Untung atau Buntung?
- “Mobil sialan! Mogok lagi. Sudah waktunya dijual nih.”
[yang saya punya tak lagi berharga dan saya kuatir akan semakin tak berharga]
- “Ini lensa kesayangan gua, nggak akan dijual kapan pun juga!”
[yang saya punya lebih berharga daripada apa pun]
- “Lagi butuh duit cepet nih, Bos, bayarin aja deh motor gue, murah aja kok.”
[waktu tak bisa dibeli. Lebih baik kehilangan uang atau nilai barang daripada momen]
- “Zara lagi sale gede-gedean tuh, rugi kalo nggak beli.”
[uang saya kurang berharga dibandingkan barang-barang sale tersebut]
Perdagangan adalah pertukaran (transaksi) secara sukarela dan (biasanya) bersifat saling menguntungkan. Di dalam sistem ekonomi berbasis uang (bukan barter) pihak yang memberikan barang dan menerima uang biasanya disebut sebagai penjual, sedangkan yang memberikan uang dan menerima barang/jasa disebut sebagai pembeli (atau klien, pelanggan, konsumen, dan sebagainya). Si penjual ingin barang dagangannya lekas laku, lekas menukar barang-barang itu dengan sejumlah uang. Si pembeli, jika ia memiliki uang cukup dan melihat barang yang ingin dimilikinya, ingin lekas-lekas menukarkan uangnya dengan barang itu. “Gua udah indent tuh, tinggal tunggu kiriman. Akhir bulan depan sudah datang barangnya. Nggak sabar ingin cepat-cepat nyoba mobil hybrid rasanya gimana.” Bagi kedua belah pihak apa yang ia sendiri miliki selalu dipandang lebih rendah nilainya daripada apa yang dimiliki pihak yang lain. Si pembeli merasa uang Rp. 50.000 tidaklah terlalu berarti dibandingkan pengalaman nonton film di bioskop (apalagi jika harga normalnya adalah Rp 150.000, kita bahkan akan merasa rugi jika tidak memanfaatkan diskon besar ini). Sebaliknya bagi si penjual, barang yang mau dijual jelas telah dibeli atau diproduksinya dengan harga yang lebih rendah, sehingga ia ingin lekas-lekas menjual habis semua stok agar sesegera mungkin mendapatkan laba dari selisih harga itu. Dalam sebuah transaksi sukarela macam begini kedua belah pihak merasa diuntungkan. Merasa mendapatkan nilai yang lebih tinggi dari transaksi itu. Everybody happy. Win-win solution. Tidaklah berlebihan kalau kita menduga motif yang mendorong terjadinya transaksi sukarela yang disebut dagang ini adalah self-interest. Si pedagang ingin laba, si pembeli ingin memiliki gadgets section termutakhir.
Orang tidak pernah dagang rugi. Setidak-tidaknya orang tidak pernah ingin dagang rugi. ‘Kerugian’ sejati hanya terjadi karena salah perhitungan, baik dari pihak pedagang maupun pembeli. Bagaimana dengan kasus pedagang yang menjual barangnya di bawah harga pasar? Bahkan terkadang diskon gila-gilaan, clearance sale, closeout sale, cuci gudang? Apa untung mereka di dalam transaksi ini? Memang terkadang pedagang akan menjual barang di bawah harga beli atau tidak memperhitungkan faktor biaya operasional sehingga tidak memiliki margin keuntungan, bahkan merugi. Tetapi jika tindakan ‘jual rugi’ ini tidak dilakukan ia akan lebih rugi lagi. Entah karena nilai barang yang semakin turun (misalnya: roti, sayuran, software-hardware computer, electronics gadgets atau buku-buku novel), biaya gudang yang tinggi, atau sekedar ia memerlukan cash dengan segera. Itu sebabnya seorang penjual yang sekalipun ‘menjual rugi’ akan lebih senang jika barang-barangnya cepat habis terjual dan dengan demikian ia telah meminimalkan kerugian. Orang tidak pernah benar-benar dagang rugi.
Mengapa orang tidak mau dagang rugi. Jawabannya dirumuskan oleh Jeremy Bentham hampir dua ratus tahun yang lalu sebagai, “Orang digerakkan oleh dua kekuatan: kenikmatan dan kesakitan. Yang pertama menarik orang mendekat, yang kedua mendorong orang menjauh. Keuntungan pribadi menimbulkan kenikmatan, sementara kerugian biasanya menghasilkan kesakitan. Jadi secara natural orang akan terdorong untuk melakukan transaksi yang menguntungkan dirinya, baik ia adalah pedagang ataupun pembeli. “Adalah self-interest yang mendorong si tukang roti untuk membuat roti terbaik, menghantarnya pagi-pagi ke rumah pelanggan, dan memberi harga yang tidak terlalu mahal agar tetap bisa bersaing dengan tukang-tukang roti yang lain,” demikian jelas Adam Smith, bapak para kapitalis modern.
Logika anugerah persis berlawanan dengan logika dagang. Tuhan selalu dagang rugi (sementara setan selalu mau dagang untung). Di kayu salib Tuhan menukarkan Anak-Nya yang Kudus dan Tak Terhingga Harganya dengan sekumpulan pendosa yang seumur hidup akan banyak mengecewakan Dia. Lebih aneh lagi, Tuhan sebenarnya tahu persis semua ‘resiko’ ini sebelum Ia melakukan itu semua. Saya sebenarnya tak boleh memakai istilah ‘resiko’ di sini karena bagi Tuhan tak ada ketidakpastian. “He doesn’t play dice with the universe,” seberapapun sulitnya kita menerimanya di zaman kuantum ini. Dalam perdagangan, kita dengan hati-hati menghitung resiko sembari memaksimalkan untung. Kita mungkin mau ambil resiko asalkan untungnya sebanding. Atau kita mau juga menginvestasikan harta pada sesuatu yang untungnya tak seberapa asalkan resikonya sangat kecil. Nah, di kayu salib Tuhan telah menginvestasikan harta-Nya yang paling berharga (Anak-Nya sendiri) untuk ditukar dengan sesuatu yang jelas-jelas sampai kapan pun tak akan bernilai lebih tinggi daripada ‘ongkos’ yang dengan rela dan sadar dibayar-Nya itu. Inilah anugerah! Ia adalah Gembala yang meresikokan kehilangan 99 domba demi mencari 1 yang tersesat. Usaha yang dalam hitungan dagang macam apa pun adalah bodoh. Transaksi tak adil yang jika direnung-renungkan akan menghasilkan pertanyaan “Why me, Lord?” Mengapa saya, Tuhan? Pertanyaan teriakan dari ceceran darah korban tak bersalah (bukan tak berdosa) yang berteriak dari tanah-tanah Rwanda, El Salvador, Papua, Timor Leste, Ambon, Poso, Aceh. Sedangkan ceceran darah Domba Allah ini menjawab pertanyaan “Why me?” dengan kekeluan induk domba yang dibawa ke pengguntingan. Tiada apologetika yang canggih. Hanya ceceran darah dan kata-kata patah, “Ampuni mereka ya Bapa … engkau akan besertaku hari ini di Firdaus … Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku? …” Inilah anugerah besar yang memberi makna berlawanan pada pertanyaan “Why me, Lord?” Penjahat di sebelah Kristus mungkin adalah orang yang paling mengerti hal ini. Di balik sumpah serapah yang diucapkannya pada mulanya, ia mungkin protes, “Mengapa saya yang disalib, Tuhan?” “Aku ini kan hanyalah korban sistem, korban salah didik, korban ketololan anak buahku, dan lain-lain.” Inilah “Why me”nya yang pertama. Setelah Tuhan Yesus mengucapkan kalimat, “Pada hari ini juga engkau akan bersama Aku di Firdaus,” mulailah “Why me”nya berubah menjadi, “Mengapa saya, pendosa celaka ini, menerima anugerah sebesar ini?” Mengapa saya Tuhan?
Apa yang kita beli adalah hak kita. Setelah membayar sejumlah uang kita berhak complain jika barang yang dibeli kualitasnya tak memuaskan. Kita complain jika AC hotel kurang dingin (atau terlalu dingin), karena kita sudah bayar. Masalahnya kita seringkali dengan tak tahu diri beranggapan seolah-olah kita ini sedang berdagang dengan Tuhan. Seolah-olah kita pernah menguntungkan Tuhan dengan satu dan lain cara. Mungkin kita beranggapan pelayanan setengah mati atau ketaatan total pada Firman Tuhan telah membeli bagi kita hak untuk complain karena pelayanan Tuhan yang kurang memuaskan. “Percuma saja saya rajin ke gereja, pelayanan, berdoa, baca Firman, toh orang yang saya kasihi tak juga berubah.”
Apa yang kita beli dapat kita pilih. Apa yang kita terima sebagai pemberian adalah pilihan si pemberi. Paulus mengatakan, “…siapakah yang menganggap engkau begitu penting? Dan apakah yang engkau punyai, yang tidak engkau terima? Dan jika engkau memang menerimanya, mengapakah engkau memegahkan diri, seolah-olah engkau tidak menerimanya?” (1 Kor 4:7) Ironisnya kita seringkali beranggapan bahwa kita membeli segala yang kita punya dari Tuhan. Ini bikin kita seringkali complain akan kebijaksanaan Tuhan yang telah memilihkan apa-apa yang kita perlukan untuk kita terima. Kita complain akan orang-orang durhaka yang mengganggu hidup kita tanpa melihat bahwa Tuhan sedang memakai mereka untuk mengikis banyak hal buruk yang bahkan sampai hari ini kita belum sadari. Setiap kali melihat cermin, kita complain akan selera Tuhan dalam memilihkan tinggi badan, ukuran hidung, ukuran perut, dan sebagainya. Secara aneh kita ini mungkin sering beranggapan kita dengan satu dan lain cara yang ajaib pernah membayar sesuatu pada Tuhan sehingga kita berhak memilih dan complain ini-itu pada Tuhan mengenai segala hal yang sulit kita ubah tanpa terlebih dahulu melihatnya sebagai pemberian dari Tuhan yang baik yang mengasihi kita. Tuhan Yesus berkata, “Bapamu di sorga tidak akan memberi ular jika anaknya meminta roti,” tetapi kita mungkin adalah anak-anak tak tahu diri yang berkata, “Siapa yang minta roti?! Saya mau pizza! – dan saya mau SEKARANG!!”
Ev. Yadi S. Lima
Pembina Pemuda GRII Pondok Indah