Q1: Saya sering berpikir bahwa cinta sejati tidak mungkin terdapat dalam pernikahan, karena jika saya sungguh-sungguh mencintai orang yang saya cintai, saya tidak akan tega membiarkan orang itu menikah dengan saya, karena siapakah saya, sehingga saya menganggap diri saya lebih baik daripada orang lain? Jadi, jika saya memang mencintai seseorang, pastilah saya tidak akan menikah dengannya. Mohon koreksinya atas pemikiran ini. Terima kasih.
Memang pemikiran semacam ini sering terdapat dalam beberapa orang (in fact saya dulu juga pernah berpikir seperti itu). Pada dasarnya pengertian kasih yang seperti itu adalah idealistic-unrealistic, karena sesungguhnya adalah bagian dari cinta/kasih sejati untuk tidak takut terhadap perasaan terlukai. Waktu kita menikahi seseorang tidak perlu dikaitkan dengan perasaan bangga diri yang salah (sombong) bahwa kita lebih baik daripada orang lain (sebab kalau prinsip ini benar maka ini juga berlaku ketika kita memiliki anak, “Siapakah saya ini sehingga saya menjadi orang tua anak ini?” Wah, gawat kalau begini). Sama seperti anak, pasangan hidup juga sebenarnya merupakan pemberian Tuhan. Jika Tuhan berkenan memberikannya mari kita belajar untuk menerimanya dengan rendah hati dan ucapan syukur. Jika kita menolaknya dan tetap menganggap diri kita tidak layak, sebenarnya ini bukan kerendahan hati tapi justru merupakan semacam kecongkakan. Ingat, anugerah Tuhan jauh lebih besar daripada kekurangan/kelemahan kita.
Q2: Bagaimana menghindari dan menang atas dosa seksual?
Kebiasaan akan dikalahkan oleh kebiasaan. Demikian kira-kira kutipan bebas dari buku “Imitation of Christ” karya Thomas a Kempis. Kebiasaan buruk juga perlu dikalahkan dengan kebiasaan yang saleh. Jangan memberi kesempatan sedikit pun, apalagi jika tahu dalam bagian itu kita sangat rentan. Luther pernah mengatakan, “Kita tidak bisa menghindari burung beterbangan di atas kepala kita, namun kita bisa mengusirnya jika ia hinggap, membuat sarang, dan bertelur di atas kepala kita.” Maksudnya, begitu godaan itu muncul dalam pikiran, jangan terus dilanjutkan. Kehidupan saleh diperoleh dan dilatih melalui merenungkan kehadiran Tuhan dalam hidup kita, merenungkan firman Tuhan siang dan malam (Mzm 1:2). Kita harus percaya bahwa kenikmatan yang sejati yang dari Tuhan jauh lebih tinggi dan membahagiakan daripada kenikmatan dosa yang hanya sesaat namun setelah itu menghempaskan kita dalam kekosongan yang tidak mampu lagi menikmati kehadiran Tuhan dengan benar.
Q3: Saya percaya tidak ada dosa yang terlalu besar bagi Tuhan sehingga Dia tidak dapat mengampuninya. Tetapi jika saya pernah melakukan dosa seksual, dan saya sadar setiap dosa ada konsekuensinya, layakkah saya berpacaran, apalagi menikah?
Firman Tuhan memberitakan pengampunan dan pertobatan. Jikalau kita telah mengaku dosa kita, maka sesuai dengan janji-Nya, Tuhan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan (I Yoh 1:9). Jangan membiarkan masa lalu mengikat hidup Anda sehingga Anda tidak sanggup lagi berjalan ke depan. Memang setiap dosa ada konsekuensi, namun konsekuensi itu adalah urusan Tuhan yang akan menegakkan keadilan serta kemurahan-Nya. Kita tidak perlu menghukum diri sendiri dan menegakkan keadilan dengan cara kita sendiri. Yang penting adalah penyesalan dan pertobatan yang sejati, setelah itu beriman bahwa Tuhan masih sanggup memimpin hari depan Anda, entah menikah atau tidak.