Di era teknologi informasi saat ini, banyak data dan informasi dengan mudah dapat diakses oleh individu-individu. Internet yang dahulu dianggap sebagai barang mewah, kini sudah menjamur di dalam masyarakat dan menjadi “perpustakaan” terkecil dengan konten yang paling banyak. Dengan adanya internet, sebenarnya setiap individu mempunyai peluang untuk menguasai dunia karena banyak sekali informasi bisa didapatkan lewat “layar ajaib” itu. Asal punya sedikit kemampuan berbahasa Inggris, sudah bisa membuka aplikasi internet, dan dengan modal satu jari untuk mengetik dan meng-klik mouse, kita sudah dapat mendatangkan banyak data baru ke dalam otak kita. Tetapi, berapa banyak pengetahuan sejati yang bisa ditemukan di dalamnya? Apa buktinya bahwa pengetahuan itu adalah pengetahuan sejati atau tidak?
Dalam konteks hidup di Jakarta (yang mewakili Indonesia), kita sadar bahwa kita jarang sekali bertemu dengan orang yang “kutu buku” atau orang yang sekadar suka membaca sekalipun. Memang negara kita digolongkan sebagai negara berkembang, tetapi tidak dipungkiri juga bahwa Jakarta dan kota-kota besar lainnya memiliki banyak sekolah dan universitas sehingga kita pun tidak jarang bertemu dengan teman yang sudah lulus sekolah bahkan lulus kuliah. Namun harus diakui bahwa orang yang lulus kuliah sekalipun saat ini banyak yang tidak suka membaca buku, dengan kata lain tidak mengejar pengetahuan. Mencari pengetahuan dalam perkuliahan dijalankan dengan semangat minimalis dan mencari trick yang pragmatis demi mendapatkan hasil yang kelihatan dikejar mati-matian.
Di sisi lain, orang yang rajin membaca buku dan ingin menjadi orang yang dibilang pintar begitu mudah menjadi bangga dan menganggap dirinya berpengetahuan karena orang di sekitarnya lebih banyak yang tidak memiliki kemauan untuk menggali ilmu lewat buku-buku seperti yang ia lakukan. Yang lebih mengerikan lagi adalah seorang netter (pengguna internet) yang membanggakan diri dengan pengetahuannya tentang berbagai alamat website yang dianggap dapat menunjang hidupnya, baik secara materi maupun spiritual.
Dalam teknologi informasi, ada perbedaan antara Data, Information, dan Knowledge. Data adalah fakta mentah yang belum diolah. Information adalah data yang sudah dikelola, dirapikan, dan dikategorikan, misalnya statistik di mana datanya sudah digolongkan dan ketika dilihat dalam sekejap akan menghasilkan informasi baru atau kesimpulan baru. Knowledge adalah di mana informasi yang ada dapat diintegrasikan satu dengan yang lain, tidak terpecah-pecah, misalnya manual book, yang membentuk informasi yang komprehensif tentang suatu objek. Dengan definisi-definisi tadi, mungkin kita dengan cepat mengklaim bahwa kita memiliki pengetahuan, paling tidak untuk beberapa hal, misalnya hobi kita, barang kesukaan kita, cara kita bekerja, dan sebagainya. Tetapi, benarkah itu adalah pengetahuan?
Agustinus (354-430 AD), bapa gereja yang terkenal itu, di dalam pergumulan hidup dan pengajarannya, telah menghasilkan dasar yang kokoh tentang pengetahuan yang Alkitabiah. Agustinus sebelum menjadi Kristen menganut Manichaeism yang merupakan salah satu bentuk elit dari Gnosticism. Gnosticism itu sendiri adalah aplikasi dari filsafat Plato ke dalam bentuk agama. Maka, pemikiran Agustinus setelah menjadi Kristen adalah respons atau perlawanannya terhadap Platonism dan Manichaeism. Agustinus melawan Plato yang mengatakan bahwa materi itu jahat dan rohani itu baik. Agustinus mengatakan dunia (materi) ini baik adanya karena dicipta oleh Allah yang baik dan dunia ini dapat dipahami bahkan kita bisa mendapatkan genuine knowledge atas dunia ciptaan ini. Knowledge bisa didapatkan melalui bodies ketika soul memiliki rationes aeternae (ide yang berada di dalam pikiran Allah yang bersifat kekal) sebagai pola yang mendasari seluruh realitas ciptaan. Manusia mempunyai dua fungsi nalar (reason) yaitu higher reason yang memikirkan segala yang bersifat kekal yang menghasilkan Wisdom (sapientia), sedangkan lower reason yang memikirkan hal-hal yang bersifat fisik, kelihatan, dan sementara yang menghasilkan Knowledge (scientia). Kedua fungsi ini berada dalam satu pikiran yang sama, bukan terpisah. Dalam tingkat kesadarannya dimulai dari indera (sensation) yang kemudian diuji lewat pemikiran (cogitation) dan terakhir melalui perenungan dan kontemplasi kita mendapatkan wisdom (sapientia) atau pengetahuan yang sejati (intellection). Teori Agustinus ini didasari oleh pendakian jiwa yang sebelumnya telah diajarkan oleh Plato dan Plotinus. Jiwa harus melewati realm of bodies kemudian melampaui lower reason menuju higher reason untuk mendapat kebenaran yang tidak berubah. Agustinus tidak seperti Manichaeism yang membuang iman dan hanya memakai reason. Justru Agustinus melawan pandangan demikian dan mengatakan bahwa iman adalah tindakan penting sebelum pengetahuan. Credo ut intelligam, I believe in order that I may understand. Iman yang memulai segala pengetahuan dan tidak terbatas hanya dalam wilayah agama. Agustinus menggambarkan iman dan akal budi seperti dua mata pisau pada sebuah gunting yang berarti keduanya harus berjalan bersama untuk memotong sesuatu. Human mind is necessary but not sufficient. Human mind disebut Agustinus sebagai created light merefleksikan uncreated light yaitu God’s mind, ibarat bulan memantulkan sinar yang ia terima dari matahari.
Manusia bisa mengetahui tentang dunia ini karena dunia ini dicipta oleh Allah sesuai rationes aeternae, karena manusia sendiri dicipta oleh Allah menurut rationes aeternae, dan manusia diberikan kemampuan untuk mengetahui lewat akal budi yang diberi potensi merefleksikan rationes aeternae sehingga dapat menilai dunia ini dengan benar dan menggambarkan keharmonisan Allah, manusia, dan alam. Tetapi seperti dikatakan di atas bahwa human mind adalah seperti bulan yang cahayanya tidak dihasilkan sendiri melainkan berasal dari matahari (God’s mind), ini disebut divine illumination, sehingga manusia tidak dapat berdiri sendiri secara independen untuk memproduksi pengetahuan yang benar.
Bagi Agustinus, kita tidak dapat mengetahui form atau rationes aeternae lewat pengajaran (teaching). Kita mengetahui kebenaran bukan karena itu diajarkan atau diucapkan oleh orang lain, tetapi pada waktu kita bertemu dengan Kristus di dalamnya. Bukan berarti pengajaran tidak penting sama sekali. Tentu saja perlu pengajaran, tetapi kebenaran yang sejati datangnya dari Kristus, bukan dari pengajar atau pengajaran itu sendiri. Bahkan Agustinus mengatakan bahwa ide bisa didapatkan waktu kita tidak sadar akan ide itu. Walaupun kedengaran sangat mistik, pemikiran Agustinus ini justru sangat Alkitabiah sesuai Yohanes 1:9 “Terang yang sesungguhnya, yang menerangi setiap orang.” Kristus adalah Guru yang sesungguhnya, Dia adalah Kebenaran itu sendiri, dan yang menopang proses belajar manusia tanpa henti. Maka, Agustinus konsisten di dalam doktrin kedaulatan Allah dan Kristus sebagai satu-satunya Mediator.
Maka, di zaman ini di mana begitu mudahnya mengakses segala pengetahuan yang baru, informasi, ilmu-ilmu, agama, bahkan theologi Reformed pun bertebaran di dunia internet, tetap tidak menjamin akan hidup kita ini menjadi hidup yang benar jika Kristus tidak menjadi Guru kita yang sejati sesuai firman-Nya. Jika kita tidak bertemu dengan Kristus dalam proses belajar kita, maka kita hanya menjadi seperti orang Gnostic yang hanya perlu pengetahuan kognitif sebagai syarat untuk keselamatan. Bila demikian sesungguhnya, maka kita hanya sekadar mem-beo apa yang pernah kita pelajari untuk diulangi. Itu bukanlah pengetahuan. Pengetahuan yang sejati adalah seperti yang dikatakan oleh Raja Salomo, “The fear of the Lord is the beginning of knowledge” dan “The fear of the Lord is the beginning of wisdom.”
Salomo pernah mengalami masa-masa di mana dia meninggalkan Allahnya. Ketika Salomo tidak takut dan meninggalkan Allahnya, apakah ia menjadi idiot dan IQ-nya menjadi rendah? Tidak. Tetapi ia kehilangan the true knowledge. Apa yang ia capai dikatakan sia-sia. Setelah ia bertobat, kesadaran itu ia tuliskan dalam kitab Pengkhotbah 12:12-14: “Lagipula, anakku, waspadalah! Membuat banyak buku tak akan ada akhirnya, dan banyak belajar melelahkan badan. Akhir kata dari segala yang didengar ialah: takutlah akan Allah dan berpeganglah pada perintah-perintah-Nya, karena ini adalah kewajiban setiap orang. Karena Allah akan membawa setiap perbuatan ke pengadilan yang berlaku atas segala sesuatu yang tersembunyi, entah itu baik, entah itu jahat.”
Teman-teman yang terkasih, menimba ilmu yang banyak tidak menjamin kita mendapatkan kebijaksanaan, apalagi malas mencari ilmu. Pemahaman kita akan kedaulatan Allah tidak berarti lepas dari tanggung jawab kita sebagai manusia dalam menjalankan tugas panggilan kita mencari kebenaran. Maka, takut akan Allah dan semangat untuk terus belajar harus berjalan bersamaan. Semuanya menuju pada satu tujuan yaitu Kristus ditinggikan. Andakah orang yang berpengetahuan sejati itu?
Chias Wuysang
REDS – Worldview