Bangun dari Koma Rohani

Bisakah sebuah gereja tampak aktif, sibuk, dan mempunyai banyak program, tetapi
sebenarnya sedang mati? Salah satu penerima “Surat Peringatan” dari Yesus Kristus di Kitab
Wahyu adalah gereja di Sardis, yang disebut Tuhan “dikatakan hidup, padahal mati” (Why.
3:1). Gereja tersebut sedang berada dalam keadaan “koma rohani”. Seperti koma jasmani,
meskipun tampak ada tanda kehidupan secara permukaan, tetapi tidak ada lagi esensi
kehidupannya. Orang koma masih hidup secara biologis, tetapi tidak lagi dapat menjalankan
hidupnya sebagai manusia.

Mengapa gereja di Sardis bisa sampai mendapatkan komentar yang “sadis” dari Tuhan?
Sardis adalah kota yang sangat percaya diri dengan kemapanannya. Namun, dalam sejarah,
ada dua kali mereka lengah menjaga musuh menyusup menembusi penjagaan pengawal
tembok yang bereputasi hampir tak tertembusi itu. Tampaknya, jemaat gereja di Sardis
menginternalisasi kepercayaan diri warga kota tersebut dan merasa kehidupan gereja mereka
kokoh dan sehat. Mereka meremehkan hal-hal yang tidak dianggap kecil oleh Tuhan: “Tidak
satu pun dari pekerjaanmu Aku dapati sempurna di hadapan Allah-ku” (2).
“Ketidaksempurnaan” inilah yang membuat mereka “dikatakan hidup, padahal mati”.

Makna kalimat kritikan Tuhan perlu kita renungkan supaya kita tidak mengulangi kesalahan
jemaat Sardis. “Tidak ada satu pun” menyiratkan bahwa pekerjaan yang mereka lakukan
banyak. Gereja Sardis adalah gereja yang banyak membuat program. Sayangnya, tidak ada
satu pun yang memuaskan Tuhan karena “tidak sempurna” (terjemahan lain: “tidak
lengkap”). Arti tidak sempurna di sini dapat kita simpulkan dari dua tempat, yakni perintah
Tuhan untuk kembali ke yang seharusnya dan pujian Tuhan kepada sebagian jemaat di
Sardis.

Pertama, jika pekerjaan gereja Sardis dianggap tidak lengkap, seharusnya bagaimana? Tuhan
berkata, “Karena itu ingatlah, bagaimana engkau telah menerima dan mendengarnya;
turutilah itu dan bertobatlah!” (3). Jadi, seharusnya pelayanan yang mereka kerjakan sesuai
dengan Injil yang mereka dengarkan mula-mula. Injil sejati tidak lagi menjadi roh pelayanan
mereka. Secara gejala, gereja Sardis masih tampak seperti menjalankan ritual-ritual
keagamaan mereka. Namun, esensinya bukan lagi Injil yang murni. Mungkin saja Injil yang
sudah dikurangi atau ditambahkan. Karena itu, mereka harus bertobat. Bertobat artinya
berbalik arah, meninggalkan penyelewengan mereka, dan kembali kepada Injil sejati.

Kedua, jemaat di Sardis harus meniru beberapa orang dari mereka yang “tidak mencemarkan
pakaiannya” (4). Mereka adalah orang yang menjaga kesucian mereka. Itulah orang-orang
yang diperkenan oleh Tuhan dan akan menerima “pakaian putih”, penghargaan dari Tuhan.
Sekali lagi, jemaat di Sardis yang telah mencemarkan pakaian mereka harus bertobat, yang
artinya berbalik dari dosa mereka dan kembali kepada Kristus, Sang Pemberi Pengampunan.

Meskipun dikatakan koma rohani, gereja di Sardis masih dapat ditolong karena tidak ada
yang mustahil bagi Kristus. Dia yang memerintah di atas kehidupan dan kematian berkuasa
untuk membangunkan gereja yang koma. Jikalah kita menemukan sebuah gereja dalam
kondisi seperti gereja di Sardis, berdoalah agar Tuhan membangunkan mereka. Marilah kita
turut berjaga-jaga dengan menyempurnakan pekerjaan kita dan menjaga kemurnian pakaian
kita.