inilah hari Sabtu yang tegang itu. Sabtu adalah hari ujian iman kita, ujian akan kesetiaan kita, hari yang dianugerahkan Allah kepada kita untuk sekali lagi mengenal pribadi dan kehendak-Nya yang tidak pernah salah dan menaklukkan diri kita di bawah kehendak Allah sehingga kita boleh mengerti dan menjalankannya. Inilah yang sesungguhnya menjadi penghiburan bagi kita, yaitu saat kita sadar bahwa Sabtu yang sunyi dan mencekam segera menjadi Minggu Paskah di mana Kristus bangkit, di mana kita boleh berjuang dan bergumul karena Kristus sudah bangkit. Inilah yang memerdekakan kita.
Syukur kepada Allah karena di dalam Kristus kita menemukan pengharapan kita. Hari Sabtu itu menjadi hari Minggu. Hari di mana Yesus bangkit, Yesus hidup! Firman Tuhan mengatakan bahwa sia-sialah kita hidup jika Kristus tidak bangkit. Inilah cara kerja Allah dalam rencana kekal-Nya. Para murid, Maria, dan orang-orang yang mengikut-Nya tidak menyangka bahwa Yesus akan bangkit setelah mereka menjalani hari Kamis malam, Jumat, dan Sabtu yang sunyi itu. Yesus yang mati tergantung di kayu salib itu dan dikubur, kini bangkit, kini hidup. Inilah yang menjadi pengharapan dan jaminan kita. Marilah kita belajar untuk melihat bagaimana Allah bekerja sepanjang sejarah, belajar melihat dari cara pandang Allah, karena kebangkitan Kristus juga adalah kebangkitan kita, dibangkitkan untuk menjalankan panggilan Allah di muka bumi ini.
Saat kita merasa terjepit dengan berbagai pergumulan yang ada, terjepit dengan berbagai masalah dan semakin rumitnya konteks hidup yang ada, ingatlah bahwa Allah yang sama adalah Allah yang menciptakan kita dan memberikan konteks hidup kita saat ini. Bagian yang perlu kita kerjakan harus kita kerjakan agar kita bergumul semakin mengenal-Nya hari demi hari, karena Allah jugalah yang menopang kita. Kristus bangkit, Kristus hidup, maka ada hari esok, ada masa depan yang ada dalam genggaman tangan Allah yang kuat dan pasti. Allah adalah Allah yang setia, tetapi pertanyaannya adalah apakah kita setia? Adakah Ia mendapati kita setia? Marilah kita berjanji untuk melayani-Nya, terus bergumul di hadapan-Nya karena Allah telah lebih dulu berjanji untuk memberikan anugerah-Nya bagi yang mengikut-Nya. Marilah kita terus berharap, bergumul, dan berjuang dalam anugerah-Nya hingga sampai di rumah Bapa di sorga kelak, karena Kristus telah bangkit dan janji-Nya menyertai kita senantiasa hingga akhir zaman.
Heidelberg Catechism, Q1: What is your only comfort in life and death?; A: That I, with body and soul, both in life and death, am not my own, but belong unto my faithful Saviour Jesus Christ; who with precious blood has fully satisfied for all my sins, and delivered me from all the power of the devil; and so preserves me that without the will of my heavenly Father not a hair can fall from my head; yea, that all things must be subservient to my salvation, wherefore by His Holy Spirit He also assures me of eternal life, and makes me heartily willing and ready, henceforth, to live unto Him.
Kezia Ratih Runtu
Pemudi GRII Karawaci