Ketika aku mencoba mengenal Engkau, ya Tuhan, ampunilah aku apabila dalam pengenalanku aku menyalahi jalan yang Kau tetapkan bagi manusia untuk mengenal Engkau. Siapakah aku, ya Tuhan, sehingga aku boleh menempatkan Engkau sebagai “Objek”? karena sesungguhnya Engkau adalah Subjek yang mengenal segala sesuatu; Engkau mengenal Diri-Mu tanpa terselubung; Engkau mengenal dunia ini secara sempurna, lebih daripada manusia, yang Kau tempatkan dalam dunia ini, mengenalnya. Engkau mengenalku lebih daripada aku mengenal diriku sendiri. Permohonanku ialah biarlah pengenalanku akan Engkau membawaku mengenal diriku dan ciptaan-Mu, karena bagaimanakah aku dapat mengenal diriku dan ciptaan-Mu, ya, bahkan bagaimana aku dapat mengetahui bahwa aku perlu mengenal diriku dan ciptaan-Mu, tanpa mengenal-Mu? Dan bagaimana aku dapat mengenal-Mu kecuali Engkau menyatakan diri-Mu kepadaku? Apa yang telah Engkau nyatakan kepada manusia, biarlah itu menjadi perenunganku. Karuniakanlah kepadaku dua hal ini: kerendahan hati untuk tidak melampaui apa yang seharusnya aku mengerti, dan kerendahan hati yang sama untuk tidak melewatkan apa yang seharusnya Engkau ingin aku mengerti.
Ketika aku merenungkan-Mu, aku tidak dapat menghindari kenyataan bahwa Engkau adalah Sang Pencipta, sementara aku hanyalah ciptaan. Aku tidak dapat menghindari kesadaran akan suatu perbedaan yang terlampau besar, bukan saja secara kuantitas namun juga kualitas, di antara keduanya. Ketika aku tahu bahwa Engkau adalah Allah yang tidak terbatas, bagaimana seharusnya aku membayangkan hal ini? Dan ketika aku dan dunia ini tenggelam ke dalam ketidakterbatasan-Mu, bukankah dunia yang terbatas ini menjadi tidak ada artinya di dalam keberadaan-Mu? Karena Engkau terlampau besar, dan dalam kebesaran-Mu semestinya manusia mengatakan bahwa kami bukan apa-apa. Tetapi yang mencengangkan dan melimpahiku dengan sukacita yaitu bahwa Engkau memberikan makna kepada ciptaan-Mu ini yang hanyalah debu belaka. Mengapakah Engkau memberikan makna kepada hidup kami yang hanyalah bayangan, dan sejarah kami yang hanyalah sepanjang umur bunga di padang? Mengapakah kami bisa tertawa dalam kegembiraan kami, menangis dalam kesedihan kami, terharu dalam kebaikan yang kami alami? Mengapakah kami rindu mengejar apa yang melebihi umur kami, harta benda kami, ya, segala sesuatu yang kami miliki, yang sebenarnya berasal dari-Mu? Ketika aku menyaksikan cinta seorang ibu, kasih seorang saudara, kerinduan seorang kekasih, mengapakah kami boleh mengalami semua momen yang indah ini, Tuhan? Mengapakah Engkau mau memberikan makna kepada ciptaan-Mu, yang Kauciptakan bukan karena Engkau memerlukannya, namun semata-mata karena kasih karunia-Mu? Namun terlebih dari semuanya, mengapakah Engkau mau menyatakan Diri-Mu kepada kami, sehingga kami boleh mengenal-Mu?
Ketika aku berusaha mengenal-Mu, aku tahu bahwa aku akan berhadapan dengan paradoks, karena Engkau mengatasi pengertianku. Tetapi biarlah aku tidak berusaha menyingkirkan paradoks sehingga aku jatuh ke dalam kesesatan. Biarlah aku memilih paradoks, bagaimanapun sulitnya bagiku untuk memahaminya.
Bagaimanakah seharusnya aku mengenal-Mu, Tuhan? Bagaimana mungkin aku dapat mengenal-Mu sebagaimana Engkau ada, ya, sebelum dunia ini ada? Namun Engkau telah menyatakan diri-Mu melalui karya-Mu dalam sejarah. Dari sinilah aku dapat mengenal-Mu sebagaimana Engkau ada di dalam karya-Mu. Dalam Firman-Mu, Engkau telah mewahyukan kepada manusia bahwa Engkau adalah Allah Tritunggal, dan jika Engkau mewahyukannya demikian, maka itu adalah kebenaran, karena Engkau mewahyukannya. Izinkanlah aku mengerti Tritunggal, bukan untuk menyingkapkan apa yang tidak Kau singkapkan, namun kiranya dengan semakin menyadari paradoks, semakin kekagumanku melimpah. Melalui Firman-Mu aku mengetahui bahwa Bapa adalah Allah; Anak adalah Allah; Roh Kudus adalah Allah. Melalui Firman-Mu aku mengetahui bahwa Bapa, Anak, dan Roh Kudus adalah pribadi-pribadi yang berbeda. Melalui Firman-Mu juga aku mengetahui bahwa Bapa, Anak, dan Roh Kudus adalah satu. Engkau menyatakan Diri-Mu sebagai satu Pribadi tetapi juga tiga Pribadi, yang sama-sama berada sejak kekekalan. Ya, ketika Tuhan berkata, “… dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus,” bagaimana aku dapat memahami satu nama dan juga tiga nama? Dalam karya penciptaan, penebusan, dan konsumasi, aku mengenal-Mu sebagai tiga Pribadi yang bekerja bersama-sama. Ketika Engkau menciptakan dunia ini, Firman yang hidup turut dalam karya penciptaan-Mu, dan Roh-Mu ada di sana. Kami juga memahami kehadiran-Mu sebagai tiga Pribadi seiring Engkau menyingkapkan rahasia penebusan yang agung, ya, bahkan yang ada dalam rencana-Mu sebelum kami jatuh di dalam dosa. Di sana kami menyaksikan karya penebusan-Mu dirancang, dikerjakan, dan digenapi oleh tiga Pribadi. Semakin kami mengerti akan keberdosaan kami, semakin kami mengerti mengapa Tuhan harus mati bagi kami. Dan semakin kami mengerti mengapa Tuhan harus mati bagi kami, semakin kami mengerti mengapa Engkau adalah Allah Tritunggal.
Satu hal yang pikiranku terlampau terbatas untuk memahaminya yaitu bahwa apa pun yang Engkau ketahui, tiga Pribadi mengetahuinya bersama-sama. Engkau memiliki satu pikiran, satu emosi, dan satu kehendak. Masing-masing Pribadi-Mu dikenal secara penuh, tanpa sisa, oleh yang lain. Tetapi masing-masing Pribadi-Mu — Bapa, Anak, dan Roh Kudus — juga memiliki perspektif yang berbeda terhadap apa yang Engkau miliki bersama. Betapa kayanya pengetahuan-Mu yang tidak terbatas! Setiap Pribadi-Mu mengetahui salib secara penuh dan lengkap, namun Engkau mengetahuinya dengan perspektif yang berbeda-beda karena Engkau Tuhan yang ber-Pribadi. Bahwa Anak mengalami kematian bagi dosa, bahwa Bapa mengalami kepedihan memberikan Anak mati bagiku, dan bahwa Roh Kudus menderita bersama Anak karena Ia tinggal dalam Anak dan memampukan Anak untuk menderita, bagaimana aku mengerti bahwa Engkau sebagai tiga Pribadi sama-sama mengetahui segala hal tanpa batas dan tanpa misteri, namun Engkau juga memiliki perspektif yang unik dalam masing-masing Pribadi-Mu?
Engkau tidak pernah memerlukan aku. Engkau adalah Pribadi yang berada secara penuh pada Diri-Mu sendiri. Aku bertanya kepada diriku: apakah arti seorang pribadi? Apakah yang membedakan seorang pribadi dari sebuah benda atau suatu ide yang abstrak? Bukankah seorang pribadi disebut pribadi karena relasi yang ia miliki dengan pribadi yang lain? Jika Engkau adalah Allah yang ber-Pribadi, dan jika pribadi dijelaskan melalui relasinya dengan pribadi yang lain, sementara ke-Pribadian-Mu tidak bergantung kepada apa pun di luar Diri-Mu, bagaimana ini mungkin jika Engkau bukan Tritunggal? Ya Tuhan, Engkau adalah Allah yang berelasi, dan sesungguhnya relasi yang kumiliki sebagai manusia dengan manusia yang lain berasal dari-Mu. Ya, dalam diri-Mu ketiga Pribadi saling berelasi. Engkau mencipta manusia sebagai ciptaan yang berelasi—sebagai pribadi. Aku percaya, satu-satunya relasi yang memuaskan hanya terjadi ketika manusia menyadari relasi kami dengan Engkau, dan kami kembali kepada-Mu, karena apa yang mendefinisikan kami sebagai manusia adalah relasi kami dengan-Mu.
Juga ketika aku memikirkan mengenai kasih, kemurahan, dan kesetiaan, aku bertanya kepada diriku: mungkinkah atribut-atribut ini ada tanpa relasi? Aku melihat bahwa kasih selalu memerlukan pribadi yang dikasihi, demikian pula kesetiaan selalu ditunjukkan kepada pribadi yang lain. Aku melihat bahwa atribut-atribut ini memiliki arti hanya dalam konteks relasi. Tuhan, bukankah Engkau sendirilah standar bagi atribut-atribut-Mu, karena Engkau tidak tunduk kepada dan juga tidak mengatasi suatu standar di luar Diri-Mu? Jika demikian, ya Tuhan, jika semua atribut ini bersumber pada-Mu, bagaimana mungkin atribut-atribut ini ada sebagai atribut-atribut-Mu, kecuali Pribadi-pribadi-Mu mengkomunikasikan semua atribut ini sejak kekekalan? Tetapi jika kasih, kemurahan, dan kesetiaan tidak ada pada-Mu, dari manakah kami mengenalnya? Bagaimana semuanya ini mungkin jika Engkau bukan Tritunggal? Puji syukur kepada-Mu, ya Tuhan, karena Engkau adalah Allah Tritunggal! Karena Engkau adalah Pribadi yang saling berelasi, maka kami boleh mengenal kasih, kemurahan, dan kesetiaan.
Dalam relasinya dengan manusia yang lain, kami didorong untuk mengejar kebenaran, keadilan, dan kejujuran. Dari manakah datangnya dorongan itu? Namun ketika aku mengerti akan suatu persekutuan yang suci di antara Pribadi-pribadi-Mu, aku mengerti bahwa itulah dasar bagi keberadaan kebenaran, keadilan, dan kejujuran. Setiap pribadi-Mu menyatakan diri-Mu yang benar kepada Satu sama lain, di dalam kesucian dan kejujuran. Bukankah kesetiaan dan kesucian yang Engkau miliki dalam relasi antar Pribadi-Mu itulah yang menjadi dasar bagi manusia untuk mengejar kebenaran, keadilan, kejujuran, dan bahkan untuk mengerti apa itu kebenaran, keadilan, dan kejujuran? Dan bukankah ini juga yang memungkinkan manusia untuk mengetahui sesuatu? karena tanpa pikiran yang jelas dan benar kami sebenarnya tidak akan pernah mencapai pengetahuan. Atribut kesucian dan kebenaran-Mu itulah yang menjadi dasar bagi logika kami.
Satu hal lagi menjadi dilema setiap filsafat dari zaman ke zaman, namun, aku percaya, mendapatkan solusinya di dalam Engkau sejak kekekalan. Orang menyebutnya dengan problema satu dan banyak, universal dan partikular, keberadaan dan perubahan, dan banyak yang lain. Aku belum mengerti semua istilah-istilah ini, Tuhan, tetapi apa yang aku mengerti dari dilema ini, aku tanyakan kepada diriku: dari manakah aku mengerti kesamaan dan perbedaan? Bagaimana aku mengetahui bahwa aku bukan orang lain, dan orang lain bukan aku, sementara aku tahu bahwa kami sama-sama manusia? Demikian juga ketika aku melihat benda-benda, bagaimana aku tahu bahwa benda ini adalah batu, dan benda itu adalah juga batu, sementara mereka adalah dua benda yang berbeda? Bagaimana aku tahu bahwa ada kesamaan dalam perbedaan, dan perbedaan dalam kesamaan? Namun tanpa mengerti perbedaan dan kesamaan, mungkinkah aku mengetahui sesuatu? karena aku menyadari bahwa aku selalu berpikir dalam konsep-konsep ini. Aku tidak melihat segala sesuatu sebagai terpisah satu sama lain, karena jika aku melihatnya demikian, adakah sesuatu yang berarti? Sebaliknya, aku juga tidak melihat segala sesuatu sebagai kesatuan yang sama, karena sekali lagi, jika aku melihatnya demikian, adakah sesuatu yang berarti? Dapatkah aku mengetahui sesuatu jika aku mempertahankan perbedaan dan membuang kesamaan, atau sebaliknya jika aku mempertahankan kesamaan dan membuang perbedaan? Akan tetapi apakah batasan-batasan kesamaan dan perbedaan, dan dari mana aku mengetahuinya? Mengapakah aku dapat mengetahui bahwa ada yang sama di antara dua hal, dan pada saat yang bersamaan ada juga yang berbeda di antara keduanya? Oh, izinkanlah pikiranku menyelam lebih dalam, dengan harapan menemukan sauh itu, yang kepadanya aku dapat bersandar teguh. Jika segala konsep dan ide mengenai apa pun sudah ada pada Diri-Mu sejak kekekalan, maka kesamaan dan perbedaan pun telah ada pada Diri-Mu sejak kekekalan. Jika Engkau bukan Tritunggal, dan dalam kekekalan tidak ada apa pun yang ada selain Diri-Mu, bagaimana mungkin aku mengerti kesamaan dan perbedaan sebagai sesuatu yang kekal pada Diri-Mu? Jika ada perbedaan dan kesamaan, dari mana itu berasal jika bukan berada bersama Diri-Mu? Dan jika perbedaan dan kesamaan berada bersama Diri-Mu, bagaimana itu mungkin kecuali perbedaan dan kesamaan-Mu dipahami sebagai sesuatu yang relatif terhadap dunia? Tetapi jika demikian–jika Engkau bukan Tritunggal–bukankah Engkau Allah yang bergantung kepada ciptaan-Mu? Oh tetapi betapa indahnya misteri Tritunggal! Bahwa Engkau Satu namun Tiga, sama namun berbeda. Dalam Diri-Mu, satu tidak lebih utama dari tiga, dan tiga tidak lebih utama dari satu. Dalam Diri-Mu, kesamaan tidak lebih utama dari perbedaan, dan perbedaan tidak lebih utama dari kesamaan. Dalam Engkau, ya, Sang Satu dan Banyak, Sang Kesamaan dan Perbedaan yang kekal, aku dapat percaya bahwa setiap detil kejadian dalam hidupku, yang sering kelihatan tidak berhubungan, sebenarnya menemukan keharmonisannya di dalam rencana-Mu yang kekal.
Dalam Engkau yang Tritunggal, aku juga mengerti penderitaan dan kepedihan-Mu, dan mengapakah Engkau bukan Allah yang tidak peduli dengan penderitaan, kehilangan, dan kesedihan yang kami alami. Dapatkah aku mengerti keterpisahan yang Engkau alami, jika Engkau bukan satu Pribadi dan tiga Pribadi? Bagaimana aku dapat mengerti keterpisahan dan kepedihan yang aku alami dalam hidup ini, jika keterpisahan bukanlah keberadaan-Mu? Aku percaya ini bukan berarti bahwa Engkau terpisah menjadi bagian-bagian, sehingga ada sebagian dari keberadaan-Mu yang perlu untuk terpisah dari diri-Mu. Engkau tetap satu Pribadi yang utuh, dan ketiga Pribadi-Mu terikat dalam kasih, yang adalah diri-Mu. Oh, tetapi bagaimana aku dapat membayangkan keterpisahan di salib? bahwa Engkau rela terpisah demi aku, demi manusia yang atas kemauannya sendiri memisahkan diri dari-Mu? Akan tetapi melalui keterpisahan-Mu Engkau mempertemukan kami kembali kepada-Mu. Oh Tuhan, sanggupkah aku mengertinya? Sungguh kasih yang terlampau ajaib!
Seperti seorang anak kecil yang dengan sukacita mempercayai perkataan ayahnya, ya Tuhan, jadikanlah aku anak-Mu yang percaya kepada Firman-Mu. Aku bersyukur kepada-Mu, karena dalam Tritunggal Engkau menyatakan kasih karunia-Mu secara limpah kepada kami, karena dalam Tritunggal kami mengerti dunia yang Kauciptakan, dalam Tritunggal hidup kami berarti, dan dalam Tritunggal kami boleh mengenal-Mu serta berdoa kepada-Mu. Amin.
Adi Kurniawan
Redaksi Bahasa PILLAR
Referensi:
Cornelius Van Til, The Defense of The Faith. Presbyterian and Reformed Publishing Co., 1967.
John M. Frame, Cornelius Van Til: Suatu Analisis terhadap Pemikirannya. Momentum, 2002.
Ralph Allan Smith, Van Til’s Insights on the Trinity.
Ralph Allan Smith, A Covenantal Ontology of the Triune God.
dan berbagai sumber.