Kita semua diajari untuk menyapa orang yang dengannya kita berpapasan, terutama mereka yang lebih tua dan dihormati. Demikianlah siswa harus bersikap terhadap guru, bawahan terhadap atasan, dan lain-lain. Kebiasaan di masyarakat ini mencerminkan bahwa yang memberi hormat terlebih dahulu berasal dari ordo yang lebih rendah. Ini baik-baik saja, tentunya, sampai disalahgunakan oleh orang berdosa. Orang berdosa menikmati didahului dalam hal memberi hormat. Pengaruh dosa membuat kita cenderung menikmati berada di posisi yang lebih “hormat” daripada orang yang berpapasan dengan kita, sehingga saling tunggu memberikan hormat pun terjadi. Namun, apa yang dinasihatkan Paulus kepada orang yang sudah lahir baru?
Rangkaian nasihat yang diberikan Paulus dalam Roma 12:9 dan seterusnya diberikan setelah Paulus berbicara tentang hidup baru di awal pasal tersebut. Orang yang sudah diperbarui hidupnya hendaklah hidup dalam kasih. Ayat 10 mengubah paradigma kita yang masih berdosa: “Hendaklah kamu saling mengasihi sebagai saudara dan saling mendahului dalam memberi hormat.” Saya kira, kita dapat membacanya sebagai: “Saling mengasihilah. Hendaklah kamu memposisikan dirimu di tempat yang lebih rendah daripada orang yang berpapasan denganmu.”
Dengan demikian, ayat 16 harus dibaca dalam konteks ajaran untuk saling mengasihi ini. Ia berbunyi, “Hendaklah kamu sehati sepikir dalam hidupmu bersama; janganlah kamu memikirkan perkara-perkara yang tinggi, tetapi arahkanlah dirimu kepada perkara-perkara yang sederhana. Janganlah menganggap dirimu pandai!” Paulus tidak melarang kita untuk memikirkan atau merencanakan pekerjaan besar di bawah pimpinan Roh Kudus. Namun, saling mengasihi dengan orang yang ada di hadapan kita tidak terjadi dengan memikirkan hal-hal besar, tetapi mengerjakan hal-hal kecil. Ketika berbicara tentang hal-hal besar di hadapan saudara kita, kita akan memberikan cinta yang abstrak. Namun cinta yang konkret berasal dari sentuhan yang nyata, dari melakukan “hal-hal kecil”.
Kedua ayat di atas mengungkapkan sifat yang melekat pada cinta yang sejati. Ia baru dapat murni ketika keluar dari hati yang rendah. Bukankah Tuhan kita, Yesus Kristus, telah menjadi teladan kita yang paling sempurna? Dia berinkarnasi, mengasihi kita di tempat yang rendah. Kita juga tidak boleh lupa bahwa hal besar yang dilakukan Tuhan Yesus bagi kita, yaitu mati di atas kayu salib dan bangkit kembali pada hari ketiga, merupakan puncak dari hal-hal kecil yang Dia lakukan, seperti mencuci kaki murid-murid-Nya.
Mengomentari ayat 16, Matthew Henry menulis, “True love cannot be without lowliness.”