,

40 Years of Silence

“Those who don’t remember the past are condemned to repeat it,” demikian kalimat pembuka Robert Lemelson, sang sutradara film 40 Years of Silence, an Indonesian Tragedy dalam situs resmi film ini. Ucapan di atas adalah ungkapan dari George Santyana yang dikutip oleh Lemelson sebagai penanda dari tujuan pembuatan film tersebut. Anda tentu bertanya-tanya tentang apakah isi film tersebut, meski dari judulnya sendiri sedikit banyak kita dapat memperkirakannya.

Lemelson, antropolog Amerika, membuat 40 Years of Silence sebagai sebuah film dokumenter yang ingin menyibak satu bagian tergelap dari sejarah modern Indonesia, Peristiwa G30S. Peristiwa ini adalah salah satu pembunuhan massal abad ke-20 yang masih belum terungkap. Diperkirakan sekitar 500.000 sampai 1.000.000 orang dibunuh secara diam-diam dan sistematis dalam tahun 1965-1966 karena dicurigai sebagai komunis di seluruh Indonesia.

Film sejarah yang berbentuk narasi ini menceritakan kesaksian dari pihak korban. Lemelson sangat piawai dalam melakukan penggalian saksi sejarah tentang perasaan, jiwa, serta tekanan-tekanan batin yang mereka alami. Lewat narasi yang dituturkan, apa yang selama ini tersembunyi dan ditindas oleh sejarah mainstream, menyeruak ke permukaan. Pergulatan batin yang dirasakan para korban stigma komunis digali sang sutradara dengan sangat baik lewat wawancara yang mendalam, sehingga ekspresi mereka berkata-kata melampui kalimat-kalimat yang mereka katakan. Kita yang menontonnya pun akan terhenyak. Betapa kejamnya mereka yang menindas kebenaran!

Seorang mahasiswa sejarah Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Agus Budi Purwaranto mengulas film ini dengan baik. Ia berpendapat bahwa kehadiran film ini adalah pertama-tama untuk membuat sejarah menjadi “wajar”. Langkah berikutnya tentu saja adalah melakukan usaha rekonsiliasi bangsa. Mirip dengan kutipan Lemelson atas ucapan Santyana di atas. Dan entah mengapa semua ini mengingatkan kita pada kalimat-kalimat Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Efesus. Silahkan membuka Efesus 2:1-10.

Dalam perikop tersebut Paulus mengajak jemaat Efesus melihat masa lalu mereka, sejarah hidup mereka sebelum berada dalam Kristus dan kemudian membandingkannya dengan sesudah berada dalam Kristus. Sejarah hidup jemaat Efesus awalnya seperti zombie yang dikuasai oleh tiga kekuatan jahat. Bahkan “hidup” mereka terpuruk dalam kenistaan yang dalam, menjadi objek murka Allah. Jikalau Anda menonton film tadi, Anda akan melihat bukan hanya para korban tetapi juga anak-anak mereka ikut menjadi objek murka penguasa bahkan masyarakat umum yang menelan mentah-mentah stigma eks-tahanan politik (ET).

Kita adalah orang-orang yang sangat beruntung bahkan terlalu beruntung. Sejarah hidup kita yang begitu kelam dan semua stigma yang buruk akibat dosa-dosa kita telah dipakukan di salib Kristus. Lewat penderitaan dan kematian Kristus, keadilan Tuhan ditegakkan dan relasi kita dengan Allah dipulihkan. Kristus merekonsiliasi kita dengan Bapa. Pertanyaannya, siapa yang akan melakukannya untuk para ET? Bukankah kita dipanggil sebagai alat rekonsiliasi Kristus?

Ev. Maya Sianturi
Pembina Remaja GRII Pusat
Kepala SMAK Calvin