Salah satu pertanyaan yang mempunyai kekuatan sangat besar untuk menggerakkan maupun menghancurkan hidup jutaan manusia; sebuah pertanyaan yang sama tuanya dengan Adam dan masih akan terus hadir selama masih ada satu orang yang bernafas; pertanyaan yang mungkin jarang kita perdengarkan secara eksplisit tetapi terus menggema sepasti detakan jantung kita:
WHO AM I?
Siapakah diriku?
Waktu menghadapi pertanyaan ini, mungkin jalan pintas yang kita ambil adalah menuju gudang memori tentang apa yang orang lain pernah katakan mengenai diri kita. Seorang guru yang sedang marah menyebut kita “bodoh” atau seorang pacar yang sedang merayu mengatakan kita “cakep” [1]; seorang teman berterima kasih karena kita “baik” dan teman yang lain lagi memberikan kita nama panggilan seperti binatang peliharaannya…
Semakin penting orang-orang itu bagi kita, semakin percaya kita kepada definisi mereka. Semakin yakin kita akan dekatnya perkataan mereka pada kebenaran. Dan semakin reaktif jadinya kita. Jika kita dipuji orang-orang ini, seminggu nyengir terus. Tapi, jika yang kita dengar itu tidak sesuai dengan yang kita anggap benar… kiamat tiba lebih pagi. Saya sering menyaksikan banyak orang Kristen marah-marah, nangis-nangis, karena apa yang orang lain katakan mengenai mereka. Tapi saya hanya mengingat satu orang yang begitu memikirkan apa yang Tuhan nilai dari dirinya. Boleh bertemu dengan orang ini dalam hidup nyata adalah sebuah anugerah yang sangat besar. Alkitab penuh dengan contoh orang-orang semacam itu; yang mencari wajah Tuhan dengan penuh perhatian, takut melewatkan apa yang Tuhan katakan, satu kata pun jangan sampai hilang.
Mengapa kita, yang namanya orang Kristen, umat Allah, tidak peduli tentang apa yang Tuhan katakan mengenai siapa kita?
Beberapa tahun yang lalu seorang teman merekomendasikan manga/anime “Death Note” kepada saya. Tokoh utama manga ini, Light, adalah seorang remaja laki-laki yang sangat pintar. Ia menemukan sebuah buku yang bisa membunuh orang jika nama orang itu dituliskan di halaman buku. Dengan buku itu, Light mematikan para penjahat dan kriminal di seluruh dunia. Cerita menjadi sangat seru ketika seorang detektif eksentris, sebut saja L, berusaha menemukan Light, sementara Light berusaha menemukan nama L supaya bisa dibunuh. Saya tidak akan menceritakan seluruh isi “Death Note”, jadi singkat saja, di pertengahan cerita Light berhasil membunuh L yang sudah dekat sekali, dan di akhir cerita malaikat kematian pemilik buku itu menghukum dan membunuh Light.
Sesudah selesai membaca, saya dan teman saya itu berdiskusi. Bagi saya, Light sama sekali bukan pahlawan cerita. Mulai dari mengangkat diri sendiri sebagai hakim dunia, the Judge, playing God, sampai akhirnya membunuh L untuk melindungi dirinya sendiri, serta macam-macam kesalahan lain yang Light lakukan…. Teman saya tidak membantah fakta itu, tapi ia menambahkan sebuah kalimat yang isinya kurang lebih, “… Tapi dari awal yang diceritakan itu Light. Jadi dia tokoh utamanya.”
Mungkin konsep itu juga ada dalam benak kita. Setiap orang memiliki cerita hidupnya sendiri, dan karena dengannya cerita dimulai, dan tanpa dirinya cerita berakhir, ia adalah tokoh utama cerita itu, pantas ataupun tidak. Dalam alam semesta sebuah cerita, tidak ada tokoh yang lebih penting dari pada tokoh utama. Sehingga seringkali dalam cerita hidup kita tidak ada tempat bagi Allah, karena tokoh utamanya adalah kita sendiri.
Ehmm… biasanya kita masih punya tempat dalam hidup kita bagi Allah, jika Ia bukan di situ sebagai Allah. Kita mau menerima Allah yang mengabulkan semua doa kita, seperti jin dari dalam lampu. Ada sebagian dari kita yang mau menerima Allah yang tidak peduli, yang tidak ikut campur ‘urusan kita’ (istilah keren-nya: Deistik). Ada juga yang menyukai Allah yang melemparkan guruh dan halilintar kepada ‘orang berdosa’, karena kita termasuk dalam golongan ‘orang baik’, mungkin karena kita pada hari tertentu pergi ke tempat ibadah tertentu, tidak pernah membunuh orang, atau bahkan karena kita sudah ‘berjasa menerima pengorbanan Yesus Kristus’!
Tetapi Allah yang sesungguhnya, kita tidak mau terima. Kita gemetar membayangkan kedaulatan-Nya yang tidak bisa diganggu gugat di atas segala ciptaan. Kita khawatir bahwa nafas segala makhluk dipegang tangan-Nya. Kita tidak suka mendengar nabi-nabi-Nya berbicara mengenai ‘hidup suci’ dan ‘hanya menyenangkan Tuhan’. Kita takut kalau-kalau Ia merusak hidup kita yang sudah kita atur baik-baik. Kita sakit hati disebut orang berdosa dan walaupun ditawarkan keselamatan, itu bukan sebagai upah, ataupun hasil kerja sama Allah dan manusia, tetapi anugerah yang tidak layak kita terima, belas kasihan, sehingga kita tersinggung. Kemudian sebagai budak-Nya, kita harus terus-menerus melawan keinginan diri kita. Singkat kata, Allah sebagai Allah membuat saya harus turun dari takhta ‘tokoh utama’!
Kita lupa (lebih tepatnya adalah tidak mau menerima) bahwa takhta itu sebetulnya memang milik Allah; Allah yang menjadikan kita sehingga kita ada dalam His(-S)tory. Kita lupa bahwa Allahlah yang memberikan kita segala talenta dan segala modal yang kemudian kita selewengkan untuk melawan-Nya. Kita mengangkat diri kita sendiri menjadi tokoh utama alam semesta, kemudian kita heran mengapa hidup kita begitu susah, boleh dibilang sia-sia, penuh ketidakpuasan, dan penuh dengan orang-orang yang mau mendorong kita jatuh dari takhta. Padahal jawabannya begitu sederhana. Kita sudah menolak yang baik dari Allah, maka yang kita dapat adalah yang rusak.
Allah adalah pembuat alur cerita yang luar biasa. Ia membuat cerita kehidupan yang sangat canggih dan kompleks, penuh dengan milyaran manusia di seluruh dunia, dan penuh dengan hal-hal yang luar biasa. Bagaimana kita bisa menjadi tokoh utama? Tokoh utama di sini bukan maksudnya pribadi yang paling penting dalam cerita, yang tanpanya cerita tidak bisa dilanjutkan. Itu jelas adalah Allah, karena manusia datang dan pergi, lahir dan mati, tetapi Allah terus melanjutkan karya-Nya. Tokoh utama di sini maksudnya orang baiknya, pahlawannya, anak mudanya (istilah yang tidak terlalu saya pahami tetapi sering dipakai di kalangan orang Medan); orang yang berjuang untuk kebaikan. Mengapa dia berada di pihak yang baik? Karena ia pandai, baik hati, kaya, berkuasa? Bukan! Semata-mata karena pengarang cerita menetapkan demikian.
Hal ini masuk akal, bukan? Pengarang cerita mempunyai hak sepenuhnya atas tokoh cerita. Tokoh cerita tidak mungkin berontak melawan apa yang ditetapkan pengarang cerita. Namun kita memiliki kewajiban yang lebih besar lagi untuk taat kepada Allah, mengapa? Karena Ia bukan saja berkuasa atas kita, tapi Ia juga Allah yang begitu mengasihi kita. Sewaktu makhluk ciptaan-Nya, manusia, melawan Penciptanya, Penopang hidupnya, Allah tetap begitu penuh kemurahan hati dan belas kasihan. Saya tidak tahu bagaimana menggambarkan betapa baiknya Allah kepada kita manusia yang melawan-Nya. Ia tetap Allah yang adil jika Ia melempar kita semua ke neraka dengan satu kibasan tangan atau satu patah kata saja. Tetapi karena Ia begitu penuh belas kasihan, dengan penuh cinta Ia menarik kita pulang kepada-Nya atas pengorbanan Yesus Kristus yang mati disalib. Kemudian Ia memberikan hal-hal yang besar kepada kita untuk dikerjakan, beserta dengan kekuatan Roh Ilahi, sehingga kita yang lemah ini boleh berseru, “Aku dapat melakukan segala hal karena Kristus yang memberiku kekuatan!” (Flp. 4:13)
Saya harap sejauh ini kita dapat mengerti, bahwa ‘siapa diriku’, hanya berarti siapa diriku di hadapan Allah. Bukan siapa diriku menurut pikiranku, apalagi perasaanku, atau kata orang-orang di sekitarku, dan jelas-jelas bukan apa yang muncul di layar komputer setelah saya menjawab beberapa pertanyaan mengenai diriku di internet. Semua itu masukan yang mungkin benar, mungkin salah, tetapi sekali lagi, ‘siapa diriku’, adalah di hadapan Allah. Kalau kita sudah memahami hal ini, baru kita bisa mulai memikirkan siapa diriku sebenarnya.
‘Siapa diriku’ tidak mungkin terlepas dari bagaimana Tuhan membuatku. Ia membentuk setiap pribadi dengan keistimewaan yang tidak terulang lagi sepanjang sejarah di seluruh dunia. Segala talenta dan kemampuan seseorang dapat diamati baik oleh orang Kristen maupun non-Kristen. Tapi hanya orang Kristen yang mendapatkan hak istimewa untuk boleh datang mendengarkan suara Tuhan yang membimbingnya ke mana Tuhan mau memakainya. Tuhan memiliki rencana yang spesifik untuk setiap pribadi dalam umat-Nya, rancangan yang mendatangkan damai sejahtera (Yer. 29:11).
Sering rancangan-rancangan ini akan membuat hidup kita berantakan dan mengusir kedamaian yang tadinya kita rasakan. Yunus yang tadinya tidur nyenyak seperti bayi sekarang ditelan amukan gelombang laut dalam badai. Yeremia menuliskan ayat di atas kepada umat Israel yang dibuang ke negara orang kafir. Yusuf dijual saudaranya sendiri, difitnah karena melakukan hal yang luar biasa berintegritas, dan dimasukkan ke penjara, plus dilupakan selama 2 tahun. Secara natur manusia berdosa, kelihatannya lebih nyaman kalau Tuhan tidak ikut campur dalam hidup saya.
Entahlah, mungkin juga… Tetapi orang tidak harus menjadi Kristen untuk mengetahui bahwa segala yang berharga menuntut pengorbanan. Kita ingin menjadi tokoh utama cerita yang besar atau cerita sampah? Yang terakhir berisi cerita seseorang yang hidup untuk dirinya sendiri, mungkin kelihatannya tidak melakukan banyak dosa juga (walaupun tidak mungkin), setiap hari hidup rutin begitu-begitu saja, hari demi hari. Mungkin juga cerita sampah itu seru, penuh dosa dengan segala bentuk dan ukuran (if there’s such a thing), dimulai dengan orang yang membuang segala makna menjadi manusia seperti yang ditetapkan Penciptanya, diisi dengan menyakiti dan disakiti, dan berakhir dengan jiwa yang rusak tak keruan, tanpa pengharapan tapi terlalu sombong untuk menerima pengampunan dan belas kasihan.
Atau kita ‘membayar harga’ untuk mendapatkan harta yang bernilai jauh lebih besar dari segala ‘pengorbanan’ kita. Dimulai dengan menyambut undangan dari Allah yang Maha Tinggi, diteruskan dengan perjuangan setiap harinya, tapi tiada halaman yang tidak memiliki jejak tangan Sang Penulis Agung. Diakhiri dengan terdengarnya suara yang paling manis di seluruh alam semesta, mengatakan kalimat yang membuat hati kita begitu terharu dan penuh, seluruh jiwa gemetar kesenangan mendengar, “Hamba-Ku yang baik dan setia!” Pada saat itu kita tahu, bahwa kita sepenuhnya ‘sudah menjadi diriku’ dan segala hal yang kita sangka kita korbankan untuk Tuhan – dengan tertawa kita akan berkata, ah, sebetulnya kita tidak berkorban apa-apa. Hanya menerima anugerah pengorbanan-Nya yang begitu besar.
Apa yang kita kerjakan untuk ‘menjadi diriku’? ‘Mengerjakan kehendak Allah’ adalah jawaban yang begitu gampang terlontar dari mulut siapa saja yang menghabiskan cukup banyak waktu mendengarkan khotbah atau ceramah pelajaran agama Kristen. Apa hubungan frasa ‘mengerjakan kehendak Allah’ dengan apa yang sehari-hari sSang pemilik mulut kerjakan, bisa jadi sejauh surga dari neraka. Biasanya alasan untuk ini adalah kita tidak mengetahui kehendak Allah. Memang kehendak Allah bukan hal kecil untuk dipahami, tetapi saya bertanya, mungkin ada orang yang sengaja menganggap kehendak Allah begitu tidak mungkin diketahui supaya bisa mengerjakan kehendak diri yang diketahui begitu jelas dan pasti?
Sekali lagi, kita tidak perlu jadi orang yang super pandai dan bijaksana dulu untuk tahu: kalau kita ingin mengerjakan kehendak satu orang, anggap saja X, maka cara paling mudah untuk mulai adalah dengan belajar mengenal pribadi X. Belajarlah mengenal Tuhan! Tentu bukan sekedar pembelajaran kognitif yang hanya mengisi kepala. Kita belajar mengenal Tuhan dengan sangat efektif sewaktu kita menaati perintah-perintah-Nya yang sudah sangat jelas dalam Alkitab. Sewaktu kita semakin mengenal, mengasihi, dan taat kepada-Nya, Calvin mengatakan, waktu itulah kita akan semakin mengenal diri kita sendiri. Dengan pengenalan diri kita yang benar, kita baru akan dapat memenuhi panggilan kita sebagai Gereja untuk memancarkan kemuliaan-Nya! Tanpa semuanya ini, kita sebenarnya hanya menipu diri kita sendiri kalau kita sedang menjadi diri kita sendiri yang seharusnya adalah Gereja. Siapakah Gereja itu? Baca artikel-artikel berikutnya pada edisi PILLAR ini… Selamat membaca!
Tirza J. Rachmadi
Pemudi GRII Pusat
[1] Dalamnya hati siapa yang tahu? Saya bisa dengan mudah membayangkan guru itu berpikir, “Sebetulnya kamu sangat pintar! Apa yang terjadi padamu hari ini?” dan Sang pacar, “Untung kamu bodoh mau ditipu aku…”