,

Sempurna

Siapa sih yang tidak menginginkan kesempurnaan? Apakah kita merindukan kesempurnaan karena pada mulanya manusia dilahirkan di tengah kesempurnaan? Jika memang awalnya manusia diciptakan dalam keadaan seperti itu, mengapa pula manusia masih bisa jatuh dalam dosa? Pertanyaan-pertanyaan itu saya ajukan untuk mengajak kita semua merenungkan, betulkah jika hidup kita “sempurna” kita akan lebih penuh sukacita dan lebih malas berdosa?

Mari kita lihat Kejadian 1 dan 2 untuk meneliti kembali kehidupan manusia pertama, Adam dan Hawa. Apa sih yang kurang dari hidup mereka? Di tengah situasi PSBB saat ini yang membuat sebagian orang terkungkung dalam rusun atau apartemen yang kurang dari 50 meter persegi, keindahan alam Eden pasti luar biasa menggiurkan. Siapa sih saat ini yang tidak tergoda untuk pergi ke taman yang sangat luas, yang di dalamnya mengalir sungai yang amat jernih dan dipenuhi pohon buah-buahan yang tidak hanya membuat air liur menetes tetapi sekaligus penuh nutrisi?

Adam memiliki semua yang diinginkan seorang pria, demikian pula dengan Hawa. Lysa TerKeurst bahkan menuliskan bagaimana hidup Hawa adalah serangkaian yang pertama (firsts) dalam sejarah dunia. Adam, pria pertama, apalagi. Mereka adalah pemilik dari taman di Eden. Kekayaan yang ada di taman itu, bisa jadi lebih banyak dari kekayaan Raja Salomo. Namun seperti Salomo, keduanya tidak merasa cukup dengan apa yang ada, bukan? Lalu kapan kita akan merasa cukup? Jika hidup telah menjadi sempurna? Terus, kapan hidup akan menjadi sempurna?

Satu-satunya yang dicatat dengan sangat jelas sebagai perintah Tuhan kepada Adam dan Hawa saat di Eden adalah Kejadian 2:16-17. Isi perintah tersebut memberikan kebebasan penuh untuk memakan semua buah pohon dalam taman di Eden, kecuali buah pohon pengetahuan yang baik dan jahat. Bukankah seluruh kelimpahan di Eden menjadi kurang sempurna tanpa adanya sebuah tanda yang jelas bagi makna kemanusiaan dan keilahian? Sang Pemberi perintah adalah yang Ilahi dan si penerima perintah adalah makhluk yang menjadi gambar-Nya. Eden dan dunia ini menjadi tempat yang sempurna ketika titah Ilahi digenapi. Alih-alih memelihara kesempurnaan itu, kedua anak manusia memberontak melawan kodratnya sendiri. Akibatnya, manusia terusir dari hadapan Sang Pencipta, mengelana tanpa arah menuju tempat binasa.

Ajaibnya kasih karunia, sebelum diusir dan menerima semua konsekuensi penghakiman Ilahi, Allah menjanjikan kembalinya kesempurnaan. Tersirat dalam Kejadian 3:15 tentang “benih sang perempuan”. Bahkan sebelum mereka diusir dari hadapan Yang Sempurna, ketelanjangan mereka ditutupi dengan pakaian kulit binatang (Kej. 3:21). Untuk pertama kali, di tempat yang seharusnya tidak ada kematian, ada binatang yang dikorbankan. Namun ini adalah kematian yang memberi pengharapan, menjadi tanda perjanjian.

Kelak benih perempuan itu disebut sebagai Adam kedua. Hidup di tengah dunia yang jauh dari sempurna, bahkan penuh aib dan cela. Namun kehadiran-Nya membawa kesempurnaan yang hilang, karena di dalam diri-Nya, seluruh titah dan perintah Allah digenapi.

Saudara, seperti apa kesempurnaan hidup yang kita rindukan? Sempurna ketika semua ada seperti kehendak kita? Atau sempurna yang sejati, ketika kita mau berjalan dalam perintah-Nya? Soli Deo gloria.

Vik. Maya Sianturi Huang