Pelayanan pemuda selalu memiliki dinamika keangkuhannya sendiri. Masa muda adalah waktu-waktu yang biasanya digunakan untuk mulai meniti karir, keluarga, maupun ego. Walau hidup yang egoistik sebenarnya tidak mengenal usia, status, gender, kekuatan ekonomi, dan sebagainya, tetapi setidaknya masa muda lebih dekat dengan proyeksi impian yang lebih imajinatif, atau bahkan delusif. We believe we can change the world! Yeah, “betul”, tapi itu biasanya karena belum menikah saja, karena setelah menikah, mengubah saluran televisi saja tidak bisa.
Salah satu fenomena yang marak terjadi dalam dunia pelayanan pemuda adalah bertumbuhnya jiwa narsistik. Suatu upaya untuk membesarkan diri, namun menggunakan media yang rohani. Ini rentan terjadi dalam banyak pikiran pemuda, apalagi bila benaknya selalu diisi tentang “kebesaran”, “kemuliaan”, dan “heroisme”. Dan semua kemegahan itu selalu kita asosiasikan dengan diri kita, terutama dalam pelayanan.
Tidak jarang akhirnya kita menemukan orang-orang yang rajin pelayanan tetapi dengan mental waham kebesaran (grandiose). Suatu kondisi yang sering meyakini hal-hal yang tidak sesuai dengan kenyataan sebenarnya, tetapi keyakinan diri itu akan terus dipegang teguh. Suatu kecenderungan untuk merasa bahwa dalam pelayanan kita lebih berkuasa, hebat, cerdas, memiliki level rohani yang lebih tinggi, memiliki kemampuan “super”, dan sebagainya, dan karena itu semua maka pekerjaan Tuhan bisa hancur kalau-kalau pelayanan-pelayanan itu tidak dipegang oleh kita. Waduh.
Ketika setiap pelayanan kita ambil, kepada altar yang manakah “credit” dari pelayanan itu kita persembahkan? Kepada altar grandiose kita, supaya api puja-puji dan kekaguman orang kepada kita dan kelompok kita makin besar? Atau seperti Zakheus, yaitu kepada takhta kemuliaan Kristus sehingga seisi rumah itu jadi bersukacita karena pekerjaan Allah dan memuji Dia?
Padahal kalau kita renungkan baik-baik apa yang kita baca dalam Alkitab, kita menemukan bahwa mereka yang bertemu dengan Kristus dan diperbarui hidupnya selalu menghasilkan minimal dua ekspresi yang jelas ini. Pertama humbled, menjadi rendah hati di hadapan Allah dan sesama. Kedua, being generous, mengerjakan segala sesuatu (baca: pelayanan) bukan untuk mengumpulkan sesuatu bagi dirinya, melainkan bagi yang lain, supaya mereka melihat dan mengagumi Kristus pula. Ini yang kita temukan dalam kisah Zakheus, seorang boncel pongah yang kaya karena menjadi lintah bagi sesamanya. Ia bertobat, dari yang angkuh menjadi rendah hati, dari yang sibuk mengeruk orang lain demi diri, kini ia begitu murah hati.
Kalau kita mau berkaca dari Zakheus, dalam konteks pelayanan, makin “rajin” kita melayani, apakah kita makin rendah hati atau makin angkuh? Makin kita “melayani”, yang notabene merupakan suatu sarana anugerah bagi “pertemuan” kita dengan Allah, apakah kita makin generous (membagikan kapasitas) supaya orang melihat Kristus dan memuji Dia, atau kita malah makin mengumpulkan glorifikasi bagi diri kita? Kalau kecenderungannya yang kedua, ya kita sesungguhnya bukan sedang melayani Allah; tidak peduli seberapa banyak pelayanan kita, tidak peduli seberapa sering jargon-jargon religius keluar dari mulut kita. Mau kita catut nama-nama orang besar (nama “Pak Tong”, bahkan sampai nama Yesus), maupun istilah-istilah populer (squeezism, soli Deo gloria, coram Deo, spartan, immortals, dan sebagainya), ketika semua itu kita pakai dalam rangka memuaskan hasrat narsistik kita untuk dipuji dan disegani, kita bukan sedang pelayanan, sekali pun 24 jam sehari kita ngakunya melayani.
“Bang, kok bisa 24 jam melayani? Tidurnya kapan?”
“Oh, ga perlu tidur. Tidur itu cuma buat kaum yang lemah kerohaniannya. Kalo yang cinta Tuhannya besar kayak saya gini, ya ga perlu tidur.”
“Oh, Abang keren ya.”
“Oh, iya, jelas. Saya begitu, kelompok saya juga begitu. Sorry ya, kita beda :p.”
Tentu percakapan seperti ini akan sangat lucu dan membuat kita tersenyum tipis sambil berkata orang itu sudah mulai gila; bicara rohani tapi yang dibesarkan selalu diri. Tetapi dari sini bukankah seharusnya kita berefleksi? Ketika setiap pelayanan kita ambil, kepada altar yang manakah “credit” dari pelayanan itu kita persembahkan? Kepada altar grandiose kita, supaya api puja-puji dan kekaguman orang kepada kita dan kelompok kita makin besar? Atau seperti Zakheus, yaitu kepada takhta kemuliaan Kristus sehingga seisi rumah itu jadi bersukacita karena pekerjaan Allah dan memuji Dia? Ya, cuma Dia seharusnya, karena memang hanya Dialah yang telah mengubah kita yang bukan siapa-siapa, yang dahulu hanya tahunya membesarkan diri dengan mengeruk yang lain, namun yang kini belajar menyerahkan apa yang kita punya supaya orang lain melihat kepada Dia, Allah kita, yang empunya kerajaan, dan kuasa, dan kemuliaan sampai selama-selamanya. Amin.
Nikki Tirta
Pemuda Cultura Anima, OSG GRII Pusat
Pemuda FIRES