Apakah Tuhan mencintai kita tanpa syarat? Tentu saja. Ia mencintai kita apa adanya tanpa syarat. Tuhan tidak menunggu kita menjadi benar, baik, rendah hati dahulu sebelum Ia menerima kita. Tanpa keselamatan dari-Nya, kita akan terus tinggi hati, menjadi budak dosa dan pendosa akut. Namun, Ia menyelamatkan kita sebelum kita dapat menggerakkan bibir kita mengucapkan, “Tolong saya, Tuhan!” Inilah kabar baik (Injil) yang Ia nyatakan melalui Yesus dari Nazaret.
Namun, apakah artinya Tuhan mencintai kita dan membiarkan kita apa adanya? Apakah berarti kita bebas hidup semau kita?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu merenungkan sejenak apa itu cinta.
Cinta dapat digambarkan sebagai ikatan. Salah satu permainan umum ketika outbound atau retret gereja adalah permainan memasukkan spidol ke botol. Satu kelompok biasanya terdiri dari lima sampai delapan orang. Mereka diminta duduk melingkar dan setiap orang memegang seutas tali yang terikat ke satu spidol yang sama. Untuk dapat memasukkan spidol tersebut, mereka perlu bekerja sama menggerakkan tali. Bukankah ikatan cinta juga seperti itu? Dua insan yang saling mencintai “terikat” pada satu sama lain. Tidak ada “kebebasan” untuk jalan sendiri-sendiri. Namun, sukacita justru muncul di dalam keterikatan tersebut. Demikian juga ketika kita dicintai Tuhan. Kita “terikat” dengan Tuhan, tetapi kita bersukacita.
Dalam cinta ada ketertarikan. Apakah “tarik-menarik” ini seperti permainan tarik tambang? Dalam permainan tambang, setiap tim ditarik dengan paksa oleh tim lain. Untuk melawan paksaan tersebut, tim tersebut harus menarik dengan lebih kuat lagi. Ketertarikan cinta tidak memaksa seperti itu. Tarikan yang memaksa bukanlah cinta, melainkan perbudakan. Seperti para budak Afrika yang lehernya “dikalungi” tali. Tali tersebut juga mengalungi leher budak lain. Alhasil, barisan budak tersebut menjadi barisan orang “berkalung”. Di ujung tali tersebut terdapat tuan kulit putih yang menaiki kuda dan menarik tali tersebut, memaksa mereka berjalan jauh tanpa alas kaki. Cinta menumbuhkan kerelaan, bukan paksaan (bdk. 1Kor. 13:5). Ketika dua insan saling mencintai, mereka rela ditarik satu sama lain. Tanyakanlah kepada mereka yang sedang jatuh cinta apakah mereka pernah merasa terpaksa menghabiskan waktu berdua. Mereka akan menjawab dengan heran, “Hah? Kami rela kok.”
Cinta Tuhan mirip dengan cinta manusia. Atau lebih tepatnya, cinta manusia merupakan cerminan kabur dari cinta Tuhan. Ketika kita masuk ke dalam relasi cinta dengan Tuhan, timbullah ikatan cinta antara Tuhan dan kita. Namun, kita tidak dapat menarik Tuhan. Kitalah yang ditarik Tuhan. Tuhan menarik kita dengan lembut, menjadikan kita rela untuk makin serupa dengan-Nya.
Jika kita melihat ke dalam Alkitab, kita tidak mendapati Tuhan memaksa kita berubah sebagaimana penguasa memaksa para aktivis keadilan sosial diam seribu bahasa. Penguasa terkadang “membunuh ayam untuk menakuti para monyet” (殺雞儆猴). Mereka “menghilangkan” beberapa aktivis pengkritik untuk memberikan efek jera kepada aktivis-aktivis lain. Melalui Yesus, kita mengenal Allah yang tidak seperti itu. Yesus senantiasa sabar terhadap murid-murid yang tidak kunjung paham identitas-Nya. Setelah Yesus menubuatkan akhir tragis hidup-Nya, Petrus, sang ketua, malah menentang Yesus seperti layaknya setan (Mat. 16:23). Tidak berhenti sampai di sana, Petrus kemudian juga menyangkali Yesus. Apakah respons Yesus terhadap semua ini? Ketika Yesus menubuatkan penyangkalan Petrus, Yesus tidak marah. Yesus tidak menghukum Petrus dengan api dari surga untuk menimbulkan efek jera bagi murid-murid lain. Sebaliknya, Ia mendoakan Petrus dan menantikan perubahannya (Luk. 22:32).
Setelah Ia bangkit, Yesus memberikan Roh-Nya sendiri kepada mereka (Kis. 1:5). Sekarang murid-murid tidak lagi sama. Mereka dengan rela bersaksi mengenai Yesus yang mati disalib dan dibangkitkan pada hari ketiga, meski sebagian dari mereka harus sampai dipenjara, dianiaya, bahkan kehilangan nyawa. Mereka melakukan semuanya itu karena mereka menyadari cinta Yesus kepada mereka. Roh Yesus yang sama juga memberikan kita kerelaan. Roh-Nya mengingatkan kita akan cinta-Nya kepada kita, menyembuhkan luka kita, dan mendorong kita setiap hari menjadi makin serupa Dia.
Jadi, apakah Tuhan mencintai kita apa adanya dan membiarkan kita apa adanya? Tidak. Dalam cinta-Nya, Ia mengubah kita dan kita pun rela berubah. Seorang teolog pernah berkata, demikian parafrase saya, “Tuhan tidak mencintai kita karena kita baik. Justru, Ia mencintai kita untuk menjadikan kita baik.” Inilah kabar baik bagi kita yang jahat. Marilah kita menyambut cinta-Nya (Yoh. 3:16) dan tinggal di dalamnya (Yoh. 15:9).
Hans Tunggajaya
Mahasiswa STT Reformed Injili Internasional